Senin, 09 Januari 2012

Tasawuf Falsafi


2.1 Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi muncul sejak abad keenam hijriah, tasawuf ini muncul dari sekelompok orang yang memadukan tasawuf dengan filsafat, dengan teori mereka yang setengah-setengah. Dengan kata lain tasawuf ini tidak bisa disebut dengan tasawuf murni tetapi juga tidak dapat disebut sebagai filsafat murni.
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para cendekiawan muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Ajaran tasawuf yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf falsafi adalah paham emanasi Neo-Platonisme dalam semua variasinya.
Tokoh-tokoh dalam tasawuf ini adalah Abu Yazid al-Bustami, Al-Hallaj, Ibn Masarah dll. Pada umumnya mereka bermazhab Syi’ah dan orang berpola pikir Mu’tazilah dalam teologi dapat menerima konsep-konsep tasawuf falsafi.

2.1.1 Al-Ittihad
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan salah satu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu[1].
Paham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapat bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Illahi, akunya manusia itu adalah pancaran dari Yang Maha Esa. Barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriyahnya atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya sebagai insan, maka ia akan memperoleh jalan itu kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan Yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakannya hanya satu[2].
A.R. Al-Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lainnya. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan terjadi pertukaran peranan antara yang dicintai dan yang mencintai (sufi dan Tuhan). Dalam ittihad identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu, hal ini bisa terjadi karena sufi telah memasuki fana yang tidak mempunyai kesadaran dan berbicara dengan nama Tuhan[3].


2.1.2 Al-Hulul
Hulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulul berarti berhenti atau diam.
Abu Nasr Al-Tusi di dalam bukunnya “AL-LUMA”, mengatakan Hulul ialah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan[4].
Sedangkan menurut Abu Manshur al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hullul adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Menurut Al-Hallaj, Allah memiliki dua sifat dasar ketuhanan yaitu “LAHUT” dan kemanusiaan “NASUT”. Hal ini dapat dilihat dalam karya beliau yang menjelaskan tentang teori terjadinya makhluk[5].

 A. Tokoh Sufi Hulul dan Ajarannya
Adapun paham Hulul diajarkan oleh Husein Ibnu Mansur Al-Hallaj. Ia  adalah seorang sufi besar yang lahir pada tahun 858 M dikota Persia. Ia belajar tasawuf dari Amr al-Makki dan kemudian memperdalamnya melalui al-Junaid. Akan tetapi setalah ia kembali dari menunaikan ibadah haji, paham tasawufnya berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru-gurunya itu. Paham al-hulul seperti yang diperkenalkan oleh al-Hallaj, sesungguhnya perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad Abu Yazid al-Bustami sebagaimana dikemukakan di atas. Menurut pemikiran tasawuf ia mengatakan bahwa[6]:
Aku ingin untuk tidak mengingini”
“Aku tidak ingin Tuhan kecuali Tuhan”
Dari ucapan yang lebih ganjil adalah ketika ia telah mencapai ittihad:
“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”
Kemudian ia menetap di kota Bagdad.
Sebagaimana halnya yang terjadi pada Abu Yazid tatkala mencapai peristiwa ittihad dari mullut Al-Hallaj juga mengeluarkan kalimat-kalimat ganjil tatkala ia mencapai proses Hulul. Abu Yazid adalah tokoh Penyebar dan pembawa ajaran Ittihad, yaitu suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, kemudian salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan perkataan: Hai Aku.
Contoh kalimat ganjil yang dikeluarkan tatkala Al-Hallaj mencapai proses Al-Hulul adalah seperti ucapan: Tuhan mempunyai sifat kemanusiaan dan manusia sendiri mempunyai sifat ketuhanan, nasut dan lahut. Ia mengambil hadist sebagai dasar pemikirannya[7]:
“Tuhan menciptakan adam menurut bentukNya”.
Menurutnya pada adam terdapat bentuk Tuhan dan selanjutnya dalam Tuhan terdapat pula bentuk Adam.
Atas dasar ini persatuan antara manusia dan Tuhan dapat terjadi. Filsafat persatuan yang dibawa Al-Hallaj disebut Al-Hulul, yankni paham yang mengatakan bahwa Tuhan dapat terjadi. Filsafat persatuan yang dibawa Al-Hallaj disebut Al-Hulul, yakni paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat di dalamnya. Tetapi untuk itu seorang sufi harus terlebih dahulu menghancurkan sifat-sifat kemanusiaannya sehingga yang terdapat didalam dirinya adalah sifat-sifat ketuhanan. Kemudian barulah Tuhan mengambil tempat dalam diri sufi bersangkutan.
Sewaktu tercapainyalah Al-hulul ke luar dari mulut Al-Hallaj ucapan Ana Al-Haqq. Yang dimaksudnya dengan Ana (Aku) di sini bukanlah dirinya, karena selanjutnya ia mengatakan:[8]
“Aku adalah rahasia dari yang Mahabenar, bukanlah yang Maha benar itu aku; aku hanya salah satu yang benar, oleh karena itu bedakanlah antara kami”.
Jadi sebagai halnya dengan Abu Yazid, Al-Hallaj, ketika mengucapkan Ana Al-Haqqa sedang dalam keadaan fana hancur kesadaran, dan yang berbicara memakai nama Tuhan bukanlah Al-Hallaj.
Konsep hulul dibangun di atas landasan teori lahut dan nasut. Lahut berasal dari perkataan ilah yang berarti tuhan, sedangkan lahut berarti sifat ketuhanan. Nasut berasal dari perkatan nas yang berarti manusia; sedangkan nasut berarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj mengambil teori hulul dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Hulul Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulul Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan permanen. Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarinya (syathahat)[9].
Pada tahun 301 H/913 M al-Hallaj masuk penjara Baghdad selama 8 tahun karena dituduh terlibat makar dan nodai kesucian agama. Setidaknya ada empat tindakan subversif yang dituduhkan kepadanya. Pertama, ia dituduh memiliki hubungan politik dengan kaum Qaramithah, gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan pemerintah Abbasiyyah. Kedua, keyakinan al-Hallaj yang mengaku dirinya Tuhan, ketika mengalami syathahat. Ketiga, keyakinan al-Hallaj bahwa ibadah haji bukanlah kewajiban agama yang penting. Dan keempat, keyakinan al-Hallaj tentang wahdat al-adyan (kesatuan agama). Amnesti untuk al-Hallaj tidak terlaksana karena sikap Perdana Menteri yang menghalanginya. Kasus al-Hallaj diputuskan di Mahkamah Syari’ah dengan vonis hukuman mati dan dieksekusi dengan disalib pada tiang gantungan tahun 309 H/922. [10]
Ketika Tuhan hendak menciptakan makhluk, Ia terlebih dahulu melihat dirinya (tajalli al-haq li al-nafs). Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antar Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang dalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggalan zat-Nya. Allah melihat kepada melihat kepada zat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada (min al-‘Adam, ex nihilo) bentuk (copy) dari-Nya (shurah min nafsihi) yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Bentuk (copy) itu adalah Adam. Setelah menjadikan Adam memuliakan dan menggungkan Adam. Ia cinta pada Adam (ikhtarahu li nafsihi). Pada diri Adamlah Allah muncul dalam bentuk-Nya.Teori ini lebih jelas, kelihatan dalam syair’nya yang berikut[11]:

“Maha suci zat yang sifat kemanusian-Nya membukukan rasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.

Menurut al-Hallaj Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana menjelma dalam diri Isa a.s. Dalam kesimpulan al-Hallaj, dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian, persatuan antara manusia dan Tuhan bisa terjadi, dan persatuan ini dalam falsafat al-Hallaj mengambil bentuk Hulul (mengambil tempat). Supaya dapat bersatu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan fana’. Kalau sifat-sifat kemanusiaan ini telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika ruh Tuhan dan ruh manusia bersatu di tubuh manusia, sebagai nyatadari sya’ir berikut[12]:

“Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air.”

“Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.”

“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia adalah yang kucintai adalah aku.”

“Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam datu tubuh, jika engkau lihat aku engkauLihat dia.”

“Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.”

Dengan cara inilah menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Dalam persatuan ini diri al-Hallaj kehitannya hilang, sebagai halnya dengan diri Abu Yazid al-Bustami dalam ittihad. Dalam ittihad diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam paham al-Hallaj; dirinya tak hancur, sebagaimana terlihat dari syair di atas. Sama halnya seperti Abu Yazid, al-Hallaj juga mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan (ana al-haq). Namun kata itu bukanlah ruh al-Hallaj yang mengucapkan, tetapi ruh Tuhanlah yang mengambil tempat dalam dirinya.

1.1.3          Al-Fana
I.       Pengertian
Dalam kitab Arrisalah al-Qusyairiyah dikatakan:[13]
ذهابالبشرية
a.    Arti fana ialah lenyapnya indrawi/kebasyiran.
Maka siapa-siapa yang telah diliputi hakekat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah fana dari alam cipta/dari makhluk dan baqalah kedalam baqanya Allah tanpa hulul.[14]
b.   Fana berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat bathin) dan baqanya/kekalnya sifat-sifat terpuji (taat lahir dan taat bathin). Bahwa fana itu ialah lenyapnya segala-galanya, lenyap ap-alnya/fana fil ap-al lenyap sifat/fana fis-sifat lenyap dirinya/fana aninafsi. Karena lenyapnya semua itu, maka yang tinggal ialah baqanya Allah. Dan memang semestinya begitulah sesuai kata ahli-ahli tasawuf:[15]
apabila nampaklah Nur kebaqaan maka fanalah yang tiada dan baqalah yang kekal”.
“tasawwuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya karena kehadiran hati mereka bersama Allah” t
A$s% #ÓyqßJ»tƒ ÎoTÎ) y7çGøŠxÿsÜô¹$# n?tã Ĩ$¨Z9$# ÓÉL»n=»y͏Î/ ÏJ»n=s3Î/ur õäÜsù !$tB y7çG÷s?#uä `ä.ur šÆÏiB tûï̍Å3»¤±9$# ÇÊÍÍÈ
"Allah berfirman: "Hai Musa, Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur."
           
            Fana yang dicari orang-orang sufi ialah penghancuran diri yaitu “fanaun Nafsi” yang dimaksudkan dengan al-Fanaun Nafsi ialah kehancurannya perasaan atau kesadaran atas tubuh kasar.
            Dalam kitab Qusyairiyah dikatakan “fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada akan tetapi tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”. Dalam sejarah tasawwuf maka Abu Yazid al-Bustamylah adalah yang dipandang sebagai sufi pertama mamberikan ajaran/metode Fana dan Baqqaa. Faham ini tersimpul dalam kata-katanya:[16]

اعرفه بى حتى فنيت ثم عرفته به فحييت
“aku tahu tuhanku melalui diriku hingga aku hancur/fana” kemudian fanaku itu aku tahu padanya melalui dirinya maka akupun hidup”.

Berbicara Abu Yazid al-Bustamy mengenai “fana dan baqqaa” tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan “faham ittihat” sebagai ajaran Abu Yazid. Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode tasawuf, menurut keterangan A.R al-Badawy: “yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dan Tuhan”. Dalam situasi seperti itu seseorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang dicintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata “Hai aku”.
فيقول الواحدللاخرياانا
           Kejadian seperti ini banyak sekali terjadi pada Abu Yazid.salah satu contoh dia mengucapkan kata “aku” bukan lagi sebgai ucapan dari diri Abu Yazid tetapi adalah sebagai ucapan Allah karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Allah. Dengan kata lain Abu Yazid dalam Ittihad berbicara melalui “lidah” Tuhan. Sebagai contoh Abu Yazid pernah berkata:
سبحانى, سبحانى, مااعظم شانى
           Faham Ittihad ini adalah ajaran Abu Yazid al-Bustami yang merupakan suatu cara atau tarekat kea rah mencapai “makrifah” sebagai maqam yang tertinggi untuk bersatu dengan tuhan. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, ia tidak dapat bersatu dengan tuhan. Penghancuran diri inilah dalam tasawwuf dinamakan “fana”.
           Sungguhpun semua ajaran tasawwuf mengakui bahwa pintu untuk jalan masuk bertemu Allah adalah pintu “fana”, namun masih terdapat perbedaan-perbedaan cara diantara para ahli-ahli muhakkikin, tetapi tujuan tetap sama ialah Liqaa Allah bertemu dengan Tuhan. Perbedaan-perbedaan cara itu dibenarkan oleh al-Ghazali dimana al-Ghazali membawa juga pengikut-pengikutnya kepada liqaa Allah. Perbedaan pendapat dapat kami temukan suatu pendapat dalam kitab Insanul Kamil antara lain:
           Bahwa sesungguhnya soal mencapai Zat Allah Yang Mha Agung itu, ialah bahwa kamu tahu cara kasyaf rahasia ketuhanan. Ketika itu kamu adalah dia dan dia adalah kamu. Tetapi tidak dalam bentuk ittihad dan hulul. Bahwasannya hamba tetap hamba,  tuhan tetap tuhan. Tidak mungkin hamba jadi Tuhan dan tidak mungkin pula Tuhan jadi hamba. Adapun tanda-tanda kasyaf, adalah:[17]
Pertama : Ia fana dari dirinya karena nampaknya Tuhan.
Kedua  :Ia fana dari sifat-sifat Tuhan karena nampaknya Rahasia Ketuhanan.
Ketiga  :Ia fana dari segala yang bersangkutan sifatnya karena tahqiqnya Zatullah.
Apabila telah selesai bagimu ketika dalam keadaan seperti ini, maka ketika itulah kamu mendapatkan Zatullah” 

II.    Tanggapan-tanggapan tentang Al-fana
           Sahabat Nabi yang paling sering memperkatakan tentang “fana” ialah Sayyidina Ali Bin Abi Thalib r.a: “Dan didalam leburku/fanaku leburlah kefanaanku, tetapi didalam kefanaanku itulah bahkan aku mendapatkan Engkau Tuhan”. Demikianlah fana ditanggapi oleh para kaum sufi secara baik bahkan fana itulah merupakan pintu masuk untuk menemukan Allah/ لقاءالله bagi orang yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk untuk bertemu Alla. Untuk mencapai لقاءالله menurut ayat dialam Al-Qur’an yang artinya “maka siapa yang ingin akan menemukan Allah maka hendaklah ia mengerjakan amalan saleh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadah kepada Tuhan” ada dua kewajiban yang mesti dijalankan. Pertama :mengerjakan amal saleh dengan menghilangkan semua sifat-sifat yang tercela dan menetapkan sifat-sifat yang terpuji yakni Takhalli dan Tahalli. Kedua :meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang ada hanya Allah semata-mata dalam beribadah. Itulah artunya memfanakan diri.[18]
           Tetapi bagi mereka yang sama sekali belum mempelajari mengetahui tentang Ilmu Tarekat, apalagi kalau mereka itu memang anti tarekat sudah tentu mereka itu tidak tahu apa itu “fana”. Bahkan bagi mereka itu perkataan “fana” atau lenyap menjadi tertawaan dan ejekan, “mau fana masuk laut atau masuk Neraka?. Kata mereka yang anti tarekat. Akibatnya banyaklah orang salah anggapan tentang tarekat yang dianggapnya tarekat dan taswuf itu tidak dari Rasulullah dan tidak berasal dari islam. Sehingga banyaklah orang menganggap tarekat dan tasawuf itu sebagai perbuatan did’a, kesesatan, kekafiran dan kemusyrikan. Sehingga mereka itu pada takut terhadap tarekat dan tasawuf. Tetapi sebaliknya, bahkan orang-orang salah anggapan itulah terhadap tarekat dan tasawuf justru orang-orang yang sesat dalam masalah Agama Islam. Sejarah pelaksanaan agama islam menjadi fakta kebenaran, bahwa yang banyak memperkatakan tentang “fana” ialah Sayyidina Ali salah seorang sahabta yang terdekat kepada Nabi dan beliau adalah pemuda yang terkemuka dalam memperkembangkan Islam. Mustahil ia memperkatakan ‘fana” kalau kata-kata dan cara itu adalah cara-cara orang sesat, orang kafir atau orang musyrik.


III. Tingkatan-tingkatan Al-fana dan hikmahnya
1.      Fana fi af-alillah
Dalam fana pada tingkatan ini seseorang telah mulai dalam situasi dimana akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai “ilham” tiba-tiba Nur Illahi terbit dalam hati sanubari muhadarah hati beserta Allah dalam situasi mana, gerak dan diam telah lenyap menjadi gerak dan diamnya Allah.
2.      Fana fissifati
Pada tingkatan ini seseorang mulai dalam situasi putusnya diri dari Alam indrawi dan mulai lenyapnya sifat kebendaan artinya dalam situasi menafikan diri dan meng-isbatkan sifat Allah, memfanakan sifat-sifat diri kedalam kebaqaan Allah yang mempunyai sifat sempurna.
3.      Seseorang telah dalam situasi fananya segala sifat-sifat keinsanannya, lenyap dari alam wujud yang gelap ini, masuk kedalam alam ghaib atau yang penuh dengan Nur cahaya.
4.      Seseorang telah memperoleh perasaan bathin pada suatu keadaan yang tidak berisi, tiada lagi kanan dan kiri tiada lagi muka dan belakang, tiada lagi atas dan bawah, pada ruang yang tidak terbatas tidak bertepi. Dia telah mencapai martabat “syuhudul haqqi bil haqqi”. Dia telah lenyap dari dinya sama sekali dalam keadaan mana hanya dalam kebaqaan Allah semata-mata. Ringkasnya dapat disimpulkan bahwa segala-galanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak.
           Hikmah “fana” adalah, pentauhidan tuhan semuri-murninya dalam arti tiada wujud yang mutlaq melainkan Allah. Dan pengenalan tuhan semurni-murninya tidak sekedar dengan pengakuan adanya dan satunya saja dengan ucapan kalimah syahadat, tidak sekedar dalalil atau pendapat dengan jalan akal pikiran saja, tetapi kita mengenal tuhan dalam arti “Makrifah”.

2.1.4 Wahdatul Wujud
Ajaran Wahdatul Wujud dibawa oleh seorang Sufi yang sangat terkenal, yakni: Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Ibn ‘Arabi dilahirkan di Murcia, spanyol pada tahun 1165 M. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Seville, beliau pindah ke Tunisia pada tahun 1145 M dan disanalah beliau mulai memasuki aliran sufi. Pada tahun 1202, beliau pergi ke Makkah dan meninggal di damaskus pada tahun 1240 M. Selain sebagai seorang sufi, Muhyiddin Ibn ‘Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Lebih dari 200 buku berhasil beliau susun, diataranya ada yang 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedi tentang sufisme seperti kitab Futuhah Al Makkah. Selain itu, buku hasil karang beliau yang termasyhur adalah Fusus Al Hikam yang juga berisi tentang tasawwuf
Menurut Hamka, Ibnu ‘Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah samapi pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan beerdasarkan renungan fikir dan filsafatdan dzauq tasawwuf. Dia menyajikan ajaran tasawwufnya dengan bahasa yang agaj berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah, dan ancaman kaum awam sebagaimana yang dialami oleh Al Hallaj.

A. Sejarah dan Kebenaran Ajaran Wahdatul Wujud
Secara historis, konsep Wahdatul Wujud pada mulanya adalah ajaran yang disusun oleh Ibnu Arabi yang lebih bernuansa sufistik dari pada filsafat. Banyak penafsiran telah diberikan tentang ajaran ini, dari penafsiran yang sangat ekstrem sampai yang moderat. Diantara penafsiran yang paling ekstrem adalah penafsiran Ibnu Sab’in yang menyatakan bahwa: “Hanya Tuhan yang eksis sementara selain Tuhan tidak ada yang eksis”. Penafsiran lain tentang Wahdatul Wujud yang cukup ekstrem adalah pendapat yang menyatakan bahwa seluruh yang berwujud selain Tuhan hanyalah tajalliyat (manifestasi) dari Asma’ dan sifat-sifat Tuhan[19].
Menurut Rokim (2010) bahwa konsep ajaran wahdatul wujud –yang selama ini muncul sebagai suatu ajaran yang nampaknya bertentangan dengan syari’at– adalah sebuah ilmu batin yang kebenarannya bersifat sangat filosofis, yang tidak patut disebarkan dan dipelajari secara ilmiah karena wahdatul wujud hanya dimilki orang-orang pilihan yang telah medapat Ridhoi dari Tuhan. Jika wahdatul wujud disebarkan, maka akan terjadi fitnah yang akan menimbulkan perpecahan diantara umat Islam, bahkan terjadi pembunuhan seperti yang terjadi pada Syekh Siti Jenar dan Al-Hallaj. Jika Wahdatul wujud memang harus dipelajari, maka orang yang mempelajarinya paling tidak harus menempuh tingkatan-tingkatan sebagaimana yang telah dilalui oleh para Sufi dan harus memahami tentang syari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat.
Menurut Mahmud (2008) istilah Wahdatul Wujud berbeda dengan istilah Wahdatul Maujud. Wahdatul Wujud dan Wahdatul Maujud merupakan dua ungkapan yang sangat berbeda dalam segi maknanya, dimana munculnya perdebatan tentang sesat dan tidaknya ajaran ini, yang selama ini dipertentangkan oleh umat Islam disebabkan karena kesalahan persepsi tentang makna dari Wahdatul Wujud yang dimaknai dengan makna Wahdatul Maujud. Hal tersebut menyebabkan makna Wahdatul Wujud yang dipahami oleh umat Islam melenceng dari makna sebenarnya dan muncullah klaim sesat bagi ajaran Wahdatul Wujud dari pihak-pihak tertentu yang belum sepenuhnya mengerti tetang ajaran Wahdatul Wujud.
Wahdatul Wujud berarti kesatuan wujud, sedangkan Wahdatul Maujud bermakna kesatuan segala yang ada. Adapun Maujud merupakan segala sesuatu yang ada dan sangat banyak sekali, seperti: langit, bumi, gunung,manusia, hewan, tumbuhan. Semua yang Maujud tersebut berbeda, seperti dalam sifat, bentuk, warna atau yang lainnya. Dalam konteks hubungannya dengan Tasawwuf, Wahdatul Maujud berarti Allah dan para mahluknya adalah wujud yang tunggal. Pernyataan tersebut tidaklah dibenarkan oleh para sufi dan merupakan pernyataan yang menyesatkan. Tidak ada seorang sufi yang mengatakan adanya kesatun dari segala apa yang ada (Wahdatul Maujud). Seorang Sufi yang merupakan orang-orang yang telah mencapai puncak keimanan mustahil mengatakan adanya kesatuan segala apa yang ada atau mengakui konsep Wahdatul Maujud, karena seorang mukmin yang benar-benar beriman tidak diperbolehkan untuk berpendapat mengenai adanya Wahdatul Maujud.[20].
Beberapa pendapat mengatakan bahwa munculnya konsep Wahdatul Maujud muncul dari pemikiran segolongan filosof terdahulu yang mengatakan Tuhan dan mahluk adalah wujud yang tunggal, seperti pernyataan yang dikeluarkan oleh Heraclitus pada masa peradaban Yunani. Dia mengatakan bahwa Allah adalah siang dan malam, beku dan cair, banyak dab sedikit, serta seperti api yang harum, dan dinamakan dengan wewangiaan yang semerbak. Pernyataan tersebut jelas-jelas dalah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakana[21] .
Konsep Wahdatul Maujud merupakan ajaran yang sepertinya sengaja dicetuskan oleh orang-orang yang ingin menyesatkan kaum Muslimin, menimbulkan perdebatan di kalangan kaum Muslimin sehingga terjadi saling klaim mengkufurkan satu sama lain, padahal kaum sufi Islam tidak mengenal adanya konsep Wahdatul Maujud. Salah satu contoh adalah ketika kaum sufi berpendapat tentang adanya bil Wujudil Waahid (wujud yang tunggal), lawan-lawan mereka menguraikan wujud yang satu dengan pemikiran filsafat dalam arti sama dengan Wahdatul Maujud. padahal keduanya merupakan dua pernyataan yang sangat berbeda. Mereka melakukan pemalsuan dan dusta untuk mengalahkan orang Islam dengan segala cara[22].
Ketika kaum sufi berpendapat tentang wujud yang satu, para penentangnya kemudian menguraikan pendapatnya dengan menafsirkan wujud yang satu sebagai maujud yang satu. Kalimat inilah yang mereka hubungkan dengan syekh al Hallaj dan para sufi lainnya –semoga Allah merahmatinya– yang sebenarnya tidak pernah ditulis olehnya dan tidak pernah pula ditemui dalam semua karyanya. Mereka mengarang kemudian meletakkannya sebagai dasar hukum untuk menuduh syekh al Hallaj dan para sufi lainnya sebagai seseorang yang sesat. Mahmud (2008) berpendapat dalam bukunya tentang masalah ini, bahwa:

“Masalah ini seharusnya tidak kami perhatikan, karena tidak penting –dalam logika pembahasan– untuk diperhatikan, yaitu kalimat-kalimat yang bertebaran di sana-sini hanyalah dibuat-buat dan dipalsukan hingga menyesatkan artinya, remeh daam nilai filsafat, asing dalam lingkungan Islam, yang menyeru bahwa hal tersebut dibuat hanya untuk menyesatkan dan menfitnah”

Jadi, pemahaman yang salah oleh kaum Muslimin tentang konsep ajaran Wahdatul Wujud serta adanya propaganda dari pihak-pihak tertentu yang ingin menyesatkan kaum Muslimin dengan memberikan pernyataan yang salah (Wahdatul Wujud dimaknai dengan Wahdatul Maujud) membuat ajaran Wahdatul Wujud diklaim sebagai ajaran yang sesat oleh orang Muslim sendiri terutama mereka yang tidak memahami ajaran ini dengan benar dan mendalam.

B. Konsep Ajaran Wahdatul Wujud
Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yakni: Wahdah dan Al Wujud. Wahdah berarti tunggal, sendiri, kesatuan, sedangkan Al Wujud berari ada[23]. Makna wujud yang satu sesungguhnya adalah wujud Allah Yang Maha Kaya dengan DzatNya dari selainNya. Itulah wujud yang Haqq, yang memberikan wujud bagi setiap mahluk dan pencipta Mahluk. Maha Suci Allah Yang Maha Pencipta dan dialah Al Bari’ (Dzat Yang Maha Menjadikan segala sesuatu) lagi Al Mushawwir (Yang Maha Pembentuk segala sesuatu),



Artinya: “Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendakiNya. Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[24]
Diantara sebagian arti penciptaan ini ialah sebagaimana firmanNya:







Artinya:Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” .[25]

Oleh karena itu, hubungan antara Allah SWT dan mahlukNya adalah bahwa Allah SWT adalah yang memberi wujud padanya (manusia) sesuai dengan yang dikehendakiNya dalam setiap saat dan terus-menerus hingga membentuk hidupnya dengan bentuk yang dikehendakiNya[26] .
Hubungan Allah dengan setiap yang maujud sesungguhnya adalah berdasarkan cara ini. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:




Artinya: Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”[27]

Sesungguhnya Allah SWT telah menahan keduannya (langit dan bumi) dalam wujud adan pengaturanNya dan juga menhan keduannya denga kuat dan keserasian dan Allah SWT menahan jumlah dan keadaannya dalam mengatur keduanya. Jika Dia menarik pemberianNya, niscaya akan lenyap jumlah dan keadaannya[28].
Telah banyak dijumpai para kalangan sufi yang fana’ atau karam di dalam kema’rifatannya sehingga keluar dengan sendirinya ucapan-ucapan yang aneh yang dianggap menyimpang dari ajaran syari’at:
  1. Ma’ fill Jubbatti  illallah (tiada dalam jubahku melainkan Allah).
  2. Ana Al Haq (akulah Tuhan Yang Benar)
  3. Ana man ahwa, waman ahwa ana (akulah adalah Tuhan yang kucinta, dan Tuhan yang kucinta ialah aku).
Sebenarnya, perkataan-perkataan tersebut keluar dari mulut seorang Sufi ketika mereka dalam keadaan yang tidak sadarkan diri. Dalam artian bahwa perkataan tersebut keluar dari mulut Sufi yang sedang merasakan kelazatan/kenikmatan jizbah (pandangan hati yang disentak oleh Allah dengan musyahadah kepadaNya dengan Zauq dan Wujdan) yang kuat ketika mereka dalam masa fana’ sehingga tanpa sadar mereka mengucapkan kalimat-kalmat tersebut. Menurut Mahmud (2008), sesungguhnya Allah SWT meliputi wujud mereka sehingga mreka tidak bisa melihat selain Allah SWT, bahkan mereka tidak bisa melihat dirinya sendiri; mereka tidak bisa melihat selainNya sebagai pengausa langit dan bumi, dan mereka tidak melihat selainNya sebagai pengendali urusan yang ringat dan berat, yang mereka lihat hanya Allah. Firman Allah SWT:





Artinya: Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu[29]

Sesungguhnya mereka telah menjadi Rabbaniyyun dan menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla bagi penglihatan, pendengaran, anggota tubuh mereka, serta hati (sanubari) mereka, hingga tiada tempat dalam dirinya selain Allah.
Bagaimanapun, kaum sufi telah mengungkapkan wujud yang tunggal, Menurut Mahmud (2008), ungkapan para sufi merupakan ungkapan yang sangat meresap dalam hati dan sangat dalam, bukan seperti ungkapan-ungkapan kering para ahli filsafat atau para ahli ilmu kalam. Dalam ungkapannya, mereka menerangkan bahwa Allah SWT memberi wujud bagi setiap yang maujud. Dialah yang memberi kemampuan berdiri bagi orang yang berdiri, kemampuan berjalan bagi orang yang berjalan, bergerak, dan sebagainya. Menurut ungkapan ahli sunnah pengikut Al Asy’ari, “Sesungguhnya Dia (Allah) yang memotong, bukan pisau, Dialah yang membakar bukan api,dan Dialah yang jika berkehendak dengan mengatakan pada api, “jadilah engkau dingin dan selamat”, api itu akan menjadi dingin dan selamat”.
Seorang Sufi yang sedang dalam maqam fana’ seakan-akan dengan sendirinya ia mengucapkan ”Akulah Tuhan yang kucinta, dan Tuhan yang kucinta ialah aku” . Rokim (2010) berpendapat bahwa perkataan yang seperti itu bukanlah pada hakekatnya ia mengakui sebagai Tuhan akan tetapi ia menceritakan tentang apa terjadi terhadap diri Tuhan, seperti ada seseorang membaca al-qur’an yang artinya “Sayalah Tuhan, tiada Tuhan melainkan Saya”. Sebagai contoh adalah ketika Syekh Siti Jenar bersemedi di dalam gua, kemudian beliau dipanggil oleh dua murid utusan Sunan Giri. Syekh Siti Jenar menjawab ”Tidak ada Siti Jenar yang ada hanya Allah” dan ketika dua orang utusan itu kembali lagi untuk menghadap Siti Jenar ia pun menjawab: “Jenar tidak ada yang ada hanya Tuhan”. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika seseorang karam dalam Wahdatul Wujud atau fana’, maka ia tidak dapat menyaksikan akan keberadaan dirinya serta alam sekelilingnya karena kelazatan/kenikmatan syuhud kepada Allah, dan tanpa kesadaran keluarlah kalimat-kalimat tersebut.
Ketika para sufi mengucapkan kalimat-kalimat yang dirasa asing dan sesat menurut orang awam, yang belum mengetahui makna sebenarnya dari ungkapan wahdatul wujud maka tidak sedikit dari kalangan para Sufi yang tidak selamat dari fitnah sebagaimana yang terjadi pada Al-Hallaj yang difonis mati oleh penguasa Islam. Maka, kita sebagai umat Muslim tidak boleh secara langsung atau dengan serta merta menghukumi mereka sebagai orang kafir dan sesat, karena munculnya ungkapan sesat atau kufur yang keluar dari mulut kita sesungguhnya adalah ungkapan yang keluar karena ketidakfahaman kita akan konsep wahdatul wujud serta karena kelemahan jiwa kita. Menurut Mahmud (2008), “Siapapun yang belum mencapai tingkatan seperti Al Hallaj, Ibnul ‘Arabi, Ibnul Faridh dan sebagainya (semoga Allah mencurahkan rahmatNya kepada mereka), yang belum mendekati tingkatan mereka harus berusaha untuk tidak menghukum tokoh-tokoh seperti mereka”.
Menurut Rokim (2010), bahwa: “Ketika kita menjumpai orang-orang yang seperti itu, kita harus memahami konsep wahdatul wujud secara filosofis (radikal, sistematis dan universal) dan jangan menghukumi secara lahiriahnya saja dengan mengkafirkan mereka, karena wahdatul wujud merupakan ilmu batin yang sangat sulit dipahami oleh orang yang belum mencapai tingkatannya”. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mahmud (2008) bahwa:

“Pada suatu ketika dikatakan pada salah seorang Saiykh dari kaum yang saleh bahwa si fulan mengkritik Saiykh Ibn ‘Arabi dalam majalah-majalah. Saiykh tersebut menanggapi, “Apakah kumbang berhak menghukum tindakan harimau?, tidaklah dibenarkan bila kumbang menghukum tindakan binatang buas. Juga bukan hak kumbang untuk mengeluarkan pendapat tentang tindakan binatang buas tersebut”.

Imam Asy Sya’rani –semoga Allah merahmatinya– mengatakan tentang musuh-musuh Imam Muhyiddin Ibn ‘Arabi, bahwa: “Hukum mereka hanalah hukum seekor nyamuk yang meniup sebuah bukit dengan tujuan melenyapkannya dari tempatnya. Sementara itu, angin berhasil melenyapkan ribuan nyamuk, tetapi bukit-bukit itu tetap berdiri dengan kokohnya. Dan dengan bukit-bukit itulah keseimbangan bumi terjaga”. Lalu, bagaimana mungkin mereka  yang merupakan para wali Allah mendakwakan persatuan dengan Al Haqq. Hal tersebut adalah sebuah kemustahilan bagi mereka (semoga Allah meridlai mereka)[30]

2.2 Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi
2.2.1 Abu Yazid Al-Bustomi
A.           Riwayat Hidup Abu Yazid
Abu Yazid Al-Bustomi lahir di Bistam di Persia pada tahun 874 M, dan meninggal pada usia 73 tahun. Kelihatannya ia mempunyai istri, tetapi tidak dapat diketahui perincian selanjutnya dari hidup perkawinannya. Ibunya juga merupakan seorang zahid dan Abu Yazid amat patuh padanya. Sesungguhnya orang tuanya merupakan salah satu pemuka masyarakat yang berada di Bistam, Abu Yazid memilih kehidupan yang sederhana dan menaruh kasih sayang pada fakir miskin. Ia jarang keluar dari Bistam dan ketika kepadanya dikatakan mencari hakikat selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya ia menjawab: “Temanku (maksudnya Tuhan) tidak pernah bepergian oleh karena itu akupun tidak bergerak dari sini” sebagian besar dari waktunya ia pergunakan untuk beribadah dan memuja Tuhan. Dia senantiasa ingin dekat kepada Tuhan, yang memulai dengan timbulnya paham fana dan baqa’ dalam tasawuf [31].
Ketika Abu Yazid masih kecil, ia bernama Taifur, dan ketika itu pula kegemarannya sudah mulai tampak untuk selalu belajar berbagai ilmu pengetahuan, ia mulai belajar ilmu Fiqh dari ulama bermazhab Hanafi. Sedangkan ilmu tasawuf dan ilmu Tauhid didapatkan dari gurunya yang bernama Abu Ali As-Sindy, sangat bertentangan dengan faham Sunni, sehingga ia dan murid-muridnya selalu diancam hukuman atas permintaan ulama-ulama Sunni kepada penguasa pemerintahan ketika itu [32].
B. Ajaran tasawuf Abu Yazid
Abu Yazid setelah mengetaui proses pendekatan diri kepada Allah, melalui fana ia meninggalkan dirinya ke hadirat Tuhan. Keberadaan ia dat dilihat apa berada dekat atau belum pada Tuhan melalui “syatahat” yang diucapkan. Adapun syatahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh seorang sufi pada permukaan ia berada di pintu gerbang ittihad, seperti ucapan dia [33]:
“Aku tidak heran melihat cintaku padaMu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran melihat cintaMu padaku karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa”
Dalam ajaran tasawufnya terkandung falsafah-falsafah hulul dan ittihad, yang kadang-kadang diungkapkannya dalam cerita-cerita yang mengandung ibarat misalnya ia mengatakan “Ular tidak dapat dilihat zatnya, karena ia terbungkus dengan sifatnya (kulitnya) apabila ular itu terpisah dari kulitnya, barulah kelihatan ular yang sebenarnya”. Maka ular itu dapat mengatakan “Akulah ular”. Tuhan merupakan suatu zat, sedangkan manusia merupakan suatu sifat sesudah manusia itu fana, yang ada hanya Tuhan. Maka, ia mengatakan “Akulah Tuhan” sedangkan manusia tidak dapat berkata bahwa ia ada, karena hanya merupakan sifat belaka, sama halnya dengan kulit ular[34]. Tatkala berada dalam tahapan ittihad Abu yazid berkata [35]:
“Tuhan berkata: ‘semua mereka-kecuali engkau- adalah makhluk’ Akupun berkata, ‘Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau”
Selanjutnya ia berkata lagi:
“ Konversasipun terputus: kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, ‘Hai engkau.’, Akupun –dengan pelantaraan-Nya menjawad; ‘Hai Aku’. Ia berkata, ‘Engkaulah yang satu’. Aku menjawab: ‘Akulah yang satu.’ Ia berkata lagi, ‘Engkau adalah Engkau’, Akupun menjawab: ‘Aku adalah Aku’”
Sehabis sholat subuh Abu Yazid pernah berkata:
“Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”
Suatu ketika ada orang yang lewat rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya: “ Siapa yang engkau cari?”, orang itu menjawab: “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah , di rumah ini tidak ada, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”[36]
Perkataan yang semacam itulah yang mengakibatkan Abu Yazid sering dituduh sebagai musyrik, karena perkataannya yang membingungkan masyarakat, sehingga ia ditangkap dan di penjarakan. Namun murid-murid dari Abu Yazid masih teguh mempertahankan dan mengembangkan ajarannya melalui perkumpulan tarikat yang dinamakan “Thariqah Thaifuriyyah” yaitu suatu istilah yang dinisbahkan kepada gurunya, Abu Yazid (Taifur).
Rangkaian kata-kata Abu Yazid tersebut merupakan ilustrasi tentang proses terjadinya ittihad. Pada bagian awal ia melukiskan alam ma’rifat, dan selanjutnya memasuki alam fana’an nafs sehingga berada sangat dekat dengan Tuhan, dan akhirnya mencapai perpaduan [37]. Secara harfiah ungkapan-ungkapan Abu Yazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan, namun sebenarnya bukan demikian maksudnya, dengan ucapan “aku adalah engkau “ bukan ia maksudkan “aku”nya sebagai Abu Yazid sendiri. Namun dialog itu terjadi ketika itu pada hakikatnya adalah monolog. Kata-lkata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah  Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs. Pada saat bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada ketika itu hanya satu wujud yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapan itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalan hal ini Abu Yazid menjelaskan [38]:
“Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya sedangkan saya dalam keadaan sendiri fana”
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Proses ittihad Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari, dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya terlebur dalam apa yang Dia lihat. 

1.2.2        Husein Ibnu Mansur Al-Hallaj
A.           Riwayat Hidup Ibn Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur bin Muhammad Al-Hallaj, yang dilahirkan disebuah desa bernama “Thur”, di dekat desa Baidha’ di Persia. Ketika masih remaja kira-kira berumur 16 tahun, ia sudah mulai tertarik dengan kehidupan seorang sufi sehingga ia berguru pada seorang ulama sufi yang terkenal di masa itu. Dan seterusnya ia meneruskan pelajarannya pada Abdillah At-Tustari dan Junaid Al-Badhdady, serta aktif mengikuti gurunya dalam setiap pertapaan [39].
Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Gagasan pemerintahan yang bersih dari Nasr Al-Qusairi dan Al-Hallaj ini jelas berbahaya karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja. Pada waktu yang sama aliran keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur, hal itu membuat pemerintah sangat kwatir terhadap kecaman-kecamannya yang keras dan pengaruh sufi ke dalam struktur politik.
B.            Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
Al-Hallaj menganut paham hulul, yakni paham yang menyatakan bahwa Tuhan dapat terjadi, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya. Tetapi untuk itu seorang sufi harus terlebih dalamnya dan terlebih dulu menghancurkan sifat-sifat kemanusiaannya sehingga yang terdapat didalam dirinya hanyalah sifat-sifat ketuhanan. Kemudian barulah Tuhan mengambil tempat dalam diri sufi yang bersangkutan.dengan kata lain Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan dari Al-Quran surat Al-Baqarah [02] ayat 34:

øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$#
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir[40]

 Dalam sejarah tasawuf Al-Hallaj merupakan seorang sufi yang paling terkenal kegigihannya dalam mempertahankan pendapatnya, terutama falsafah Al-Hulul yang dianutnya, sehingga melahirkan pernyataan yang mengatakan Anal haq (saya adalah Tuhan) bukan lagi Al-Hallaj. Pernyataan itulah yang mengandung protes para fuqaha, bahkan ahli tasawufpun yang berbeda dengan pahamnya, ikut menuduh Al-Hallaj. Dan ketika dihadapkan di pengadilan untuk ditanyai falsafah hululnya ia berkata : “Memang anasir manusia tetap sebagaimana semula, tidak bercampur dengan zat Tuhan. Tetapi jiak telah terjadi proses hulul, maka unsur ketuhanan (lahut) masuk ke dalam unsur kemanusiaan (nasut). Itulah yang kualiami sekarang. Karena itu ketika anda berkata ‘Al-Hallaj harus menghadap ke pengadilan’ aku berkata ‘Al-Hallaj tidak ada, tetapi yang ada hanya Tuhan (Anal Haq)’ sebab memang begitulah adanya”. Mendengar keterangan itu dari Al-Hallaj, maka pengadilan memutuskan untuk menghukum mati beliau, meskipun murid-muridnya beramai-ramai untuk menghalangi hukuman mati tersebut, tetapi nasibnya tetap dihukum mati [41]. Al-Hallaj kemudian dibunuh dan jasadnya dibakar dan akhirnya dibuang ke sungai Tigris [42].
Padahal dalam diri Al-Hallaj hulul mengandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi, sehingga setiap kehendak manusia merupakan kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Hal ini terlihat pada perkataan Al-Hallaj:
“Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan keTuhanan, maka kafirlah ia, sebab Allah mandiri dalam zat maupun sifat-Nya  dari zat mahluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai mahluk-Nya dan merekapun tidak sekali-kali menyerupai-Nya”
Dengan demikian Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan. Seperti yang terlihat dalam syairnya:
Aku adalah rahasia yang Maha Benar dan bukanlah yang Maha Benar itu aku”
“aku hanya satu dari yang benar, maka bedaakanlah antara kami”
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul Al-Hallaj tidaklah nyata karena memberi pengertian secara jelas tentang perbedaan antara hamba dan Tuhan. Hulul yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’ atau menurut ungkapannya hanya sekedar terlebarnya nasut dalam lahut (tidak ada perbedaan diantara keduanya).

1.2.3          Ibn Arabi
A.    Riwayat Hidup Ibn Arabi
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Thai Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol tahun 560 H dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Namanya biasa disebut tanpa “Al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibn Al-Arabi, seorang qadhi dari sevilia yang wafat tahun 543 H di Seville (Spanyol), ia mempelajari Al-Quran, hadist, serta fiqh pada sejumlah murid seorang fakih Andalusi yang terkenal, yakni Ibn Hazm Al-Zhahiri [43].
B.     Ajaran tasawuf Ibn Arabi
Ibn Arabi menggunakan bentuk pola akal yang bertingkat-tingkat, seperti; akal pertama, kedua, ketiga dan sampai akal kesepuluh. Dimana ia mencoba mengambarkan bahwa proses terjadinya sesuatu ini berasal dari yang satu, kalau meminjam bahasanya Plotinus ialah The One. Kemudian konsep itu terus disempurnakan bahwakan mengalami kritikana dari sufi-sufi yang lain. Misalnya sufi yang memperbarui konsep ajaran Ibn Arabi ini ialah Mulla Shadra yang lebih mencoba menggunkan konsep yang rasional dengan istilah Nur yang mana ia mencoba merujuk dari al-qur’an sendiri bahwa Tuhan adalah cahaya dari segala cahaya..
            Bagi Ibn ‘Arabi, pemisahan antara Khaliq dan makhluk tersebut merupakan fenomena imajinatif (khayyal) kosmos di mana kosmos seolah-olah memiliki entitas wujudnya sendiri yang terlepas dari Wujud Ilahiyah  di samping aktivitas tawahhum (pembayangan) manusia. Dengan fenomena imajinatif ini, tentu saja Ibn ‘Arabi tidak bermaksud menghilangkan signifikansi eksistensi kosmos, sebab kehadiran imajinasilah yang pada kenyataannya memungkinkan kita menyaksikan kehadiran wujud (eksistensi). Tanpa pemisahan Rabb-hamba, dan karenanya tanpa tawahhum dan imajinasi (khayyal), maka apa yang dapat kita bayangkan adalah suatu Wujud Tunggal yang tidak dapat teridentifikasi sebagai ilah (tuhan) atau bukan-tuhan, sebab memang dalam kondisi tersebut tidak ada ma’luh (hamba) yang akan mengakui-Nya sebagai ilah. Wujud ini diidentifikasi Ibn ‘Arabi sebagai Wujud yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan kosmos; sebagai Wujud yang independen dari dan tidak tersentuh kosmos, ketika kosmos diandaikan keberadaannya.
            Dalam kondisi ketunggalan-Nya, Wujud mengetahui dan menemukan Diri-Nya melalui Diri-Nya sendiri, sebab memang tidak ada hal lain selain Diri-Nya. Dari sudut pandang ini, apa yang sekarang kita sebut kosmos pada dasarnya bukanlah Wujud itu sendiri, atau merupakan bagian dari-Nya. Sementara itu apa pun dan siapa pun yang menemukan entitas dirinya dan entitas satu sama lainnya–yang kesemuanya tidak lain merupakan bagian-bagian yang membentuk kosmos–merupakan entitas-entitas permanen yang tidak atau belum (tetapi potensial untuk) menemukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, entitas-entitas permanen berperan sebagai lokus manifestasi Wujud di mana Dia diketahui dan ditemukan oleh Diri-Nya sendiri.
            wahdatul wujud, adalah merupakan ekpressi sufistik yang bisa dijangkau atau dipahami secara transendental yang umumnya tidak sembarangan dipaparkan di kalangan awam, biasanya pengajaran ini melalui suatu tharekat yang mengajarkan tahap demi tahap (maqamat) sampai memahami dan merasakan (dzauq). Untuk memahami ilmu hakikat, biasanya di awali dari Syariat, Tharikat, Hakikat sampai memahami akan makrifat (gnostik).
            Tataran wahdatul wujud ini sudah masuk ke pemahaman makrifat, yang mana sudah tidak lagi menggunakan nalar atau akal fikiran, tetapi melalui peningkatan kesadaran. Kalau di ibaratkan, nalar adalah bumi, sementara makrifat adalah langit, tentunya membahas suatu langit kita harus berimijinasi dan berempathi tentang langit terlebih dulu, tidak semerta-merta menolak karena langit bukanlah bumi, atau mudah memurtadkan orang karena itu adalah kepicikan diri yang tak mampu mencerap, karena hakikat kebenaran adalah milik Yang Haq, dan yang memiliki hak prerogatif itu adalah Sang Haq itu sendiri. Tetapi memahami Wahdatul Wujud ini memang sulit karena akan menjerumuskan di kalangan awam, banyak martir yang digantung oleh karenanya, tengoklah Al Hallaj di Baghdad atau Syekh Siti Jenar dengan konsep Manunggaling Kawula Gustinya di Nusantara ini.

1.2.4        Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli
A.           Riwayat Hidup Abdul karim bin Ibrahim Al-Jilli
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M di Jilan sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafatnya pada tahun 1417 M. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui para ahli sejarah, tetapi sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke india pada tahun 1387 M, kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri tarekat Qadariyah yang sangat terkenal [44].
B.            Ajaran tasawuf Al-Jilli
Berkaitan dengan insan kamil Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi. Dalam istilahnya, maqam itu disebut al-martabah (jenjang/tingkatan). Martabah-martabah itu adalah[45]:
1.      Islam, islam yang mendasarkan lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
2.      Iman, yakin membenarkan dengan seluruh keyakinan akan rukun iman dan melaksankan dasar-dasar islam.
3.      Ash-Shalah, tujuan ibadah dalam maqam ini adalah mencapai nuqtah ilahiah pada lubuk hati sehingga menaati syariat dengan baik
4.      Ihsan, maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi yang telah mencapai tingkatan menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan. Persyaratan yang harus ditempuh dalam maqam ini adalah istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, ridha, dan ikhlas.
5.      Syahadah, maqam ini seorang sufi telah mencapai iradah yang bercirikan mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya terus menerus dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadinya.
6.      Shiddiqiyah, istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat ma’rifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu Al-yaqin, ‘ain Al-yaqin, dan Haqq Al-yakin. Seorang sufi yang mencapai tingkat siddiq mampu menyaksikan hal-hal gaib kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya.

1.2.5          Ibn Sabi’in
A.           Riwayat hidup Ibn Sabi’in
Nama lengkap Ibn Sabi’in adalah Abdullah Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr, seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Ia terkenal di Eropa karena jawaban-jawabannya atas pertanyaan Federik II, penguasa Sisilia. Ia dilahirkan pada tahun 614 H (1217-1218 M) di kawasan Murcia. Ia memiliki asal-usul Arab dan mempelajari bahasa Arab dan sastra pada kelompok gurunya dan mempelajari ilmu-ilmu agama dari Mazhab Maliki, ilmu-ilmu logika, dan filsafat[46].
B.       Ajaran tasawuf Ibn Sabi’in
Ajaram tasawuf Ibn Sabi’in dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan essensial pahamnya yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata sedangkan wujud-wujud yang lainnya hanyalah Wujud Yang Satu itu sendiri. Jelasnya wujud-wujud lainnya itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari Wujud Yang Satu[47]. Dalam paham tersebut Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Wujud Allah adalah asal dari segala sesuatu yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dirujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Paham ini menafsirkan wujud yang bercorak spiritual bukan material.
Menurut Ibn Sabi’in individu yang paling sempurna adalah individu yang memiliki fakih, teolog, filosof, maupun sufi. Ibn Sabi’in sendiri berpendapat bahwa para pencapai kesatuan mutlak adalah kebahagiaan itu sendiri, kebajikan itu sendiri, dan kedermawanan itu sendiri. Yang menarik dari pendapat ibn sabi’in itu adalah latihan-latihan moral praktis yang bisa mengantarkan pada moral luhur, tunduk dibawah konsepsi tentang wujud. Misalnya,dzikir seorang pencapai kesatuan mutlak adalah ungkapan “tidak ada wujud selain Allah” sebagai ganti “tidak ada Tuhan selain Allah”. Si pendzikir dalam dzikir sendiri adalah yang dzikir. Sementara tingkatan dan keadaan, yang merupakan buah dari dzikir, juga tidak ke luar dari ruang lingkup kesatuan mutlak tersebut. Begitu halnya dengan hidup menyendiri maupun mengisolasi puasa, dan doa, bahkan juga mendengar, semua itu mengantar seseorang penempuh jalan ataupun musafir sufi ke suatu keadaan sirna, dan tambahan lagi merealisasikan kesatuan mutlak baginya[48].

1.2.6        Ibn Masarrah
A.           Riwayat hidup Ibn Masarrah
Ibnu masarah merupakan salah satu sufi dan filosof dari Andalusia. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Masarrah. Ia memberikan pengaruh esoterik mazhab Al-Mariyyah. Lebih jauh Ibn Hazm mengatakan bahwa ibn masarrah memiliki kecenderungan yang besar terhadap filsafat sedangkan dalm kacamata Mustofa Abdul Raziq, Ibn Masarrah termasuk aliran sufi ittihadiyyah. Berbarengan dengan masa ibn masarrah, di andalusia telah muncul tasawuf filosofi. Ia lebih banyak disebut-sebut sebagai filosof ketimbang sufi. Namun, pandangan-pandangan filsafatnya tertutupi oleh kezahidannya. Pada mulanya, ibn masarrah merupakan penganut sejati aliran Mu’tazilah, lalu berpaling ke mazhab Neo-Platonisme. Oleh karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani Kuno [49]
B.                Ajaran tasawuf Ibn Masarrah
Diantara ajaran-ajaran tasawuf Ibn Masarrah adalah sebagai berikut:
a.       Jalan menuju keselamatan adalah mensucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
b.      Dengan penakwilan ala Philun atau aliran Isma’iliyyah terhadap ayat-ayat Al-Quran, ibn masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani.
c.       Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.


[1] Mustofa, H. A. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pusaka Setia. Hal: 269.
[2] Siregar, R. H. A. 2002. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme Edisi Refisi. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada. Hal: 152-153.

[3] Mustofa, H. A. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pusaka Setia. Hal: 269
[4] Ibid Hal.268
[5] Ibid. Hal:268
[6] Mustofa. 2005. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
[7] Mustofa, Z. 1984. Kunci memahami Ilmu Tasawuf. Jakarta: PT. Bina Ilmu
[8] Ibid. Hal 263
[9] Ulum, Dida Darul. 2007.Ittihâd, Hulul, dan Wahdat al-Wujud dalam Tasawuf I.http://www.Al-Hullul.com.diakses tanggal 4 November 2010.

[10] Ulum, Dida Darul. 2007.Ittihâd, Hulul, dan Wahdat al-Wujud dalam Tasawuf I.http://www.Al-Hullul.com.diakses tanggal 4 November 2010.
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Al-Jailani, Abd Karim. Insan Al-Kamil fi Makrifati al-awakhir wal Awail.
[14] Zahri, Musthafa. 1973. Kunci memahami ilmu tasawuf. Surabaya:PT Bina Ilmu. Hlm. 90
[15] Ibid. Hlm. 92
[16] Zahri, Musthafa. Kunci memahami ilmu tasawuf……..hal 235-236
[17] Ibid hal 239-240
[18] Supiana dan Karman. 2003. Materi pendidikan islam. Bandung:PT Remaja Rosdakarya
[20] Mahmud, A.H. 2002. Tasawuf di Dunia Islam. Bandung:Pustaka Setia. Hlm. 229
[21] Ibid. Hlm 229
[22] Ibid. Hal 226
[23] Mahmud Yunus. 1990. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, Hal. 492 dan 494
[24] Q.S. Ali ‘Imron: 6


[25] Q.S. Al Mukmin: 12 – 14
[26] Mahmud, A.H. 2002. Tasawuf di Dunia Islam. Bandung: Pustaka Setia. Hal: 228
[27] Q.S. Al Fathir: 41
[28] Mahmud, A. H.Op, Cit Hal 229
[29] Q.S. Ali ‘Imron: 26

[30] Ibid Hal 230
[31] Mustofa, H. A. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pusaka Setia. Hal: 270.
[32] Ibid. 222-233
[33] Ibid 271
[34] Ibid 223
[35] Anwar, R., dan Solihin, M. 2007. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pusaka Setia.Hal 134
[36] Ibid 153
[37] Nasution, H. 1978. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hal 85
[38] Siregar, R. H. A. 2002. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme Edisi Refisi. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada. Hal 154-155
[39] Anwar, R., dan Solihin, M. 2007. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pusaka Setia. Hal 224
[40] Al-Quran
[41] Anwar, R., dan Solihin, M. 2007. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pusaka Setia. Hal 224
[42] Ibid 274
[43] Anwar, R., dan Solihin, M. 2007. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pusaka Setia. Hal 144
[44] Ibid 153
[45] Ibid 153
[46] Anwar, R., dan Solihin, M. 2007. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pusaka Setia. 159
[47] Ibid hlm 160
[48] Ibid 162-163
[49] Ibrahim Hilal.1979.123-124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar