Senin, 09 Januari 2012

Tasawuf Falsafi


2.1 Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi muncul sejak abad keenam hijriah, tasawuf ini muncul dari sekelompok orang yang memadukan tasawuf dengan filsafat, dengan teori mereka yang setengah-setengah. Dengan kata lain tasawuf ini tidak bisa disebut dengan tasawuf murni tetapi juga tidak dapat disebut sebagai filsafat murni.
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para cendekiawan muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Ajaran tasawuf yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf falsafi adalah paham emanasi Neo-Platonisme dalam semua variasinya.
Tokoh-tokoh dalam tasawuf ini adalah Abu Yazid al-Bustami, Al-Hallaj, Ibn Masarah dll. Pada umumnya mereka bermazhab Syi’ah dan orang berpola pikir Mu’tazilah dalam teologi dapat menerima konsep-konsep tasawuf falsafi.

2.1.1 Al-Ittihad
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan salah satu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu[1].
Paham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapat bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Illahi, akunya manusia itu adalah pancaran dari Yang Maha Esa. Barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriyahnya atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya sebagai insan, maka ia akan memperoleh jalan itu kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan Yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakannya hanya satu[2].
A.R. Al-Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lainnya. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan terjadi pertukaran peranan antara yang dicintai dan yang mencintai (sufi dan Tuhan). Dalam ittihad identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu, hal ini bisa terjadi karena sufi telah memasuki fana yang tidak mempunyai kesadaran dan berbicara dengan nama Tuhan[3].

Ma'rifat


2.1 Pengertian Ma’rifat
Dari segi bahasa ma’rifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman.Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang bisa didapati oleh orang-orang pada umumnya.Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi lebih mendalam batinnya dengan mengetahui rahasianya.Ma’rifat ialah mengenal atau mengetahui. Yaitu mengenal atau mengetahui akan Allah dengan cara memperhatikan segala hasil ciptaanNya. Yaitu mengenal Allah dengan budi daya, menyerahkan segala potensi akal dan batin.
            Istilah ma’rifah berasal dari kata ‘Al-Ma’rifah”’ yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu.Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawwuf (Mustofa, 2008).
            Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain (Mustofa, 2008):
a.                   Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawwuf yang mengatakan.“Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya’.
b.                  Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan
“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi)... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”
c.                   Imam Al-Qusyairiy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkatkan pula ketenangan.

Sejarah Perkembangan Tasawuf


2.1 Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Diskusi tentang keberadaan tasawuf di Nusantara, tidak bisa lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tersebar luasnya Islam di Indonesia sebagian besar adalah karena jasa para Sufi.[1] Akan tetapi belakangan ini, sufisme yang melandasi ethos kerja mereka itu, kelihatannya hamper terlupakan, kecuali di kalangan tertentu saja.
Menelusuri mewabahnya aliran ini di Indonesia, maka hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang melakukan study ( belajar ) ke negara Timur tengah. Lebih khusus lagi adalah Arab Saudi yang pada waktu itu belum diwarnai dengan gerakan tajdid (pembaharuan) yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ( Beliau lahir pada tahun 1115 H / 1695 M dan meninggal pada tahun 1206 H / 1786 M ). Diantara para pelopor berkembangnya aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dibeberapa literatur diantaranya adalah : Nuruddin Ar Raniri ( wafat tahun 1658 M ),Abdur Rouf As Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf Al makkasary ( 1629-1699 M ).
Abdur Rouf As Sinkili setelah belajar beberapa lama kemudian diangakat sebagai kholifah Tarekat Syatariyah oleh Muhammad Al Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh setelah gurunya meninggal . Keberadaanya di tanah Aceh cukup dipandang oleh para penduduk bahkan dijadikan sebagai panutan dimasyarakat, bermodal kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya serta kegigihan murid-muridnya, maka dengan mudahnya ia berhasil mengembangkan ajaran Thariqot sufiyahnya dengan perkembangan yang sangat pesat hingga paham itu tersebar sampai ke Minang kabau ( Sumatra Barat ). Salah satu murid Abdur Rouf as Sinkili yang berhasil menyebarkan paham ini adalah Burhanuddin.[2]
Setelah meninggal kuburan Burhanuddin ini menjadai pusat ziarah dimana para penziarah itu melakukan praktek peribadatan yang aneh. Timbulnya aliran yang aneh ini menimbulkan pertentangan yang tajam, terutama setelah beberapa orang yang datang dari Arab Saudi yang pada waktu itu sudah terwarnai dengan aliran pembaharuan ( Ahlusunnah wal jama'ah ) yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab . Pertentangan ini berlanjut yang pada akhirnya pecah perang PADRI . Demikianlah jejak pemahaman yang ditinggalkan oleh As Sangkili yang berkembang pesat ditanah Minang yang terkenal dengan religiusnya itu.. As Sankili meningggal dan dikuburkan di Kuala, mulut sungai Kapuas. Tempat tersebut kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi banyak orang.
Sedang Muhamad Yusuf Al Makasary setelah bertemu dengan gurunya yakni Syaikh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al Kholwati Al Khurosy As Syami Ad Dimasqy, kemudian diberi otoritas untuk menjadi kholifah bagi aliran Thariqot Kholwatiyah dan diberi gelar dengan Taj Al Kholwati ( Mahkota Kholwati ). Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai mengembangkan paham Kholwatiyah ditanah Rencong ini.
Adapun Nuruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Ar Raniri masuk ketanah Aceh pada masa kekuasaan sultan Iskandar Muda. Pada masa itu yang berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syamsudi As Sumatrani, putra kelahiran Aceh yang diberi gelar ulama' dan berpemahaman Sufi Wujudiyah. Dikarenakan kedudukan yang disandangnya cukup strategis, maka dengan mudah ia mengembangkan paham yang dianutnya itu. Syamsudin ini bekerjasama dengan Hamzah Fansuri, seorang ulama' yang banyak mengekspresikan pemahamannya melalui keindahan kata ( prosa ).
Dan dari beberapa catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu yang study di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan ajaran tasawwuf (tarekat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan disini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang ajarannya masih berujud. Mereka adalah Abdus Shomad al Palimbani dan Muhammad Arsyad al Banjari (1710,1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mamapu merombak wajah Kerajaan Banja di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil Al Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota Banjar Masin.
Abdus Shomad al Palimbangi, Muhammad Arsyad al Banjary serta dua rekan mereka, Abdul Wahab ( Sulsel ) dan Abdurrohman ( Jakarta ) merupakan orang-orang Tarekat yang berguru kepada Syaikh Muhammad As Saman, selain itu tersebut pula nam-nama lainnya sepeti Nawawi Al Bantani ( 1230 -1314 M ), Ahmad Khotib As Sambasi, Abdul Karim Al Bantani , Ahmad Rifa'I Kalisasak, Junaid Al batawy, Ahmad Nahrowi Al Banyumasi ( wafat 1928 M ), Muhammad Mahfudz At Termasi ( 1842- 1929 M ), Hasan Musthofa Al Garuti ( 1852-1930 M )dan masih bannyak lagi yang lainnya. Sebagian besar dari mereka pulang kembali dan menyebarkan ajarannya di Indonesia .namun demikian, tidak semua orang yang belajar ditanah Arab kembali dengan membawa ajaran baru atau terperangkap dalam pemahaman tasawuf, Ahmad bin Khotib bin Abdul Latief Al Minangkabawi ( 1816-1916 M ) adalah salah satu contohnya. Beliau inilah yang mula-mula berani menyatakan pendiriannya membatalkan amalan-amalan ahli tarekat, terutama sekali tarekat Naqsabandiyah yang selalu menghadirkan Syaikhnya dalam ingatan saat ber "Tawwajjuh". Syaikh Ahmad bin Khotib memfatwakan kepada ummat untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar menurut Al Qur'an dan As Sunnah serta menghindarkan diri dari perbuatan syirik dan mengharamkan penghadiran guru ketika beribadah sebagaimana yang telah banyak dilakukan oleh para penganut tarekat Naqsabandiyah. [3]
            Dari sekian banyak naskah-naskah lama yang berasal dari Sumatera, baik yang ditulis dalam bahasa arab maupun bahasa melayu, adalah berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula ditunjuk bagaimana peranan ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sampai pada masa Wali Songo di Jawa. Kepemimpinan raja atau sultan selalu didampingi dan didukung kharisma ulama tasawuf.
            Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan itu menjadi titik sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara pulau Jawa.[4] Penyebaran Islam ke pulau Jawa , juga terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro yang ketiganya adalah abituren Pasai. Melalui keuletan mereka itulah berdirinya kerajaan Islam Demak yang kemudian menguasai Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah.
Perkembangan Islam di Jawa untuk selanjutnya umumnya digerakkan oleh ulama yang diketahui dan dikenal dengan panggilan Wali Songo. Dari sebutan itu saja sudah cukup alasan untuk mengatakan bahwa mereka itu adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai derajat “wali”. [5]
            Para wali itu bukan saja berperan dalam menyiarkan islam, tetapi mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan, dan arena posisi itu mereka mendapat gelar Susuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu, mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elit keratin dalam menyebarkan dan memantapkan penghayatan islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut.