Minggu, 06 Mei 2012

Karakteristik Sufi


Abstrak
Setelah kecendrungan umat  terhadap kehidupan dunia pada abad 21 ini, terdapat perbuatan manusia yang diluar batas dan melanggar aturan Allah Swt. Orang sufi menganggap bahwa kemerosotan akhlak tidak hanya dapat diatasi secara lahiriah, tetapi juga secara batiniah. Karakteristik sufi yang dapat membuat seorang mukmin menuju jalan taqwa adalah keimanan yang selalu dipupuk dengan muqarobah, selalu khauf terhadap murka Allah, selalu raja’ terhadap ampunan Allah, selalu rindu terhadap cinta dan kasih sayang Allah, selalu al uns dan thuma’ninah dalam setiap perbuatan, senantiasa musyahadah dalam tindakan dan yakin bahwasanya Allah maha pengasih dan maha penyayang yang tak akan menjerumuskan hambanya yang beriman. Hal inilah yang sangat menarik untuk kita pelajari. Perlu kiranya kita untuk mengetahui karakteristik sufi tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan. Dengan metode library riset, kami menyimpulkan bahwasanya utuk mewujudkan karakteristik sufi tersebut hendaknya selalu meningkatkan keimanan secara terus-menerus.
















BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Karakteristik sufi merupakan sifat yang menjadi ciri khas dari seorang sufi. Karakteristik sufi mencerminkan akhlak dan amal perbuatan yang dilakukan dengan harapan pada Allah semata. Karakteristik sufi yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain al muraqobah (Merasa diawasi oleh Allah), al khauf (takut terhadap siksa Allah), ar Raja’(Berharap terhadap ampunan Allah), al Syauq (Rindu terhadap kasih sayang Allah), al Uns (kedekatan dan kepasrahan kepada Allah), al Thuma’ninah (Tenang), Musyahadah (Kesungguhan), dan yakin.  Karakteristik ini sangatlah penting untuk kita bahas. Dengan senantiasa mengetahui dan mengamalkan sifat-sifat tersebut kita telah melangkah menuju akhlak tasawuf yang dimiliki oleh para sufi untuk menuju kedekatan dengan Allah Swt. Sehingga kita akan menjadi mukmin yang shaleh, yang akan merasakan nikmatnya iman, yang dekat dengan Allah, senantiasa menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Pada hakekatnya khulk (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat – buat dan tanpa memerlukan pemikiran. Beberapa istilah lain yang senada dengan istilah akhlak ialah etika, moral, dan kesusilaan. Pokok pembahasan akhlak tertuju pada tingkah laku manusia untuk menetapkan nilainya, baik atau buruk, dan daerah pembahasan akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dalam perspektif perbuatan manusia, tindakan atau perbuatan dikategorikan menjadi dua, yaitu perbuatan yang lahir dengan kehendak dan disengaja (akhlaki) dan perbuatan yang lahir tanpa kehendak dan tak disengaja. Nah disinilah ada titik potong antara tasawuf dengan akhlak yang  menjadi karakteristik sifat dari sufi[1].
Sesungguhnya hati yang keras merupakan masalah yang akan membawa akibat yang sangat berbahaya, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Sungguh, selama ini kita sering tanpa sadar telah meninggalkan jalan Allah dalam hidup ini, bahkan kita sering kali mengikuti hawa nafsu dan godaan setan. Kemudian setan menghiasi kita dengan keindahan dunia yang membuat kita terlena. Sesungguhnya ketika kita telah terlena dengan kemaksiatan, kita akan lalai dari jalan Allah, sehingga hati tidak akan mampu memahami, mata tidak lagi bisa melihat, telinga tidak lagi mampu mendengar hidayah dan kebenaran Allah. Maka kita perlu untuk memuhasabah diri kita dan terus instropeksi serta bertaubat atas segala tindakan yang telah kita lakukan. Dan kita perlu mengetahui karakteristik dari sufi supaya segala tindakan kita mendapatkan ridha dari Allah Swt.
Taqwa lahir dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muqarobah, selalu khauf terhadap murka Allah, selau raja’ terhadap ampunan Allah, selalu rindu terhadap cinta dan kasih sayang Allah, selalu al uns dan thuma’ninah dalam setiap perbuatan, senantiasa musyahadah dalam tindakan dan yakin bahwasanya Allah maha pengasih dan maha penyayang yang tak akan menjerumuskan hambanya yang beriman. Taqwa inilah yang akan membuat hati kita tidak mati, membuat hati kita tercegah dari perbuatan dosa. Pengaruh taqwa merupakan sumber dari segala kebaikan yang ada di masyarakat, dengan taqwa maka kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Sufi adalah seorang muslim yang sempurna, yang menjalankan segala perintah Allah Swt, dan meninggalkan larangan Allah Swt serta menjalankan segala aktivitas hidupnya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, mereka telah  mendapatkan derajad ketaqwaan yang tinggi. Maka keistimewaan seorang sufi adalah terletak pada akhlak, budi pekerti dan amal ibadahnya. Diantara karakteristik seorang sufi yang akan kita bahas ini merupakan karakteristik secara umum, sebenarnya masih banyak karakteristik lain yang tidak selengkapnya dibahas pada makalah ini. Namun pembahasan tentang karakteristik sufi yang meliputi al muqarobah, al khauf, al raja’,al syauq, al uns, al thuma’ninah, musyahadah dan yakin ini semoga bisa kita ambil hikmahnya dan dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari kita.
Dari beberapa buku yang telah  dikaji tentang karakteristik sufi, kita bisa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari buku-buku tersebut. Pelajaran tersebut adalah pelajaran akhlak, pelajaran budi pekerti dan perjalanan para sufi dalam merebut kasih sayang Allah Swt yang memotivasi kita untuk turut serta menjadi lebih baik.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah karakteristik seorang sufi?
2.      Apakah yang dimaksud dengan al muqarobah, al khauf, al raja’, al uns, al thuma’ninah, musyahadah dan al yakin dan bagaimanakah cara mewujudkan karakteristik sufi tersebut?

1.3 Tujuan
  1. Untuk mengetahui karakteristik seorang sufi.
  2. Mengetahui pengertian dari al muqarobah, al khauf, al raja’, al uns, al thuma’ninah, musyahadah dan al yakin dan cara mewujudkan karakteristik sufi tersebut.












BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Karakteristik Sufi
Sufi adalah seseorang yang senantiasa menghiasi jiwanya dengan akhlak yang terpuji, menjalankan segala perintah Allah Swt dan menjauhi larangan Allah Swt sesuai dengan Al-Quran dan As Sunnah, serta menyerahkan seluruh jiwa raganya hanya untuk Allah semata. Beberapa karakteristik atau sifat-sifat yang ada dalam diri sufi adalah al muraqobah (Merasa diawasi oleh Allah), al khauf (takut terhadap siksa Allah), ar Raja’(Berharap terhadap ampunan Allah), al Syauq (Rindu terhadap kasih sayang Allah), al Uns (kedekatan dan kepasrahan kepada Allah), al Thuma’ninah (Tenang), Musyahadah (Kesungguhan), dan yakin. Demikian seluruh karakteristik sufi ini akan dibahas dibawah ini.

2.1.1 Al Muraqabah
Muraqabah sebagai salah satu ajaran tasawuf yang bertujuan memantapkan segi hakikat untuk mencapai ma’rifat biLlah, menurut kaum shufi adalah keadaan seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu melihat dan mengawasi kita, mengetahui seluruh gerak-gerik kita dan bahkan mengetahui apa saja yang terlintas dalam hati kita. Demikian menurut al-Qusyairi. Selanjutnya al-Qusyairi berkata:
المراقبة علم العبد بالطّلاع الربّ سبحانه وتعالى
Artinya: “Muraqabah ialah bahwa hamba tahu sepenuhnya bahwa Tuhan selalu melihatnya” (Ar Risalah Al Qusyairiyah).

Terhadap orang seperti inilah, Allah akan senantiasa memeliharanya dari perbuatan maksiat. Dalam hal ini para ahli tasawuf berkata:
من راقب الله فى خواطره عصمه الله تعالى فى جوارحه
Artinya: “Barang siapa yang muraqabah dengan Allah dalam hatinya, maka Allah akan memeliharanya dari berbuat dosa pada anggota tubuh” (Ar Risalah Al Qusyairiyah).

            Perkataan shufi ini dimakudkan bahwa orang yang selalu muraqabah dengan Allah, pasti ia tidak akan mengerjakan dosa lagi, karena Allah telah menjauhkan ia dari perbuatan dosa. Berlainan dengan orang-orang munafik, ia takut diawasi dan diinyai orang lain. Jadi kalau tidak dilihat orang lain maka beranilah ia berbuat dosa di setiap kesempatan.
            Dalam hal ini, berkatalah seorang ahli tasawuf, Nazrabazdi dalam Ar Risalah Al Qusyairiyah:
الرّجاء يحرّكك الى الطّاعة والخوف يبعدك عن المعاصى والمراقبة تؤدّيك الى طريق الحقائق
Artinya: “Adapun harapan baik itu adalah menggerakkan kamu supaya berbuat amal shaleh. Khauf/takut dan menjauhkan kamu dari maksiat. Adapun muraqabah adalah membawa kamu ke jalan yang benar”.

            Maksud dari perkataan ini adalah bahwa orang yang tiada muraqabah dengan Allah, tiadalah ia mempunyai pengawal kebenaran dan pengawal yang ada pada dirinya hanyalah syaithan yang menjerumuskannya pada perbuatan maksiat dan dosa.
            Muraqabah ini menurut para ahli shufi ada tiga tingkatan sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Ahmad al-Husni dalam kitab Iqhadul Himam, yaitu[2]:
1.      Muraqabah Qalbi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar kehadirannya dengan Allah.
  1. Muraqabah Ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah.
  2. Muraqabah Sirri, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap Sir/Rahasia, agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya.
Berkata ahli tasawuf:
فإنّ بعد العبد من ربّه انّما هو بسوء أدبه
Artinya: “Bahwa seesungguhnya jauhnya seorang hamba dari Tuhannya, hanya karena buruk adabnya/tingkah lakunya”.

            Dalam hadits Qudsi, Allah berfirman:
عبدى اجعلنى مكان همّك اكفك كلّ همّك ما كنت بك فأنت فى محلّ بعد وما كنت بى فأنت فى محلّ القرب فاختر لنفسك
Artinya: “Hai hamba-Ku, jadikanlah Aku tempat perhatianmu, niscaya Aku penuhi pula perhatianmu itu. Dimana Aku ada karena kemauanmu, maka engkau itu berada di tempat jauh dari Aku. Dimana kamu ada karena kehendak-Ku (Allah) maka engkau itu berada di dekat Aku, maka pilihlah mana yang lebih baik pada dirimu”.

            Demikian ajaran tasawuf tentang muraqabah yang dijelaskan dalam kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah dan Iqadhul Himam sebagaimana yang dinukil oleh Dr. Mustafa Zahri dalam bukunnya “Kunci Memahami Ilmu Tasawuf”.
            Adapun dasar ajaran ini adalah berdasarkan petunjuk dari Al-Qur’an:
واذا سألك عبادى عنّى فإنّى قريب أجيب دعوة الداع اذا دعانى
Artinnya: “Jika hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, bahwa sesungguhnya Aku dekat dan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku dipanggil” (QS. Al-Baqarah: 186).
ونحن اقرب اليه من حبل الوريد
Artinya: “Aku lebih dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya” (QS. Qaaf: 16).

            Dalam hadits Qudsi disebutkan:
ان تعبد الله كانّك تراه
Artinya: “Hendaknya engkau menyembah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya”.

Muraqabah ini digambarkan seolah-olah manusia itu selalu bersama Allah, merasa diintai dan diawasi. Diumpamakan bagaikan seekor kucing menunggu tikus keluar dari lubangnya, tikus akan keluar, tapi kapankah waktunya, belum diketahui. Begitulah gambaran antara orang yang selalu merasa diawasi oleh Allah dan merasa dekat dengan-Nya.
            Sedangkan cara bermuraqabah dengan Allah dapat ditempuh dengan berbagai macam jalan, diantaranya:
  1. Sesudah sembahyang tahajjud di tengah malam dan sebelum shubuh datang menjelang, duduk dengan kaifiat iftirasy, dengan sadar dan penuh kesungguhan mengkonsentrasi, menyatukan pikiran sambil berdzikir, menuggu saat beraudiensi dengan Allah.
  2. Sesudah berwudlu’ duduk dengan pakaian bersih, duduk menekur di lantai masjid sambil berdzikir dengan lisan menunggu saatnya berhadapan dengan Allah dengan dzauq dan bashirah.
Hal ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
قال نعم وانّكم اذا لمن المقرّبين
Artinya: “Ia jaawab: “Betul! Dan sesungguhnya kamu di waktu itu (adalah) dari orang-orang yang dihampiri” (QS. Asy-Syu’ara’: 42).

Dari sini maka sebaiknya janganlah berfikir, apakah Allah dekat dengan kita, melainkan usahakanlah agaar kita dekat dengan Allah atau mendekatkan diri kepada Allah.

2.1.2   Al Khauf
Ajaran tasawuf lainnya adalah melatih jiwa dan raga untuk khauf. Khauf adalah menghadirkan rasa takut kepada siksa Allah Swt. Ini sangat penting dalam melatih jiwa agama. Hal ini disebabkan banyak diantara kita yang tidak takut dan lupa terhadap siksa Allah Swt. Bahwasannya Allah memberikan pahala kepada umatNya yang melakukan kebaikan dan memberikan siksa bagi yang melanggar perintahNya. Perasaan tidak takut terhadap siksa Allah adalah karena diperbudak oleh hawa nafsunya sendiri. Sifat khauf harus ditanamkan kedalam hati. Dengan adanya sifat khauf maka segala perbuatan yang dilakukan adalah dengan penuh waspada dan takut kepada ancaman Allah Swt.
Malik bin Dinar berpendapat bahwa “ seseorang merasakan bukti takut dan berharap kepada Allah, berati berpedoman dengan pergelangan dan perintah. Sedangkan bukti takut adalah menjauhi maksiat, dan bukti harap adalah dengan melaksanak perintahNya.
Khauf (takut kepada siksa) Allah memang merupakan suatu sarana untuk mendorong diri kita lebih tekun dalam menjalankan perintahNya dan lebih menjaga diri dari segala hal yang mampu menjerumuskan diri dari perbuatan yang dilarangNya.
Marilah kita merenung sejenak tentang rahasia Allah yang tersimpan. Kita semua tak pernah mampu membuka rahasia Allah. Salah satu contoh saja adalah tentang kematian. Didunia ini tidak ada yang tahu kapan datangnya kematian. Bagi orang yang beriman akan senantiasa memikirkan tentang kematian, karena rasa takutnya terhadap hari setelah kematian. Sebelum kita mati seharusnya kita menyiapkan diri untuk selalu bertaubat sebelum datangnya kematian.
Oleh karena itu rasa takut terhadap siksa berarti takut kepada Allah. Perwujudan dari rasa takut adalah dari iman dan takwa. Bila kita mempunyai rasa takut kepada Allah, selama hidup di dunia sehingga dikehidupan akhirat kelak kita akan mendapatakan kebahagiaan. Sebaliknya bila kita tidak menghadirkan khauf dalam kehidupan, maka diakhirat kita akan menjumpai kesengsaraan [3].

2.1.2.1 Mengingat Kematian
Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Sesungguhnya jika hati itu telah mengeras dan seperti batu, atau bahkan lebih keras darinya, maka kita akan tenggelam dalam keinginan duniawi dan kelezatannya dan kita akan melupakan kematian.
Alangkah parahnya kelalaian kita, hati kita menjadi semakain hitam dan parah sehingga melupakan kematian. Maka tidaklah mengherankan jika Rasullah selalu mengingatkan kepada kita untuk selalu mengigat kematian. Beliau pernah bersabda: “perbanyaklah kalian untuk mengingat (hadzima al-ladzdzat) sesuatu yang memutuskan kenikmatan, yaitu mati.” Kematian itulah yang memutuskan dan memisahkan (seseorang) dari sesuatu yang dicintainya. Oleh sebab itu, hendaknya hati dan mulut kita selalu mengingat kematian. Kita hendaknya mempersiapkan diri untuk menghadapi saat terakhir. Selagi hidup didunia maka kita harus semangat untuk menyiapkan hari kematian kita.
Sesungguhnya kita akan meninggalkan dunia, meski mungkin kita memprediksi hidup kita agak lama. Kita akan digeletakkan di tanah. Disana tidak akan ada yang menemani dan menolong kecuali amal ibadah kita. Jika kita tidak mempunyai amal saleh, maka cacing, kalajengking, ular dan siksa kubur yang sangat menyakitkan akan menemani kita[4].
Alangkah banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang mengingatkan manusia akan kematian, antara lain QS Ali Imran ayat 185 yang artinya
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”

2.1.2.2 Siksa Neraka Jahannam
Untuk menambah rasa takut kita kepada Allah Swt dan kepada siksanya, belum lengkap kiranya bila kita tidak mengingatkan kepada hati terhadap siksa neraka jahannam. Setelah kita mengingat kematian yang maha dahsyat, maka sekiranya kita mengigatkan diri terhadap neraka jahannam dan segala resikonya.
Neraka adalah lawan dari surga. Neraka merupakan tempat bagi orang-orang yang berdosa ketika hidupnya. Dalam neraka terdapat siksa yang amat pedih dan balasan terhadap perbuatan maksiat dikala hidup didunia.
Dikala itu para malaikat zabaniah yakni petugas neraka menyerukan dengan suara lantang dan membentak-bentak “ mana shalat dan berpanjang angan-angan, sampai habis umurmu untuk berbuat jahat?”. Kemudian setelah bertemu seseorang yang dimaksudkan, maka diberinya belenggu di lehernya berupa besi yang panas dengan dihardik dan digertak. Dicambuk dengan besi yang berduri untuk dihalau ke ruang siksa yakni kedalam kerak api neraka, disana dibakar habis-habisan.
Demikianlah orang yang semasa hidupnya tidak pernah mengingat Allah Swt, dan hanya tenggelam dalam kemaksiatan, mereka ditelungkupkan dalam ruang yang sempit, gelap, panas. Gelapnya bukan karena tidak ada sinar, melainkan nyala api yang sangat panas dan telah lama. Mereka dibelenggu di dalam nyala api selama-lamanya. Betapa jeritan dan tangis yang sangat memilukan. Pekikan bercampur gemuruhnya suara api menggema dimana-mana.
Ada sedikit harapan kepada mereka untuk memohon kepada penjaga neraka yakni malaikat Malik “ Wahai malaikat Malik, ketua penjaga Neraka, lihatlah kulitku terkelupas, dan daguku hancur karena api neraka. Tangan kami sudah tak kuat membawa belenggu, leher kami sudah tidak kuat membawa belenggu, maka keluarkanlah kami dari sini”. Dan ternyata penyesalan tinggallah penyesalan, tidak ada satu pun malaikat yang menggubris. Memang penyesalan selalu datang diakhir. Oleh sebab itu sangatlah penting bagi kita menghadirkan rasa takut terhadap siksa api neraka ini, agar kita senantiasa terjaga untuk selalu meningkatkan amal kebaikan dan menjaga setiap perbuatan kita dari kemungkaran. Itulah wujud dari Khauf seperti yang dilakukan oleh para sufi yang mulia.

2.1.3        Ar Roja’
Roja’  berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka artinya ammalahu: dia mengharapkannya. Syaikh Utsaimin berkata, “roja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek”[5]. Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata, “asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu yang disenangi…[6]”. Khouf artinya perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau mengganggu.
            Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata, “roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan…[7]”. Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai. Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah.
Allah Swt berfirman dalam surat al Anbiya ayat 90 yang artinya: “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.”
Lawan dari harapan ini adalah keputusasaan dari rahmat Allah. Allah berfirman dalam surat al Hijr ayat 56 yang artinya,“tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat”.
            Dalam kehidupan kita, seharusnya selalu optimis baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Kita tidak boleh berputus asa pada rahmat Allah dan senantiasa bertaubat atas segala dosa baik yang dilakukan sengaja ataupun tidak, karena manusia adalah tempatnya salah. Dalam berharap sewajarnya haruslah diiringi dengan usaha, karena usaha merupakan musabab untuk tercapainya tujuan dari apa yang diharapkan.


            Berharap kepada Allah dapat tumbuh melalui tiga hal, yaitu:
a.         Kesaksian dan pembenaran seorang hamba atas karunia, perbuatan ihsan Allah dan karunia-Nya atas hamba-hambaNya.
b.        Kehendak yang jujur untuk memperoleh pahala dan kenikmatan yang ada di sisi Allah Swt.
c.         Membentengi diri dengan amal shalih dan senantiasa berlomba dalam mengerjakan kebajikan.

            Dalam kehidupan ini kita diberikan beberapa potensi oleh Allah Swt, diantaranya adalah potensi akal, ilmu, rezeki dan waktu. Potensi akal akan membedakan manusia dengan binatang. mengapa kita pesimis dalam menjalani kehidupan ini, sementara binatang-binatang siap menjalani hari-harinya? Perhatikan di sekitar kita, betapa burung-burung bernyanyi seraya mengepakkan sayapnya menyongsong datangnya pagi dan terbang entah kemana untuk mencari rezeki yang disiapkan Allah. Terkadang kita kurang memahami bagaimana kehendak Allah terhadap diri kita. Di dalam agama Islam, rezeki itu yang utama adalah berkah.
Dalam mencari rezeki ada kalanya kita harus berpedoman pada al Quran dan al Hadits agar jalan yang kita tempuh sesuai dengan aturan dalam Islam. Kita harus menyadari bahwa hidup kita dibatasi oleh umur dan Allah Swt memberikan penghargaan berupa pahala dan hukuman berupa dosa yang harus kita pertanggungjawabkan di akhirat nanti, untuk itu alangkah baiknya kita menjalankan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.

2.1.4        Al Syauq
Syauq (rindu) adalah ketertarikan hati untuk melihat yang dicintai. Ada pendapat lain yang mendefinisikan syauq sebagai api dari Allah yang dinyalakan di hati para kekasih-Nya hingga api itu mampu membakar apa yang ada di dalam hati mereka, mulai dari kekhawatiran, keinginan, sesuatu yang mendadak muncul, dan beraneka macam kebutuhan. Rindu itu timbul dari cinta. Bila seorang hamba sampai pada tingkat kerinduan ini, maka ia ingin sekali segera bertemu kematian, sebab ia sudah rindu ingin bertemu Tuhannya. Ia juga mulai merasakan telah bertemu dan terbang menemui ke hadirat Tuhannya.
Syauq atau rindu adala kondisi kejiwaan yang menyertai maabbah, yaitu rasa rindu (yearning) yang memancar dari kalbu karena gelora yang murni. Pengetauan dan pengenalan yang mendalam teradap Alla akan menimbukan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melairkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat selau bergeora agar sealu bersama dia. Setiap denyutan jantung, detak kalbu dan desah nafas, ingatan hanya kepada Allah, itulah rindu. Persamaan inilah yang menjadi motor pendorong orang sufi agar selalu berada sedekat mungkin kepada Allah, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang didambakan setiap sufi.

2.1.5                    Al Uns
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik sentrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut uns. Al-junaid mengatakan apabila seseorang telahh sampai kepada kondisi jiwa uns, andaikata tubuhnya ditusuk dengan pedang, ia tidak akan merasakannya. Situasi uns ini mirip dengan al-fana, nanun orang sufi tidak menyebutnya fana, tetapi al-mahwu, yaitu sekedar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada satu arah[8].

2.1.6                    Al Thuma’ninah
Tuma’ninah adalah tenang atau tidak tergesa-gesa. Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wasallam melakukan shalat dengan tuma’ninah (rileks), yaitu sikap tenang atau diam sejenak sehingga dapat menyempurnakan perbuatannya, dimana posisi tulang dan organ tubuh lainnya dapat berada pada tempatnya dengan sempurna.
Dalam ilmu tasawuf tuma’ninah memiliki kedudukan untuk menjayakan islah selain ikhlas dan siddiq. Islah atau pembaikan ini memang sangat dianjurkan oleh Islam. Dalam kaitan ini Allah swt menjelaskan dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 35 yang artinya, “Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, Maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

Konsep islah amat luas kerana boleh diibaratkan sebagai pemulihan tabiat, peningkatan ilmu, memulakan kehidupan baru atau berhijrah (berpindah) dari satu keadaan (negeri atau tempat) ke keadaan yang lain. Jelasnya, islah mengkehendaki perlucutan sifat cela atau mazmumah kepada sifat terpuji atau mahmudah.
Shalat mempunyai rukun-rukun yang apabila salah satu-nya ditinggalkan, maka batallah shalat tersebut. Diantara rukun-rukun shalat ialah tuma’ninah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam kepada seseorang yang salah dalam melaksanakan shalatnya: "Sampai kamu merasakan tuma'ninah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[9].
Dan tuma'ninah tersebut beliau tegaskan kepadanya pada saat ruku', sujud dan duduk sedangkan i'tidal pada saat berdiri. Hakikat tuma'ninah itu ialah bahwa orang yang ruku', sujud, duduk atau berdiri itu berdiam sejenak.
Tuma’ninah, adalah sebuah syarat mencapai kekhusyu’an dalam shalat; Sebuah riwayat menerangkan, bahwa sebelum shalat subuh, Rasulullah mempunyai kebiasaan melakukan istirahat dalam posisi tiduran miring yang disebut qailulah. Kebiasaan ini beliau lakukan pula menjelang shalat dhuhur. Relaksasi sebagaimana Rasulullah lakukan merupakan hal penting bagi orang yang hendak melakukan shalat, karena shalat merupakan perjalanan jiwa menuju Allah sehingga diperlukan persiapan yang serius namun rileks[10].
Orang yang melakukan shalat dengan tuma'ninah (tenang dan rileks) akan menghasilkan energi tambahan dalam tubuhnya, sehingga tubuh merasa fresh. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah begitu yakin bahwa shalat merupakan jalan yang ampuh untuk mengubah perilaku manusia, yang tidak baik menjadi berakhlaq mulia. Sebagaimana Allah menegaskan dalam kitab al-Qur’an yang artinya, “bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Ankabuut 29:45)

2.1.7                    Musyahadah
Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata Syahida-Shaahada yg mempunyai arti bersaksi atau menyaksikan, oleh karna itu seseorang belum dpt untuk dikatakan sebagai seorang Islam jika orang tersebut belum menyatakan akan dua kalimat syahadat. Didalam bermusyahadah ini juga sangatlah di butuhkan sebab segala peristiwa atau kejadian itu yg pertama di tanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi.
Musyahadah adalah nampaknya Allah pada hamba-Nya di mana seorang hamba tidak melihat sesuatu apapun dalam beribadah, kecuali hanyalah menyaksikan dan menyakini dalam hatinya,bahwa ia hanyalah berhadapan dan dilihat oleh Allah. Dalam beribadah ia tidak menghiraukan lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya, termasuk dirinya sendiri karena asyiknya berhubungan dengan Allah seakan-akan Allah benar-benar nampak dihadapannya. Untuk mencapai pada tingkatan musyahadah ini seseorang harus terlebih dahulu bersungguh-sungguh dengan sepenuh hati demi untuk mengamalkan akan ajaran-ajaran tasawuf untuk meningkatkan maqam berikutnya.
Seorang akan dapat mencapai musyahadah billah, jikalau ia melakukan mujahadah fil amal dan sebelumnya telah mencapai makam fana’ atau menafikan tujuan lain selain daripada Allah. Ibadahnya hanya semata-mata ditujukan dan dihadapkan kepada Allah dan sama sekali bebas dari unsur riya’.
Pokoknya orang yang ingin mencapai musyahadah kepada Allah hanya akan bisa dicapai dengan mujahadah dan senantiasa taqarrub dengan billah dan melanggengkan dzikrullah, disertai kebersihan hatinya. Pada hakikatnya musyahadah itu adalah merasakan berhadapan dengan Allah dan bersama Allah atau yang dinamakan “hudlurul qalbi”. Mengingat Allah dengan sepenuh hati, artinya dengan hati yang khusyu’ saat melakukan dzikrullah dan bertaqarrub kepada Allah.
Dalam konteks hubungan dengan "Menyaksikan Allah" dan "Seakan-akan menyaksikan Allah", maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin menyaksikan dan melihat Allah. "Musa as berkata: Ya Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu." Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu" (al-A'raf 143). Ayat lain menyebutkan, "Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah."(Al-Baqarah 115). "Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan (Al-An'aam 79)”.
Setelah mencapai musyahadah ini, kemudian menanjak lagi ke tingkat al-Mukasyafah atau terbukanya segala rahasia artinya tiada tertutup lagi sifat-sifat ghoib. Maksudnya terbukalah  rahasia alam ghoib yaitu tiada tertutup dari sifat-sifat ghoib. Setelah itu barulah seseorang dapat mencapai tingkat al-musyahadah. Menurut al Junaidi al Baghdadi “Al Musyahadah adalah nampaknya Al-Haqqu Ta’ala dimana alam perasaan sudah tiada”[11].
Adapun terjadinya musyahadah adalah dengan adanya Nur Musyahadah yang terpencar hati seseorang. Dan terjadinya musyahadah ini melalui tiga tahap, yaitu :
a.       Nur Musyahadah pertama, adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seorang merasa muraqabah/berintaian dengan Allah.
b.      Nur Musyahadah kedua, adalah tampaknya keadaan “adamiyah” yakni hilangya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud yang hakiki.
c.       Nur Musyahadah ketiga, yaitu tampaknya Dzatullah Yang Maha Suci. Dalam hal ini bila seorang telah fana’ sempurna, yaitu dirinya telah lebur dan yang baqa’ hanyalah wujud Allah.
Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan Allah melalui pintu mati (dalam pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati) dapat ditempuh pada 4 tingkat, yaitu :
a.       Mati Tabi’i
Menurut sebagian ahli thariqat, bahwa “mati thabi’I terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qalbi didalam dzikir Lathaif. Dan mati tabi’i ini merupakan pintu musyahadah pertama dengan Allah.
Pintu pertama ini dilalui pada saat seseorang dalam melakukan dzikir qalbi dalam dzikir Lathaif. Maka dengan karunia Allah ia fana’/lenyap pandangannya secara lahir, dimana telinga bathin mendengar Allah, Allah, Allah. Pada tingkat ini, dzikir qalbi mula-mulanya hatiberdzikir, kemudian dari hati ke mulut dimana lidah berdzikir jalan sendiri. Dalam hal ini perasaan mulai hilang (mati tabi’i).
b.      Mati Ma’nawi
Menurut sebagian ahli thariqat, bahwa “mati ma’nawi” ini terjadi dengan karunia Allah pada seorang Salik saat melakukan dzikir Lathifatur Ruh dalam dzikir Lathaif. Terjadinya itu sebagai ilham yang tiba-tiba Nur Ilahi terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata batin menguasai penglihatan.
Dzikir “Allah, Allah, Allah” pada tingkat ini semakin meresap tembus pada diri dimana dzikir sudah terasa amat panasnya di sekujur tubuh dan disteiap bulu roma badan. Perasaan keinsanan tercengang, bimbang, semua persendian gemetar, bisa juga terus pingsan. Sifat keinsanan telah lebur diliputi sifat Ketuhanan.
c.       Mati Suri
Seterusnya ialah yang dinamakan “mati suri’. Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir lathifatus sirri dalam dzikir lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang salik telah memasuki pintu musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana’ alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam ghoib / alam malakut yang penuh dengan Nur Cahaya.
d.      Mati Hissi
Mati hissi ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang/salik melakukan dzikir Lathifatul Hafi dalam dzikir lathaif. Pada tingkat keempat ini, seorang/salik telah sampai pada tingkat yang lebih tinggi untuk mencapai ma’rifat sebagai maqam tertinggi.
Ada tiga derajat musyahadah, yaitu :
1.      Musyahadah ma'rifat, yang berlalu di atas batasan ilmu, dalam cahaya wujud dan berada dalam kefanaan kebersamaan. Ini merupakan landasan golongan ini, bahwa ma'rifat di atas ilmu. Ilmu menurut mereka adalah pengetahuan tentang data, sedangkan ma'rifat merupakan penguasaan tentang sesuatu dan batasannya. Dengan begitu ma'rifat lebih tinggi daripada ilmu. Ada pula yang mengatakan bahwa amal orang-orang yang berbuat baik berdasarkan ilmu, sedangkan amal orang-orang yang taqarrub berdasarkan ma'rifat. Di satu sisi pendapat ini bisa dibenarkan, tapi di sisi lain dianggap salah. Orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang taqarrub beramal berdasarkan ilmu memperhatikan hukum-hukumnya. Sekalipun ma'rifatnya orang-orang yang taqarrub lebih sempurna daripada orang-orang yang berbuat baik, tetapi keduanya sama-sama ahli ma'rifat dan ilmu. Orang-orang yang berbuat kebaikan tidak akan menyingkirkan ma'rifat dan orang-orang yang taqarrub tetap membutuhkan ilmu. Manusia berbeda-beda dalam tingkat ma'rifatnya.
2.      Musyahadah dengan mata kepala, yang memotong tali kesaksian,mengenakan sifat kesucian dan mengelukan lidah isyarat. Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, sebab derajat pertama merupakan kesaksian kilat yang berasal dari ilmu mengenai tauhid, sehingga orangnya dapat melihat semua sebab. Sedangkan orang yang ada dalam derajat ini tidak memiliki tali kesaksian, bebas dari sifat-sifat jiwa, dan sebagai gantinya dia mengenakan sifat kesucian serta lidahnya tidak membicarakan isyarat kepada apa yang disaksikannya. Ini merupakan kesaksian wujud itu sendiri, tanpa disertai kilat dan cahaya, yang berarti derajatnya lebih tinggi.
3.      Musyahadah kebersamaan, yang menarik kepada kebersamaan, yang mencakup kebenaran perjalanannya dan menumpang perahu wujud. Orang yang ada dalam derajat ini lebih mantap dalam kedudukan musyahadah, kebersamaan dan wujud serta lebih mampu membawa beban perjalanannya, yang berupa berbagai macam pengungkapan dan ma'rifat.
Dasar mujahadah adalah firman Allah surat al-Ankabut:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah bena-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (al-Ankabut: 9)
Makna Mujahadah sebagaimana disyaria’tkan oleh ayat tersebut adalah: Apabila seorang mu’min terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari sebelumnya[12].

2.1.8                    Al Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut dengan al-yakin. Dengan demikian, al-yakin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia mliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya dan ia rasakan dengan seluruh ekspresinya serta dipersaksikan oleh segenap eksistensinya.
Apabila seseorang telah mencapai tingkat tertinggi yang dapat diraih manusia, bukan berarti selesailah mujahadatnya atau tamatlah latihannya. Sebab, karakteristik dari tasawuf sebagai pengalaman spiritual adalah bersifat repetatif, bukan kumulatif, sehingga memerlukan pengulangan yang tiada hentinya sampai ujung usia. Walaupun seorang sufi sudah mencapai tingkat wali atau insan kamil, ia tetap dibebani syari’at.



























BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan

Dari pembahasan makalah ini, maka kami dapat menyimpulkan bahwasanya karakteristik sufi terdiri atas al muqorobah









DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A.1989. Rukun-Rukun Shalat. Bandung: Mizan.
Al Aziz, S. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Terbit Terang.
Al Fauzan, S.A. 2008. Hushuulul Ma’muul. Semarang: Daarul Kutub.
Al Madkhali, Z. 1998. Thariqul Wushul. Kudus: Menara Kudus.
Fachrudin,Imam.2009. Hubungan Tasawuf, Akhlak, hakikat dan syariat. Jurnal UIN Maliki Malang.
Hasyim, A. 2006. Menuju Puncak Tasawuf. Surabaya: Visi 7.
Maman. 2010. Maqam Musyahadah. http://teosufi.blogspot.com/2010/04/maqam-musyahadah_24.html. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2010.

Nashih, A. 1999. Tarbiyah Ruhiyah Petunjuk Praktis Mencapai Derajad Taqwa. Jakarta : Robbani Press.
Said, A. 2003. Managemen Kalbu, Resep Sufi Menghentikan Kemaksiatan. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Senali, Moh Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya : Terbit Terang.
Utsmaini. 2002.  Syarh Tsalatsatu Ushul. Semarang: Daarul Kutub.

















[1] Fachrudin,Imam.2009. Hubungan Tasawuf, Akhlak, hakikat dan syariat. Jurnal UIN Maliki Malang.
[2] Al Aziz. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Terbit Terang. Hal: 303-305
[3] Hasyim, A. 2006. Menuju Puncak Tasawuf. Surabaya: Visi 7 hal 92.

[4] Said, A. 2003. Managemen Kalbu, Resep Sufi Menghentikan Kemaksiatan. Yogyakarta: Mitra Pustaka hal 47.
[5] Utsmaini. 2008. Syarh Tsalatsatu Ushul. Semarang: Daarul Kutub. Hal: 57-58
[6] Al Fauzan. 2002. Hushuulul Ma’muul. Semarang: Daarul Kutub. Hal: 79
[7] Al Madkhali. 1998. Thariqul Wushul. Kudus: Menara Kudus. Hal: 136
[8] Al Khalabi, Op.cit, ; 127
[9] HR. Muslim secara mauquf -terhenti sanadnya kepada Umar bin Khattab dan diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi daAl-Hakim secara marfu' -bersambung sanad-nya hingga kepada Nabi Shallallaahu alaihi wasallam-, shahih
[10] Abdullah, A.1989. Rukun-Rukun Shalat. Bandung: Mizan.

[11] Senali, Moh Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya : Terbit Terang.

[12] Maman. 2010. Maqam Musyahadah. http://teosufi.blogspot.com/2010/04/maqam-musyahadah_24.html. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar