Minggu, 06 Mei 2012

Maqam Menuju ALLAH SWT


ABSTRAK

Kemudahan, kesenangan dan kenyamanan duniawi hanya sementara, yang kekal yaitu akhirat. Oleh karena itu diharapkan untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para sufi menyebutnya dengan maqam munuju Allah. Agar dalam beribadah dapat khusyuk dan istiqamah. Maqam menuju Allah SWT banyak sekali antara lain taubat, sabar, zuhud, tawakal, cinta (mahabah), ridha, ma’rifat. Taubat berarti tidak akan membawa kepada dosa lagi. Sabar berarti rela menerima semua yang diberikan Allah SWT. Zuhud berarti mengurangi keinginan terhadap kehidupan duniawi. Tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Cinta (mahabah) berarti cinta kepada Allah SWT. Ridha berarti orang yang rela menerima apa yang telah diberikan Allah SWT. Ma’rifat berarti pengetahuan langsung dari Allah berdasarkan ilham atau petunjuk-Nya.   

















BAB I
PENDAHULUAN

Kecanggihan material sebagai hasil dari kemajuan ilmu dan teknologi modern telah mempermudah hidup. Banyak kesenangan dan fasilitas hidup dapat dinikmati dengan bertambahnya setiap penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi. Kita semua dapat menyaksikan, melihat dan merasakan sendiri secara langsung kemajuan-kemajuan dan kemudahan tersebut yaitu sarana kebutuhan sehari-hari, seperti alat transportasi dan komunikasi, tempat dan sarana hiburan dan sebagainya. Dengan demikian hidup terasa bertambah mudah, enak dan nyaman.
Tetapi kenyataan yang ada bukanlah sebuah garis lurus. Kemudahan, kesenangan dan kenyamanan lahiriah yang diberikan oleh ilmu dan teknologi tidak selalu membahagiakan umat manusia, malah ada yang  memandangnya sebagai pembawa banyak bencana daripada rahmat.
Di era modern ini banyak ilmu pengetahuann maju seiring dengan semakin modern dunia ini namun manusia telah terbawa oleh dunia yang fana ini. Masyarakat modern saat ini meskipun ilmu mereka banyak namun hati mereka kosong, mereka sangat membutuhkan adanya siraman rohani. Banyak orang kaya namun hatinya tidak kaya sehingga mereka tidak bias mengimbanginya. Sehingga untuk menghidupkan kembali hati yang telah mati perlu adanya pendekatan spiritual kepada Allah. Adapun jalan menuju sisi Allah adalah dengan melalui beberapa tahapan, adapun tahapan tersebut disebut dengan maqam, yaitu suatu jalan yang ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri menuju sisi kepada Allah.

 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MAQAM
Maqam diartikan sebagai station, tahapan atau tingkatan, yaitu tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi. Maqam merupakan hasil kesungguhan dan perjuangan yang terus-menerus. Yang berarti bahwa seseorang baru dapat berpindah dan naik dari satu maqam ke maqam yang lebih tinggi setelah melalui latihan dan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik lagi dan juga telah menyempurnakan syarat-syarat yang harus ada pada maqam di bawahnya.
Jumlah dan susunan perjalanan sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah berbeda-beda pendapat, yaitu menurut Abu Bakr Muhammad al-Kalabazi dalam bukunya Al-Ta’aruf li Mazhab Ahl Al-Tasawwuf.
Taubah, zuhd, sabr, faqr, tawadu’, taqwa, tawakal, ridha, mahabah, dan ma’rifah1[1]
Menurut Abu Hamid al-Gazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum Al-Din menyebutkan bahwa
Maqam itu adalah taubah, sabr, faqr, zuhd, tawakal, mahabah, ma’rifah dan ridha1
Siapapun yang pertama menyusun maqam, tidaklah penting, tetapi yang pasti adalah
Sejak abad tiga hijriah setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf atau ingin menjadi sufi, ia harus menempuh jalan yang berat dan panjang, melakukan berbagai macam latihan amalan, baik yang bersifat amalan lahiriah maupun amalan batiniyah[2].
Walaupun pengetahuan tentang tasawuf pada dasarnya berat, tetapi dapat dipelajari melalui tahapan-tahapan tertentu, yang disebut dengan maqam. Apakah tujuannya hanya sekedar mendekatkan diri kepada Allah atau bertujuan ma’rifat dan mahabah, setiap orang harus melewati tahapan-tahapan yang telah disebutkan di atas.

2.2. Taubat
            Ada beberapa pengertian kata “tobat” menurut redaksi al-Qur’an: Pertama, kembali dari pemberatan kepada keringanan, seperti pada firman Allah SWT [3]
* ¨bÎ) y7­/u ÞOn=÷ètƒ y7¯Rr& ãPqà)s? 4oT÷Šr& `ÏB ÄÓs\è=èO È@ø©9$# ¼çmxÿóÁÏRur ¼çmsWè=èOur ×pxÿͬ!$sÛur z`ÏiB tûïÏ%©!$# y7yètB 4 ª!$#ur âÏds)ムŸ@ø©9$# u$pk¨]9$#ur 4 zOÎ=tæ br& `©9 çnqÝÁøtéB z>$tGsù ö/ä3øn=tæ ( (#râätø%$$sù $tB uŽœ£uŠs? z`ÏB Èb#uäöà)ø9$# 4 zNÎ=tæ br& ãbqä3uy Oä3ZÏB 4ÓyÌó£D   tbrãyz#uäur tbqç/ÎŽôØtƒ Îû ÇÚöF{$# tbqäótGö6tƒ `ÏB È@ôÒsù «!$#   tbrãyz#uäur tbqè=ÏG»s)ムÎû È@Î6y «!$# ( (#râätø%$$sù $tB uŽœ£uŠs? çm÷ZÏB 4 (#qãKŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qàÊ̍ø%r&ur ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnrßÅgrB yZÏã «!$# uqèd #ZŽöyz zNsàôãr&ur #\ô_r& 4 (#rãÏÿøótGó$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî 7LìÏm§ ÇËÉÈ  
Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
            Kedua, kembali dari larangan menuju kebolehan, diantaranya seperti firman Allah SWT :
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. šcqçR$tFøƒrB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçŽÅ³»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tFŸ2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$# 4 Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ムª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcqà)­Gtƒ ÇÊÑÐÈ    
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Dari kedua arti tersebut ada kata “kembali”. Di dalam bahasa arab, ada beberapa kata untuk menujukkan makna kembali. Kata yang paling kita ketahui adalah ‘id atau ‘awd yang berasal dari kata ‘ada-ya ‘udu-‘dan-‘awdan, yang artinya kembali. Sebagian orang mengatakan bahwa Idul Fitri kembali kepada fitrah.
Kata lain untuk menunjukkan kembali dalam bahasa arab adalah ruju’ dari kata roja’a-yarji’u-ruju’an. Di dalam al-Qur’an kata ini bermakna kembalinya kita kepada Allah, sedangkan dalam masyarakat khusus digunakan dalam kasus percaraian.
            Salah satu keindahan Al-Qur’an adalah adanya beberapa kata yang berbeda dengan makna yang sama, sehingga tidak terjadi pengulangan kata. Seperti halnya kembali yang juga memilki kata lain dalam bahasa arab selain kata di atas yaitu anaba-yunibu-inabah. Seperti halnya taubah yang artinya kembali.
            Di dalam tasawuf, kata taubah dan inabah menunjukkan dua maqom yang berbeda. Dalam sebuah kitab tasawuf disebutkan bahwa dalam perjalanan kita menuju Allah, tobat adalah maqom yang kedua dan inabah adalah maqom yang keempat. Maqom yang pertama adalah yaqazan atau kesadaran[4].
            Menurut Al-Qur’an, hati kita memilki lampu fitrah yang membawa kita kepada kesucian dan membawa kita untuk merindukan Allah. Namun, kerinduan itu sering kita lupakan dalam keadaan tertentu seperti terpesona oleh sesuatu. Walaupun demikian kerinduan itu masih ada di dalam hati kita. Lalu, kapan kerinduan itu tiba-tiba muncul dam satu saat yang disebut yaqazan? Kalau orang sedang ditimpa musibah maka biasanya ia akan kembali kepada Allah. Namun setelah semua musibah yang ia hadapi telah selesai maka biasanya manusia kembali musyrik tidak mensyukuri nikmat. Hal inilah yang sering terjadi di Indonesia. Sekarang ini banyak masyarakat yang menyelaesaikan masalah mereka dengan pergi ke dukun. Padahal hal tersebut sama saja dengan musyrik.
            Dari yaqazan orang meningkat ke tobat, maqom yang kedua. Dari tobat meningkat menuju maqom yang ketiga yaitu muhasabah (perenungan). Setelah maqom muhasabah, barulah maqom inabah.
            Mansur (2007:100) dalam bukunya mengemukakan:
Siapa tobat sebelum maut, mencegat setengah hari kira-kira, maka Allah memaafkan ia. Siapa tobat sebelum kematian menjelang, kira-kira sesaat, maka Allah ampunkan ia. Siapa tobat sebelum tercabut nyawa dari tenggorokannya, maka Allah terima tobatnya3
            Dalam melakukan tobat Allah telah menetapkan batas waktunya. Mula-mula batas waktu yang ditetapkan adalah setengah hari sebelum orang itu sekarat. Apabila orang tersebut bertobat sebelum ia mati, maka tobatnya akan diterima. Artinya dosa-dosanya akan dihapus selama hidupnya. Apabila sampai batas waktunya ia meninggal dalam keadaan seperti itu maka ia meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Adakalanya pula yang sudah sesingkat itu pun masih ada saja orang berbuat maksiat. Sehingga dosa yang telah dihapus sebelumnya timbul kembali.

2.3 Sabar (Ash Shabru)
            Menurut pendapat dari beberapa tokoh sabar yaitu merupakan media yang paling ampuh dalam terapi penyakit jiwa, sabar sipenderita itu sendiri merupakan obat jiwa, seperti yang dikatakan oleh Hamdut Al Qisrah:” Seseorang tidak akan mengeluh atas suatu musibah kecuali yang menuduh Rabbnya.”
            Allah berfirman:
            Artinya: “wahai orang-orang yang beriman, sabarlah kalian dan saling bersabarlah.” (Ali Imron, 200)
Allah SWT juga berfirman:
Artinya: “Berilah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah, 155)
Pandangan orang sufi tentang sabar merupakan sisi yang penting dalam memperbaiki kendala kejiwaan, dan sabar pada hakikatnya merupakan sikap berani dalam menghadapi kestlitan-kesulitan. Kesulitan ini adakalanya merupakan hal yang bersifat mental dan juga bersifat akal. Sabar merupakan sikap utama adalah kehidupan akhlak dan akan memberikan keutamaan dalam segala bidang kehidupan, sabar dalam ibadah, sabar dalam menutut ilmu, sabar dalam pekerjaan, sabar dalam komunikasi dengan sesama manusia, sabar dalam kesehatan dan dalam kondisi sakit, sabar ketika membenci, sabar dalam kenikmatan dan penderitaan, dan sesungguhya latihan sabar untuk sabar merupakan sumber keutamaan dalam dunia akhlak
Di dalam kitab Al Washaya, Al Muhasibi berkata: jika kalian mendapatkan ujian dalam bentuk derita dan kesulitan, maka kala itu kalian wajib berjuang untuk menjadi seseorang yang sabar dalam penderitaan itu, karena yang demikian itu merupakan ujian dari  Allah SWT kepada hamba-Nya. Sehingga jauhilah perbuatan mengeluh dan tidak rela dengan qadha’ Allah itu. Karena orang yang sabar adalah orang yang yang dapat menahan kemarahan dengan kesadarannya, karena pada saat itu dia bisa marah namun dia memiliki sabar, sehingga dia lebih memilih mempergunakan akalnya sehingga dapat menahan kemarahannya.
Betapa bodohnya orang yang merasa susah dan payah ketika menghadapi suatu cobaan penderitaan. Karena hanya orang yang berakallah yang berharap ada kebaikan dibalik dari suatu cobaan. Karena sesunggunya Allah tidak akan memberikan cobaan diatas kemampuan umatnya.
Menurut Al Kharraz sabar adalah sebuah isim (nama) yang mengandung makna-makna lahir dan batin. Dimana nama lahir terdiri dari tiga unsur:
1.      Sabar dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dalam segala kondisi, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, atau dalam keadaan sehat maupun sakit atau dalam keadaan rela maupun terpaksa.
2.      Sabar dalam menjauhi segala apa yang dilarang oleh Allah SWT dan mencegah terhadap yang menjadi kencendrungan jiwanya, yaitu dalam pekerjaan yang tidak di ridhai oleh-Nya baik dalam keadaan rela maupun terpaksa.
3.      Sabar untuk melakukan sunah dan perbuatan-perbuatan yang mengandung kebaikan yang menyebabkan seorang hamba menjadi lebih dekat kepada-Nya dan mengiring jiwanya untuk mencapai tujuan sabar yaitu mencapai pahala dari Allah SWT.[5]
Sedangkan sabar batin adalah sabar untuk menerima kebenaran (Al-Haq) yang datang dari siapapun yang mengajakmu untuk kebaikan, lantas ia akan menerimanya. Sebab, kebenaran itu adalah berasal dari Allah SWT untuk hamba-Nya, dan tidak boleh bagi seseorang untuk menolaknya. Bagi orang yang menolak kebenaran berarti ia menolak perintah Allah.
Kita sebagai orang muslim haruslah memiliki sifat yang sabar karena sudah di paparkan di atas  bahwasanya Allah memerintahkan kepada hamba-hambanya untuk memiliki sifat sabar. Sifat sabar dapat mencerminkan kepribadian dari setiap orang muslim. Sifat sabar merupakan suatu alat yang sangat tepat untuk kejiwaan kita. Sifat sabar merupakan suatu proses dari pengosongan jiwa sehingga menciptakan jiwa yang putih. Sifat sabar dapat meciptakan suatu persaudaraan yang erat, sehingga menjauhkan dari permusuhan dan persatuan umat Islam. Alangkah baiknya apabila pada setiap individu orang memiliki sifat yang sabar maka tali persaudaraan kita sebagai orang muslim tidak akan pecah dan akan menjauhkan kita dari konflik baik sesama orang muslim maupun non muslim sehingga tercipta suatu kehidupan yang harmonis.
Sifat sabar dapat menciptakan rasa persatuan warga negara maupun antar negara sehingga dijauhkan dari konflik yang akhir-akhir ini tejadi baik di dalam maupun di luar negeri. Namun cukup sulit sekali menemuka orang yang sabar. Karena kebanyakan manusia yang mengejar kesenangan duniawi dari pada akhirat. Sehingga manusia berlomba-lomba untuk mencapai tujuannya tersebut meskipun dengan menghalalkan segala sesuatu.
Kebanyakan orang memahami sabar adalah, menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak diingini, ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi. Namun faktanya, sabar itu bertingkat-tingkat dan dapat diupayakan. Menjadi luas maknanya dan tidak saja dikaitkan kepada hal-hal yang berkenaan dengan penderitaan, melainkan keteguhannya di dalam mengekang segala bentuk keinginan-keinginannya yang menggebu-gebu (syahwat).
Orang yang keluar dari kesenangan dalam keadaan istiqomah di jalan yang benar, maka derajatnya lebih tinggi daripada orang yang keluar dari kesulitan dalam keadaan istiqomah. Maka kita sebagai orang muslim yang selalu mengiginkan suatu yang lebih baik sari sebelumnya haruslah selalu berada di jalan yang benar dengan mengamalkan segala sesuatu yang di anjurkan oleh Allah SWT yaitu dengan memngamalkan sifat sabar. 
2.4. Zuhud
“Diantara sekian banyak ajaran tasawuf yang paling dikenal dan paling dianggap penting disamping taubat, mujahadah dan lain-lainnya ialah zuhud. Zuhud bisa diartikan berpaling dari urusan keduniaan secara berlebihan, bisa juga diartikan menghapus rasa tergila-gila terhadap harta dunia, menghilangkan nafsu keinginan untuk memiliki atau merasakan kemewahan dunia. Jadi zuhud yang sebenar-benarnya zuhud adalah kita harus menghindarkan diri dari segala bentuk keinginan yang tidak pantas apalagi terlarang dalam agama. Kita harus menjauhkan diri denga sungguh-sungguh terhadap keinginan hawa nafsu. Misal mencintai harta dan dunia secara berlebihan. Kita harus mampu mengendalikan nafsu sehingga antara dunia dan akhirat berjalan seiring. Kita manfaatkan dunia untuk jembatan menuju akhirat[6]”.
Maka perlu ditekankan kembali bahwa zuhud bukan berarti membenci harta, sehingga sama sekali tidak suka harta, sama sekali tidak suka rejeki, namun sebagian orang menganggap ”zuhud” yang merupakan salah satu ajaran dari tasawuf, adalah seseorang yang memakai kopiah kusam, memakai pakaian yang jelek memakai sarung di bawah lutut dan sebagainya. Ini adalah anggapan yang keliru, ajaran tasawuf yang sebenarnya tidaklah demikian.
Sifat zuhud tersebut adalah tujuan dari ajaran tasawuf dan ajaran tasawuf itu tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Justru ajaran tasawuf berusaha mengamalkan Al Qur’an dan Hadits. Hal ini di tunjukkan dalam firman Allah sebagai berikut:
Ÿwur ¨b£ßJs? y7øt^øtã 4n<Î) $tB $uZ÷è­GtB ÿ¾ÏmÎ/ %[`ºurør& öNåk÷]ÏiB not÷dy Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# ôMåks]ÏGøÿuZÏ9 ÏmŠÏù 4 ä-øÍur y7În/u ׎öyz 4s+ö/r&ur ÇÊÌÊÈ  
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal”[7].
FirmanNya yang lain:
`tB šc%x. ߃̍ムy^öym ÍotÅzFy$# ÷ŠÌtR ¼çms9 Îû ¾ÏmÏOöym ( `tBur šc%x. ߃̍ムy^öym $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB $tBur ¼çms9 Îû ÍotÅzFy$# `ÏB A=ŠÅÁ¯R ÇËÉÈ  
Artinya: “Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat[8].
Ketika turun firman Allah sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”
Kemudian Rasulullah  bersabda di depan para sahabat.
“celakalah bagi orang yang memperhambakan diri pada  dunia”

2.5 Tawakal
Tawakal adalah termasuk pula ajaran tasawuf, di samping ajaran-ajaran lainnya. Sebab tawakal ini ialah melatih hati dan melatih keimanan kepada Allah. Tawakal adalah salah satu sikap orang muslim, yang merupakan hasil dari keyakinan hati yang kuat terhadap Allah dengan sendirinya bahwa Allah berkehendak atas segala makhluk termasuk hamba-hambanya.
 “Menurut pendapat Prof. Dr. Buya Hamka, Tawakal itu artinya ialah menyerahkan segala keputusan dan persoalan, ikhtiar dan usaha kepada Allah SWT yang kuat dan kuasa sedangkan kita lemah dan tak berdaya. Beliau juga menerangkan tentang usaha yang menghindarkan diri dari kemelaratan, baik yang menyinggung diri, harta atau benda, anak keturunan. Baik kemelaratan yang akan datang atau berat fikiran yang akan datang. Semua itu bukan berarti suatu sikap tawakal, sebab tawakal itu setelah kita melakukan usaha atau ikhtiar”[9]
Dari pendapat prof. Dr. Buya Hamka, tawakal tidak hanya menyerahkan segala hasil dari urusan kita kepada Allah SWT namun setelah ada usaha dan ikhtiar sekuat tenaga dan kemampuan kita, maka setelah itu semua sepatutnyalah kita serahkan hasil akhir dari usaha kita. Karena manusia hanya diberi otoritas sebagai pelaku proses saja namun apapun hasilnya adalah mutlak kuasa Allah Azza wa jalla. Sebagai seorang muslim maka hendaklah kita bertawakal kepada Allah dalam urusan apapun, mengenai tawakal hendaknya kita pahami terlebih dahulu kata-kata “manusia berusaha tetapi tuhan yang menentukan, kalau sudah begitu maka kita pun wajib Ikhtiar”.
Sikap tawakal adalah perasaan seorang mukmin dalam memandang alam dan kehidupan, bahwa apa yang terdapat didalamnya tidak luput dari kehendak Allah sehingga Allah akan memberikan ketenangan di dalam jiwanya dan Seorang mutawakil tidak perlu khawatir di dalam menghadapi persoalan-persoalan karena Allah SWT tidak akan memberikan persoalan-persoalan di luar kemampuan kita.
Allah SWT berfirman:
çmø%ãötƒur ô`ÏB ß]øym Ÿw Ü=Å¡tFøts 4 `tBur ö@©.uqtGtƒ n?tã «!$# uqßgsù ÿ¼çmç7ó¡ym 4 ¨bÎ) ©!$# à÷Î=»t/ ¾Ín̍øBr& 4 ôs% Ÿ@yèy_ ª!$# Èe@ä3Ï9 &äóÓx« #Yôs% ÇÌÈ
Artinya: “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan  Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”[10]
(pada ayat sebelumnya yaitu Ath-Thalaaq ayat -2 “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar”)
Hubungan antara tawakal dan sabar adalah satu kepadauan yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat hanya di perhatikan pada satu sisi dan meninggalakan sisi lainnya. “At-Tustari mengatakan: “barangsiapa yang meninggalkan tawakal berarti meninggalkan sunnah dan barangsiapa yang meninggal tawakal berarti meninggalkan Iman.”[11]
Dari beberapa pengertian diatas tawakkal dapat diartikan mempercayakan segala urusan kepada Allah, mempercayakan di dalam jaminan rezeki, jodoh, dan kematian hanya kepada Allah. Tahap ini terletak setelah harapan (raja’). Tawakal adalah hasil dari kebenaran keimanan melalui pertimbangan yang baik dan takdir. Tingkat keimanan ini merupakan derajat keyakinan dimana yang pemiliknya meyakini bahwa segala urusan telah ditetapkan oleh Allah dengan kehendak yang sempurna, ketentuan yang adil dan sama sekali tidak ditambah dan dikurangi sedikitpun.
Maka seorang mutawakkil (orang yang bertawakal) adalah seorang yang hanya melihat wujud penyebab dari segala sebab. Dimana tawakkulnya tidak pernah berubah oleh ada atau tidak adanya sebab. Ini adalah tawakkul seseorang yang akan mencapai tahapan Tauhid. Seorang yang mutawakkil akan mengabaikan segala sebab, baginya kepercayaan kepada segala sebab merupakan tercela.
Mewujudkan tawakal bukan berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk berusaha sekaligus bertawakal. Berusaha dengan seluruh anggota badan (ikhtiar) dan bertawakal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah SWT.
Sebagian orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakal kepada Alloh itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?” Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang itu tentang hakikat tawakal. Nabi Muhammad SAW menyerupakan orang yang bertawakal dan diberi rizki namun beliau mencontohkan pada seekor burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakal kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tempat bergantung.
“Dalam sebuah kisah seorang sufi yang bernama junayd yaitu pada suatu waktu sekelompok orang bertanya kepada junayd, “jika kami tidak berusaha mencari makanan sehari-hari, maka bagaimana keadaannya?” Ia menjawab,”jika kalian tahu bahwa sang Penyedia makanan sehari-hari telah melupakan kalian, maka berusahhalah mencarinya, “mereka bertanya lagi, “kalau begitu, apakah kami harus diam saja dirumah dan mengamalkan tawakkul saja?” Ia menjawab, ”dengan tawakkul kalian sendiri jangan menggoda Allah; sebab, kalian hanya akan menuai kekecewaan saja. “mereka kembali bertanya,’pikiran macam apa yang harus kami ambil?  “Ia menjawab, tinggalkan pikiran.”[12]
Sebuah contoh kecil misal kita menjumpai binatang buas yang akan mencelakakan diri kita maka kita tidak boleh membiarkannya dengan dalih bertawakal kepada Allah. Namun hendaknya kita menghindar tapi kalau sudah terjepit kita lawan sekuat tenaga dan kemampuan kita atau kita bunuh dan jika kita sudah tidak sanggup maka barulah kita bertawakal kepada Allah. Bila kita membiarkannya mencelakakan diri kita maka yang demikian itu bukan tawakal namun termasuk tindakan yang tolol.
Ibnul Qayyim berkata,”Tawakal adalah faktor paling utama yang bisa mempertahankan seseorang ketika tidak memiliki kekuatan dari serangan makhluk lainnya yang menindas serta memusuhinya. Tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Alloh sebagai pelindungnya atau yang memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang menjadikan Alloh sebagai pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya.”[13]
Tingkatan tawakal bukanlah merupakan akhir perjalanan seorang sufi, sebab perjalan sufi tidak mengenal kata akhir, tawakal tidak lain hanyalah rahasia Ar Rububiyah atau rahasia antara hamba dengan Rabbnya dan ia mengetahui dengan jelas tentang tawakal itu. Tawakal merupakan rahasia Ilahiyah, tidak dibuka kecuali kepada para Nabi-Nya dan kepada sedikit orang.
Tawakal tidaklah berarti meninggalkan usaha namun hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.

2.6. Cinta (Mahabah)
Masalah cinta (mahabbah) adalah sesuatu yang penting bagi mereka yang sudah mempunyai istri atau suami. Bagi mereka yang belum menikah, masalah ini biasa menjadi gawat. Kalau sedang berpuasa bisa batal puasanya. Menurut Imam Ahmad ibn Hanbali cinta itu ada tiga bagian. Pertama, cinta karena pemberian. Kedua, cinta karena sebab. Ketiga, cinta yang hakiki[14].
Kriteria cinta pada bagian pertama adalah cintanya anak-anak. Anak-anak kalau mencintai orang tua sering karena ia diberi sesuatu. Sama halnya ketika kita sehat, cantik, tampan, pintar, dan kaya, lantas karena itu kita mencintai Allah SWT dan sadar bahwa semuanya itu berasal dari-Nya, berarti cinta yang seperti itu tumbuh sebagai cinta tingkat anak-anak. Cinta yang demikian itulah menurut Imam Ahmad ibn Hanbali persis seperti anak kecil, karena jika kesehatan kita dicabut, kepandaian juga hilang, dan kekayaan juga lenyap, kita akan berkeluh kesah seakan-akan Allah tidak sayang kepada kita lagi.
Sedangkan kriteria cinta yang kedua yaitu cinta karena sebab. Jika kita mencintai Allah SWT karena Dia hebat, cinta demikianlah adalah cinta tingkat menegah. Kalau tadi adalah cintanya anak-anak, yang ini mungkin cintanya anak remaja. Kalau kita ditanya, mengapa Anda mencintai Allah SWT? Kemudian menjawab, karena Allah itu memeng Mahakuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Cinta itu lebih tinggi tingkatannya ketimbang cinta jenis yang petama. Cinta yang pertama termasuk cinta yang meterialistik sekali, persis seperti cinta seorang gadis kepada pemuda karena motornya atau kekayaannya, lalu tatkala motornya hilang atau kekayaannya hilang, dia tidak cinta lagi. Sementara cinta yang kedua tidak demikian. Dia mencintai seseorang karena orang yang dicintainya memang luar biasa, mempunyai banyak kelebihan. Cinta ini juga masih termasuk cinta yang agak materialistik.
Sedangkan cinta yang ketiga, apabila kita ditanya kenapa mencintai Allah? Kemudian menjawab tidak tahu alasannya dan cinta yang seperti itulah cinta yang hakiki. Betul-betul dicari alasannya, tetapi tidak ditemukan jawabanya. Kerena banyaknya alasan hingga tidak ditemukan jawabannya.
Dari cinta itulah nantinya akan muncul apa yang disebut syawq (rindu). Sulit mendefinisikan rindu ini. Rindu adalah kondisi psikologis ketika seseorang ingin bertemu sesuatu atau seseorang, atau apaun yang tidak ada dihadapannya. Perasaan rindu tidak akan muncul kalau kita belum mengenal orang yang kita rindukan1.
            Dalam kaitannya dengan Allah SWT, orang tidak akan memilki perasaan cinta ataupun rindu kepada Allah SWT kalau sebelumnya tidak mengenal-Nya. Oleh karena itu, yang mempunyai rasa rindu kepada Allah tentunya hanya orang-orang mukmin. Rasullulah SAW pernah bersabda bahwa Allah SWT memberikan segala sesuatu (benda) kepada orang yang dicintaiNya dan tidak dicintaiNya. Jadi, urusan harta tidak ada hubungannya dengan cinta atau tidak dicintainya seseorang oleh Allah SWT. Karena Allah memberikan kekayaan kepada seluruh manusia, baik yang dicintai ataupun tidak. Akan tetapi, Allah hanya memberikan kimanan kepada orang yang dicintainya.
            Sementara itu, rindu juga muncul kalau kita mencintai orang yang kita rindukan. Sekalipun mengenalnya, kalau tidak mencintainya, mana mungkin timbul rasa rindu. Mengenal Allah tetapi tidak mencintai-Nya tidak mungkin timbul rasa rindu. Hanya sekedar tahu bahwa Allah itu Pencipta langit dan bumi dan Pemberi rezeki, tetapi tidak didasari rasa cinta tidak akan mungkin timbul rindu.

2.7 Ridha
Al-Junaid mengartikan ridha dengan “meninggalkan usaha” (tark al-ikhtiyar). Sedangkan menurut Zu al-Nun al-Misri,
 Ridha ialah menerima qada dan qadar dengan kerelaan hati. Menurutnya juga, tanda-tanda orang yang ridha itu ada tiga: (1) meninggalkan usaha sebelum terjadinya ketentuan, (2) hilangnya rasa resah setelah terjadi ketentuan, (3) cinta yang mendalam dikala menghadapi cobaan1.
Kebanyakan manusia sulit untuk menerima keadaan yang biasa menimpa, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan pangkat dan barang, dan kematian. Tetapi yang dapat bertahan dari berbagai cobaan hanyalah orang yang telah memiliki sifat ridha. Rela berjuang di jalan Allah, rela menghadapi kesulitan, rela berkorban harta, jiwa, dan lainnya. Semua itu bagi sufi dipandang sebagai sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi bahkan sebagai suatu ibadah karena mengharap ridha Allah.
Pengertian ridha merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal yang melahirkan sikap mental yang tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi[15].
Setiap yang terjadi disambut dengan hati terbuka, bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walau yang datang itu berupa bencana. Suka dan duka diterima dengan gembira, sebab apapun yang datang itu adalah ketentuan Allah yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Apapun yang datang dan pergi selalu ia terima dengan ridha, ikhlas dan bahagia.
Sikap ridha yang merupakan suatu sikap yang harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin mencapai ketinggian, kemuliaan, kebersihan dan kesempurnaan rohani. Sikap ridha baru dapat dimiliki setelah iman dan keteguhan seseorang meningkat, karena imanlah yang menyebabkan seseorang ridha menerima ketentuan atau takdir Tuhan.
Sikap ridha ini baru tercapai oleh seseorang apabila Allah telah ridha pula kepadanya, sebagaimana firmanNya: Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepadaNya. Dan keridhaan Allah hanya dapat dicapai dengan meningkatkan iman kepadaNya. Dengan meningkatkan iman, Allah bertambah ridha kepadanya, seperti diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Orang yang merasakan lezatnya iman ialah orang yang telah ridha menjadikan Allah itu sebagai Tuhannya”. Dan orang yang mendapat ridha dari Tuhan sajalah yang akan diterima di sisiNya. Allah SWT berfirman[16]:
$pkçJ­ƒr'¯»tƒ ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ   ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuŠÅÊ#u Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ  
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya (QS. Al-Fajr:27-28).   
Ridha erat hubungannya dengan takdir, yakni ridha kepada takdir. Sedang yang dimaksud dengan ridha kepada takdir ialah agar kita berusaha mengerjakan apa yang diridhai dan disenangi Allah dengan memenuhi pula syarat-syarat untuk dapat mencapainya, bahkan apabila dengan sengaja meninggalkan apa yang menjadi syarat tercapainya sesuatu yang diridhai Allah, bukanlah dinamakan ridha kepada Allah. Bukanlah orang ridha kepada takdir yang tidak mengerjakan dan melaksanakan syara’ dan memelihara sunnah rasulNya.
Bahkan arti dan makna ridha itu ialah tidak menentang Allah, baik secara terang-terangan maupun tidak tetapi mengarahkan kesungguhan untuk mencapai apa yang disukai Allah; yang demikian itu dengan memelihara dan melaksanakan apa yang diperintah dan memenuhi apa yang dilarangNya
2.8. Makrifat
“Ma’rifah berarti mengenal dan mengetahui berbagai Ilmu (Ulum) ringkasan secara terperinci. Ma’rifatullah (mengenal Allah) berarti bergantung pada dan berhubungan erat dengan, mengenal diri sendiri (ma’rifah an-nafs). Mengenal Allah berarti mengenal sifat-sifat Allah dalam bentuk keadaan secara terperinci, berbagai kejadian dan musibah. Kemudian diketahui (secara ringkas) bahwa Dia sajalah Wujud Hakiki segala dan Pelaku Mutlak”[17].
Orang yang menguasai ilmu tauhid, Ia akan melihat segala sesuatu dalam bentuk (rincian, keadaan) misal:
a)      Kehilangan = sang penyebab kehilangan, yakni Allah
b)      Keberuntungan = sang penyebab keberuntungan, yakni Allah
c)      Larangan = sang penyebab larangan, yakni Allah
d)     Kesumpekan = sang penyebab kesumpekan, yakni Allah
e)      Kelegaan = sang penyebab kelegaan, yakni Allah
Jika mampu mengetahui semuanya itu, maka orang-orang menyebut dirinya sebagai seorang yang ‘Arif.
Mengenal Allah (ma’rifatullah) mempunyai berbagai tingkatan yaitu:
a)      Setiap akibat yang diperolehnya , Ia mengetahuinya bahwa berasal dari Allah.
b)      Setiap akibat yang berasal dari Allah (sang pelaku mutlak) adalah sebagai hasil dari sifat tertentu Allah
c)      Dalam keagungan setiap sifatNya, ia mengetahui maksud dan tujuan Allah
d)     Sifat Ilmu Allah Ia ketahui dalam ma’rifahnya sendiri
Jadin makin tinggi tingkat kedekatan seseorang dengan Allah makin tampak efek-efek keagunganNya. Pada umunya Ilmu dapat diperoleh jika seseorang menyadari ketidaktahuannya, makrifat tentang kehalusan meningkat, ketakjuban diatas segala ketakjuban bertambah
“Ketika sahabat Rasulullah saw, abu bakar ash shiddiq ditanya tentang ma’rifatullah yang ada pada dirinya, Ia berkata: “sangat mustahil datangnya ma’rifat masuk ke hati sanubari seorang hamba kecuali karena ma’unah Allah”. Ia mengatakan bahwa ma’unah allah tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia, tidak ada ukurannya. Ma’rifat itu dekat tapi jauh, jauh tapi dekat, tidak dapt diucapkan maupun dinyatakan. Dibawahnya ada sesuatu dan berada di depan segala sesuatu Dialah Allah zat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu tiada sesuatu yang dapat menyamainya. Dia seperti sesuatu yang ada pada sesuatu yang lain. Tiada yang sama seperti itu, yakni Allah Azza Wajalla”[18].
            Dari kutipan diatas dapat diterangkan bahwa makrifatullah merupakan tingkatan tertinggi keimanan manusia. Diamana orang-orang yang ma’rifat mereka akan selalu berhikmah kepada Allah dan menumpahkan seluruh cinta mereka hanya kepada Allah dan Allah selalu menyebut-nyebut mereka dan mereka juga akan menyebut-nyebut Allah, Allah meridlai  mereka dan mereka ridla kepada Allah.
            Modal ma’rifat mereka adalah kefakiran. Menejemen-menejemen mereka adalah getaran hati karena mengingat Allah. Ma’rifat mereka adalah obat hati, mereka adalah lampu-lampu yang memancarakan hujjah-hujjah Allah. Mereka adalah kunci . kunci pembuka gudang hikmah-hikmah Allah. Imam mereka adalah rembulan yang bersinar terang dan penglima adalah cahaya dan dia itulah junjungan seluruh umat manusia, yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib. Beliau adalah Rasul penutup, buah suci dari pohon yang diberkati yang pangkalnya adalah tauhid dan cabang-cabangnya adalah taqwa.
“Murid sufi berada pada tiga prinsip utama yaitu khauf, raja’ dan hub (cinta). Kahuf (takut adalah cabang Ilmu), raja’ (harap) adalah cabang keyakinan dan hub (cinta) adalah cabang ma’rifat[19]



[1] Asmaran San. 2002. Pengantar Studi Tasawauf. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Hal 107




[2] Nata, abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada:Jakarta. Hal 193.
[3] Ali al-karazkani, Ibrahim Y. 2004. Indahnya Bertobat Sepenuh Hati Menggapai Ridla Ilahi. Yogyakarta: Hijrah. Hal 25
[4] Rakhmat, Jalaludin dkk. 2000. Kuliah-Kuliah Tasawuf. Bandung. Pustaka Hidayah. Hal 225
[5] DR Amir Annajar, 2001, Ilmu jiwa dalam Tasawuf, jakarta, Pustaka Azzam, Hal 241-242.
[6] Ali hasyim, menuju puncak tasawuf, surabaya, visi7, 2006, hal. 56,57
[7] Surat Ath Thaha, ayat: 131
[8]  Dapat dijumpai pada surat Ath thaha ayat 20
[9] Ali Hasyim, menuju puncak tasawuf, surabaya, Visi7, hal 117
[10] Terdapat di dalam surat Ath – thalaq ayat 3
[11] DR. Amiran An-Najar, Ilmu jiwa dalam tasawuf, Buku Islam Rahmatan 2001, hal. 244
[12]  Syaikh syihabuddin umar suhrawardi, ‘Awaruf Al- Ma’arif, 1998, bandung: pustaka hidayah, hal 179
[13] (Bada’i Al-Fawa’id 2/268)
[14] Rakhmat, Jalaludin dkk. 2000. Kuliah-Kuliah Tasawuf. Bandung. Pustaka Hidayah. Hal 238
[15] Habuddin Nata. 2006. Akhlak Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta
[16]Asmaran San. 2002. Pengantar Studi Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta

[17] Syaikh syihabuddin umar suhrawardi, ‘Awaruf Al- Ma’arif, 1998, bandung: pustaka hidayah, hal 54
[18] Djamaluddin ahmad al-buny, menyelami basyirah shufiah, 2002, yogyakarta, mitra pustaka, hal 37
[19] Imam Al-Ghazali, jalan hidup kaum sufi, tahun 2004, surabaya: pustaka media, hal 10

BAB III
PENUTUP

3.1.  Kesimpulan
            Maqom atau perjalanan sufi untuk mendekatkan diri menuju kepada Allah berbeda-beda dalam melalui tahapan atau tingkatan, yaitu tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi dengan menempuh jalan yang berbeda, adapun menurut Abu Bakar Muhammad al-Kalabazi dalam bukunya Al-Ta’aruf li Mazhab Ahl Al-Tasawwuf tingkatan maqom melalui Taubah, zuhd, sabar, faqr, tawadu’, taqwa, tawakal, ridha, mahabah, dan ma’rifah. Sedangkan menurut Abu Hamid al-Gazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum Al-Din menyebutkan bahwa, maqam itu adalah taubah, sabr, faqr, zuhd, tawakal, mahabah, ma’rifah dan ridha. Namun sebenarnya inti dari maqom menuju Allah adalah suatu jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk lebih dekat dengan Allah SWT.
Maqam-maqam menuju Allah yaitu taubat yang berarti memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Maqam selanjutnya yaitu sabar para sufi mengartikan sabar menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah sekaligus menerima segala cobaan yang ditimpa. Zuhud yaitu menghilangkan nafsu keinginan untuk memiliki atau merasakan kemewahan dunia. Maqam tawakal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Cinta (mahabah) merupakan cinta kepada Allah melebihi cinta kepada yang lainnya. Ma’rifah yaitu pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahur, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. 2004. Jalan Hidup Kaum Sufi. Pustaka Media: Surabaya.
Ali al-karazkani, Ibrahim Y. 2004. Indahnya Bertobat Sepenuh Hati Menggapai Ridla Ilahi. Hijrah: Yogyakarta.
Annajar, Amir. 2001, Ilmu jiwa dalam Tasawuf.  Pustaka Azzam. Jakarta.
Asmaran, San. 2002. Pengantar Studi Tasawauf. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Djamaluddin, Ahmad Al-Buny. 2002. Menyelami Basyirah Shufiah. Mitra Pustaka: Yogyakarta.
Hasyim, Ali. 2006. Menuju Puncak Tasawuf. Visi7: Surabaya.
Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada:Jakarta.
Rakhmat, Jalaludin dkk. 2000. Kuliah-Kuliah Tasawuf. Pustaka Hidayah: Bandung.
Suhrawardi, Syaikh syihabuddin umar. 1998. Awaruf Al- Ma’arif. Pustaka Hidayah: Bandung.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar