2.1
Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi muncul
sejak abad keenam hijriah, tasawuf ini muncul dari sekelompok orang yang
memadukan tasawuf dengan filsafat, dengan teori mereka yang setengah-setengah.
Dengan kata lain tasawuf ini tidak bisa disebut dengan tasawuf murni tetapi
juga tidak dapat disebut sebagai filsafat murni.
Berkembangnya tasawuf
sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan
menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para cendekiawan muslim
yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Ajaran tasawuf yang paling banyak
dipergunakan dalam analisis tasawuf falsafi adalah paham emanasi Neo-Platonisme
dalam semua variasinya.
Tokoh-tokoh dalam
tasawuf ini adalah Abu Yazid al-Bustami, Al-Hallaj, Ibn Masarah dll. Pada
umumnya mereka bermazhab Syi’ah dan
orang berpola pikir Mu’tazilah dalam
teologi dapat menerima konsep-konsep tasawuf falsafi.
2.1.1
Al-Ittihad
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf
seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.
Ittihad merupakan salah satu
tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu[1].
Paham ini timbul
sebagai konsekuensi lanjut dari pendapat bahwa jiwa manusia adalah pancaran
dari Nur Illahi, akunya manusia itu
adalah pancaran dari Yang Maha Esa. Barang siapa yang mampu membebaskan diri
dari alam lahiriyahnya atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya
sebagai insan, maka ia akan memperoleh jalan itu kembali kepada sumber asalnya.
Ia akan menyatu padu dengan Yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakannya hanya
satu[2].
A.R. Al-Badawi
berpendapat bahwa di dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Walaupun
sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lainnya. Hal ini terjadi
karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan terjadi
pertukaran peranan antara yang dicintai dan yang mencintai (sufi dan Tuhan).
Dalam ittihad identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu, hal ini bisa
terjadi karena sufi telah memasuki fana yang tidak mempunyai kesadaran dan
berbicara dengan nama Tuhan[3].
2.1.2 Al-Hulul
Hulul secara
etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulul berarti berhenti atau diam.
Abu Nasr Al-Tusi di
dalam bukunnya “AL-LUMA”, mengatakan Hulul ialah paham yang mengatakan bahwa
Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya,
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan[4].
Sedangkan menurut Abu Manshur al-Hallaj dalam tasawuf filosofis
menyatakan bahwa hullul
adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu
Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Menurut Al-Hallaj, Allah
memiliki dua sifat dasar ketuhanan yaitu “LAHUT” dan kemanusiaan “NASUT”. Hal
ini dapat dilihat dalam karya beliau yang menjelaskan tentang teori terjadinya
makhluk[5].
A. Tokoh Sufi Hulul dan Ajarannya
Adapun paham Hulul
diajarkan oleh Husein
Ibnu Mansur Al-Hallaj. Ia adalah
seorang sufi besar yang lahir pada tahun 858 M dikota Persia. Ia belajar
tasawuf dari Amr al-Makki dan kemudian memperdalamnya melalui al-Junaid. Akan
tetapi setalah ia kembali dari menunaikan ibadah haji, paham tasawufnya berbeda
dengan apa yang diajarkan oleh guru-gurunya itu. Paham al-hulul seperti yang
diperkenalkan oleh al-Hallaj, sesungguhnya perkembangan dan bentuk lain dari
paham ittihad Abu Yazid al-Bustami sebagaimana dikemukakan di atas. Menurut
pemikiran tasawuf ia mengatakan bahwa[6]:
“Aku ingin untuk tidak mengingini”
“Aku
tidak ingin Tuhan kecuali Tuhan”
Dari ucapan yang lebih ganjil
adalah ketika ia telah mencapai ittihad:
“Maha
Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”
Kemudian ia menetap di kota Bagdad.
Sebagaimana halnya yang
terjadi pada Abu Yazid tatkala mencapai peristiwa ittihad dari mullut Al-Hallaj
juga mengeluarkan kalimat-kalimat ganjil tatkala ia mencapai proses Hulul. Abu
Yazid adalah tokoh Penyebar dan pembawa ajaran Ittihad, yaitu suatu tingkatan
dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, kemudian salah satu
dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan perkataan: Hai Aku.
Contoh kalimat ganjil
yang dikeluarkan tatkala Al-Hallaj mencapai proses Al-Hulul adalah seperti ucapan:
Tuhan mempunyai sifat
kemanusiaan dan manusia sendiri mempunyai sifat ketuhanan, nasut dan lahut. Ia
mengambil hadist sebagai dasar pemikirannya[7]:
“Tuhan
menciptakan adam menurut bentukNya”.
Menurutnya pada adam terdapat bentuk Tuhan dan selanjutnya
dalam Tuhan terdapat pula bentuk Adam.
Atas dasar ini
persatuan antara manusia dan Tuhan dapat terjadi. Filsafat persatuan yang
dibawa Al-Hallaj disebut Al-Hulul, yankni paham yang mengatakan bahwa Tuhan
dapat terjadi. Filsafat persatuan yang dibawa Al-Hallaj disebut Al-Hulul, yakni
paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat di dalamnya. Tetapi untuk itu
seorang sufi harus terlebih dahulu menghancurkan sifat-sifat kemanusiaannya
sehingga yang terdapat didalam dirinya adalah sifat-sifat ketuhanan. Kemudian
barulah Tuhan mengambil tempat dalam diri sufi bersangkutan.
Sewaktu tercapainyalah
Al-hulul ke luar dari mulut Al-Hallaj ucapan Ana Al-Haqq. Yang dimaksudnya
dengan Ana (Aku) di sini bukanlah dirinya, karena selanjutnya ia mengatakan:[8]
“Aku
adalah rahasia dari yang Mahabenar, bukanlah yang Maha benar itu aku; aku hanya
salah satu yang benar, oleh karena itu bedakanlah antara kami”.
Jadi sebagai halnya
dengan Abu Yazid, Al-Hallaj, ketika mengucapkan Ana Al-Haqqa sedang dalam
keadaan fana hancur kesadaran, dan yang berbicara memakai nama Tuhan bukanlah
Al-Hallaj.
Konsep hulul
dibangun di atas landasan teori lahut dan nasut. Lahut
berasal dari perkataan ilah yang berarti tuhan, sedangkan lahut
berarti sifat ketuhanan. Nasut berasal dari perkatan nas yang
berarti manusia; sedangkan nasut berarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj
mengambil teori hulul dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah
memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam.
Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Hulul Allah
pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulul Allah
pada diri al-Hallaj bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak
fundamental dan permanen. Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan
Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarinya (syathahat)[9].
Pada tahun 301 H/913 M
al-Hallaj masuk penjara Baghdad selama 8 tahun karena dituduh terlibat makar
dan nodai kesucian agama. Setidaknya ada empat tindakan subversif yang
dituduhkan kepadanya. Pertama, ia dituduh memiliki hubungan politik dengan kaum
Qaramithah, gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan pemerintah
Abbasiyyah. Kedua, keyakinan al-Hallaj yang mengaku dirinya Tuhan, ketika
mengalami syathahat.
Ketiga, keyakinan al-Hallaj bahwa ibadah haji bukanlah kewajiban agama yang
penting. Dan keempat, keyakinan al-Hallaj tentang wahdat al-adyan (kesatuan
agama). Amnesti untuk al-Hallaj tidak terlaksana karena sikap Perdana Menteri
yang menghalanginya. Kasus al-Hallaj diputuskan di Mahkamah Syari’ah dengan
vonis hukuman mati dan dieksekusi dengan disalib pada tiang gantungan tahun 309
H/922. [10]
Ketika Tuhan hendak
menciptakan makhluk, Ia terlebih dahulu melihat dirinya (tajalli al-haq li
al-nafs). Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antar Tuhan dengan
diri-Nya sendiri, dialog yang dalamnya tak terdapat kata-kata ataupun
huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggalan zat-Nya.
Allah melihat kepada melihat kepada zat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya,
cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab
dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada (min al-‘Adam, ex
nihilo) bentuk (copy) dari-Nya (shurah min nafsihi) yang mempunyai segala sifat
dan nama-Nya. Bentuk (copy) itu adalah Adam. Setelah menjadikan Adam memuliakan
dan menggungkan Adam. Ia cinta pada Adam (ikhtarahu li nafsihi). Pada diri
Adamlah Allah muncul dalam bentuk-Nya.Teori ini lebih jelas, kelihatan dalam
syair’nya yang berikut[11]:
“Maha
suci zat yang sifat kemanusian-Nya membukukan rasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang
makan dan minum”.
Menurut
al-Hallaj Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam.
Karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana menjelma dalam diri Isa a.s.
Dalam kesimpulan al-Hallaj, dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat
ketuhanan dan dalam diri tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian,
persatuan antara manusia dan Tuhan bisa terjadi, dan persatuan ini dalam falsafat
al-Hallaj mengambil bentuk Hulul (mengambil tempat). Supaya dapat bersatu,
manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan
fana’. Kalau sifat-sifat kemanusiaan ini telah hilang dan yang tinggal hanya
sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah baru Tuhan dapat
mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika ruh Tuhan dan ruh manusia bersatu di
tubuh manusia, sebagai nyatadari sya’ir berikut[12]:
“Jiwamu disatukan dengan jiwaku
sebagaimana anggur disatukan dengan air.”
“Dan jika ada sesuatu yang
menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau
adalah aku.”
“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia adalah yang kucintai adalah aku.”
“Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam datu tubuh, jika engkau lihat aku engkauLihat dia.”
“Dan jika engkau lihat Dia engkau
lihat kami.”
Dengan cara inilah
menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Dalam persatuan ini
diri al-Hallaj kehitannya hilang, sebagai halnya dengan diri Abu Yazid
al-Bustami dalam ittihad. Dalam ittihad diri Abu Yazid hancur dan yang ada
hanya diri Tuhan. Dalam paham al-Hallaj; dirinya tak hancur, sebagaimana
terlihat dari syair di atas. Sama halnya seperti Abu Yazid, al-Hallaj juga
mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan (ana al-haq). Namun
kata itu bukanlah ruh al-Hallaj yang mengucapkan, tetapi ruh Tuhanlah yang
mengambil tempat dalam dirinya.
1.1.3
Al-Fana
I.
Pengertian
Dalam kitab
Arrisalah al-Qusyairiyah dikatakan:[13]
ذهابالبشرية
a. Arti
fana ialah lenyapnya
indrawi/kebasyiran.
Maka
siapa-siapa yang telah diliputi hakekat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat
dari pada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah
fana dari alam cipta/dari makhluk dan baqalah kedalam baqanya Allah tanpa
hulul.[14]
b. Fana
berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat bathin) dan
baqanya/kekalnya sifat-sifat terpuji (taat lahir dan taat bathin). Bahwa fana
itu ialah lenyapnya segala-galanya, lenyap ap-alnya/fana fil ap-al lenyap sifat/fana fis-sifat lenyap dirinya/fana aninafsi. Karena lenyapnya semua
itu, maka yang tinggal ialah baqanya Allah. Dan memang semestinya begitulah
sesuai kata ahli-ahli tasawuf:[15]
“apabila
nampaklah Nur kebaqaan maka fanalah yang tiada dan baqalah yang kekal”.
“tasawwuf
itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya karena kehadiran
hati mereka bersama Allah” t
A$s% #ÓyqßJ»t ÎoTÎ) y7çGøxÿsÜô¹$# n?tã Ĩ$¨Z9$# ÓÉL»n=»yÍÎ/ ÏJ»n=s3Î/ur õäÜsù !$tB y7çG÷s?#uä `ä.ur ÆÏiB tûïÌÅ3»¤±9$# ÇÊÍÍÈ
"Allah berfirman: "Hai Musa, Sesungguhnya Aku memilih
(melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku
dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa
yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang
bersyukur."
Fana yang dicari orang-orang sufi ialah
penghancuran diri yaitu “fanaun Nafsi”
yang dimaksudkan dengan al-Fanaun Nafsi
ialah kehancurannya perasaan atau kesadaran atas tubuh kasar.
Dalam kitab Qusyairiyah dikatakan “fananya seseorang
dari dirinya dan dari makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang
dirinya dan makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada akan tetapi tak
sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”. Dalam sejarah tasawwuf maka Abu Yazid al-Bustamylah adalah yang
dipandang sebagai sufi pertama mamberikan ajaran/metode Fana dan Baqqaa.
Faham ini tersimpul dalam kata-katanya:[16]
اعرفه
بى حتى فنيت ثم عرفته به فحييت
“aku tahu tuhanku melalui diriku hingga
aku hancur/fana” kemudian fanaku itu aku tahu padanya melalui dirinya maka
akupun hidup”.
Berbicara Abu Yazid al-Bustamy
mengenai “fana dan baqqaa” tidak dapat dipisahkan dengan
pembicaraan “faham ittihat” sebagai
ajaran Abu Yazid. Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode tasawuf,
menurut keterangan A.R al-Badawy: “yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun
sebenarnya ada wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan
yang dirasakan hanya satu wujud yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara
sufi dan Tuhan”. Dalam situasi seperti itu seseorang sufi telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang dicintai dan yang dicintai
telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu
dengan kata-kata “Hai aku”.
فيقول الواحدللاخرياانا
Kejadian seperti ini banyak sekali terjadi pada Abu Yazid.salah
satu contoh dia mengucapkan kata “aku” bukan lagi sebgai ucapan dari diri Abu
Yazid tetapi adalah sebagai ucapan Allah karena Abu Yazid telah bersatu dengan
diri Allah. Dengan kata lain Abu Yazid dalam Ittihad berbicara melalui “lidah” Tuhan. Sebagai contoh Abu Yazid
pernah berkata:
سبحانى,
سبحانى, مااعظم شانى
Faham
Ittihad ini adalah ajaran Abu Yazid
al-Bustami yang merupakan suatu cara atau tarekat kea rah mencapai “makrifah” sebagai maqam yang tertinggi untuk bersatu dengan tuhan. Selama ia belum
dapat menghancurkan dirinya, ia tidak dapat bersatu dengan tuhan. Penghancuran
diri inilah dalam tasawwuf dinamakan “fana”.
Sungguhpun semua ajaran tasawwuf
mengakui bahwa pintu untuk jalan masuk bertemu Allah adalah pintu “fana”, namun masih terdapat
perbedaan-perbedaan cara diantara para ahli-ahli muhakkikin, tetapi tujuan
tetap sama ialah Liqaa Allah bertemu dengan Tuhan. Perbedaan-perbedaan cara itu
dibenarkan oleh al-Ghazali dimana al-Ghazali membawa juga pengikut-pengikutnya
kepada liqaa Allah. Perbedaan pendapat dapat kami temukan suatu pendapat dalam
kitab Insanul Kamil antara lain:
“Bahwa sesungguhnya soal mencapai Zat Allah Yang Mha
Agung itu, ialah bahwa kamu tahu cara kasyaf rahasia ketuhanan. Ketika itu kamu
adalah dia dan dia adalah kamu. Tetapi tidak dalam bentuk ittihad dan hulul.
Bahwasannya hamba tetap hamba, tuhan
tetap tuhan. Tidak mungkin hamba jadi Tuhan dan tidak mungkin pula Tuhan jadi
hamba. Adapun tanda-tanda kasyaf, adalah:[17]
Pertama : Ia
fana dari dirinya karena nampaknya Tuhan.
Kedua :Ia fana dari sifat-sifat Tuhan karena
nampaknya Rahasia Ketuhanan.
Ketiga :Ia fana dari segala yang bersangkutan
sifatnya karena tahqiqnya Zatullah.
Apabila telah
selesai bagimu ketika dalam keadaan seperti ini, maka ketika itulah kamu
mendapatkan Zatullah”
II.
Tanggapan-tanggapan
tentang Al-fana
Sahabat Nabi yang paling sering memperkatakan tentang “fana” ialah Sayyidina Ali Bin Abi Thalib
r.a: “Dan didalam leburku/fanaku leburlah kefanaanku, tetapi didalam
kefanaanku itulah bahkan aku mendapatkan Engkau Tuhan”. Demikianlah fana
ditanggapi oleh para kaum sufi secara baik bahkan fana itulah merupakan pintu
masuk untuk menemukan Allah/ لقاءالله bagi orang yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan
yang kuat untuk untuk bertemu Alla. Untuk mencapai لقاءالله menurut ayat
dialam Al-Qur’an yang artinya “maka siapa yang ingin akan menemukan Allah
maka hendaklah ia mengerjakan amalan saleh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun
dalam beribadah kepada Tuhan” ada dua kewajiban yang mesti dijalankan. Pertama
:mengerjakan amal saleh dengan menghilangkan semua sifat-sifat yang tercela dan
menetapkan sifat-sifat yang terpuji yakni Takhalli
dan Tahalli. Kedua :meniadakan/menafikan
segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang ada hanya Allah semata-mata dalam
beribadah. Itulah artunya memfanakan diri.[18]
Tetapi bagi mereka yang sama sekali belum mempelajari
mengetahui tentang Ilmu Tarekat, apalagi kalau mereka itu memang anti tarekat
sudah tentu mereka itu tidak tahu apa itu “fana”.
Bahkan bagi mereka itu perkataan “fana” atau lenyap menjadi tertawaan dan
ejekan, “mau fana masuk laut atau
masuk Neraka?. Kata mereka yang anti tarekat.
Akibatnya banyaklah orang salah anggapan tentang tarekat yang dianggapnya
tarekat dan taswuf itu tidak dari Rasulullah dan tidak berasal dari islam.
Sehingga banyaklah orang menganggap tarekat dan tasawuf itu sebagai perbuatan
did’a, kesesatan, kekafiran dan kemusyrikan. Sehingga mereka itu pada takut terhadap
tarekat dan tasawuf. Tetapi sebaliknya, bahkan orang-orang salah anggapan
itulah terhadap tarekat dan tasawuf justru orang-orang yang sesat dalam masalah
Agama Islam. Sejarah pelaksanaan agama islam menjadi fakta kebenaran, bahwa
yang banyak memperkatakan tentang “fana”
ialah Sayyidina Ali salah seorang sahabta yang terdekat kepada Nabi dan beliau
adalah pemuda yang terkemuka dalam memperkembangkan Islam. Mustahil ia
memperkatakan ‘fana” kalau kata-kata
dan cara itu adalah cara-cara orang sesat, orang kafir atau orang musyrik.
III.
Tingkatan-tingkatan
Al-fana dan hikmahnya
1.
Fana
fi af-alillah
Dalam fana pada
tingkatan ini seseorang telah mulai dalam situasi dimana akal pikiran mulai
tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai “ilham” tiba-tiba Nur Illahi terbit dalam hati sanubari
muhadarah hati beserta Allah dalam situasi mana, gerak dan diam telah lenyap
menjadi gerak dan diamnya Allah.
2.
Fana
fissifati
Pada tingkatan ini
seseorang mulai dalam situasi putusnya diri dari Alam indrawi dan mulai
lenyapnya sifat kebendaan artinya dalam situasi menafikan diri dan
meng-isbatkan sifat Allah, memfanakan sifat-sifat diri kedalam kebaqaan Allah
yang mempunyai sifat sempurna.
3. Seseorang
telah dalam situasi fananya segala sifat-sifat keinsanannya, lenyap dari alam
wujud yang gelap ini, masuk kedalam alam ghaib atau yang penuh dengan Nur
cahaya.
4. Seseorang
telah memperoleh perasaan bathin pada suatu keadaan yang tidak berisi, tiada
lagi kanan dan kiri tiada lagi muka dan belakang, tiada lagi atas dan bawah,
pada ruang yang tidak terbatas tidak bertepi. Dia telah mencapai martabat “syuhudul haqqi bil haqqi”. Dia telah
lenyap dari dinya sama sekali dalam keadaan mana hanya dalam kebaqaan Allah
semata-mata. Ringkasnya dapat disimpulkan bahwa segala-galanya telah hancur lebur
kecuali wujud yang mutlak.
Hikmah “fana”
adalah, pentauhidan tuhan semuri-murninya dalam arti tiada wujud yang mutlaq
melainkan Allah. Dan pengenalan tuhan semurni-murninya tidak sekedar dengan
pengakuan adanya dan satunya saja dengan ucapan kalimah syahadat, tidak sekedar
dalalil atau pendapat dengan jalan akal pikiran saja, tetapi kita mengenal
tuhan dalam arti “Makrifah”.
2.1.4
Wahdatul Wujud
Ajaran Wahdatul Wujud dibawa oleh seorang Sufi
yang sangat terkenal, yakni: Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Ibn ‘Arabi dilahirkan di
Murcia, spanyol pada tahun 1165 M. Setelah menyelesaikan pendidikannya di
Seville, beliau pindah ke Tunisia pada tahun 1145 M dan disanalah beliau mulai
memasuki aliran sufi. Pada tahun 1202, beliau pergi ke Makkah dan meninggal di
damaskus pada tahun 1240 M. Selain sebagai seorang sufi, Muhyiddin Ibn ‘Arabi
juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Lebih dari 200 buku berhasil
beliau susun, diataranya ada yang 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan
ensiklopedi tentang sufisme seperti kitab Futuhah
Al Makkah. Selain itu, buku hasil karang beliau yang termasyhur adalah Fusus Al Hikam yang juga berisi tentang
tasawwuf
Menurut Hamka, Ibnu
‘Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah samapi pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan
pahamnya dengan beerdasarkan renungan fikir dan filsafatdan dzauq tasawwuf. Dia menyajikan ajaran
tasawwufnya dengan bahasa yang agaj berbelit-belit dengan tujuan untuk
menghindari tuduhan, fitnah, dan ancaman kaum awam sebagaimana yang dialami
oleh Al Hallaj.
A. Sejarah dan Kebenaran Ajaran Wahdatul Wujud
Secara
historis, konsep Wahdatul Wujud pada
mulanya adalah ajaran yang disusun oleh Ibnu Arabi yang lebih bernuansa
sufistik dari pada filsafat. Banyak penafsiran telah diberikan tentang ajaran
ini, dari penafsiran yang sangat ekstrem sampai yang moderat.
Diantara penafsiran yang paling ekstrem adalah penafsiran Ibnu Sab’in yang
menyatakan bahwa: “Hanya Tuhan yang eksis
sementara selain Tuhan tidak ada yang eksis”. Penafsiran lain tentang Wahdatul Wujud yang cukup ekstrem adalah
pendapat yang menyatakan bahwa seluruh yang berwujud selain Tuhan hanyalah tajalliyat (manifestasi) dari Asma’ dan
sifat-sifat Tuhan[19].
Menurut Rokim (2010)
bahwa konsep ajaran wahdatul wujud –yang
selama ini muncul sebagai suatu ajaran yang nampaknya bertentangan dengan
syari’at– adalah sebuah ilmu batin yang kebenarannya bersifat sangat filosofis,
yang tidak patut disebarkan dan dipelajari secara ilmiah karena wahdatul wujud hanya dimilki orang-orang
pilihan yang telah medapat Ridhoi dari Tuhan. Jika wahdatul wujud disebarkan, maka akan terjadi fitnah yang akan
menimbulkan perpecahan diantara umat Islam, bahkan terjadi pembunuhan seperti
yang terjadi pada Syekh Siti Jenar dan Al-Hallaj. Jika Wahdatul wujud memang harus dipelajari, maka orang yang
mempelajarinya paling tidak harus menempuh tingkatan-tingkatan sebagaimana yang
telah dilalui oleh para Sufi dan harus memahami tentang syari’at, tarekat,
hakikat dan ma’rifat.
Menurut Mahmud (2008)
istilah Wahdatul Wujud berbeda dengan
istilah Wahdatul Maujud. Wahdatul Wujud dan Wahdatul Maujud merupakan dua ungkapan yang sangat berbeda dalam
segi maknanya, dimana munculnya perdebatan tentang sesat dan tidaknya ajaran
ini, yang selama ini dipertentangkan oleh umat Islam disebabkan karena
kesalahan persepsi tentang makna dari Wahdatul
Wujud yang dimaknai dengan makna Wahdatul
Maujud. Hal tersebut menyebabkan makna Wahdatul
Wujud yang dipahami oleh umat Islam melenceng dari makna sebenarnya dan
muncullah klaim sesat bagi ajaran Wahdatul
Wujud dari pihak-pihak tertentu yang belum sepenuhnya mengerti tetang
ajaran Wahdatul Wujud.
Wahdatul
Wujud berarti kesatuan wujud, sedangkan Wahdatul Maujud bermakna kesatuan segala
yang ada. Adapun Maujud merupakan
segala sesuatu yang ada dan sangat banyak sekali, seperti: langit, bumi,
gunung,manusia, hewan, tumbuhan. Semua yang Maujud
tersebut berbeda, seperti dalam sifat, bentuk, warna atau yang lainnya. Dalam
konteks hubungannya dengan Tasawwuf, Wahdatul Maujud berarti Allah dan para
mahluknya adalah wujud yang tunggal. Pernyataan tersebut tidaklah dibenarkan
oleh para sufi dan merupakan pernyataan yang menyesatkan. Tidak ada seorang
sufi yang mengatakan adanya kesatun dari segala apa yang ada (Wahdatul Maujud). Seorang Sufi yang merupakan orang-orang yang
telah mencapai puncak keimanan mustahil mengatakan adanya kesatuan segala apa
yang ada atau mengakui konsep Wahdatul
Maujud, karena seorang mukmin yang benar-benar beriman tidak diperbolehkan
untuk berpendapat mengenai adanya Wahdatul
Maujud.[20].
Beberapa pendapat
mengatakan bahwa munculnya konsep Wahdatul
Maujud muncul dari pemikiran segolongan filosof terdahulu yang mengatakan
Tuhan dan mahluk adalah wujud yang tunggal, seperti pernyataan yang dikeluarkan
oleh Heraclitus pada masa peradaban Yunani. Dia mengatakan bahwa Allah adalah
siang dan malam, beku dan cair, banyak dab sedikit, serta seperti api yang
harum, dan dinamakan dengan wewangiaan yang semerbak. Pernyataan tersebut jelas-jelas dalah dan bertentangan
dengan ajaran Islam. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka katakana[21] .
Konsep Wahdatul Maujud merupakan ajaran yang
sepertinya sengaja dicetuskan oleh orang-orang yang ingin menyesatkan kaum
Muslimin, menimbulkan perdebatan di kalangan kaum Muslimin sehingga terjadi
saling klaim mengkufurkan satu sama lain, padahal kaum sufi Islam tidak
mengenal adanya konsep Wahdatul Maujud.
Salah satu contoh adalah ketika kaum sufi berpendapat tentang adanya bil Wujudil Waahid (wujud yang tunggal),
lawan-lawan mereka menguraikan wujud yang
satu dengan pemikiran filsafat dalam arti sama dengan Wahdatul Maujud. padahal keduanya merupakan dua pernyataan yang
sangat berbeda. Mereka melakukan pemalsuan dan dusta untuk mengalahkan orang
Islam dengan segala cara[22].
Ketika kaum sufi
berpendapat tentang wujud yang satu, para
penentangnya kemudian menguraikan pendapatnya dengan menafsirkan wujud yang satu sebagai maujud yang satu. Kalimat inilah yang
mereka hubungkan dengan syekh al Hallaj dan para sufi lainnya –semoga Allah
merahmatinya– yang sebenarnya tidak pernah ditulis olehnya dan tidak pernah
pula ditemui dalam semua karyanya. Mereka mengarang kemudian meletakkannya
sebagai dasar hukum untuk menuduh syekh al Hallaj dan para sufi lainnya sebagai
seseorang yang sesat. Mahmud (2008) berpendapat dalam bukunya tentang masalah ini,
bahwa:
“Masalah ini seharusnya tidak kami
perhatikan, karena tidak penting –dalam logika pembahasan– untuk diperhatikan,
yaitu kalimat-kalimat yang bertebaran di sana-sini hanyalah dibuat-buat dan
dipalsukan hingga menyesatkan artinya, remeh daam nilai filsafat, asing dalam
lingkungan Islam, yang menyeru bahwa hal tersebut dibuat hanya untuk
menyesatkan dan menfitnah”
Jadi, pemahaman yang
salah oleh kaum Muslimin tentang konsep ajaran Wahdatul Wujud serta adanya propaganda dari pihak-pihak tertentu yang
ingin menyesatkan kaum Muslimin dengan memberikan pernyataan yang salah (Wahdatul Wujud dimaknai dengan Wahdatul Maujud) membuat ajaran Wahdatul Wujud diklaim sebagai ajaran
yang sesat oleh orang Muslim sendiri terutama mereka yang tidak memahami ajaran
ini dengan benar dan mendalam.
B. Konsep Ajaran Wahdatul Wujud
Wahdatul wujud adalah
ungkapan yang terdiri dari dua kata, yakni: Wahdah
dan Al Wujud. Wahdah berarti tunggal, sendiri,
kesatuan, sedangkan Al Wujud berari
ada[23]. Makna wujud yang satu sesungguhnya adalah
wujud Allah Yang Maha Kaya dengan DzatNya dari selainNya. Itulah wujud yang Haqq, yang memberikan wujud bagi setiap
mahluk dan pencipta Mahluk. Maha Suci Allah Yang Maha Pencipta dan dialah Al Bari’
(Dzat Yang Maha Menjadikan segala sesuatu) lagi Al Mushawwir (Yang Maha
Pembentuk segala sesuatu),
Artinya: “Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendakiNya. Tak
ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”[24]
Diantara sebagian arti penciptaan
ini ialah sebagaimana firmanNya:
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk)
lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” .[25]
Oleh karena itu, hubungan antara
Allah SWT dan mahlukNya adalah bahwa Allah SWT adalah yang memberi wujud
padanya (manusia) sesuai dengan yang dikehendakiNya dalam setiap saat dan
terus-menerus hingga membentuk hidupnya dengan bentuk yang dikehendakiNya[26]
.
Hubungan Allah dengan
setiap yang maujud sesungguhnya
adalah berdasarkan cara ini. Allah ‘Azza
wa Jalla telah berfirman:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah
menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan
lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”[27]
Sesungguhnya Allah SWT
telah menahan keduannya (langit dan bumi) dalam wujud adan pengaturanNya dan
juga menhan keduannya denga kuat dan keserasian dan Allah SWT menahan jumlah
dan keadaannya dalam mengatur keduanya. Jika Dia menarik pemberianNya, niscaya
akan lenyap jumlah dan keadaannya[28].
Telah banyak dijumpai para kalangan sufi yang fana’ atau
karam di dalam kema’rifatannya sehingga keluar dengan sendirinya
ucapan-ucapan yang aneh yang dianggap menyimpang dari ajaran syari’at:
- Ma’ fill Jubbatti illallah (tiada dalam jubahku melainkan Allah).
- Ana Al Haq (akulah Tuhan Yang Benar)
- Ana man ahwa, waman ahwa ana (akulah adalah Tuhan yang kucinta, dan Tuhan yang kucinta ialah aku).
Sebenarnya, perkataan-perkataan tersebut keluar dari mulut seorang
Sufi ketika mereka dalam keadaan yang tidak sadarkan diri. Dalam artian bahwa perkataan
tersebut keluar dari mulut Sufi yang sedang merasakan kelazatan/kenikmatan
jizbah (pandangan hati yang disentak oleh Allah dengan musyahadah kepadaNya
dengan Zauq dan Wujdan) yang kuat ketika mereka dalam masa fana’ sehingga tanpa
sadar mereka mengucapkan kalimat-kalmat tersebut. Menurut Mahmud
(2008), sesungguhnya Allah SWT meliputi wujud mereka sehingga mreka tidak bisa
melihat selain Allah SWT, bahkan mereka tidak bisa melihat dirinya sendiri;
mereka tidak bisa melihat selainNya sebagai pengausa langit dan bumi, dan
mereka tidak melihat selainNya sebagai pengendali urusan yang ringat dan berat,
yang mereka lihat hanya Allah. Firman Allah SWT:
Artinya:
“Katakanlah: "Wahai
Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu[29]
Sesungguhnya
mereka telah menjadi Rabbaniyyun dan
menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla bagi
penglihatan, pendengaran, anggota tubuh mereka, serta hati (sanubari) mereka,
hingga tiada tempat dalam dirinya selain Allah.
Bagaimanapun, kaum sufi telah mengungkapkan wujud yang
tunggal, Menurut Mahmud (2008), ungkapan para sufi merupakan
ungkapan yang sangat meresap dalam hati dan sangat dalam, bukan seperti
ungkapan-ungkapan kering para ahli filsafat atau para ahli ilmu kalam. Dalam
ungkapannya, mereka menerangkan bahwa Allah SWT memberi wujud bagi setiap yang
maujud. Dialah yang memberi kemampuan berdiri bagi orang yang berdiri,
kemampuan berjalan bagi orang yang berjalan, bergerak, dan sebagainya. Menurut
ungkapan ahli sunnah pengikut Al
Asy’ari, “Sesungguhnya Dia (Allah) yang memotong, bukan pisau, Dialah yang
membakar bukan api,dan Dialah yang jika berkehendak dengan mengatakan pada api,
“jadilah engkau dingin dan selamat”, api itu akan menjadi dingin dan selamat”.
Seorang Sufi yang sedang dalam maqam fana’ seakan-akan dengan sendirinya ia mengucapkan ”Akulah Tuhan yang kucinta, dan Tuhan yang
kucinta ialah aku” . Rokim (2010) berpendapat bahwa perkataan yang
seperti itu bukanlah pada hakekatnya ia mengakui sebagai Tuhan akan tetapi ia menceritakan
tentang apa terjadi terhadap diri Tuhan, seperti ada seseorang membaca
al-qur’an yang artinya “Sayalah
Tuhan, tiada Tuhan melainkan Saya”. Sebagai contoh adalah ketika Syekh Siti
Jenar bersemedi di dalam gua, kemudian beliau dipanggil oleh dua murid utusan
Sunan Giri. Syekh Siti Jenar menjawab ”Tidak
ada Siti Jenar yang ada hanya Allah” dan ketika dua orang utusan itu
kembali lagi untuk menghadap Siti Jenar ia pun menjawab: “Jenar tidak ada yang ada hanya Tuhan”. Hal tersebut menunjukkan bahwa
ketika seseorang karam dalam Wahdatul Wujud
atau fana’, maka ia tidak dapat
menyaksikan akan keberadaan dirinya serta alam sekelilingnya karena kelazatan/kenikmatan
syuhud kepada Allah, dan tanpa
kesadaran keluarlah kalimat-kalimat tersebut.
Ketika para sufi mengucapkan kalimat-kalimat yang dirasa
asing dan sesat menurut orang awam, yang belum mengetahui makna sebenarnya dari
ungkapan wahdatul wujud maka tidak
sedikit dari kalangan para Sufi yang tidak selamat dari fitnah sebagaimana yang
terjadi pada Al-Hallaj yang difonis mati oleh penguasa Islam. Maka, kita
sebagai umat Muslim tidak boleh secara langsung atau dengan serta merta
menghukumi mereka sebagai orang kafir dan sesat, karena munculnya ungkapan
sesat atau kufur yang keluar dari mulut kita sesungguhnya adalah ungkapan yang
keluar karena ketidakfahaman kita akan konsep wahdatul wujud serta karena kelemahan jiwa kita. Menurut Mahmud
(2008), “Siapapun yang belum mencapai tingkatan seperti Al Hallaj, Ibnul
‘Arabi, Ibnul Faridh dan sebagainya (semoga Allah mencurahkan rahmatNya kepada
mereka), yang belum mendekati tingkatan mereka harus berusaha untuk tidak
menghukum tokoh-tokoh seperti mereka”.
Menurut Rokim (2010), bahwa: “Ketika kita menjumpai
orang-orang yang seperti itu, kita harus memahami konsep wahdatul wujud secara filosofis (radikal, sistematis dan universal)
dan jangan menghukumi secara lahiriahnya saja dengan mengkafirkan mereka, karena
wahdatul wujud merupakan ilmu batin
yang sangat sulit dipahami oleh orang yang belum mencapai tingkatannya”.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mahmud (2008) bahwa:
“Pada
suatu ketika dikatakan pada salah seorang Saiykh dari kaum yang saleh bahwa si
fulan mengkritik Saiykh Ibn ‘Arabi dalam majalah-majalah. Saiykh tersebut
menanggapi, “Apakah kumbang berhak menghukum tindakan harimau?, tidaklah dibenarkan
bila kumbang menghukum tindakan binatang buas. Juga bukan hak
kumbang untuk mengeluarkan pendapat tentang tindakan binatang buas tersebut”.
Imam Asy Sya’rani –semoga Allah merahmatinya– mengatakan
tentang musuh-musuh Imam Muhyiddin Ibn ‘Arabi, bahwa: “Hukum mereka hanalah
hukum seekor nyamuk yang meniup sebuah bukit dengan tujuan melenyapkannya dari
tempatnya. Sementara itu, angin berhasil melenyapkan ribuan nyamuk, tetapi
bukit-bukit itu tetap berdiri dengan kokohnya. Dan dengan bukit-bukit itulah keseimbangan
bumi terjaga”. Lalu, bagaimana mungkin mereka
yang merupakan para wali Allah mendakwakan persatuan dengan Al Haqq. Hal tersebut adalah sebuah
kemustahilan bagi mereka (semoga Allah meridlai mereka)[30]
2.2 Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi
2.2.1 Abu Yazid Al-Bustomi
A.
Riwayat
Hidup Abu Yazid
Abu Yazid Al-Bustomi
lahir di Bistam di Persia pada tahun 874 M, dan meninggal pada usia 73 tahun.
Kelihatannya ia mempunyai istri, tetapi tidak dapat diketahui perincian selanjutnya
dari hidup perkawinannya. Ibunya juga merupakan seorang zahid dan Abu Yazid amat patuh padanya. Sesungguhnya orang tuanya
merupakan salah satu pemuka masyarakat yang berada di Bistam, Abu Yazid memilih
kehidupan yang sederhana dan menaruh kasih sayang pada fakir miskin. Ia jarang
keluar dari Bistam dan ketika kepadanya dikatakan mencari hakikat selalu
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya ia menjawab: “Temanku
(maksudnya Tuhan) tidak pernah bepergian oleh karena itu akupun tidak bergerak
dari sini” sebagian besar dari waktunya ia pergunakan untuk beribadah dan
memuja Tuhan. Dia senantiasa ingin dekat kepada Tuhan, yang memulai dengan
timbulnya paham fana dan baqa’ dalam tasawuf [31].
Ketika Abu Yazid
masih kecil, ia bernama Taifur, dan ketika itu pula kegemarannya sudah mulai
tampak untuk selalu belajar berbagai ilmu pengetahuan, ia mulai belajar ilmu
Fiqh dari ulama bermazhab Hanafi. Sedangkan ilmu tasawuf dan ilmu Tauhid
didapatkan dari gurunya yang bernama Abu Ali As-Sindy, sangat bertentangan
dengan faham Sunni, sehingga ia dan
murid-muridnya selalu diancam hukuman atas permintaan ulama-ulama Sunni kepada penguasa pemerintahan
ketika itu [32].
B.
Ajaran tasawuf Abu Yazid
Abu
Yazid setelah mengetaui proses pendekatan diri kepada Allah, melalui fana ia
meninggalkan dirinya ke hadirat Tuhan. Keberadaan ia dat dilihat apa berada
dekat atau belum pada Tuhan melalui “syatahat” yang diucapkan. Adapun
syatahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh seorang sufi pada permukaan
ia berada di pintu gerbang ittihad, seperti ucapan dia [33]:
“Aku tidak heran
melihat cintaku padaMu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran
melihat cintaMu padaku karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa”
Dalam ajaran
tasawufnya terkandung falsafah-falsafah hulul dan ittihad, yang kadang-kadang
diungkapkannya dalam cerita-cerita yang mengandung ibarat misalnya ia
mengatakan “Ular tidak dapat dilihat zatnya, karena ia terbungkus dengan
sifatnya (kulitnya) apabila ular itu terpisah dari kulitnya, barulah kelihatan
ular yang sebenarnya”. Maka ular itu dapat mengatakan “Akulah ular”. Tuhan
merupakan suatu zat, sedangkan manusia merupakan suatu sifat sesudah manusia
itu fana, yang ada hanya Tuhan. Maka, ia mengatakan “Akulah Tuhan” sedangkan
manusia tidak dapat berkata bahwa ia ada, karena hanya merupakan sifat belaka,
sama halnya dengan kulit ular[34].
Tatkala berada dalam tahapan ittihad Abu yazid berkata [35]:
“Tuhan berkata: ‘semua
mereka-kecuali engkau- adalah makhluk’ Akupun berkata, ‘Engkau adalah aku, dan
aku adalah Engkau”
Selanjutnya ia berkata lagi:
“ Konversasipun
terputus: kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata,
‘Hai engkau.’, Akupun –dengan pelantaraan-Nya menjawad; ‘Hai Aku’. Ia berkata,
‘Engkaulah yang satu’. Aku menjawab: ‘Akulah yang satu.’ Ia berkata lagi,
‘Engkau adalah Engkau’, Akupun menjawab: ‘Aku adalah Aku’”
Sehabis sholat subuh Abu Yazid
pernah berkata:
“Tidak ada Tuhan selain
Aku, maka sembahlah Aku”
Suatu ketika ada
orang yang lewat rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya: “ Siapa
yang engkau cari?”, orang itu menjawab: “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah
, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”[36]
Perkataan yang
semacam itulah yang mengakibatkan Abu Yazid sering dituduh sebagai musyrik,
karena perkataannya yang membingungkan masyarakat, sehingga ia ditangkap dan di
penjarakan. Namun murid-murid dari Abu Yazid masih teguh mempertahankan dan
mengembangkan ajarannya melalui perkumpulan tarikat yang dinamakan “Thariqah
Thaifuriyyah” yaitu suatu istilah yang dinisbahkan kepada gurunya, Abu Yazid
(Taifur).
Rangkaian
kata-kata Abu Yazid tersebut merupakan ilustrasi tentang proses terjadinya
ittihad. Pada bagian awal ia melukiskan alam ma’rifat, dan selanjutnya memasuki alam fana’an nafs sehingga
berada sangat dekat dengan Tuhan, dan akhirnya mencapai perpaduan [37].
Secara harfiah ungkapan-ungkapan Abu Yazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai
Tuhan, namun sebenarnya bukan demikian maksudnya, dengan ucapan “aku adalah
engkau “ bukan ia maksudkan “aku”nya sebagai Abu Yazid sendiri. Namun dialog
itu terjadi ketika itu pada hakikatnya adalah monolog. Kata-lkata itu adalah
sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah
Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an
nafs. Pada saat bersatunya Abu Yazid
dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada ketika itu hanya satu
wujud yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapan itu pada hakikatnya adalah kata-kata
Tuhan. Dalan hal ini Abu Yazid menjelaskan [38]:
“Sebenarnya Dia
berbicara melalui lidah saya sedangkan saya dalam keadaan sendiri fana”
Oleh karena itu
sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Proses ittihad Abu Yazid
adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat ilahi, bukan melalui reinkarnasi.
Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari, dan
dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak
menyadari dirinya terlebur dalam apa yang Dia lihat.
1.2.2
Husein
Ibnu Mansur Al-Hallaj
A.
Riwayat
Hidup Ibn Al-Hallaj
Nama lengkapnya
adalah Husein bin Mansur bin Muhammad Al-Hallaj, yang dilahirkan disebuah desa
bernama “Thur”, di dekat desa Baidha’ di Persia. Ketika masih remaja kira-kira
berumur 16 tahun, ia sudah mulai tertarik dengan kehidupan seorang sufi
sehingga ia berguru pada seorang ulama sufi yang terkenal di masa itu. Dan
seterusnya ia meneruskan pelajarannya pada Abdillah At-Tustari dan Junaid
Al-Badhdady, serta aktif mengikuti gurunya dalam setiap pertapaan [39].
Al-Hallaj selalu
mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu
melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Gagasan
pemerintahan yang bersih dari Nasr Al-Qusairi dan Al-Hallaj ini jelas berbahaya
karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya
merupakan lambang saja. Pada waktu yang sama aliran keagamaan dan tasawuf
tumbuh dengan subur, hal itu membuat pemerintah sangat kwatir terhadap
kecaman-kecamannya yang keras dan pengaruh sufi ke dalam struktur politik.
B.
Ajaran
Tasawuf Al-Hallaj
Al-Hallaj
menganut paham hulul, yakni paham
yang menyatakan bahwa Tuhan dapat terjadi, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat didalamnya. Tetapi untuk itu seorang sufi harus
terlebih dalamnya dan terlebih dulu menghancurkan sifat-sifat kemanusiaannya
sehingga yang terdapat didalam dirinya hanyalah sifat-sifat ketuhanan.
Kemudian barulah Tuhan mengambil tempat dalam diri sufi yang bersangkutan.dengan
kata lain Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada
sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan dari Al-Quran surat Al-Baqarah [02] ayat
34:
øÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§Î=ö/Î) 4n1r&
uy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB úïÍÏÿ»s3ø9$#
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir[40]”
Dalam sejarah tasawuf Al-Hallaj merupakan
seorang sufi yang paling terkenal kegigihannya dalam mempertahankan
pendapatnya, terutama falsafah Al-Hulul yang dianutnya, sehingga melahirkan
pernyataan yang mengatakan Anal haq
(saya adalah Tuhan) bukan lagi Al-Hallaj. Pernyataan itulah yang mengandung
protes para fuqaha, bahkan ahli
tasawufpun yang berbeda dengan pahamnya, ikut menuduh Al-Hallaj. Dan ketika dihadapkan
di pengadilan untuk ditanyai falsafah hululnya
ia berkata : “Memang anasir manusia tetap sebagaimana semula, tidak bercampur
dengan zat Tuhan. Tetapi jiak telah terjadi proses hulul, maka unsur ketuhanan
(lahut) masuk ke dalam unsur kemanusiaan (nasut). Itulah yang kualiami
sekarang. Karena itu ketika anda berkata ‘Al-Hallaj harus menghadap ke
pengadilan’ aku berkata ‘Al-Hallaj tidak ada, tetapi yang ada hanya Tuhan (Anal Haq)’ sebab memang begitulah
adanya”. Mendengar keterangan itu dari Al-Hallaj, maka pengadilan memutuskan
untuk menghukum mati beliau, meskipun murid-muridnya beramai-ramai untuk
menghalangi hukuman mati tersebut, tetapi nasibnya tetap dihukum mati [41].
Al-Hallaj kemudian dibunuh dan jasadnya dibakar dan akhirnya dibuang ke sungai
Tigris [42].
Padahal dalam
diri Al-Hallaj hulul mengandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak
ilahi, sehingga setiap kehendak manusia merupakan kehendak Tuhan, demikian juga
tindakannya. Hal ini terlihat pada perkataan Al-Hallaj:
“Barang siapa mengira
bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan
berpadu dengan keTuhanan, maka kafirlah ia, sebab Allah mandiri dalam zat
maupun sifat-Nya dari zat mahluk. Ia
tidak sekali-kali menyerupai mahluk-Nya dan merekapun tidak sekali-kali
menyerupai-Nya”
Dengan demikian
Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan
Tuhan. Seperti yang terlihat dalam syairnya:
“Aku adalah rahasia yang Maha Benar dan
bukanlah yang Maha Benar itu aku”
“aku hanya satu dari yang benar, maka bedaakanlah
antara kami”
Dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa hulul
Al-Hallaj tidaklah nyata karena memberi pengertian secara jelas tentang
perbedaan antara hamba dan Tuhan. Hulul
yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’ atau menurut ungkapannya hanya
sekedar terlebarnya nasut dalam lahut (tidak ada perbedaan diantara
keduanya).
1.2.3
Ibn
Arabi
A.
Riwayat
Hidup Ibn Arabi
Nama lengkap Ibn Arabi
adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Thai Al-Haitami. Ia lahir di
Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol tahun 560 H dari keluarga berpangkat,
hartawan, dan ilmuwan. Namanya biasa disebut tanpa “Al” untuk membedakan dengan
Abu Bakar Ibn Al-Arabi, seorang qadhi
dari sevilia yang wafat tahun 543 H di Seville (Spanyol), ia mempelajari
Al-Quran, hadist, serta fiqh pada
sejumlah murid seorang fakih Andalusi yang terkenal, yakni Ibn Hazm Al-Zhahiri [43].
B.
Ajaran
tasawuf Ibn Arabi
Ibn Arabi menggunakan
bentuk pola akal yang bertingkat-tingkat, seperti; akal pertama, kedua, ketiga
dan sampai akal kesepuluh. Dimana ia mencoba mengambarkan bahwa proses
terjadinya sesuatu ini berasal dari yang satu, kalau meminjam bahasanya
Plotinus ialah The One. Kemudian konsep itu terus disempurnakan bahwakan
mengalami kritikana dari sufi-sufi yang lain. Misalnya sufi yang memperbarui
konsep ajaran Ibn Arabi ini ialah Mulla Shadra yang lebih mencoba menggunkan
konsep yang rasional dengan istilah Nur yang mana ia mencoba merujuk dari
al-qur’an sendiri bahwa Tuhan adalah cahaya dari segala cahaya..
Bagi
Ibn ‘Arabi, pemisahan antara Khaliq dan makhluk tersebut merupakan fenomena
imajinatif (khayyal) kosmos di mana kosmos seolah-olah memiliki entitas
wujudnya sendiri yang terlepas dari Wujud Ilahiyah di samping aktivitas tawahhum
(pembayangan) manusia. Dengan fenomena imajinatif ini, tentu saja Ibn ‘Arabi
tidak bermaksud menghilangkan signifikansi eksistensi kosmos, sebab kehadiran
imajinasilah yang pada kenyataannya memungkinkan kita menyaksikan kehadiran
wujud (eksistensi). Tanpa pemisahan Rabb-hamba, dan karenanya tanpa tawahhum
dan imajinasi (khayyal), maka apa yang dapat kita bayangkan adalah
suatu Wujud Tunggal yang tidak dapat teridentifikasi sebagai ilah (tuhan) atau
bukan-tuhan, sebab memang dalam kondisi tersebut tidak ada ma’luh
(hamba) yang akan mengakui-Nya sebagai ilah. Wujud ini diidentifikasi
Ibn ‘Arabi sebagai Wujud yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan
kosmos; sebagai Wujud yang independen dari dan tidak tersentuh kosmos, ketika
kosmos diandaikan keberadaannya.
Dalam
kondisi ketunggalan-Nya, Wujud mengetahui dan menemukan Diri-Nya melalui
Diri-Nya sendiri, sebab memang tidak ada hal lain selain Diri-Nya. Dari sudut
pandang ini, apa yang sekarang kita sebut kosmos pada dasarnya bukanlah Wujud
itu sendiri, atau merupakan bagian dari-Nya. Sementara itu apa pun dan siapa
pun yang menemukan entitas dirinya dan entitas satu sama lainnya–yang
kesemuanya tidak lain merupakan bagian-bagian yang membentuk kosmos–merupakan
entitas-entitas permanen yang tidak atau belum (tetapi potensial untuk)
menemukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, entitas-entitas permanen berperan
sebagai lokus manifestasi Wujud di mana Dia diketahui dan ditemukan oleh
Diri-Nya sendiri.
wahdatul
wujud, adalah merupakan ekpressi sufistik yang bisa dijangkau atau dipahami
secara transendental yang umumnya tidak sembarangan dipaparkan di kalangan
awam, biasanya pengajaran ini melalui suatu tharekat yang mengajarkan tahap
demi tahap (maqamat) sampai memahami dan merasakan (dzauq). Untuk memahami ilmu
hakikat, biasanya di awali dari Syariat, Tharikat, Hakikat sampai memahami akan
makrifat (gnostik).
Tataran wahdatul wujud ini sudah
masuk ke pemahaman makrifat, yang mana sudah tidak lagi menggunakan nalar atau
akal fikiran, tetapi melalui peningkatan kesadaran. Kalau di ibaratkan, nalar
adalah bumi, sementara makrifat adalah langit, tentunya membahas suatu langit
kita harus berimijinasi dan berempathi tentang langit terlebih dulu, tidak
semerta-merta menolak karena langit bukanlah bumi, atau mudah memurtadkan orang
karena itu adalah kepicikan diri yang tak mampu mencerap, karena hakikat
kebenaran adalah milik Yang Haq, dan yang memiliki hak prerogatif itu adalah
Sang Haq itu sendiri. Tetapi memahami Wahdatul Wujud ini memang sulit karena
akan menjerumuskan di kalangan awam, banyak martir yang digantung oleh
karenanya, tengoklah Al Hallaj di Baghdad atau Syekh Siti Jenar dengan konsep
Manunggaling Kawula Gustinya di Nusantara ini.
1.2.4
Abdul
Karim bin Ibrahim Al-Jilli
A.
Riwayat
Hidup Abdul karim bin Ibrahim Al-Jilli
Nama lengkapnya adalah Abdul
Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M di Jilan sebuah provinsi
di sebelah selatan Kasfia dan wafatnya pada tahun 1417 M. Ia adalah seorang
sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui para
ahli sejarah, tetapi sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke
india pada tahun 1387 M, kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul
Qadir Al-Jailani, seorang pendiri tarekat
Qadariyah yang sangat terkenal [44].
B.
Ajaran
tasawuf Al-Jilli
Berkaitan dengan insan
kamil Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi. Dalam
istilahnya, maqam itu disebut al-martabah
(jenjang/tingkatan). Martabah-martabah
itu adalah[45]:
1. Islam,
islam yang mendasarkan lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak
hanya dilakukan secara ritual tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
2. Iman,
yakin membenarkan dengan seluruh keyakinan akan rukun iman dan melaksankan
dasar-dasar islam.
3. Ash-Shalah,
tujuan ibadah dalam maqam ini adalah
mencapai nuqtah ilahiah pada lubuk hati sehingga menaati syariat dengan baik
4. Ihsan,
maqam ini menunjukkan bahwa seorang
sufi yang telah mencapai tingkatan menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan.
Persyaratan yang harus ditempuh dalam maqam
ini adalah istiqamah dalam tobat, inabah,
zuhud, tawakal, tafwidh, ridha, dan
ikhlas.
5. Syahadah,
maqam ini seorang sufi telah mencapai
iradah yang bercirikan mahabbah
kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya terus menerus dan meninggalkan hal-hal
yang menjadi keinginan pribadinya.
6. Shiddiqiyah,
istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat ma’rifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu Al-yaqin, ‘ain Al-yaqin, dan Haqq Al-yakin. Seorang sufi yang
mencapai tingkat siddiq mampu
menyaksikan hal-hal gaib kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga
mengetahui hakikat diri-Nya.
1.2.5
Ibn
Sabi’in
A.
Riwayat
hidup Ibn Sabi’in
Nama lengkap Ibn
Sabi’in adalah Abdullah Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr, seorang sufi yang
juga filosof dari Andalusia. Ia terkenal di Eropa karena jawaban-jawabannya
atas pertanyaan Federik II, penguasa Sisilia. Ia dilahirkan pada tahun 614 H
(1217-1218 M) di kawasan Murcia. Ia memiliki asal-usul Arab dan mempelajari
bahasa Arab dan sastra pada kelompok gurunya dan mempelajari ilmu-ilmu agama
dari Mazhab Maliki, ilmu-ilmu logika, dan filsafat[46].
B.
Ajaran
tasawuf Ibn Sabi’in
Ajaram tasawuf Ibn
Sabi’in dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan essensial pahamnya yaitu
wujud adalah satu alias wujud Allah semata sedangkan wujud-wujud yang lainnya
hanyalah Wujud Yang Satu itu sendiri. Jelasnya wujud-wujud lainnya itu
hakikatnya sama sekali tidak lebih dari Wujud Yang Satu[47].
Dalam paham tersebut Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama.
Wujud Allah adalah asal dari segala sesuatu yang ada pada masa lalu, masa kini,
maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dirujukan pada
wujud mutlak yang rohaniah. Paham ini menafsirkan wujud yang bercorak spiritual
bukan material.
Menurut Ibn Sabi’in individu
yang paling sempurna adalah individu yang memiliki fakih, teolog, filosof, maupun sufi. Ibn Sabi’in sendiri
berpendapat bahwa para pencapai kesatuan mutlak adalah kebahagiaan itu sendiri,
kebajikan itu sendiri, dan kedermawanan itu sendiri. Yang menarik dari pendapat
ibn sabi’in itu adalah latihan-latihan moral praktis yang bisa mengantarkan
pada moral luhur, tunduk dibawah konsepsi tentang wujud. Misalnya,dzikir
seorang pencapai kesatuan mutlak adalah ungkapan “tidak ada wujud selain Allah”
sebagai ganti “tidak ada Tuhan selain Allah”. Si pendzikir dalam dzikir sendiri
adalah yang dzikir. Sementara tingkatan dan keadaan, yang merupakan buah dari
dzikir, juga tidak ke luar dari ruang lingkup kesatuan mutlak tersebut. Begitu
halnya dengan hidup menyendiri maupun mengisolasi puasa, dan doa, bahkan juga
mendengar, semua itu mengantar seseorang penempuh jalan ataupun musafir sufi ke
suatu keadaan sirna, dan tambahan lagi merealisasikan kesatuan mutlak baginya[48].
1.2.6
Ibn
Masarrah
A.
Riwayat
hidup Ibn Masarrah
Ibnu masarah merupakan
salah satu sufi dan filosof dari Andalusia. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin
Abdullah bin Masarrah. Ia memberikan pengaruh esoterik mazhab Al-Mariyyah. Lebih jauh Ibn Hazm
mengatakan bahwa ibn masarrah memiliki kecenderungan yang besar terhadap
filsafat sedangkan dalm kacamata Mustofa Abdul Raziq, Ibn Masarrah termasuk
aliran sufi ittihadiyyah. Berbarengan dengan masa ibn masarrah, di andalusia
telah muncul tasawuf filosofi. Ia lebih banyak disebut-sebut sebagai filosof
ketimbang sufi. Namun, pandangan-pandangan filsafatnya tertutupi oleh kezahidannya.
Pada mulanya, ibn masarrah merupakan penganut sejati aliran Mu’tazilah, lalu
berpaling ke mazhab Neo-Platonisme.
Oleh karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani Kuno [49]
B.
Ajaran
tasawuf Ibn Masarrah
Diantara ajaran-ajaran tasawuf Ibn Masarrah
adalah sebagai berikut:
a. Jalan
menuju keselamatan adalah mensucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan
asal dari semua kejadian.
b. Dengan
penakwilan ala Philun atau aliran Isma’iliyyah terhadap ayat-ayat
Al-Quran, ibn masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani.
c. Siksa
neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.
[2]
Siregar, R. H. A. 2002. Tasawuf: Dari
Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme Edisi Refisi. Jakarta: PT Raja Grasindo
Persada. Hal: 152-153.
[7]
Mustofa, Z. 1984. Kunci memahami Ilmu
Tasawuf. Jakarta: PT. Bina Ilmu
[9] Ulum, Dida Darul. 2007.Ittihâd,
Hulul, dan Wahdat al-Wujud dalam Tasawuf I.http://www.Al-Hullul.com.diakses tanggal 4 November 2010.
[10] Ulum, Dida Darul. 2007.Ittihâd,
Hulul, dan Wahdat al-Wujud dalam Tasawuf I.http://www.Al-Hullul.com.diakses tanggal 4 November 2010.
[12]
Ibid
[13]
Al-Jailani, Abd Karim. Insan Al-Kamil fi Makrifati al-awakhir wal Awail.
[16]
Zahri, Musthafa. Kunci
memahami ilmu tasawuf……..hal 235-236
[17] Ibid
hal 239-240
[20]
Mahmud, A.H. 2002. Tasawuf di Dunia Islam. Bandung:Pustaka Setia. Hlm. 229
[27] Q.S. Al
Fathir: 41
[35]
Anwar, R., dan Solihin, M. 2007. Ilmu
Tasawuf. Bandung: CV Pusaka Setia.Hal 134
[37]
Nasution, H. 1978. Falsafah dan
Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hal 85
[38] Siregar, R. H. A. 2002. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme
Edisi Refisi. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada. Hal 154-155
[39]
Anwar, R., dan Solihin, M. 2007. Ilmu
Tasawuf. Bandung: CV Pusaka Setia. Hal 224
[42] Ibid
274
[47] Ibid hlm
160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar