Senin, 09 Januari 2012

Sejarah Perkembangan Tasawuf


2.1 Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Diskusi tentang keberadaan tasawuf di Nusantara, tidak bisa lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tersebar luasnya Islam di Indonesia sebagian besar adalah karena jasa para Sufi.[1] Akan tetapi belakangan ini, sufisme yang melandasi ethos kerja mereka itu, kelihatannya hamper terlupakan, kecuali di kalangan tertentu saja.
Menelusuri mewabahnya aliran ini di Indonesia, maka hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang melakukan study ( belajar ) ke negara Timur tengah. Lebih khusus lagi adalah Arab Saudi yang pada waktu itu belum diwarnai dengan gerakan tajdid (pembaharuan) yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ( Beliau lahir pada tahun 1115 H / 1695 M dan meninggal pada tahun 1206 H / 1786 M ). Diantara para pelopor berkembangnya aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dibeberapa literatur diantaranya adalah : Nuruddin Ar Raniri ( wafat tahun 1658 M ),Abdur Rouf As Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf Al makkasary ( 1629-1699 M ).
Abdur Rouf As Sinkili setelah belajar beberapa lama kemudian diangakat sebagai kholifah Tarekat Syatariyah oleh Muhammad Al Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh setelah gurunya meninggal . Keberadaanya di tanah Aceh cukup dipandang oleh para penduduk bahkan dijadikan sebagai panutan dimasyarakat, bermodal kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya serta kegigihan murid-muridnya, maka dengan mudahnya ia berhasil mengembangkan ajaran Thariqot sufiyahnya dengan perkembangan yang sangat pesat hingga paham itu tersebar sampai ke Minang kabau ( Sumatra Barat ). Salah satu murid Abdur Rouf as Sinkili yang berhasil menyebarkan paham ini adalah Burhanuddin.[2]
Setelah meninggal kuburan Burhanuddin ini menjadai pusat ziarah dimana para penziarah itu melakukan praktek peribadatan yang aneh. Timbulnya aliran yang aneh ini menimbulkan pertentangan yang tajam, terutama setelah beberapa orang yang datang dari Arab Saudi yang pada waktu itu sudah terwarnai dengan aliran pembaharuan ( Ahlusunnah wal jama'ah ) yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab . Pertentangan ini berlanjut yang pada akhirnya pecah perang PADRI . Demikianlah jejak pemahaman yang ditinggalkan oleh As Sangkili yang berkembang pesat ditanah Minang yang terkenal dengan religiusnya itu.. As Sankili meningggal dan dikuburkan di Kuala, mulut sungai Kapuas. Tempat tersebut kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi banyak orang.
Sedang Muhamad Yusuf Al Makasary setelah bertemu dengan gurunya yakni Syaikh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al Kholwati Al Khurosy As Syami Ad Dimasqy, kemudian diberi otoritas untuk menjadi kholifah bagi aliran Thariqot Kholwatiyah dan diberi gelar dengan Taj Al Kholwati ( Mahkota Kholwati ). Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai mengembangkan paham Kholwatiyah ditanah Rencong ini.
Adapun Nuruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Ar Raniri masuk ketanah Aceh pada masa kekuasaan sultan Iskandar Muda. Pada masa itu yang berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syamsudi As Sumatrani, putra kelahiran Aceh yang diberi gelar ulama' dan berpemahaman Sufi Wujudiyah. Dikarenakan kedudukan yang disandangnya cukup strategis, maka dengan mudah ia mengembangkan paham yang dianutnya itu. Syamsudin ini bekerjasama dengan Hamzah Fansuri, seorang ulama' yang banyak mengekspresikan pemahamannya melalui keindahan kata ( prosa ).
Dan dari beberapa catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu yang study di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan ajaran tasawwuf (tarekat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan disini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang ajarannya masih berujud. Mereka adalah Abdus Shomad al Palimbani dan Muhammad Arsyad al Banjari (1710,1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mamapu merombak wajah Kerajaan Banja di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil Al Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota Banjar Masin.
Abdus Shomad al Palimbangi, Muhammad Arsyad al Banjary serta dua rekan mereka, Abdul Wahab ( Sulsel ) dan Abdurrohman ( Jakarta ) merupakan orang-orang Tarekat yang berguru kepada Syaikh Muhammad As Saman, selain itu tersebut pula nam-nama lainnya sepeti Nawawi Al Bantani ( 1230 -1314 M ), Ahmad Khotib As Sambasi, Abdul Karim Al Bantani , Ahmad Rifa'I Kalisasak, Junaid Al batawy, Ahmad Nahrowi Al Banyumasi ( wafat 1928 M ), Muhammad Mahfudz At Termasi ( 1842- 1929 M ), Hasan Musthofa Al Garuti ( 1852-1930 M )dan masih bannyak lagi yang lainnya. Sebagian besar dari mereka pulang kembali dan menyebarkan ajarannya di Indonesia .namun demikian, tidak semua orang yang belajar ditanah Arab kembali dengan membawa ajaran baru atau terperangkap dalam pemahaman tasawuf, Ahmad bin Khotib bin Abdul Latief Al Minangkabawi ( 1816-1916 M ) adalah salah satu contohnya. Beliau inilah yang mula-mula berani menyatakan pendiriannya membatalkan amalan-amalan ahli tarekat, terutama sekali tarekat Naqsabandiyah yang selalu menghadirkan Syaikhnya dalam ingatan saat ber "Tawwajjuh". Syaikh Ahmad bin Khotib memfatwakan kepada ummat untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar menurut Al Qur'an dan As Sunnah serta menghindarkan diri dari perbuatan syirik dan mengharamkan penghadiran guru ketika beribadah sebagaimana yang telah banyak dilakukan oleh para penganut tarekat Naqsabandiyah. [3]
            Dari sekian banyak naskah-naskah lama yang berasal dari Sumatera, baik yang ditulis dalam bahasa arab maupun bahasa melayu, adalah berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula ditunjuk bagaimana peranan ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sampai pada masa Wali Songo di Jawa. Kepemimpinan raja atau sultan selalu didampingi dan didukung kharisma ulama tasawuf.
            Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan itu menjadi titik sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara pulau Jawa.[4] Penyebaran Islam ke pulau Jawa , juga terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro yang ketiganya adalah abituren Pasai. Melalui keuletan mereka itulah berdirinya kerajaan Islam Demak yang kemudian menguasai Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah.
Perkembangan Islam di Jawa untuk selanjutnya umumnya digerakkan oleh ulama yang diketahui dan dikenal dengan panggilan Wali Songo. Dari sebutan itu saja sudah cukup alasan untuk mengatakan bahwa mereka itu adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai derajat “wali”. [5]
            Para wali itu bukan saja berperan dalam menyiarkan islam, tetapi mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan, dan arena posisi itu mereka mendapat gelar Susuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu, mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elit keratin dalam menyebarkan dan memantapkan penghayatan islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut.

            Berikut adalah ringkasan sejarah tentang perjalanan hidup Wali Songo dan Syeikh Siti Jenar sebagai penganut tasawuf sekaligus yang menyebarkan ajaran tasawuf di Indonesia.
1. Syeikh Maulana Malik Ibrahim
Terkenal dengan sebutan Syeikh Maghribi, sebagian literature menyebutkan beliau dari Gujarat, India. Syeikh Maulana Malik Ibrahim diperkirakan datang ke gresik tahun 1404 M. Sifatnya yang lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang baik sesame muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk islam dengan sukarela dan menjadi pengikut beliau yang setia. Bila orang bertanya sesuatu masalah agama kepadanya, beliau tidak mejawab berbelit-belit, melainkan dijawabnya dengan mudah dan gambling sesuai pesan nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, umat harus dibuat gembira, tidak di takut-takuti.
2. Raden Rahmat
            Terkenal dengan nama Sunan Ampel, wali ini berasal dari kamboja, Indo-Cina. Sikap sunan ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini di dukung oleh Sunan Grid an Sunan Drajat. Pendapat Sunan Ampel ini menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah.
3. Sunan Makdum Ibrahim
Lebih dikenal dengan nama Sunan Bonang, beliau adalah anak dari Sunan Ampel. Dalam berdakwah, Sunan makdum Ibrahim ini sering mengunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Karena beliau sering mengunakan Bonang untuk berdakwah, maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.
4. Raden Paku
            Terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Wali keempat dari Wali Songo ini berasal dari Blambangan. Setelah berusia 16 tahun kedua pemuda itu belajar agama islam di Pasai dengan Maulana Ishak dan termasuk belajar ilmu tasawuf dari ulama-ulama Iran, Baghdad dan Gujarat yang banyak menetap di Pasai. Para guru itu member gelar Raden Paku dengan Syekh Maulana Ainul Yaqin.
5. Syarif Hidayatullah
            Wali kelima dari Wali Songo ini kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Ayah Syarif Hidayatullah meninggal dunia ketika ia berusia dua puluh tahun dan diangkat menjadi Raja Mesir tapi ia menolak dan kedudukan itu diberikan kepada adiknya, Syarif Nurullah. Ia beserta ibunya kembali ke Jawa untuk berdakwah sesudah berguru dengan ulama-ulama besar di Timur Tengah.
6. Jafar Sodiq
            Lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus, sunan ini yang menyiarkan agama Islam di Jawa Tengah di sebelah pesisir utara. Ja’far Sodiq adalah pengikut jejak Sunan Kalijaga, dalam berdakwah menggunakan cara halus atau Tut Wuri Handayani. Adat istiadat rakyat tidak ditentang secara frontal, melainkan diarahkan sedikit demi sedikit menuju ajaran islami.
7. Raden Prawoto
            Di kalangan rakyat lebih dikenal dengan nama Sunan Muriapada, adalah wali ketujuh dari Sembilan wali yang diangap sebagai pencipta gending Sinom dan Kinanti. Cara ia menyiarkan agama adalah mendekati kaum dagang., nelayan dan pelaut. Ia mempertahankan tetap berlangsungnya gamelan sebai satu-satunya kesenian jawa yang sangat digemari rakyat dan digunakannya kesenian itu untuk memasukkan rasa Islam kepada rakyat, sehingga dengan tidak terasa rakyat itu dibawanya kepada mengingat Tuhan.
8. Syarifuddin
            Lebih dikenal dengan nama Sunan Drajat (wali kedelapan) adalah putera Sunan Ampel yang oleh rakyat dianggap pencipta gending Pangkur konon ia adalah seorang yang sangat berjiwa social. Disamping ia taat menjalankan agama, ia selalu beramal untuk member pertolongan dalam kesengsaraan umum, dan memperhatkan nasib anak-anak yatim dan piatu dan membela   orang-orang sakit.
9. R.M. Syahid (Raden Said)
Dikenal dengan nama Sunan Kalijaga, konon ia adalah pencipta wayang kulit, pengarang cerita-cerita wayang yang berjiwa islam. Sunan alijaga berperan dalam pendiria masjid pertama di Tanah Jawa yakni Masjid Demak. Sunan Kalijaga dianggap ulama yang menentukan kiblat Masiid Demak agar sesuai menghadap Ka’bah. Masjid ini menjadi pusat agama terpenting di Jawa dan memainkan peran besar dalam upaya menuntaskan islamisasi di seluruh Jawa, termasuk daerah-daerah pedalaman.
10. Syekh Siti Jenar
            Dikenal dengan banyak nama seperti Sitibirit, Lemahbang, dan Lemah Abang. Pemikiran Syekh Siti Jenar dianggap amat liberal dan controversial, Syekh Siti Jenar dinilai melawan arus besar keagamaan yang dibangun oleh kolaborasi kekuasaan (kerajaan Demak Bintara pimpinan Raden Fatah) dan elite agamawan terdiri dari Wali Songo. Syekh Siti Jenar memiliki berbagai macam macam persamaan dan perbedaan dengan Wali Songo. Kendati begitu mereka sesungguhnya dikembangkan dan dianut oleh Wali Songo.

2.2  Reformasi Sufisme di Indonesia
Demikianlah pengaruh gerakan wahabiyah yang diinspirasikan oleh ajaran Ibnu Taimiyah, sampai juaga di Indonesia. Khusus dalam aspek sufisme, pada permulaan tahun 50-an, Hamka melalui bukunya "tasawuf perkembangan dan pemurniannya”serta”tasawuf modern”, berusaha memperlihatkan bahwa tasawuf yang benar itu adalah yang tetap berakar pada prinsip tauhid, yakni Tuhan hanya satu. Artinya, bertasawuf adalan mengisi diri dengan sifat-sifat kesempurnaan Allah, mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat ilahiyah, “al-ittishaf bi shifat ar-Rahman ala thaqatiil basyariyah”. Bertasawuf bukan berarti menolak hidup (duniawi), tetapi bertasawuf harius tetap meleburkan diri dalam gelanggang kehidupan masyarakat luas, seperti kehidupan biasanya.
Sejarah dengan gagasan Hamka ini, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah (aswaja), adalah pendukung dan penghayat tasawuf. Untuk menghindari penyimpangan sufisme dari garis lurus yang meletakkan parasyeikh sufi terdahulu, maka NU meletakkan dasar-dasar tasawuf jamaahnya sesuai denagn khittah aswaja. Dalam hal ini, NU membina keselarasan antara tasawuf al-Ghazali dengan tauhid Asyariyah dan Maturidiyah serata hukum fiqh esuai dengan salah satu mazhab sunni yang empat. Sedangakan dalam aspek tarekat sebagai aspek lembaga, NU juga mamiliki lembaga yang diberi nama “jamiyah thariqah mu’tabarah”, yang bersumber pada tasawuf Junaid al-Baghdadi. Hal ini berarti, bahwa tarekat yang diakui sah oleh NU hany atrekat yang sudah diakui baik dan benar oleh syeikh-syeikh tarekat sedunia, yang disebut seabagai tarekat al-Mu’tabarah yang sesuai dengan prinsip-prinsip Aswaja. Dengan demikian, bagi NU ,menganut tasawuf adalah yang sejalan dengan taswuf Sunni, dan menolak tasawuf Syi’i.
Selain dari pada itu, dalam pandangan jamaah ini, sufisme sebagi salah satu tradisi keilmuwan dan gaya keberagamaan umat Islam, adalah warisan yang sangat berharga dari masa lampau yang harus dilestarikan sejauh mengkin tanpa menutup pertumbuhan kreativitas individual. Tradisi merupakan persambungan atau kontinuitas masa lampau deagan masa kini, yang tidak dapat begitu saja diputuskan tanpa menimbulkan akibat-akibat yang merugikan individu dan masyarakat. Tradisi keilmuwan itu, yakni sufisme yang melahirkan suatu sikap yang menekankan keterpautan dimensi rasional dan dimensi spiritual, dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi dalam kehidupan manusia, adalah suatu kenyataan yang tidak bisa ditolak.
Dengan demikian, maka taswuf yang berkembang pada masa awal itu dinominasi oleh tasawuf dengan aliran Sunni. Kalaupun ada penganut tasawuf aliran falsafi, tidak begitu luas dan bahkan mendapat perlawanan dari pengikut Sunni. Oleh karena itu tasawuf di Indonesia sejalan dan sedarah daging drengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam perkembangan sufisme di Indonesia, pengaruh al-Ghazali as-Syafi’I lebih besar dari pada pengaruh al-hallaj dari mazhab Syfi’i. bahakan pada masa kerajaan Islam Pasai, telah ada orang Jawa mengajartasawuf di Mekkah, yaitu Syeikh Abu Abdullah Mas’ud bin Abdullah Jawi. Namun agaknya masih perlu dicatat, bahwa perkiraan ini belum berarti akan meneruskan jalan kea rah penelusuran perkembangan tasawuf di Indonesia. Sampai sekarang, nampaknya masalah ini belum tuntas yang mengakibatkan timbulnya anggapan yang memepersamakan tasawuf dengan tarekat.

2.3  Aliran Tasawuf di Indonesia
Untuk menelusuri aliran-aliran tasawuf yang berkembang di Indonesia, dapat dilakukan dengan melihat kembali konsep-konsep tasawuf yang berkembang pada kurun waktu kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Aceh. Dan dalam perkembanagn Isalam selanjutnya, sistem peninggalan masyarakat hindu budha diterusakan oleh penyiar Islam. Proses transformasi (alih pengetahuan) ilmu keislaman dilakukan secara”sorogan” yang kemudian meningakat secara “bandongan” dan “wetonan”. Dari embrio model ini, kemudian bermunculan model pendidikan islam yang dikenal sebagai pesantren dan tarekat sebagai lembaga tasawuf. Dengan semakin kuatnya pengaruh madzhab Syafi’I, maka sufisme yang dipelajari dipesantren adalah tasawuf Sunni yang bersumber dari tasawuf al-Ghazali. Lain halnya denagn tarekat, tasawuf yang di ajarkan kelihatannya merupakan gabungan dari tasawuf sunni dan tasawuf falsafi.
Sampai di sini terungkaplah suatu kejelasan, terutama bagi yang ingin mendalami tasawuf, dapat memiliki antara dua kemungkinan, yakni apakah tasawuf dilihat sebagai suatu aspek ilmu yang mandiri ataukah sebagai suatu tarekat yang melembaga? Apabila pilihan jatuh pada yang pertama, maka mulailah dengan tasawuf akhlaki, dan meningakt ke tasawuf amali dan tasawuf falsafi, jangan sebaliknya, dan dengan satu ketentuan harus didahului dengan pemahaman syariat. Bagi mereka yang akan memilih alternative kedua, tinggal memilih karakter yang disukai, karena pada prinsipnya semua tarekat hampir sama sisitemnya. Terlepas dari aliran mana yang dianut, dan atukah penyiar islam generasi awal itu penganut tasawuf sebagai aktifitas perorangan atau tarekat sebagai lembaga, tetapi yang jelas keberhasilan mereka itu sangat didukung oleh kedalaman penghayatan spiritual mereka terhadap semua aspek ajaran Islam melalu pendekata esoteric, sehingga menumbuhkan etos kerja yang tanpa pamrih.
 Untuk mengaktualkan sufisme melalui lembaga pendidikan formal, adalah suatu kebijakan yang perlu ditingkatkan. Sebab, apabila dilihat dari sejarah kehidupan spiritual Islam, suasana ketasawufan telah lama mandek, seperta halnya filsafat Islam. Akhirnya, apabila dilihat dari aspek material dan aspek formalnya yang dikaitkan dengan kegersangan spiritual dewasa ini, kiranya pembakuan cabang-cabang sufisme berdasarkan tujuan yang ingin dicapai adalah pemurnian dan kekuatan rohani, peningkatan intensitas dan kualitas ibadah dan pendalaman kesadaran spiritual, dipandang lebih tepat, maka tasawuf ahlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi, adalah cabang-cabang sufisme yang penting dan relevan untuk dikembangkan di nusantara ini. Khusus tasawuf falsafi tetap berposisi strategis, terutama dalam rangka pendalaman dan penghalusan kesadaran spiritual keagamaan yang kelihatannya semakin menipis. Di sisi lain, dengan mendalami sufisme aliran ini, sangat berkemungkinan akan dapat diantisipasi dan dikontrol perkembangan spiritual non agama dan atau aliran kepercayaan.


2.4  Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia
1. Hamzah al-Fansuri
Hampir semua penulis sejarah islam mencatat bahwa Syaikh Hamzah al-Fansuri dan Muridnya Syaikh Samsuddin al-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan al-Hallaj. Paham hulul, ittihad, mahabbah, dan lain-lain adalah seirama. Tahun dan tempat kelahiranya hingga kini masih belum diketahui. Ketidakjelasan riwayat al-Fansuri ini disebabkan tidak dimasukkannya nama al-Fansuri dalam dua sumber penting sejarah Aceh, yakni Hikayah Aceh dan Bustan al-Salatin yang ditulis atas perintah sultan.
Pemikiran-pemikiran al-Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibnu Arabi dalam paham wihdatul wujud-nya. Sebagai seorang sufi ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher manusia itu sendiri, dan bahwa tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa ia ada dimana-mana. Ia menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada dibagian tubuh tertentu, seperti ubun-ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan titik kosentrasi dalam usaha mencapai persatuan.
Di antara ajaran al-Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya wujud itu hanyalah satu walaupun klihatan banyak. Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit (kenyataan lahir), dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya merupakan menifestasi dari yang haqiqi yang disebut al-Haq Ta’ala. Ia mewujudkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak, sedangkan alam semesta m erupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Penggalian dari Dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, awan yang kemudian menjadi dunia. Itulah yang disebut ta’ayun dari dzat yang la ta’ayun. Itu pulalah yang disebut tanazul. Kemudian segala sesuatu kembali lagi kepada Tuhan yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan lalu hujan dan mengalir kesungai yang kemudian kembali lagi ke lautan.[6]

2. Syamsuddin al-Sumatrani
Syamsuddin al-Sumatrani merupakan tokoh sufi kenamaan di Aceh. Ia adalah murid Hamzah al-Fansuri yang mengajarkan wujudiyyah. Ia hidup pada masa kejayaan kesultanan Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda, atau yang disebut juga Mahkota Alam (1607-1636 M). Seperti halya Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin juga mendapatkan kedudukan penting disisi Sultan. Ia meninggal pada tahun 1630 M.
Dalam pemikiran tasawufnya Syamsuddin al-Sumatrani membahas tentang Martabat Tujuh dan dua puluh sifat Tuhan. Konsep Martabat Tujuh ini pertama kali dicetuskan oleh Muhammad Ibn Fadlullah al-Burhanpuri seorang ulama kelahiran India. Konsep ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada dialam semesta termasuk manusia adalah aspek lahir dari hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan. Tuhan bagian yang mutlak tidak dapat dikenal oleh akal, indra maupun khayal. Dia dapat dikenal setelah bertajalli sebayak tujuh martabat sehingga tercipta alam semesta beserta isinya, termasuk manusia sebagai aspek lahir dari Tuhan.
Diantara ajarannya adalah bahwa Tuhan saja yang wujud. Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi:
هو الاول والأ خر والظا هر والباطن
“ Dialah yang awal, yang akhir, yang dzahir (tampak), dan yang bathin (tersembunyi)...”
Menurutnya, yang al-awwal adalah martabat ahadiyyah, yang al-akhir adalah martabat wahidiyyah, yang al-batin adalah martabat wahdah sedangkan yang al-dzahir adalah martabat-martabat alam al-arwah, alam al-mitsal, alam al-ajsam dan alam al-insan.
Konsep Martabat Tujuh cenderung berhubunga dengan teori tanazzul dalam tasawwuf. Tanazzul diartikan sebagai turunnya wujud dengan penyingkapan Tuhan dari kegaiban ke alam penampakan melalui berbagai tingkat perwujudan. Martabat Tujuh yang telah memasuki Nusantara melalui alam pikiran pada sufi Aceh abad ke-17 merupakan pengembangan paham penghayatan union-mistik dari ajaran al-Halajj dan Ibn-Arabi, atau sebagai hasil pengembangan dari konsep tajalli Ibn Arabi dan al-Jilli, dengan beberapa modifikasi, akan tetapi konsep pemikiran tentang ketujuh martabat itu merupakan hal yang baru, yang tidak dijumpai dalam konsep-konsep pemikiran sebelumnya.[7]
3        Nuruddin al-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad ibn Ali ibn Hasanji ibn Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri ini berasal dari India, keturunan Aceh. Dipanggil al-Raniri karena dilahirkan di daerah Ranir yang terletak dekat Gujarat, India pada tahun yang tidak diketahui. Ia meninggal pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India. Pendidikannya dimulai denagn belajar di tempat kelahirannya, kemudian dilanjutkan di Tarim. Dari kota ini ia kemudian pergi ke Makkah pada tahun 1030 H/1582 M untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah.
Menurut R. Hoesain Djajadiningrat, Nuruddin untuk pertama kalinya berada di Aceh pada nasa Sultan Iskandar Muda. Kemudian ia meninggalkan Aceh karena tidak mendapat perhatian dari Sultan yang berkuasa ketika itu. Pada masa Iskandar Tsani, ia kembali lagi ke Aceh dan menetapdari tahun 1637-1644 di bawah perlindungan Sultan. Ketika berada di Aceh untuk yang kedua kalinya, ia mendapat tempat di istanadan banyak menghasilkan tulisanyang khusus mengecam dan mengkafirkan penganut ajaran Syamsuddin dan Hamzah al-Fansuri.
Syaikh Nuruddin al-Raniri juga sering dikenal sebagai seorang Syaikh dalam tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i (w. 578H/1181M). Alraniri ditunjuk oleh Ba Syaiban sebagai khalifah dalam tarekat Rifa’iyah, dan karenya bertanggung jawab untuk menyebarkan di wilayah Melayu-Indonesia. Kendati al-Raniri dianggap sebagai khalifah tarekat Rifa’iyah, tetapi tarekat ini bukanlah satu-satunya tarekat yang dikaitkan dengan beliau. Ia juga mempunyai silsilah inisiasi dari tarekat Aydrusiyah dan Qadariyah.
Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin al-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa kufur kepada pengikut Wujudiyyah ternyata didukung oleh Sultan. Di antara dalil yang diajukan sebagai kalim pembenaran kepercayaan wujudiyyah yang mereka yakini, misalnya dengan mengutip ayat-ayat mutasyabihat, yang berbunyi:
انا لله وانا اليه راجعون
“...Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali”
Menurut pendapat Nuruddin ayat itu telah ditafsirkan oleh kaum wujudiyyah secara salah, yaitu bahwa alam dan isinya atau insan keluar dari Allah dan kembali kepada-Nya. Yng dimaksud dengan kata keluar dan kembali adalah seperti keluarnya seseorang dari rumahnya dan pulang kembali masuk kerumahnya, dan juga seperti ditamtsilkan biji yang keluar dari pohon kayu atau seperti air sungai yang bersal dari lautan dan akan kembali lagi kelaut.
Selanjutnya juga tentang firman Allah SWT yang berbunyi:
ونحن اقرب اليه من حبل الوريد
“..Dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya”
Kaum wujudiyyah memaknai ayat sebagai kami telah dekat-yakin bercampur dengan mesrah, serta bersatu wujud Allah dengan insan-dari pada urat lehernya. Begitu njuga ayat yang berbunyi:
وكان الله بكل شيء محيطا
“... Dan adapun Allah meliputi segala sesuatu”
Maksud ayat ini menurut kaum wujudiyyah, bahwa Dzat Allah meliputi segala sesuatu, sewujud bercampur dan mesra dengan seluruh alam. Artinya Allah yang meliputi dan alam yang diliputi, merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Inilah yang dikatakan Hamzan al-Fansuri dalam kitab Ruba’i-nya.
Itulah diantara alasan-alasan kaum wujudiyyah. Semua alasan dan pendirian yang dikemukakan oleh kaum wujudiyyah ditentang keras oleh Nuruddin al-Raniri. Ia menilai alasan-alasan tersebut sebagai suatu pendirian yang tidak benar. Ia melihat makna wahda al-wujud yang telah ditafsirkan secara salah dan dijadikan dasar akidah mereka tentang hubungan Allah dengan alam atau manusia. Dalam hal ini menentang kambali para ahli kalam ahlusunnah dan kaum sufi tenatang istilah makna tersebut.
Dalam Itikad ahlusunnah, wujud itu ada dua macam, pertama wujud yang wajib adanya dan tidak mustahil adanya. Kedua, wujud yang mungkin, baik ada maupun tidak tetap sama tingkatannya. Wujud Allah adalah wujud wajib, sedangkan wujud alam adalah wujud yang mungkin, yang tidak harus ada. Oleh karena itu, wujud Allah dan wujud alam adalah berbeda secara hakiki sehingga mempersamakan kedua wujud inidala satu tingkatan adalah sesat dan kufur.
Syaikh Nuruddin menyanggah penafsiran ayat mutasyabihat yang berbunyi:
Bahwa Allah yang keluar dari Allah dan akan bersatu kembali dengan-Nya. Jika demikian, Allah itu merupakan jasmani seperti benda di bumi ini. Menurut Nuruddin, penafsiran yang benar sebagaimana yang dikatan oleh para ahli tafsir bahwa segala amal perbuatan manusia kembali pada hukum Allah, jika baik ia akan masuk surga dan jika jahat ia akan masuk neraka.
Syaikh Nuruddin juga menolak arti muhith yang diberikan oleh kaum wujudiyyah yang menafsirkan lafadz tersebut dengan sebagai tafsiran yang sesat dan salah. Sebagai biasanya ia kembali mengutip perkataan para ahli tafsir dan sufi tentang maksud lafadz tersebut. Menurt para ahli tafsir dan para sufi yang dimaksud muhith adalah bahwa ilmu dan qudrat Allah menjangkau segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, dan tidak sesuatupun yang luput dan ilmu-Nya karena segala sesuatu terjadi berkat limpahan nur wujud-Nya.
Mengenai ayat-ayat mutasyabihat yang digunakan sebagai dalil kebenaran kaum akidah wujudiyyah, Nuruddin menjelaskan pendirian para ulama’ baik yang salaf maupun yang khalaf dalam menafsirkan ayat tersebut. Para ahlusunnah wal jama’ah dan para sufi mengatakan bahwa para sufi setiap mukmin wajib beriman pada ayat-ayat mutasyabihat, tetapi ia harus menyerahkan makna hakiki ayat-ayat tersebut pada Allah.
Pemikiran tasawuf Nuruddin al-Raniri mempunyai pengaruh besar dalam pemikiran tasawuf di Melayu-Indonesia. Dengan mengenalkan dan menyebarkan penafsiran islam yang dipegang aliran utama kaum ulama dan sufi di pusat-pusat keilmuan islam. Meskipun pemikiran tasawuf al-Raniri terkesan sanga luas, tetapi sesungguhnya pemikirannya dapat dikalsifikasikan sebagai berikut:
Pertama, tentang Tuhan. Pendirian al-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromif. Ia berusaha menyatukan faham mutakallimin dengan faham para sufi yang diwakili Ibn ‘Arobi. Pandangan al-Raniri ini hampir sama dengan pandangan Ibn Arabi, yakni alam ini merupakan tajalli Allah. Namun, penafsirannya di atas membuatnya terlepas dari label pantheisme Ibn Arabi.
Kedua, tentang alam. Al-Raniri berpendapat bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajalli. Ia menolak teori al-faidh al-Farabi karena akan membawa pengakuan bahwa alam in i qadimsehingga jatuh dalam kemusyrikan. Alam dan falak, merutnya merupakan wadah tajalli asma dan sifat Allahdalam bentuk konkret.
Ketiga, tentang manusia. Al-Raniri berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia. Manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Manusia juga merupakan madzhar. Konsep insan kamil pada dasarnya hampir sama dengan yang digariskan oleh Ibn Arabi.
Keempat, tentang wujudiyyah. Al-Raniri berpendapat bahwa inti dari ajaran wujudiyyah berpusat pada wahdah al-wujud, yang disalah artikan kaum wujudiyyah menjadi kemanunggalan Allah dengan alam. Menurut al-Raniri, jika benar Tuhan dan makhluk habitatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia sehingga akhirnya seluruh makhluk adalah Tuhan.
Kelima, tentang hubungan syariat dan hakikat. Al-raniri berpendapat bahwa pemisahan antara syariat dan hakikat merupakan suatu yang tidak benar. Ia lebih menekankan syariat sebagai landasan esensial dalam tasawuf.[8]
4. Syeikh Abdur Rauf Al- Sinkili
Beliau adalah seorang ulama dan mufti besar Kerajaan Aceh pada abad ke 17 (1606-1637). Nama lengkapnya adalah Syeikh Abdur Rauf bin Ali Al-Fansuri. Sejarah teah mencatat bahwa As-Sankli merupakan murid dari dua orang ulama sufi yang menetap di Mekah dan Madinah. Sebelum As-Sankili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf wujudiyah yang kemudian dikenal dengan nama wahdad Al-Wujud. As-Sankili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syari’at. Ajaran tasawufnya sama dengan Samsuddn dan Nuruddin yaitu menganut paham satu-satunya wujud Hakiki, yakni Allah. Alam dan manusia ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud yang hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki.[9]
5. Syikh Yusuf Al-Makasari
Beliau adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M, yaitu ketika Sulawesi baru saja kedatangan tiga orang penyebar islam yaitu Datuk Ri Bandang dan Kawan-kawannya dari Minangkabau. Dalam salah satu karangannya dia menulisbelakang namanya dengan bahasa Arab “Al Makasari”, yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang).[10]
Berbeda dengan kecenderugan sufisme pada masa-masa awal yang mengelakkan kehidupan duniawi Syeikh Yusuf mengungkapkan paradigma Sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syari’at) dan aspek batin (hakikat). Syari’at dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan.[11]
Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, ia membaginya dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar (orang-orang terbaik) yaitu degan memperbanyak shalat, Puasa, membaca Al-Qur’an, naik Haji, dan berjihad di jalan Allah. Kedua, cara MUjahadat Asy-Syaqa’ batin denga(orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan lahir. Ketiga cara ahli ad-dzikir, yakni jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu orang-orang yang mencintai Tuhan, baik lahir maupun batin. Mereka sangat menjaga keseimbangan kedua aspek ketaatan itu.[12]

2.5 Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
Di dalam ilmu tasawuf, istilah tarekat itu tidak saja ditujukan pada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syeikh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorangsyeikh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam, seperti sholat, zakat, puasa dan haji yang semuanya itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. [13]
Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha menddekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin , melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini biasanya dilakukan dibawah bimbingan seoraang syeikh/guru. Ajaran-ajaran tasawuf yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri itu kepada Allah merupakan hakikat tarekat yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah.

2.6 Sejarah Timbulnya Tarekat
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti.[14] Namun Harun Nasution menyatakan bahwa setelah Al-Ghazali menghalalkan tasawuf yang sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf berkembag di dunia Islam, tetapi perkembangannya melalui tarekat. Taekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi besar yang bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran Tarekat ini tasawuf . Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribat (disebut juga zawiyah, hangkah atau pekir). Ini merupakan tempat para murid berkumpul melestarikan ajaran-ajaran tasawufnya, ajaran tasawuf walinya, dan ajaran tasawuf Syaikhnya.[15]
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai muncul beberapa, dianataranya:
1.      Tarekat Yasaviyah yang didirikan oleh Ahmad Al-Yasavi (wafat 562H/1169) dan disusul oleh tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd Al-Khaliq Al-Guzdawani (wafat 617 H/1220 M). Kedua taekat ini menganut paham tasawuf Abu Yazid Al-Bustami (wafat 425 H/1034 M) dan dilanjutkan oleh Abu Al-Farmadhi (Wafat 477 H/1084 M) dan Yusuf Bin Ayyub Al-Hamadani (wafat 535 H/1140 M).[16] Tarekat in berkembang di berbagai daerah, antara lain Turki.
2.      Tarekat Naqsabandiyah, yan didirikan oleh Muhammad Bahudidin n-Naqsabandani Al-Awisi Al-Bukhari (wafat 1389 M) di Turkistan. Dalam perkembangannya tarekat ini menyebar ke Anatolia (Turki) kemudian meluas ke India dan Indonesia dengan berbagai nama baru yang disesuikan dengan pendirinya daerah tersebut, seperti Tarekat Khalidiyah, Miradiyah, Mujadidiyah, dan Ahsaniyah.[17]
3.      Tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar Al-Khalwati (wafat 1397 M). Tarekat Khalwatiyah adalah salah satu tarekat yan terkenal berkembang di berbagi negeri seperti Turki, Siria, Mesir, Hijaz, dan Yaman.  Tarekat Khalwatiyah pertama kali muncul di turki dan didirikan oleh Amir Sultan (wafat 1439 M).[18]
4.       Tarekat Safawiyah yang didirikan oleh Safiyudin Al-Ardabili (wafat 1334 M).
5.      Tarekat Bairamiyah yang didirikan oleh Hijji Bairan (wafat 1430).
Di daerah Mesopotamia masih banyak tarekat yang muncul dalam periode ini dan cukup terkenal, tetapi tidak termasuk rumpun Al-Junaid. Tarekat-tarekat ini antara lain:
1.      Tarekat Qodariyah yang didirikan oleh Muhy Ad-Din Abd Al-Qadir Al-ailani (471 H/1078 M)
2.      Tarekat Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-Syadzili (593-656 H/1196-1258 M)
3.      Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Bin Ali Ar-Rifa’I (1106-1182). [19]
Tarekat yang tergolong dalam kelompok Qodariyah ini cukup banyak dan tersebar ke seluruh negeri Islam. Tarekat Faridiyah di Mesir yang disisbathkan kepada Umar bin Al-Farid (1234 M) yang mengilhami tarekat Sanusiyah (Muhammad bin Ali Al-Sanusi, 1787-1859 M) melalui tarekat Idrisiyah (Ahmad Bin Idris) di Afrika Utara, merupakan kelompok Qadariyah yang masuk ke India melalui Muhammad Al-Ghawthiyah atau Al-Mi’rajiyah dan di Turki dikembangkan oleh Ismail Ar-Rumi (1042 H/1631M).[20]

2.7 Pengaruh Tarekat Di Dunia Islam
            Dalam perkembangannya, tarekat-tarekat itu bukan hanya memusatkan perhatian kepada tasawuf ajaran-ajaran gurunya, tetapi juga mengikuti kegiatan politik. [21]Tarekat mempengaruhi dunia islam mulai abad ke-13. Kedudukan tarekat pada saat itu sama dengan parpol (Partai Politik). Bahkan banyak tentara yang juga menjadi anggota tarekat.[22]
            Tarekat-tarekat keagamaan meluskan pengaruh dan organisasinya ke seluruh pelosok negeri, menguasai masyarakat melalui suatu jenjang yang terancang dengan baik. Dan memberikan otonomi kedaerahan seluas-luasnya. Setiap esa atau kelompok desa ada wali lokalnya yang didukung dan dimulyakan sepanjang hidupnya, bahkan dipuja dan diagung-agungkan setelah kematiannya. [23]
            Akan tetapi , pada saat-saat itu telah terjadi “penyelewengan” di dalam tarekat-taekat, antara lain penyelewengan yang terjadi dalam paham wasilah, yakni paham yang menjelaskan bahwa permohonan seseorang tidak dapat dialamatkan langsung kepada Allah, tetapi harus melalui guru, guru ke gurunya, terus demikian sampai pada syaikh, baru dapat bertemu Allah atau berhubungan dengan Allah.[24]
            Tarekat juga pada umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat menganjurkan banyak beribadah dan jangan mengikuti dunia ini karena “ Dunia ini adalah bangkai dan yang mengejar dunia adalah As’ anjing.” Ajaran ini nampaknya menyelewengkan umat islam dari jalan yang ditempuhnya. Demikian juga sifat tawakal, menunggu apa aja yang akan datang, Qada’ dan Qadar yang sejalan dengan paham As’ariyah . Para pembaharu dalam dunia islam melihat bahwa tarekat bukan hanya mencemarkan paham tauhid, tetapi juga membawa kemunduran bagi umat islam.[25]

2.8  Perkembangan Tasawuf Masa Kini
Dalam dasawarsa terakhir ini, komunitas sufi mewarnai kehidupan perkotaan. Tak sedikit dari kalangan eksekutif dan selebriti menjadi peserta kursus atau terlibat dalam suatu kamunitas tarekat tertentu. Alasan mereka mencebur kesana memang beraneka ragam. Misalnya, mengejar ketenangan batin atau demi menyelaraskan kehidupan yang gamang.
Secara antoprologis, sufisme kota di kenal sebagai trend baru di Indonesia sepanjang dua dekade ini. Sebelumnya, sufisme lebih dikenal sebagai gejala beragama di pedesaan. Sufisme kota, kata Muslim Abdurrohman, bisa terjadi minimal karena dua hal: pertama : hijrahnya para pengamal tasawwuf dari desa ke kota, lalu membentuk jamaah atau kursus tasawwuf. Kedua : sejumlah orang kota bermasalah tengah mencari ketenangan ke pusat-pusat tasawwuf di desa. Adapun sufisme secara sederhana didifinisikan sebagi gejala minat masyarakat pada tasawwuf. Sufisme adalah istilah yang popular dalam literatur barat (Sufism), sedangkan dalam literatur arab dan indonesia hingga 1980-an adalah tasawwuf.
Derektur Tazkia Sejati Jalaluddin Rakhmat, berpendapat bahwa sufisme diminati masyarakat kota sebagai alternatif terhadap bentuk-bentuk keagamaan yang kaku. Sufisme juga menjadi jalan untuk pembebasan.
Azyumardi Azra, Rektor IAIN Jakarta, telah memetakan dua model utama sufisme masyarakat kota dewasa ini. Pertama : sufisme kontemporer (biasanya berciri longgar dan terbuka siapapun bisa masuk) yang aktivitasnya tidak menjiplak model sufi sebelumnya. Model ini dapat dilihat dalam kelompok-kelompok pengajian eksekutif, seperti Paramadina, Tazkia Sejati, Grend Wijaya.dan IIMaN. Model ini pula yang berkembang di kampus-kampus perguruan tinggi umum. Kedua : Sufisme konvesionel. Yaitu gaya sufisme yang pernah ada sebelumnya dan kini diminati kembali. Model ini adalah yang berbentuk tarekat (Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, Syatariyah, syadzziliyah, dan lain-lain), ada juga yang nontarekat (banyak di anut kalangan Muhammadiyah yang merujuk tasawwuf Buya Hamka dan Syekh Khatib al-Minangkabawi).
Asep Usman Ismail, kandidat doktor bidang tasawwuf dari IAIN Jakarta, menilai bahwa tasawwuf model tarekat lebih di terima di kalangan menengah kebawah. Sementara kalangan menengah keatas cenderung memilih tasawwuf nontarekat".
"Tasawwuf yang diminati masyarakat kota jelas model tarekat" kata Asep. Mereka tidak berorientasi pada tasawwuf klasik, seperti model tarekat dengan segala riyadhonya (pelatian). Itu tidak di minati kecuali tarekat yang bisa menyesuaikan dengan suasana perkotaan", ia menambahkan.
Bentuknya tentu yang singkat, esensial, dan instant. Dunia tasawwuf bagi masyarakat kota, semacam obat gigi "saya resah, saya menemukan problem, saya setres, maka saya belajar tasawwuf agar memperoleh ketenangan", ujar Asep, menirukan keluhan para pengikut tarekat di kalangan perkotaan itu.
Asep juga menilai, dari lima komponen tarekat : mursyid, murid, wirid, tata tertib, dan tempat, yang paling berat bagi masyarakat kota adalah wirid dan tata tertib. Adapun tata tertib yang paling tidak masuk dalam logika orang modern adalah baiat kesetiaannya kepada guru. "Mereka ingin bebas tanpa baiat, dan tak mau terjebak kultus", kata Asep. Orang-orang kota juga tidak berminat pada zikir yang panjang-panjang, apalagi harus berpuasa.[26]

2.9  Kelompok Pengajian  Tasawuf
Banyak orang percaya bahwa manusia itu bisa bermesraan dengan Tuhan. Dalam terekat hubungan semacam ini di sebut dengan Fana. Berikut ini beberapa contoh kelompok pengajian sufi :
a.      Yayasan Wakaf Paramadina
Paramadina berdiri 31 oktober 1966 M. lembaga ini lebih mirip kelompok diskusi. Sasarannya masyarakat menengah atas di Jakarta. Ini sesuai dengan letak kantornya, di kawasan elite pondok Indah Plaza, Jakarta selatan. Nur Cholis Majid pendirinya, sejak awal bermaksud mendirikan sebuah kelompok yang terbuka. Persisi dengan karekter Nurcholis sendiri.
Untuk itu, Paramadina menawarkan paket kajian agama dengan lingkup yang luas. Tapi, berdasar pengalaman, pelajaran tasawwuf lebih mengikat anggota. Pesertanya rata-rata 40 orang. Namun kalau pas lagi membicarakan tasawwuf, yang hadir sampai 120 orang. Mereka adalah (menyetir istilah paramadina) "kelompok penentu kecenderungan". Mereka yang gandrung sufi bisa ikut Paket Study Islam. Pertemuan berlangsung seminggu sekali, dosennya berganti-ganti. Yang dibahas misalnya, pengantar study tasawwuf, konsep insan kamil, dimensi mistik dan akhlak dalam islam. Namanya juga diskusi, antara satu dosen dengan dosen yang lain sering berbeda. Misalanya, ada yang pro tarekat, ada yang kontra. Lumrah.
Tasawwuf biasanya di ajarkan melalui tujuh pertemuan, perjumpaan terakhir berisi pratikum, dipimpinAsep Usman Ismail. Semula, praktikum itu berupa kunjungan kepondok Pesantren Suryalaya, jawa barat. Berangkat sabtu pagi dan kembali ke Jakarta Minggu sore. Belakangan, karena kesulitan teknis, guru-guru Suryalaya lah yang diundang ke paramadina.
Nurcholis mewanti-wanti, pelajaran tasawwuf tidak boleh menjelma menjadi tarekat tertentu, "itu sudah menyimpang dari gaya paramadina yang terbuka dan independent" katanya.
b.      Majlis Taklim Hajjah Henny
Meskipun jauh dari kota besar, H. Henny Uswatun Hasanah berpikiran modern. Ia mendirikan kelompok sufi yang jauh dari kesan dekil. Rumahnya lumayan bagus di desa Tegaltirto, Brebah, Sleman, Yogyakarta. Tempat tingganya itu, selain buat pengajian, juga merangkap tempat usaha border dan catering.
Jamaahnya mencapai 2.500 orang, dari semarang, Temanggung serta Yogyakarta. Tiap sore, Henny selalau menerima tamu. Ada yang khusus mengaji, tapi tak sedikit yang ingin berobat. Malam hari, bersama jamaahnya Henny mengadakan salat tahajud. Setiap sabtu pahing siadakan pengajian rutin. Khusus pada malam jum'at dilakukam kegiatan istighfar, mulai pukul 22.00 WIB hingga subuh.
Kemampuan mengobati orang ini diperoleh Henny saat naik haji. Ketika di Mekkah persisnya di dekat sumur Zam-zam, tiba-tiba dirinya dirangkul seorang wanita. Wanita itu mengelus-elus kepala Henny. Lalu kepala Henny di taruh dibawah ketiak wanita mestirius tersebut.
Kisah ghaib lain adalah kala Henny berada di Masjid Nabawi, seusai sholat isya', dia melihat dua bulatan sinar keluar dari makam Nabi Muhammad Sholallahu 'alaihi wasallam. "sejak itu, saya merasa bisa menolong sesama", kata ibu lima anak itu. Dan terbukti kebenarannya, tentunya dengan seizin Allah.
c.       Tarekat Naqsabandy Khalidiyah
Tarekat Naqsabandy sangat terkenal. Anggotanya puluhan ribu orang dari Tulung agung, Blitar, Nganjuk, Surabaya, Malang, Semarang,Jakarta, dan bahkan dari beberapa kota di Sumatra. Yang berminat menekuni naqsabandy harus menghadap KH. Bastomi, pemimpin tarekat atau yang disebut mursyid itu.
Setelah pendaftar terkumpul dua ratus orang, mereka wajib datang sesuai dengan waktu yang di tentukan. Jamaah baru itu digembleng selama dua puluh hari. Peserta wajib mondok. Pengajian dimulai selasa pagi, diawalai dengan pembaitan. Jamaah duduk tawaruk di sekeliling ruangan, sementara KH. Bastomi berada paling depan. Satu persatu mereka bersumpah dengan bimbingan mursyid. Selesai disumpah, jamaah harus mengikuti pengajian sufi setiap selasa dan jum'at pagi.
Setelah tahu arti tarekat, jamaah membaca wirid Ismu Dzat menurut tingkatan masing-masing. Ada tiga kelas, yang pemula membaca 5.000 kali sehari, sedangkan yang paling senior sampai 9.000 kali. Mereka membaca dzikir, tahlil, dan asmaul husna. Wirid dilaksanakan usai sholat fardhu.
Selama mondok peserta harus mengurangi tidur, tak bicara di luar keperluan, tidak makan sesuatu yang berbahan dasar ikan atau binatang. Lebih dianjurkan jika berpuasa, namun ini tak wajib. Nafsu sexsual harus di kekang selama mengikuti acar, walaupun bercampur dengan istri sendiri. Setelah pemondokan itu selesai, wirid wajib di baca di rumah masing-masing.
Kata KH Bastomi, wiridan merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah. Untuk itu peserta tarekat memenjarakan hawa nafsu duniawi dan mengganti semua tujuan Ibadahnya untuk mencapai ridho Allah. Targetnya muroqobah, yaitu dekat dengan Allah hingga tercabut hijab antara makhluq dan kholiq", ujarnya. Inilah derajat tertinggi dari tarekat.
Pada tingkatan muroqobah itu, manusia merasa dirinya dekat dengan Allah. Saking dekatnya, seolah roh Allah menyatu dalam diri manusia. Inilah yang sering kali disebut al wihdatul wujud atau manunggaling kawula gusti. Derajat tertinggi dari tarekat, terhubungnya manusia dengan Tuhan saat berdzikir itu disebut fana.
Tarekat asuhan KH. Bastomi diikuti berbagai kalangan. Mulai pedagang, pegawai, karyawan, para eksukutif, hingga pengusaha. Jumlah jamaah perempuan tiga kali lebih besar ketimbang jamaah laki-laki. Silsilah ajaran Naqsabandy tersambung sampai Rosulullah malalui syeh Abdul Qadir Jailani. Tarekat model Abdul Qodir jaelani ini sudah dikenal sejak 1.300 tahun lampau.


d.      Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN).
Bila ditilik dari jumlah pengikutnya, tarekat terbesar di Indonesia adalah Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Tarekat inilah yang akhir-akhir ini kian menarik perhatian masyarakat Jakarta. Saat ini, lokasi pembacaan manaqib (biografi Abdul Qadir Jaelani) dan khataman TQN tak kurang dari 110 tempat di Jakarta.
Dalam semalam, minimal ada tiga tempat untuk manaqiban dan khataman. Mereka dibimbing sekitar 30 mubaligh. Sesepuh TQN se-Jakarta dan sekitarnya adalah KH Abdul Rasyid Effendy, 61 tahun. Jumlah jamaah TQN se-Jakarta sekitar satu juta orang. Se Indonesia sekitar tiga juta orang. Dalam tiap malam, manaqiban di Jakarta kat Rosyidi kini diikuti 20-30 orang baru.
Pengikut TQN tidak hanya kelas atas, melainkan dari semua lapisan, termasuk kelas bawah. Menurut ketua Wilayah TQN Jakarta Utara, Maksum Saputra, ikhwan-ikhwan (anggota) TQN diwilayahnya banyak dari kalangan nelayan dan penjual ikan. Di Ciputat, Jakarta Selatan, antara lain diikuti pengusaha kerupuk dan kondektor bus, disamping itu, banyak juga mantan mentri, artis, pengusaha, dan pejabat tinggi negara yang bersidia di baiat menjadi jamaah TQN.
Menurut Rosyid, yang sejak 1994 diangkat sebagai wakil talqin (khalifah mursyidah) Abah Anom, masuk TQN tidak sulit, cukup mengikuti acara manaqiban lalu diberi pengarahan sekitar setengah jam, ditalqin dzikir sekitar 5 menit, dan di baiat. Baiat berisi janji setia pada Tuhan untuk menjalani amalan dalam TQN, amalan itu intinya berisi dzikir dhohir dan khofi.
e.       Pengajian Tarekat Akmaliyah.
Letaknya di Jawa Timur (Desa Wringin Anom, Kecamatan Tumpang, Malang) . Tarekat ini melanjutkan ajaran syaikh Siti Jenar, yang di populerkan Sultan Hadi Wijoyo (Joko Tingkir, Raja Pajang). Tarekat Akmaliyah menganut paham teologi pembebasan, bahwa setiap manusia berhak bertemu Tuhannya. Tarekat ini tak mengangkat mursyid sebagaimana tarekat lainnya, hanya ada semacam koordinator, (dalam hal ini Kiai Ahmad, seorang petani biasa adalah sebagai koordinatornya), Lelakunya ringan, jumlah dzikirnya tak dibatasi bilangan, disesuaikan dengan kemampuan dan waktu yang bebas.
Alumninya berjumlah ratusan, antara lain Drs. Agus Sunyoto,MPd, 41 thn. Dosen SekolahTinggi Agama Islam Negeri Malang ini bergabung dengan tarekat Akmaliyah setahun lalu. Tarekat ini tak mengenal pemondokan dan pembaiatan. Setelah berdiskusi dengan kiai Ahmad untuk meluruskan persepsi, jamaah bisa wiridan sendiri di rumahnya. "Tarekat ini cocok untuk orang sibuk" ujar Agus. Menurut dia tarekat Akmaliyah mampu menghubungkan manusia kepada Roh Allah, akibatnya hidup jadi lebih ringan. (lihat Majalah Gatra, hal 66-67 Edisi 30 September 2000 M)
Inilah sekilas tentang bentuk pengajian tasawwuf atau tarekat yang berkembang di Indonesia, yang sampai sekarang ini masih terus berkembang di negara kita.


















DAFTAR PUSTAKA

Arbery, A.J. 1963. Sufisme. George Allen dan Unwin Ltd. London

Hamid, Abu. 1994. Syeih Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor

Iskandar, T. Bustan al-Salatin. Kuala Lumpur

John, A.H.  Islam in South Asia. London

Mulyati, Sri. 2006. Tasawuf Nusantara rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Nasution, Harun. 1986. Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam” dalam orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf. Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditbinbaga Depag RI

Nasution, Harun. 1992/1993. (ed.), Ensiklopedi Islam di Indonesia, jilid I. Jakarta: Abdi Utama

Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Sumatera Utara. 1981/1982. Pengantar Ilmu Tasawuf

Rosihan A, dan Solihin, M. 2007. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Media

Sholihin, M. 2001. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia Bandung: Pustaka Setia

Siregar, A. Rivay. 2002.  Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Trimingham, J.S. 1973. The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University Press



[1] A.H. John, Islam in South Asia. London, 1965:166
[2] Hammad.
[3] Hammad.
[4] A.H John, op. cit. : 5
[5] Konsep wali dalam sufisme, adalah seorang sufi yang telah dapat melakukan hubungan komunikasi langsung dengan Allah secara spiritual dan dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
[6] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Op., Cit,176
[7] M. Sholihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 36
[8] Ibid., 37-49
[9] Harun Nasution, et. Al., (ed.), Ensiklopedi Islam di Indonesia, jilid I, Abdi Utama, Jakarta, 1992/1993, hlm.33
[10] Abdullah, op. cit., hlm. 60.
[11] Abu Hamid, Syeih Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuan, Yayasan Obor, Jakarta, 1994, hlm. 173.
[12] Rosihan A, dan Solihin, M. 2007. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Media
[13] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982, hlm. 273
[14] Ibid
[15] Harun Nasution, Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam” dalam orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditbinbaga Depag RI, 1986, hlm. 24
[16]  Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Sumatera Utara, op. cit. hlm. 275.
[17] Ibid, lihat juga J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, Oxford University Press, Oxford. 1973, hlm. 58-64.
[18] Ibid., halm. 35, 55, dan 60.
[19] A.J. Arbery, Sufisme, George Allen dan Unwin Ltd., London, 1963, hlm. 85.
[20] Trimingham, op.cit., hlm. 44.
[21] Harun Nasution, “Perkembangan…” op. cit., hlm. 24.
[22] Ibid., hlm. 25.
[23] Arbery, op. cit, hlm. 157.
[24] Nasution, “Perkembangan…”, op. cit, hlm.26.
[25] Ibid.
[26] lihat Majalah Gatra, hal : 65-67, edisi 30 September 2000 M .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar