2.1 Sejarah
Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Diskusi
tentang keberadaan tasawuf di Nusantara, tidak bisa lepas dari pengkajian
proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, tidaklah berlebihan kalau dikatakan
bahwa tersebar luasnya Islam di Indonesia sebagian besar adalah karena jasa
para Sufi.
Akan tetapi belakangan ini, sufisme yang melandasi ethos kerja mereka itu,
kelihatannya hamper terlupakan, kecuali di kalangan tertentu saja.
Menelusuri mewabahnya aliran ini di Indonesia, maka
hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang melakukan study (
belajar ) ke negara Timur tengah. Lebih khusus lagi adalah Arab Saudi yang pada
waktu itu belum diwarnai dengan gerakan tajdid (pembaharuan) yang dipelopori
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ( Beliau lahir pada tahun 1115 H / 1695 M
dan meninggal pada tahun 1206 H / 1786 M ). Diantara para pelopor berkembangnya
aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dibeberapa literatur
diantaranya adalah : Nuruddin Ar Raniri ( wafat tahun 1658 M ),Abdur Rouf As
Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf Al makkasary ( 1629-1699 M ).
Abdur Rouf
As Sinkili
setelah belajar beberapa lama kemudian diangakat sebagai kholifah Tarekat
Syatariyah oleh Muhammad Al Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh setelah gurunya
meninggal . Keberadaanya di tanah Aceh cukup dipandang oleh para penduduk
bahkan dijadikan sebagai panutan dimasyarakat, bermodal kepercayaan yang telah
diberikan masyarakat kepadanya serta kegigihan murid-muridnya, maka dengan
mudahnya ia berhasil mengembangkan ajaran Thariqot sufiyahnya dengan
perkembangan yang sangat pesat hingga paham itu tersebar sampai ke Minang kabau
( Sumatra Barat ). Salah
satu murid Abdur Rouf as Sinkili yang berhasil menyebarkan paham ini adalah
Burhanuddin.
Setelah meninggal kuburan Burhanuddin ini menjadai
pusat ziarah dimana para penziarah itu melakukan praktek peribadatan yang aneh.
Timbulnya aliran yang aneh ini menimbulkan pertentangan yang tajam, terutama
setelah beberapa orang yang datang dari Arab Saudi yang pada waktu itu sudah
terwarnai dengan aliran pembaharuan ( Ahlusunnah wal jama'ah ) yang dibawa oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab . Pertentangan ini berlanjut yang pada akhirnya
pecah perang PADRI . Demikianlah jejak pemahaman yang ditinggalkan oleh As
Sangkili yang berkembang pesat ditanah Minang yang terkenal dengan religiusnya
itu.. As Sankili meningggal dan dikuburkan di Kuala, mulut sungai Kapuas.
Tempat tersebut kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi banyak orang.
Sedang Muhamad Yusuf Al Makasary setelah bertemu
dengan gurunya yakni Syaikh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al Kholwati
Al Khurosy As Syami Ad Dimasqy, kemudian diberi otoritas untuk menjadi kholifah
bagi aliran Thariqot Kholwatiyah dan diberi gelar dengan Taj Al Kholwati (
Mahkota Kholwati ). Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai mengembangkan paham
Kholwatiyah ditanah Rencong ini.
Adapun Nuruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Ar
Raniri masuk ketanah Aceh pada masa kekuasaan sultan Iskandar Muda. Pada masa
itu yang berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syamsudi As Sumatrani, putra
kelahiran Aceh yang diberi gelar ulama' dan berpemahaman Sufi Wujudiyah.
Dikarenakan kedudukan yang disandangnya cukup strategis, maka dengan mudah ia
mengembangkan paham yang dianutnya itu. Syamsudin ini bekerjasama dengan Hamzah
Fansuri, seorang ulama' yang banyak mengekspresikan pemahamannya melalui
keindahan kata ( prosa ).
Dan dari beberapa catatan literatur diperoleh
informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu yang study di Timur Tengah,
kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan ajaran tasawwuf (tarekat) masih
banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan disini mengingat
keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang
ajarannya masih berujud. Mereka adalah Abdus Shomad al Palimbani dan Muhammad
Arsyad al Banjari (1710,1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mamapu
merombak wajah Kerajaan Banja di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang
banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil Al
Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota Banjar Masin.
Abdus Shomad al Palimbangi, Muhammad Arsyad al
Banjary serta dua rekan mereka, Abdul Wahab ( Sulsel ) dan Abdurrohman (
Jakarta ) merupakan orang-orang Tarekat yang berguru kepada Syaikh Muhammad As
Saman, selain itu tersebut pula nam-nama lainnya sepeti Nawawi Al Bantani (
1230 -1314 M ), Ahmad Khotib As Sambasi, Abdul Karim Al Bantani , Ahmad Rifa'I
Kalisasak, Junaid Al batawy, Ahmad Nahrowi Al Banyumasi ( wafat 1928 M ),
Muhammad Mahfudz At Termasi ( 1842- 1929 M ), Hasan Musthofa Al Garuti (
1852-1930 M )dan masih bannyak lagi yang lainnya. Sebagian besar dari mereka
pulang kembali dan menyebarkan ajarannya di Indonesia .namun demikian, tidak
semua orang yang belajar ditanah Arab kembali dengan membawa ajaran baru atau
terperangkap dalam pemahaman tasawuf, Ahmad bin Khotib bin Abdul Latief Al
Minangkabawi ( 1816-1916 M ) adalah salah satu contohnya. Beliau inilah yang
mula-mula berani menyatakan pendiriannya membatalkan amalan-amalan ahli
tarekat, terutama sekali tarekat Naqsabandiyah yang selalu menghadirkan
Syaikhnya dalam ingatan saat ber "Tawwajjuh". Syaikh Ahmad bin Khotib
memfatwakan kepada ummat untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar menurut
Al Qur'an dan As Sunnah serta menghindarkan diri dari perbuatan syirik dan
mengharamkan penghadiran guru ketika beribadah sebagaimana yang telah banyak
dilakukan oleh para penganut tarekat Naqsabandiyah.
Dari sekian banyak naskah-naskah lama yang berasal dari
Sumatera, baik yang ditulis dalam bahasa arab maupun bahasa melayu, adalah
berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsur
yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula
ditunjuk bagaimana peranan ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan
Islam di Aceh sampai pada masa Wali Songo di Jawa. Kepemimpinan raja atau
sultan selalu didampingi dan didukung kharisma ulama tasawuf.
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan itu
menjadi titik sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan
pesisir utara pulau Jawa.
Penyebaran Islam ke pulau Jawa , juga terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim,
Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro yang ketiganya adalah abituren Pasai. Melalui
keuletan mereka itulah berdirinya kerajaan Islam Demak yang kemudian menguasai
Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah.
Perkembangan
Islam di Jawa untuk selanjutnya umumnya digerakkan oleh ulama yang diketahui
dan dikenal dengan panggilan Wali Songo. Dari sebutan itu saja sudah cukup alasan
untuk mengatakan bahwa mereka itu adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai
derajat “wali”.
Para
wali itu bukan saja berperan dalam menyiarkan islam, tetapi mereka juga ikut
berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan, dan arena posisi itu mereka
mendapat gelar Susuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu,
mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elit keratin dalam
menyebarkan dan memantapkan penghayatan islam sesuai dengan keyakinan sufisme
yang mereka anut.