2.1 Sejarah
Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Diskusi
tentang keberadaan tasawuf di Nusantara, tidak bisa lepas dari pengkajian
proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, tidaklah berlebihan kalau dikatakan
bahwa tersebar luasnya Islam di Indonesia sebagian besar adalah karena jasa
para Sufi.[1]
Akan tetapi belakangan ini, sufisme yang melandasi ethos kerja mereka itu,
kelihatannya hamper terlupakan, kecuali di kalangan tertentu saja.
Menelusuri mewabahnya aliran ini di Indonesia, maka
hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang melakukan study (
belajar ) ke negara Timur tengah. Lebih khusus lagi adalah Arab Saudi yang pada
waktu itu belum diwarnai dengan gerakan tajdid (pembaharuan) yang dipelopori
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ( Beliau lahir pada tahun 1115 H / 1695 M
dan meninggal pada tahun 1206 H / 1786 M ). Diantara para pelopor berkembangnya
aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dibeberapa literatur
diantaranya adalah : Nuruddin Ar Raniri ( wafat tahun 1658 M ),Abdur Rouf As
Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf Al makkasary ( 1629-1699 M ).
Abdur Rouf
As Sinkili
setelah belajar beberapa lama kemudian diangakat sebagai kholifah Tarekat
Syatariyah oleh Muhammad Al Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh setelah gurunya
meninggal . Keberadaanya di tanah Aceh cukup dipandang oleh para penduduk
bahkan dijadikan sebagai panutan dimasyarakat, bermodal kepercayaan yang telah
diberikan masyarakat kepadanya serta kegigihan murid-muridnya, maka dengan
mudahnya ia berhasil mengembangkan ajaran Thariqot sufiyahnya dengan
perkembangan yang sangat pesat hingga paham itu tersebar sampai ke Minang kabau
( Sumatra Barat ). Salah
satu murid Abdur Rouf as Sinkili yang berhasil menyebarkan paham ini adalah
Burhanuddin.[2]
Setelah meninggal kuburan Burhanuddin ini menjadai
pusat ziarah dimana para penziarah itu melakukan praktek peribadatan yang aneh.
Timbulnya aliran yang aneh ini menimbulkan pertentangan yang tajam, terutama
setelah beberapa orang yang datang dari Arab Saudi yang pada waktu itu sudah
terwarnai dengan aliran pembaharuan ( Ahlusunnah wal jama'ah ) yang dibawa oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab . Pertentangan ini berlanjut yang pada akhirnya
pecah perang PADRI . Demikianlah jejak pemahaman yang ditinggalkan oleh As
Sangkili yang berkembang pesat ditanah Minang yang terkenal dengan religiusnya
itu.. As Sankili meningggal dan dikuburkan di Kuala, mulut sungai Kapuas.
Tempat tersebut kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi banyak orang.
Sedang Muhamad Yusuf Al Makasary setelah bertemu
dengan gurunya yakni Syaikh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al Kholwati
Al Khurosy As Syami Ad Dimasqy, kemudian diberi otoritas untuk menjadi kholifah
bagi aliran Thariqot Kholwatiyah dan diberi gelar dengan Taj Al Kholwati (
Mahkota Kholwati ). Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai mengembangkan paham
Kholwatiyah ditanah Rencong ini.
Adapun Nuruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Ar
Raniri masuk ketanah Aceh pada masa kekuasaan sultan Iskandar Muda. Pada masa
itu yang berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syamsudi As Sumatrani, putra
kelahiran Aceh yang diberi gelar ulama' dan berpemahaman Sufi Wujudiyah.
Dikarenakan kedudukan yang disandangnya cukup strategis, maka dengan mudah ia
mengembangkan paham yang dianutnya itu. Syamsudin ini bekerjasama dengan Hamzah
Fansuri, seorang ulama' yang banyak mengekspresikan pemahamannya melalui
keindahan kata ( prosa ).
Dan dari beberapa catatan literatur diperoleh
informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu yang study di Timur Tengah,
kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan ajaran tasawwuf (tarekat) masih
banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan disini mengingat
keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang
ajarannya masih berujud. Mereka adalah Abdus Shomad al Palimbani dan Muhammad
Arsyad al Banjari (1710,1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mamapu
merombak wajah Kerajaan Banja di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang
banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil Al
Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota Banjar Masin.
Abdus Shomad al Palimbangi, Muhammad Arsyad al
Banjary serta dua rekan mereka, Abdul Wahab ( Sulsel ) dan Abdurrohman (
Jakarta ) merupakan orang-orang Tarekat yang berguru kepada Syaikh Muhammad As
Saman, selain itu tersebut pula nam-nama lainnya sepeti Nawawi Al Bantani (
1230 -1314 M ), Ahmad Khotib As Sambasi, Abdul Karim Al Bantani , Ahmad Rifa'I
Kalisasak, Junaid Al batawy, Ahmad Nahrowi Al Banyumasi ( wafat 1928 M ),
Muhammad Mahfudz At Termasi ( 1842- 1929 M ), Hasan Musthofa Al Garuti (
1852-1930 M )dan masih bannyak lagi yang lainnya. Sebagian besar dari mereka
pulang kembali dan menyebarkan ajarannya di Indonesia .namun demikian, tidak
semua orang yang belajar ditanah Arab kembali dengan membawa ajaran baru atau
terperangkap dalam pemahaman tasawuf, Ahmad bin Khotib bin Abdul Latief Al
Minangkabawi ( 1816-1916 M ) adalah salah satu contohnya. Beliau inilah yang
mula-mula berani menyatakan pendiriannya membatalkan amalan-amalan ahli
tarekat, terutama sekali tarekat Naqsabandiyah yang selalu menghadirkan
Syaikhnya dalam ingatan saat ber "Tawwajjuh". Syaikh Ahmad bin Khotib
memfatwakan kepada ummat untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar menurut
Al Qur'an dan As Sunnah serta menghindarkan diri dari perbuatan syirik dan
mengharamkan penghadiran guru ketika beribadah sebagaimana yang telah banyak
dilakukan oleh para penganut tarekat Naqsabandiyah. [3]
Dari sekian banyak naskah-naskah lama yang berasal dari
Sumatera, baik yang ditulis dalam bahasa arab maupun bahasa melayu, adalah
berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsur
yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula
ditunjuk bagaimana peranan ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan
Islam di Aceh sampai pada masa Wali Songo di Jawa. Kepemimpinan raja atau
sultan selalu didampingi dan didukung kharisma ulama tasawuf.
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan itu
menjadi titik sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan
pesisir utara pulau Jawa.[4]
Penyebaran Islam ke pulau Jawa , juga terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim,
Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro yang ketiganya adalah abituren Pasai. Melalui
keuletan mereka itulah berdirinya kerajaan Islam Demak yang kemudian menguasai
Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah.
Perkembangan
Islam di Jawa untuk selanjutnya umumnya digerakkan oleh ulama yang diketahui
dan dikenal dengan panggilan Wali Songo. Dari sebutan itu saja sudah cukup alasan
untuk mengatakan bahwa mereka itu adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai
derajat “wali”. [5]
Para
wali itu bukan saja berperan dalam menyiarkan islam, tetapi mereka juga ikut
berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan, dan arena posisi itu mereka
mendapat gelar Susuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu,
mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elit keratin dalam
menyebarkan dan memantapkan penghayatan islam sesuai dengan keyakinan sufisme
yang mereka anut.
Berikut adalah ringkasan sejarah tentang perjalanan hidup
Wali Songo dan Syeikh Siti Jenar sebagai penganut tasawuf sekaligus yang
menyebarkan ajaran tasawuf di Indonesia.
1.
Syeikh Maulana Malik Ibrahim
Terkenal dengan sebutan Syeikh Maghribi, sebagian
literature menyebutkan beliau dari Gujarat, India. Syeikh Maulana Malik Ibrahim
diperkirakan datang ke gresik tahun 1404 M. Sifatnya yang lemah lembut, welas
asih dan ramah tamah kepada semua orang baik sesame muslim atau dengan non
muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan
dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat
sehingga mereka berbondong-bondong masuk islam dengan sukarela dan menjadi
pengikut beliau yang setia. Bila orang bertanya sesuatu masalah agama
kepadanya, beliau tidak mejawab berbelit-belit, melainkan dijawabnya dengan
mudah dan gambling sesuai pesan nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan
mudah, tidak dipersulit, umat harus dibuat gembira, tidak di takut-takuti.
2.
Raden Rahmat
Terkenal dengan nama Sunan Ampel, wali ini berasal dari
kamboja, Indo-Cina. Sikap sunan ampel terhadap adat istiadat lama sangat
hati-hati, hal ini di dukung oleh Sunan Grid an Sunan Drajat. Pendapat Sunan
Ampel ini menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga
mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin
berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala
macam bid’ah.
3. Sunan Makdum Ibrahim
Lebih
dikenal dengan nama Sunan Bonang, beliau adalah anak dari Sunan Ampel. Dalam
berdakwah, Sunan makdum Ibrahim ini sering mengunakan kesenian rakyat untuk
menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.
Karena beliau sering mengunakan Bonang untuk berdakwah, maka masyarakat
memberinya gelar Sunan Bonang.
4. Raden Paku
Terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Wali keempat dari
Wali Songo ini berasal dari Blambangan. Setelah berusia 16 tahun kedua pemuda
itu belajar agama islam di Pasai dengan Maulana Ishak dan termasuk belajar ilmu
tasawuf dari ulama-ulama Iran, Baghdad dan Gujarat yang banyak menetap di
Pasai. Para guru itu member gelar Raden Paku dengan Syekh Maulana Ainul Yaqin.
5. Syarif Hidayatullah
Wali kelima dari Wali Songo ini kemudian terkenal dengan
nama Sunan Gunung Jati. Ayah Syarif Hidayatullah meninggal dunia ketika ia
berusia dua puluh tahun dan diangkat menjadi Raja Mesir tapi ia menolak dan
kedudukan itu diberikan kepada adiknya, Syarif Nurullah. Ia beserta ibunya
kembali ke Jawa untuk berdakwah sesudah berguru dengan ulama-ulama besar di
Timur Tengah.
6. Jafar Sodiq
Lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus, sunan ini yang
menyiarkan agama Islam di Jawa Tengah di sebelah pesisir utara. Ja’far Sodiq
adalah pengikut jejak Sunan Kalijaga, dalam berdakwah menggunakan cara halus
atau Tut Wuri Handayani. Adat istiadat rakyat tidak ditentang secara frontal,
melainkan diarahkan sedikit demi sedikit menuju ajaran islami.
7. Raden Prawoto
Di kalangan rakyat lebih dikenal dengan nama Sunan
Muriapada, adalah wali ketujuh dari Sembilan wali yang diangap sebagai pencipta
gending Sinom dan Kinanti. Cara ia menyiarkan agama adalah
mendekati kaum dagang., nelayan dan pelaut. Ia mempertahankan tetap
berlangsungnya gamelan sebai satu-satunya kesenian jawa yang sangat digemari
rakyat dan digunakannya kesenian itu untuk memasukkan rasa Islam kepada rakyat,
sehingga dengan tidak terasa rakyat itu dibawanya kepada mengingat Tuhan.
8. Syarifuddin
Lebih dikenal dengan nama Sunan Drajat (wali kedelapan)
adalah putera Sunan Ampel yang oleh rakyat dianggap pencipta gending Pangkur konon ia adalah seorang yang
sangat berjiwa social. Disamping ia taat menjalankan agama, ia selalu beramal
untuk member pertolongan dalam kesengsaraan umum, dan memperhatkan nasib
anak-anak yatim dan piatu dan membela
orang-orang sakit.
9. R.M. Syahid (Raden
Said)
Dikenal
dengan nama Sunan Kalijaga, konon ia adalah pencipta wayang kulit, pengarang
cerita-cerita wayang yang berjiwa islam. Sunan alijaga berperan dalam pendiria
masjid pertama di Tanah Jawa yakni Masjid Demak. Sunan Kalijaga dianggap ulama
yang menentukan kiblat Masiid Demak agar sesuai menghadap Ka’bah. Masjid ini
menjadi pusat agama terpenting di Jawa dan memainkan peran besar dalam upaya
menuntaskan islamisasi di seluruh Jawa, termasuk daerah-daerah pedalaman.
10. Syekh Siti Jenar
Dikenal dengan banyak nama seperti Sitibirit, Lemahbang,
dan Lemah Abang. Pemikiran Syekh Siti Jenar dianggap amat liberal dan
controversial, Syekh Siti Jenar dinilai melawan arus besar keagamaan yang
dibangun oleh kolaborasi kekuasaan (kerajaan Demak Bintara pimpinan Raden
Fatah) dan elite agamawan terdiri dari Wali Songo. Syekh Siti Jenar memiliki
berbagai macam macam persamaan dan perbedaan dengan Wali Songo. Kendati begitu
mereka sesungguhnya dikembangkan dan dianut oleh Wali Songo.
2.2 Reformasi Sufisme di Indonesia
Demikianlah pengaruh gerakan wahabiyah yang
diinspirasikan oleh ajaran Ibnu Taimiyah, sampai juaga di Indonesia. Khusus
dalam aspek sufisme, pada permulaan tahun 50-an, Hamka melalui bukunya "tasawuf perkembangan dan pemurniannya”serta”tasawuf modern”, berusaha memperlihatkan
bahwa tasawuf yang benar itu adalah yang tetap berakar pada prinsip tauhid,
yakni Tuhan hanya satu. Artinya, bertasawuf adalan mengisi diri dengan
sifat-sifat kesempurnaan Allah, mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat
ilahiyah, “al-ittishaf bi shifat ar-Rahman
ala thaqatiil basyariyah”. Bertasawuf bukan berarti menolak hidup
(duniawi), tetapi bertasawuf harius tetap meleburkan diri dalam gelanggang
kehidupan masyarakat luas, seperti kehidupan biasanya.
Sejarah dengan gagasan Hamka ini, Nahdlatul Ulama (NU)
sebagai organisasi Islam yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah (aswaja),
adalah pendukung dan penghayat tasawuf. Untuk menghindari penyimpangan sufisme
dari garis lurus yang meletakkan parasyeikh sufi terdahulu, maka NU meletakkan
dasar-dasar tasawuf jamaahnya sesuai denagn khittah aswaja. Dalam hal ini, NU
membina keselarasan antara tasawuf al-Ghazali dengan tauhid Asyariyah dan
Maturidiyah serata hukum fiqh esuai dengan salah satu mazhab sunni yang empat.
Sedangakan dalam aspek tarekat sebagai aspek lembaga, NU juga mamiliki lembaga
yang diberi nama “jamiyah thariqah mu’tabarah”, yang bersumber pada tasawuf
Junaid al-Baghdadi. Hal ini berarti, bahwa tarekat yang diakui sah oleh NU hany
atrekat yang sudah diakui baik dan benar oleh syeikh-syeikh tarekat sedunia,
yang disebut seabagai tarekat al-Mu’tabarah yang sesuai dengan prinsip-prinsip
Aswaja. Dengan demikian, bagi NU ,menganut tasawuf adalah yang sejalan dengan
taswuf Sunni, dan menolak tasawuf Syi’i.
Selain dari pada itu, dalam pandangan jamaah ini,
sufisme sebagi salah satu tradisi keilmuwan dan gaya keberagamaan umat Islam,
adalah warisan yang sangat berharga dari masa lampau yang harus dilestarikan
sejauh mengkin tanpa menutup pertumbuhan kreativitas individual. Tradisi
merupakan persambungan atau kontinuitas masa lampau deagan masa kini, yang
tidak dapat begitu saja diputuskan tanpa menimbulkan akibat-akibat yang
merugikan individu dan masyarakat. Tradisi keilmuwan itu, yakni sufisme yang
melahirkan suatu sikap yang menekankan keterpautan dimensi rasional dan dimensi
spiritual, dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi dalam kehidupan manusia, adalah
suatu kenyataan yang tidak bisa ditolak.
Dengan demikian, maka taswuf yang
berkembang pada masa awal itu dinominasi oleh tasawuf dengan aliran Sunni. Kalaupun
ada penganut tasawuf aliran falsafi, tidak begitu luas dan bahkan mendapat
perlawanan dari pengikut Sunni. Oleh karena itu tasawuf
di Indonesia sejalan dan sedarah daging drengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dalam perkembangan sufisme di Indonesia, pengaruh al-Ghazali as-Syafi’I lebih
besar dari pada pengaruh al-hallaj dari mazhab Syfi’i. bahakan pada masa
kerajaan Islam Pasai, telah ada orang Jawa mengajartasawuf di Mekkah, yaitu
Syeikh Abu Abdullah Mas’ud bin Abdullah Jawi. Namun agaknya masih perlu
dicatat, bahwa perkiraan ini belum berarti akan meneruskan jalan kea rah
penelusuran perkembangan tasawuf di Indonesia. Sampai sekarang, nampaknya
masalah ini belum tuntas yang mengakibatkan timbulnya anggapan yang
memepersamakan tasawuf dengan tarekat.
2.3 Aliran Tasawuf di Indonesia
Untuk menelusuri aliran-aliran tasawuf yang
berkembang di Indonesia, dapat dilakukan dengan melihat kembali konsep-konsep
tasawuf yang berkembang pada kurun waktu kerajaan-kerajaan Islam di wilayah
Aceh. Dan dalam perkembanagn Isalam selanjutnya, sistem peninggalan masyarakat
hindu budha diterusakan oleh penyiar Islam. Proses transformasi (alih
pengetahuan) ilmu keislaman dilakukan secara”sorogan” yang kemudian meningakat
secara “bandongan” dan “wetonan”. Dari embrio model ini, kemudian bermunculan
model pendidikan islam yang dikenal sebagai pesantren dan tarekat sebagai
lembaga tasawuf. Dengan semakin kuatnya pengaruh madzhab Syafi’I, maka sufisme
yang dipelajari dipesantren adalah tasawuf Sunni yang bersumber dari tasawuf al-Ghazali.
Lain halnya denagn tarekat, tasawuf yang di ajarkan kelihatannya merupakan
gabungan dari tasawuf sunni dan tasawuf falsafi.
Sampai di sini terungkaplah suatu kejelasan,
terutama bagi yang ingin mendalami tasawuf, dapat memiliki antara dua kemungkinan,
yakni apakah tasawuf dilihat sebagai suatu aspek ilmu yang mandiri ataukah
sebagai suatu tarekat yang melembaga? Apabila pilihan jatuh pada yang pertama,
maka mulailah dengan tasawuf akhlaki, dan meningakt ke tasawuf amali dan
tasawuf falsafi, jangan sebaliknya, dan dengan satu ketentuan harus didahului
dengan pemahaman syariat. Bagi mereka yang akan memilih alternative kedua,
tinggal memilih karakter yang disukai, karena pada prinsipnya semua tarekat
hampir sama sisitemnya. Terlepas dari aliran mana yang dianut, dan atukah
penyiar islam generasi awal itu penganut tasawuf sebagai aktifitas perorangan
atau tarekat sebagai lembaga, tetapi yang jelas keberhasilan mereka itu sangat
didukung oleh kedalaman penghayatan spiritual mereka terhadap semua aspek
ajaran Islam melalu pendekata esoteric, sehingga menumbuhkan etos kerja yang
tanpa pamrih.
Untuk
mengaktualkan sufisme melalui lembaga pendidikan formal, adalah suatu kebijakan
yang perlu ditingkatkan. Sebab, apabila dilihat dari sejarah kehidupan spiritual
Islam, suasana ketasawufan telah lama mandek, seperta halnya filsafat Islam.
Akhirnya, apabila dilihat dari aspek material dan aspek formalnya yang
dikaitkan dengan kegersangan spiritual dewasa ini, kiranya pembakuan
cabang-cabang sufisme berdasarkan tujuan yang ingin dicapai adalah pemurnian
dan kekuatan rohani, peningkatan intensitas dan kualitas ibadah dan pendalaman
kesadaran spiritual, dipandang lebih tepat, maka tasawuf ahlaki, tasawuf amali,
dan tasawuf falsafi, adalah cabang-cabang sufisme yang penting dan relevan
untuk dikembangkan di nusantara ini. Khusus tasawuf falsafi tetap berposisi
strategis, terutama dalam rangka pendalaman dan penghalusan kesadaran spiritual
keagamaan yang kelihatannya semakin menipis. Di sisi lain, dengan mendalami sufisme
aliran ini, sangat berkemungkinan akan dapat diantisipasi dan dikontrol
perkembangan spiritual non agama dan atau aliran kepercayaan.
2.4
Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia
1. Hamzah al-Fansuri
Hampir semua penulis sejarah islam mencatat bahwa Syaikh Hamzah
al-Fansuri dan Muridnya Syaikh Samsuddin al-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang
sepaham dengan al-Hallaj. Paham hulul, ittihad, mahabbah, dan lain-lain
adalah seirama. Tahun dan tempat kelahiranya hingga kini masih belum diketahui.
Ketidakjelasan riwayat al-Fansuri ini disebabkan tidak dimasukkannya nama
al-Fansuri dalam dua sumber penting sejarah Aceh, yakni Hikayah Aceh dan
Bustan al-Salatin yang ditulis atas perintah sultan.
Pemikiran-pemikiran al-Fansuri
tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibnu Arabi dalam paham wihdatul wujud-nya.
Sebagai seorang sufi ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher
manusia itu sendiri, dan bahwa tuhan tidak bertempat, sekalipun sering
dikatakan bahwa ia ada dimana-mana. Ia menolak ajaran pranayama dalam agama
Hindu yang membayangkan Tuhan berada dibagian tubuh tertentu, seperti ubun-ubun
yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan titik kosentrasi dalam usaha mencapai
persatuan.
Di antara ajaran al-Fansuri yang lain berkaitan
dengan hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya wujud itu hanyalah satu
walaupun klihatan banyak. Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit
(kenyataan lahir), dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua benda yang
ada sebenarnya merupakan menifestasi dari yang haqiqi yang disebut al-Haq
Ta’ala. Ia mewujudkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak,
sedangkan alam semesta m erupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Penggalian dari
Dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, awan
yang kemudian menjadi dunia. Itulah yang disebut ta’ayun dari dzat yang la
ta’ayun. Itu pulalah yang disebut tanazul. Kemudian segala sesuatu
kembali lagi kepada Tuhan yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan lalu hujan
dan mengalir kesungai yang kemudian kembali lagi ke lautan.[6]
2. Syamsuddin al-Sumatrani
Syamsuddin al-Sumatrani merupakan tokoh sufi kenamaan di Aceh. Ia adalah
murid Hamzah al-Fansuri yang mengajarkan wujudiyyah. Ia hidup pada masa
kejayaan kesultanan Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda, atau yang disebut
juga Mahkota Alam (1607-1636 M). Seperti halya Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin
juga mendapatkan kedudukan penting disisi Sultan. Ia meninggal pada tahun 1630
M.
Dalam pemikiran tasawufnya
Syamsuddin al-Sumatrani membahas tentang Martabat Tujuh dan dua puluh
sifat Tuhan. Konsep Martabat Tujuh ini pertama kali dicetuskan oleh Muhammad
Ibn Fadlullah al-Burhanpuri seorang ulama kelahiran India. Konsep ini
mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada dialam semesta termasuk manusia
adalah aspek lahir dari hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan. Tuhan bagian yang
mutlak tidak dapat dikenal oleh akal, indra maupun khayal. Dia dapat dikenal
setelah bertajalli sebayak tujuh martabat sehingga tercipta alam semesta
beserta isinya, termasuk manusia sebagai aspek lahir dari Tuhan.
Diantara ajarannya adalah bahwa Tuhan saja yang
wujud. Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi:
هو
الاول والأ خر والظا هر والباطن
“ Dialah
yang awal, yang akhir, yang dzahir (tampak), dan yang bathin (tersembunyi)...”
Menurutnya, yang al-awwal adalah martabat ahadiyyah,
yang al-akhir adalah martabat wahidiyyah, yang al-batin
adalah martabat wahdah sedangkan yang al-dzahir adalah
martabat-martabat alam al-arwah, alam al-mitsal, alam al-ajsam dan alam
al-insan.
Konsep Martabat Tujuh cenderung
berhubunga dengan teori tanazzul dalam tasawwuf. Tanazzul diartikan sebagai
turunnya wujud dengan penyingkapan Tuhan dari kegaiban ke alam penampakan
melalui berbagai tingkat perwujudan. Martabat Tujuh yang telah memasuki
Nusantara melalui alam pikiran pada sufi Aceh abad ke-17 merupakan pengembangan
paham penghayatan union-mistik dari ajaran al-Halajj dan Ibn-Arabi, atau
sebagai hasil pengembangan dari konsep tajalli Ibn Arabi dan al-Jilli,
dengan beberapa modifikasi, akan tetapi konsep pemikiran tentang ketujuh
martabat itu merupakan hal yang baru, yang tidak dijumpai dalam konsep-konsep
pemikiran sebelumnya.[7]
3
Nuruddin al-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad ibn Ali ibn Hasanji ibn
Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri ini berasal dari India,
keturunan Aceh. Dipanggil al-Raniri karena dilahirkan di daerah Ranir yang
terletak dekat Gujarat, India pada tahun yang tidak diketahui. Ia meninggal
pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India. Pendidikannya dimulai
denagn belajar di tempat kelahirannya, kemudian dilanjutkan di Tarim. Dari kota
ini ia kemudian pergi ke Makkah pada tahun 1030 H/1582 M untuk melaksanakan
ibadah haji dan ziarah ke Madinah.
Menurut R. Hoesain
Djajadiningrat, Nuruddin untuk pertama kalinya berada di Aceh pada nasa Sultan
Iskandar Muda. Kemudian ia meninggalkan Aceh karena tidak mendapat perhatian
dari Sultan yang berkuasa ketika itu. Pada masa Iskandar Tsani, ia kembali lagi
ke Aceh dan menetapdari tahun 1637-1644 di bawah perlindungan Sultan. Ketika
berada di Aceh untuk yang kedua kalinya, ia mendapat tempat di istanadan banyak
menghasilkan tulisanyang khusus mengecam dan mengkafirkan penganut ajaran
Syamsuddin dan Hamzah al-Fansuri.
Syaikh Nuruddin al-Raniri juga
sering dikenal sebagai seorang Syaikh dalam tarekat Rifa’iyah yang didirikan
oleh Ahmad Rifa’i (w. 578H/1181M). Alraniri ditunjuk oleh Ba Syaiban sebagai
khalifah dalam tarekat Rifa’iyah, dan karenya bertanggung jawab untuk
menyebarkan di wilayah Melayu-Indonesia. Kendati al-Raniri dianggap sebagai
khalifah tarekat Rifa’iyah, tetapi tarekat ini bukanlah satu-satunya tarekat
yang dikaitkan dengan beliau. Ia juga mempunyai silsilah inisiasi dari tarekat
Aydrusiyah dan Qadariyah.
Pemikiran-pemikiran tasawuf
Nuruddin al-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani
sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa kufur kepada pengikut Wujudiyyah
ternyata didukung oleh Sultan. Di antara dalil yang diajukan sebagai kalim
pembenaran kepercayaan wujudiyyah yang mereka yakini, misalnya dengan
mengutip ayat-ayat mutasyabihat, yang berbunyi:
انا
لله وانا اليه راجعون
“...Sesungguhnya
kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali”
Menurut pendapat Nuruddin ayat itu telah
ditafsirkan oleh kaum wujudiyyah secara salah, yaitu bahwa alam dan
isinya atau insan keluar dari Allah dan kembali kepada-Nya. Yng dimaksud dengan
kata keluar dan kembali adalah seperti keluarnya seseorang dari
rumahnya dan pulang kembali masuk kerumahnya, dan juga seperti ditamtsilkan
biji yang keluar dari pohon kayu atau seperti air sungai yang bersal dari
lautan dan akan kembali lagi kelaut.
Selanjutnya juga tentang firman Allah SWT yang
berbunyi:
ونحن
اقرب اليه من حبل الوريد
“..Dan Kami
lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya”
Kaum wujudiyyah memaknai ayat sebagai kami
telah dekat-yakin bercampur dengan mesrah, serta bersatu wujud Allah dengan
insan-dari pada urat lehernya. Begitu njuga ayat yang berbunyi:
وكان
الله بكل شيء محيطا
“... Dan
adapun Allah meliputi segala sesuatu”
Maksud ayat ini menurut kaum wujudiyyah,
bahwa Dzat Allah meliputi segala sesuatu, sewujud bercampur dan mesra dengan
seluruh alam. Artinya Allah yang meliputi dan alam yang diliputi, merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Inilah yang dikatakan Hamzan
al-Fansuri dalam kitab Ruba’i-nya.
Itulah diantara alasan-alasan kaum wujudiyyah. Semua alasan dan
pendirian yang dikemukakan oleh kaum wujudiyyah ditentang keras oleh Nuruddin al-Raniri. Ia menilai
alasan-alasan tersebut sebagai suatu pendirian yang tidak benar. Ia melihat
makna wahda al-wujud yang telah ditafsirkan secara salah dan dijadikan
dasar akidah mereka tentang hubungan Allah dengan alam atau manusia. Dalam hal
ini menentang kambali para ahli kalam ahlusunnah dan kaum sufi tenatang
istilah makna tersebut.
Dalam Itikad ahlusunnah,
wujud itu ada dua macam, pertama wujud yang wajib adanya dan tidak
mustahil adanya. Kedua, wujud yang mungkin, baik ada maupun tidak tetap
sama tingkatannya. Wujud Allah adalah wujud wajib, sedangkan wujud alam adalah
wujud yang mungkin, yang tidak harus ada. Oleh karena itu, wujud Allah dan
wujud alam adalah berbeda secara hakiki sehingga mempersamakan kedua wujud inidala
satu tingkatan adalah sesat dan kufur.
Syaikh Nuruddin menyanggah penafsiran ayat mutasyabihat
yang berbunyi:
Bahwa Allah yang keluar dari Allah dan akan bersatu
kembali dengan-Nya. Jika demikian, Allah itu merupakan jasmani seperti benda di
bumi ini. Menurut Nuruddin, penafsiran yang benar sebagaimana yang dikatan oleh
para ahli tafsir bahwa segala amal perbuatan manusia kembali pada hukum Allah,
jika baik ia akan masuk surga dan jika jahat ia akan masuk neraka.
Syaikh Nuruddin juga menolak arti
muhith yang diberikan oleh kaum wujudiyyah yang menafsirkan
lafadz tersebut dengan sebagai tafsiran yang sesat dan salah. Sebagai biasanya
ia kembali mengutip perkataan para ahli tafsir dan sufi tentang maksud lafadz
tersebut. Menurt para ahli tafsir dan para sufi yang dimaksud muhith
adalah bahwa ilmu dan qudrat Allah menjangkau segala sesuatu yang ada di langit
dan di bumi, dan tidak sesuatupun yang luput dan ilmu-Nya karena segala sesuatu
terjadi berkat limpahan nur wujud-Nya.
Mengenai ayat-ayat mutasyabihat
yang digunakan sebagai dalil kebenaran kaum akidah wujudiyyah, Nuruddin
menjelaskan pendirian para ulama’ baik yang salaf maupun yang khalaf dalam
menafsirkan ayat tersebut. Para ahlusunnah wal jama’ah dan para sufi
mengatakan bahwa para sufi setiap mukmin wajib beriman pada ayat-ayat mutasyabihat,
tetapi ia harus menyerahkan makna hakiki ayat-ayat tersebut pada Allah.
Pemikiran tasawuf Nuruddin
al-Raniri mempunyai pengaruh besar dalam pemikiran tasawuf di Melayu-Indonesia.
Dengan mengenalkan dan menyebarkan penafsiran islam yang dipegang aliran utama
kaum ulama dan sufi di pusat-pusat keilmuan islam. Meskipun pemikiran tasawuf
al-Raniri terkesan sanga luas, tetapi sesungguhnya pemikirannya dapat
dikalsifikasikan sebagai berikut:
Pertama, tentang Tuhan. Pendirian
al-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromif. Ia berusaha
menyatukan faham mutakallimin dengan faham para sufi yang diwakili Ibn
‘Arobi. Pandangan al-Raniri ini hampir sama dengan pandangan Ibn Arabi, yakni
alam ini merupakan tajalli Allah. Namun, penafsirannya di atas membuatnya
terlepas dari label pantheisme Ibn Arabi.
Kedua, tentang alam. Al-Raniri
berpendapat bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajalli. Ia menolak teori al-faidh
al-Farabi karena akan membawa pengakuan bahwa alam in i qadimsehingga jatuh
dalam kemusyrikan. Alam dan falak, merutnya merupakan wadah tajalli asma dan
sifat Allahdalam bentuk konkret.
Ketiga, tentang manusia. Al-Raniri
berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia.
Manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan
citra-Nya. Manusia juga merupakan madzhar. Konsep insan kamil pada
dasarnya hampir sama dengan yang digariskan oleh Ibn Arabi.
Keempat, tentang wujudiyyah. Al-Raniri
berpendapat bahwa inti dari ajaran wujudiyyah berpusat pada wahdah
al-wujud, yang disalah artikan kaum wujudiyyah menjadi kemanunggalan
Allah dengan alam. Menurut al-Raniri, jika benar Tuhan dan makhluk habitatnya
satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia
sehingga akhirnya seluruh makhluk adalah Tuhan.
Kelima, tentang hubungan syariat dan
hakikat. Al-raniri berpendapat bahwa pemisahan antara syariat dan hakikat
merupakan suatu yang tidak benar. Ia lebih menekankan syariat sebagai landasan
esensial dalam tasawuf.[8]
4.
Syeikh Abdur Rauf Al- Sinkili
Beliau adalah seorang ulama dan mufti besar Kerajaan
Aceh pada abad ke 17 (1606-1637). Nama lengkapnya adalah Syeikh Abdur Rauf bin
Ali Al-Fansuri. Sejarah teah mencatat bahwa As-Sankli merupakan murid dari dua
orang ulama sufi yang menetap di Mekah dan Madinah. Sebelum As-Sankili membawa
ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf Falsafi, yaitu
tasawuf wujudiyah yang kemudian dikenal dengan nama wahdad Al-Wujud. As-Sankili
berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syari’at. Ajaran tasawufnya sama
dengan Samsuddn dan Nuruddin yaitu menganut paham satu-satunya wujud Hakiki,
yakni Allah. Alam dan manusia ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud yang hakiki,
tetapi bayangan dari yang hakiki.[9]
5.
Syikh Yusuf Al-Makasari
Beliau adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal
dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan
3 Juli 1629 M, yaitu ketika Sulawesi baru saja kedatangan tiga orang penyebar
islam yaitu Datuk Ri Bandang dan Kawan-kawannya dari Minangkabau. Dalam salah
satu karangannya dia menulisbelakang namanya dengan bahasa Arab “Al Makasari”,
yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang).[10]
Berbeda dengan kecenderugan sufisme pada masa-masa
awal yang mengelakkan kehidupan duniawi Syeikh Yusuf mengungkapkan paradigma
Sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek,
yaitu aspek lahir (syari’at) dan aspek batin (hakikat). Syari’at dan hakikat
harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan.[11]
Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia
meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu.
Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, ia membaginya dalam tiga tingkatan.
Pertama, tingkatan akhyar (orang-orang terbaik) yaitu degan memperbanyak
shalat, Puasa, membaca Al-Qur’an, naik Haji, dan berjihad di jalan Allah.
Kedua, cara MUjahadat Asy-Syaqa’ batin denga(orang-orang yang berjuang melawan
kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan
menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan batin dan
melipatgandakan amalan-amalan lahir. Ketiga cara ahli ad-dzikir, yakni jalan
bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu orang-orang
yang mencintai Tuhan, baik lahir maupun batin. Mereka sangat menjaga
keseimbangan kedua aspek ketaatan itu.[12]
2.5 Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
Di dalam ilmu tasawuf, istilah tarekat itu tidak
saja ditujukan pada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang
syeikh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah
seorangsyeikh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam
agama Islam, seperti sholat, zakat, puasa dan haji yang semuanya itu merupakan
jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. [13]
Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara
umum adalah usaha menddekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin ,
melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini
biasanya dilakukan dibawah bimbingan seoraang syeikh/guru. Ajaran-ajaran tasawuf yang harus ditempuh untuk mendekatkan
diri itu kepada Allah merupakan hakikat tarekat yang sebenarnya. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada
Allah sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang
ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah.
2.6 Sejarah Timbulnya Tarekat
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat
mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti.[14]
Namun Harun Nasution menyatakan bahwa setelah Al-Ghazali menghalalkan tasawuf
yang sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf berkembag di dunia Islam, tetapi
perkembangannya melalui tarekat. Taekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi
besar yang bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran Tarekat ini tasawuf .
Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribat (disebut
juga zawiyah, hangkah atau pekir). Ini merupakan tempat para murid berkumpul
melestarikan ajaran-ajaran tasawufnya, ajaran tasawuf walinya, dan ajaran
tasawuf Syaikhnya.[15]
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua
daerah yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai
muncul beberapa, dianataranya:
1. Tarekat
Yasaviyah yang didirikan oleh Ahmad Al-Yasavi (wafat 562H/1169) dan disusul
oleh tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd Al-Khaliq Al-Guzdawani
(wafat 617 H/1220 M). Kedua taekat ini menganut paham tasawuf Abu Yazid
Al-Bustami (wafat 425 H/1034 M) dan dilanjutkan oleh Abu Al-Farmadhi (Wafat 477
H/1084 M) dan Yusuf Bin Ayyub Al-Hamadani (wafat 535 H/1140 M).[16]
Tarekat in berkembang di berbagai daerah, antara lain Turki.
2. Tarekat
Naqsabandiyah, yan didirikan oleh Muhammad Bahudidin n-Naqsabandani Al-Awisi
Al-Bukhari (wafat 1389 M) di Turkistan. Dalam perkembangannya tarekat ini
menyebar ke Anatolia (Turki) kemudian meluas ke India dan Indonesia dengan
berbagai nama baru yang disesuikan dengan pendirinya daerah tersebut, seperti
Tarekat Khalidiyah, Miradiyah, Mujadidiyah, dan Ahsaniyah.[17]
3. Tarekat
Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar Al-Khalwati (wafat 1397 M). Tarekat
Khalwatiyah adalah salah satu tarekat yan terkenal berkembang di berbagi negeri
seperti Turki, Siria, Mesir, Hijaz, dan Yaman.
Tarekat Khalwatiyah pertama kali muncul di turki dan didirikan oleh Amir
Sultan (wafat 1439 M).[18]
4. Tarekat Safawiyah yang didirikan oleh
Safiyudin Al-Ardabili (wafat 1334 M).
5. Tarekat
Bairamiyah yang didirikan oleh Hijji Bairan (wafat 1430).
Di daerah Mesopotamia masih banyak tarekat yang
muncul dalam periode ini dan cukup terkenal, tetapi tidak termasuk rumpun
Al-Junaid. Tarekat-tarekat ini antara lain:
1. Tarekat
Qodariyah yang didirikan oleh Muhy Ad-Din Abd Al-Qadir Al-ailani (471 H/1078 M)
2. Tarekat
Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-Syadzili (593-656
H/1196-1258 M)
3. Tarekat
Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Bin Ali Ar-Rifa’I (1106-1182). [19]
Tarekat
yang tergolong dalam kelompok Qodariyah ini cukup banyak dan tersebar ke
seluruh negeri Islam. Tarekat Faridiyah di Mesir yang disisbathkan kepada Umar
bin Al-Farid (1234 M) yang mengilhami tarekat Sanusiyah (Muhammad bin Ali
Al-Sanusi, 1787-1859 M) melalui tarekat Idrisiyah (Ahmad Bin Idris) di Afrika
Utara, merupakan kelompok Qadariyah yang masuk ke India melalui Muhammad
Al-Ghawthiyah atau Al-Mi’rajiyah dan di Turki dikembangkan oleh Ismail Ar-Rumi
(1042 H/1631M).[20]
2.7 Pengaruh Tarekat Di Dunia Islam
Dalam perkembangannya,
tarekat-tarekat itu bukan hanya memusatkan perhatian kepada tasawuf
ajaran-ajaran gurunya, tetapi juga mengikuti kegiatan politik. [21]Tarekat
mempengaruhi dunia islam mulai abad ke-13. Kedudukan tarekat pada saat itu sama
dengan parpol (Partai Politik). Bahkan banyak tentara yang juga menjadi anggota
tarekat.[22]
Tarekat-tarekat keagamaan meluskan
pengaruh dan organisasinya ke seluruh pelosok negeri, menguasai masyarakat
melalui suatu jenjang yang terancang dengan baik. Dan memberikan otonomi
kedaerahan seluas-luasnya. Setiap esa atau kelompok desa ada wali lokalnya yang
didukung dan dimulyakan sepanjang hidupnya, bahkan dipuja dan diagung-agungkan
setelah kematiannya. [23]
Akan tetapi , pada saat-saat itu
telah terjadi “penyelewengan” di dalam tarekat-taekat, antara lain
penyelewengan yang terjadi dalam paham wasilah, yakni paham yang menjelaskan
bahwa permohonan seseorang tidak dapat dialamatkan langsung kepada Allah,
tetapi harus melalui guru, guru ke gurunya, terus demikian sampai pada syaikh,
baru dapat bertemu Allah atau berhubungan dengan Allah.[24]
Tarekat juga pada umumnya hanya
berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat menganjurkan banyak
beribadah dan jangan mengikuti dunia ini karena “ Dunia ini adalah bangkai dan yang mengejar dunia adalah As’ anjing.” Ajaran
ini nampaknya menyelewengkan umat islam dari jalan yang ditempuhnya. Demikian
juga sifat tawakal, menunggu apa aja
yang akan datang, Qada’ dan Qadar yang sejalan dengan paham As’ariyah . Para pembaharu dalam dunia
islam melihat bahwa tarekat bukan hanya mencemarkan paham tauhid, tetapi juga
membawa kemunduran bagi umat islam.[25]
2.8 Perkembangan
Tasawuf Masa Kini
Dalam dasawarsa terakhir ini, komunitas sufi
mewarnai kehidupan perkotaan. Tak sedikit dari kalangan eksekutif dan selebriti
menjadi peserta kursus atau terlibat dalam suatu kamunitas tarekat tertentu.
Alasan mereka mencebur kesana memang beraneka ragam. Misalnya, mengejar
ketenangan batin atau demi menyelaraskan kehidupan yang gamang.
Secara antoprologis, sufisme kota di kenal sebagai
trend baru di Indonesia sepanjang dua dekade ini. Sebelumnya, sufisme lebih
dikenal sebagai gejala beragama di pedesaan. Sufisme kota, kata Muslim
Abdurrohman, bisa terjadi minimal karena dua hal: pertama : hijrahnya para
pengamal tasawwuf dari desa ke kota, lalu membentuk jamaah atau kursus
tasawwuf. Kedua : sejumlah orang kota bermasalah tengah mencari ketenangan ke
pusat-pusat tasawwuf di desa. Adapun sufisme secara sederhana didifinisikan
sebagi gejala minat masyarakat pada tasawwuf. Sufisme adalah istilah yang
popular dalam literatur barat (Sufism), sedangkan dalam literatur arab dan indonesia
hingga 1980-an adalah tasawwuf.
Derektur Tazkia Sejati Jalaluddin Rakhmat,
berpendapat bahwa sufisme diminati masyarakat kota sebagai alternatif terhadap
bentuk-bentuk keagamaan yang kaku. Sufisme juga menjadi jalan untuk pembebasan.
Azyumardi Azra, Rektor IAIN Jakarta, telah memetakan
dua model utama sufisme masyarakat kota dewasa ini. Pertama : sufisme
kontemporer (biasanya berciri longgar dan terbuka siapapun bisa masuk) yang
aktivitasnya tidak menjiplak model sufi sebelumnya. Model ini dapat dilihat
dalam kelompok-kelompok pengajian eksekutif, seperti Paramadina, Tazkia Sejati,
Grend Wijaya.dan IIMaN. Model ini pula yang berkembang di kampus-kampus
perguruan tinggi umum. Kedua : Sufisme konvesionel. Yaitu gaya sufisme yang
pernah ada sebelumnya dan kini diminati kembali. Model ini adalah yang
berbentuk tarekat (Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, Syatariyah, syadzziliyah, dan
lain-lain), ada juga yang nontarekat (banyak di anut kalangan Muhammadiyah yang
merujuk tasawwuf Buya Hamka dan Syekh Khatib al-Minangkabawi).
Asep Usman Ismail, kandidat doktor bidang tasawwuf
dari IAIN Jakarta, menilai bahwa tasawwuf model tarekat lebih di terima di
kalangan menengah kebawah. Sementara kalangan menengah keatas cenderung memilih
tasawwuf nontarekat".
"Tasawwuf yang diminati masyarakat kota jelas
model tarekat" kata Asep. Mereka tidak berorientasi pada tasawwuf klasik,
seperti model tarekat dengan segala riyadhonya (pelatian). Itu tidak di minati
kecuali tarekat yang bisa menyesuaikan dengan suasana perkotaan", ia
menambahkan.
Bentuknya tentu yang singkat, esensial, dan instant.
Dunia tasawwuf bagi masyarakat kota, semacam obat gigi "saya resah, saya
menemukan problem, saya setres, maka saya belajar tasawwuf agar memperoleh
ketenangan", ujar Asep, menirukan keluhan para pengikut tarekat di
kalangan perkotaan itu.
Asep juga menilai, dari lima komponen tarekat :
mursyid, murid, wirid, tata tertib, dan tempat, yang paling berat bagi
masyarakat kota adalah wirid dan tata tertib. Adapun tata tertib yang paling
tidak masuk dalam logika orang modern adalah baiat kesetiaannya kepada guru.
"Mereka ingin bebas tanpa baiat, dan tak mau terjebak kultus", kata
Asep. Orang-orang kota juga tidak berminat pada zikir yang panjang-panjang,
apalagi harus berpuasa.[26]
2.9 Kelompok Pengajian Tasawuf
Banyak orang percaya bahwa manusia itu bisa
bermesraan dengan Tuhan. Dalam terekat hubungan semacam ini di sebut dengan
Fana. Berikut ini beberapa contoh kelompok pengajian sufi :
a.
Yayasan
Wakaf Paramadina
Paramadina berdiri 31 oktober 1966 M. lembaga ini
lebih mirip kelompok diskusi. Sasarannya masyarakat menengah atas di Jakarta.
Ini sesuai dengan letak kantornya, di kawasan elite pondok Indah Plaza, Jakarta
selatan. Nur Cholis Majid pendirinya, sejak awal bermaksud mendirikan sebuah
kelompok yang terbuka. Persisi dengan karekter Nurcholis sendiri.
Untuk itu, Paramadina menawarkan paket kajian agama
dengan lingkup yang luas. Tapi, berdasar pengalaman, pelajaran tasawwuf lebih
mengikat anggota. Pesertanya rata-rata 40 orang. Namun kalau pas lagi membicarakan
tasawwuf, yang hadir sampai 120 orang. Mereka adalah (menyetir istilah
paramadina) "kelompok penentu kecenderungan". Mereka yang gandrung sufi
bisa ikut Paket Study Islam. Pertemuan berlangsung seminggu sekali, dosennya
berganti-ganti. Yang dibahas misalnya, pengantar study tasawwuf, konsep insan
kamil, dimensi mistik dan akhlak dalam islam. Namanya juga diskusi, antara satu
dosen dengan dosen yang lain sering berbeda. Misalanya, ada yang pro tarekat,
ada yang kontra. Lumrah.
Tasawwuf biasanya di ajarkan melalui tujuh
pertemuan, perjumpaan terakhir berisi pratikum, dipimpinAsep Usman Ismail.
Semula, praktikum itu berupa kunjungan kepondok Pesantren Suryalaya, jawa
barat. Berangkat sabtu pagi dan kembali ke Jakarta Minggu sore. Belakangan,
karena kesulitan teknis, guru-guru Suryalaya lah yang diundang ke paramadina.
Nurcholis mewanti-wanti, pelajaran tasawwuf tidak
boleh menjelma menjadi tarekat tertentu, "itu sudah menyimpang dari gaya
paramadina yang terbuka dan independent" katanya.
b.
Majlis Taklim Hajjah
Henny
Meskipun jauh dari kota besar, H. Henny Uswatun
Hasanah berpikiran modern. Ia mendirikan kelompok sufi yang jauh dari kesan
dekil. Rumahnya lumayan bagus di desa Tegaltirto, Brebah, Sleman, Yogyakarta.
Tempat tingganya itu, selain buat pengajian, juga merangkap tempat usaha border
dan catering.
Jamaahnya mencapai 2.500 orang, dari semarang,
Temanggung serta Yogyakarta. Tiap sore, Henny selalau menerima tamu. Ada yang
khusus mengaji, tapi tak sedikit yang ingin berobat. Malam hari, bersama jamaahnya
Henny mengadakan salat tahajud. Setiap sabtu pahing siadakan pengajian rutin.
Khusus pada malam jum'at dilakukam kegiatan istighfar, mulai pukul 22.00 WIB
hingga subuh.
Kemampuan mengobati orang ini diperoleh Henny saat
naik haji. Ketika di Mekkah persisnya di dekat sumur Zam-zam, tiba-tiba dirinya
dirangkul seorang wanita. Wanita itu mengelus-elus kepala Henny. Lalu kepala
Henny di taruh dibawah ketiak wanita mestirius tersebut.
Kisah ghaib lain adalah kala Henny berada di Masjid
Nabawi, seusai sholat isya', dia melihat dua bulatan sinar keluar dari makam
Nabi Muhammad Sholallahu 'alaihi wasallam. "sejak itu, saya merasa bisa
menolong sesama", kata ibu lima anak itu. Dan terbukti kebenarannya,
tentunya dengan seizin Allah.
c.
Tarekat Naqsabandy
Khalidiyah
Tarekat Naqsabandy sangat terkenal. Anggotanya
puluhan ribu orang dari Tulung agung, Blitar, Nganjuk, Surabaya, Malang,
Semarang,Jakarta, dan bahkan dari beberapa kota di Sumatra. Yang berminat
menekuni naqsabandy harus menghadap KH. Bastomi, pemimpin tarekat atau yang
disebut mursyid itu.
Setelah pendaftar terkumpul dua ratus orang, mereka
wajib datang sesuai dengan waktu yang di tentukan. Jamaah baru itu digembleng
selama dua puluh hari. Peserta wajib mondok. Pengajian dimulai selasa pagi,
diawalai dengan pembaitan.
Jamaah duduk tawaruk di sekeliling ruangan, sementara KH. Bastomi berada paling
depan. Satu persatu mereka bersumpah dengan bimbingan mursyid. Selesai
disumpah, jamaah harus mengikuti pengajian sufi setiap selasa dan jum'at pagi.
Setelah tahu arti tarekat, jamaah membaca wirid Ismu
Dzat menurut tingkatan masing-masing. Ada tiga kelas, yang pemula membaca 5.000
kali sehari, sedangkan yang paling senior sampai 9.000 kali. Mereka membaca
dzikir, tahlil, dan asmaul husna. Wirid dilaksanakan usai sholat fardhu.
Selama mondok peserta harus mengurangi tidur, tak
bicara di luar keperluan, tidak makan sesuatu yang berbahan dasar ikan atau
binatang. Lebih dianjurkan jika berpuasa, namun ini tak wajib. Nafsu sexsual
harus di kekang selama mengikuti acar, walaupun bercampur dengan istri sendiri.
Setelah pemondokan itu selesai, wirid wajib di baca di rumah masing-masing.
Kata KH Bastomi, wiridan merupakan cara mendekatkan
diri kepada Allah. Untuk itu peserta tarekat memenjarakan hawa nafsu duniawi
dan mengganti semua tujuan Ibadahnya untuk mencapai ridho Allah. Targetnya
muroqobah, yaitu dekat dengan Allah hingga tercabut hijab antara makhluq dan
kholiq", ujarnya. Inilah derajat tertinggi dari tarekat.
Pada tingkatan muroqobah itu, manusia merasa dirinya
dekat dengan Allah. Saking dekatnya, seolah roh Allah menyatu dalam diri
manusia. Inilah yang sering kali disebut al wihdatul wujud atau manunggaling
kawula gusti. Derajat tertinggi dari tarekat, terhubungnya manusia dengan Tuhan
saat berdzikir itu disebut fana.
Tarekat asuhan KH. Bastomi diikuti berbagai
kalangan. Mulai pedagang, pegawai, karyawan, para eksukutif, hingga pengusaha.
Jumlah jamaah perempuan tiga kali lebih besar ketimbang jamaah laki-laki.
Silsilah ajaran Naqsabandy tersambung sampai Rosulullah malalui syeh Abdul
Qadir Jailani. Tarekat model Abdul Qodir jaelani ini sudah dikenal sejak 1.300
tahun lampau.
d. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN).
Bila ditilik dari jumlah pengikutnya, tarekat
terbesar di Indonesia adalah Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Tarekat inilah
yang akhir-akhir ini kian menarik perhatian masyarakat Jakarta. Saat ini,
lokasi pembacaan manaqib (biografi Abdul Qadir Jaelani) dan khataman TQN tak
kurang dari 110 tempat di Jakarta.
Dalam semalam, minimal ada tiga tempat untuk
manaqiban dan khataman. Mereka dibimbing sekitar 30 mubaligh. Sesepuh TQN
se-Jakarta dan sekitarnya adalah KH Abdul Rasyid Effendy, 61 tahun. Jumlah
jamaah TQN se-Jakarta sekitar satu juta orang. Se Indonesia sekitar tiga juta
orang. Dalam tiap malam, manaqiban di Jakarta kat Rosyidi kini diikuti 20-30
orang baru.
Pengikut TQN tidak hanya kelas atas, melainkan dari
semua lapisan, termasuk kelas bawah. Menurut ketua Wilayah TQN Jakarta Utara,
Maksum Saputra, ikhwan-ikhwan (anggota) TQN diwilayahnya banyak dari kalangan
nelayan dan penjual ikan. Di Ciputat, Jakarta Selatan, antara lain diikuti
pengusaha kerupuk dan kondektor bus, disamping itu, banyak juga mantan mentri,
artis, pengusaha, dan pejabat tinggi negara yang bersidia di baiat menjadi
jamaah TQN.
Menurut Rosyid, yang sejak 1994 diangkat sebagai
wakil talqin (khalifah mursyidah) Abah Anom, masuk TQN tidak sulit, cukup
mengikuti acara manaqiban lalu diberi pengarahan sekitar setengah jam, ditalqin
dzikir sekitar 5 menit, dan di baiat. Baiat berisi janji setia pada Tuhan untuk
menjalani amalan dalam TQN, amalan itu intinya berisi dzikir dhohir dan khofi.
e. Pengajian
Tarekat Akmaliyah.
Letaknya di Jawa Timur (Desa Wringin Anom, Kecamatan
Tumpang, Malang) . Tarekat ini melanjutkan ajaran syaikh Siti Jenar, yang di
populerkan Sultan Hadi Wijoyo (Joko Tingkir, Raja Pajang). Tarekat Akmaliyah
menganut paham teologi pembebasan, bahwa setiap manusia berhak bertemu
Tuhannya. Tarekat ini tak mengangkat mursyid sebagaimana tarekat lainnya, hanya
ada semacam koordinator, (dalam hal ini Kiai Ahmad, seorang petani biasa adalah
sebagai koordinatornya), Lelakunya ringan, jumlah dzikirnya tak dibatasi
bilangan, disesuaikan dengan kemampuan dan waktu yang bebas.
Alumninya berjumlah ratusan, antara lain Drs. Agus
Sunyoto,MPd, 41 thn. Dosen SekolahTinggi Agama Islam Negeri Malang ini
bergabung dengan tarekat Akmaliyah setahun lalu. Tarekat ini tak mengenal
pemondokan dan pembaiatan. Setelah berdiskusi dengan kiai Ahmad untuk
meluruskan persepsi, jamaah bisa wiridan sendiri di rumahnya. "Tarekat ini
cocok untuk orang sibuk" ujar Agus. Menurut dia tarekat Akmaliyah mampu
menghubungkan manusia kepada Roh Allah, akibatnya hidup jadi lebih ringan.
(lihat Majalah Gatra, hal 66-67 Edisi 30 September 2000 M)
Inilah sekilas tentang bentuk pengajian tasawwuf
atau tarekat yang berkembang di Indonesia, yang sampai sekarang ini masih terus
berkembang di negara kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Arbery,
A.J. 1963. Sufisme. George Allen dan
Unwin Ltd. London
Hamid,
Abu. 1994. Syeih Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang. Jakarta:
Yayasan Obor
Iskandar,
T. Bustan al-Salatin. Kuala Lumpur
John,
A.H. Islam in South Asia. London
Mulyati,
Sri. 2006. Tasawuf Nusantara rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Nasution,
Harun. 1986. Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam” dalam orientasi
Pengembangan Ilmu Tasawuf. Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan
Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditbinbaga Depag RI
Nasution,
Harun. 1992/1993. (ed.), Ensiklopedi
Islam di Indonesia, jilid I. Jakarta: Abdi Utama
Proyek
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Sumatera Utara. 1981/1982. Pengantar Ilmu
Tasawuf
Rosihan
A, dan Solihin, M. 2007. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Media
Sholihin,
M. 2001. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia Bandung: Pustaka
Setia
Siregar,
A. Rivay. 2002. Tasawuf dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Trimingham,
J.S. 1973. The Sufi Orders in Islam. Oxford:
Oxford University Press
[1] A.H. John, Islam in South
Asia. London, 1965:166
[2] Hammad.
[3] Hammad.
[4] A.H John, op. cit. : 5
[5] Konsep wali dalam sufisme,
adalah seorang sufi yang telah dapat melakukan hubungan komunikasi langsung
dengan Allah secara spiritual dan dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
[6]
Rosihan Anwar dan Mukhtar
Solihin, Op., Cit,176
[7]
M. Sholihin, Sejarah dan
Pemikiran Tasawuf di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 36
[8]
Ibid., 37-49
[9] Harun Nasution, et. Al., (ed.), Ensiklopedi Islam di Indonesia, jilid I,
Abdi Utama, Jakarta, 1992/1993, hlm.33
[10] Abdullah, op. cit., hlm. 60.
[11] Abu Hamid, Syeih Yusuf
Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuan, Yayasan Obor, Jakarta, 1994, hlm. 173.
[12] Rosihan A, dan Solihin, M. 2007.
Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Media
[13] Proyek Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982, hlm. 273
[14] Ibid
[15] Harun Nasution, Perkembangan
Ilmu Tasawuf di Dunia Islam” dalam orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf,
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di
Jakarta Ditbinbaga Depag RI, 1986, hlm. 24
[16]
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Sumatera Utara, op. cit. hlm. 275.
[17] Ibid, lihat juga J.S.
Trimingham, The Sufi Orders in Islam,
Oxford University Press, Oxford. 1973, hlm. 58-64.
[18]
Ibid., halm. 35, 55, dan 60.
[19] A.J. Arbery, Sufisme, George Allen dan Unwin Ltd.,
London, 1963, hlm. 85.
[20] Trimingham, op.cit., hlm. 44.
[21] Harun Nasution, “Perkembangan…”
op. cit., hlm. 24.
[22] Ibid., hlm. 25.
[23] Arbery, op. cit, hlm. 157.
[24] Nasution, “Perkembangan…”, op.
cit, hlm.26.
[25] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar