Minggu, 07 Oktober 2012

Hadits Dhaif dan Kehujjahannya


BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Seperti telah diketahui sebelumnya, bahwa istilah lain dari hadits adalah khobar. Khobar dapat berarti berita, yang mempunyai sifat bisa benar dan juga bisa salah. Hadits dibagi menjadi tiga yaitu, hadits shohih, hadits hasan, dan hadits dhaif. Hadits shohih menurut istilah adalah hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tidak syadz dan tidak pula terdapat ’illat (cacat) yang merusak. Hadits hasan adalah hadis yang muttasil sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tetapi kedhabitannya di bawah  kedhabitan hadis shahih, dan hadis itu tidak syadz dan tidak pula terdapat ’illat (cacat). Hadis dhaif  yaitu hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis hasan, hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan. Karena syarat diterimanya suatu hadis sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya hadis terletak pada hilangnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih, maka atas dasar ini hadis dhaif terbagi menjadi beberapa macam, seperti Syadz, Mudhtharib, Maqlub, Mu’allal, Munqathi’, Mu’dhal, dan lain sebagainya.

Hadis dhaif bertingkat-tingkat keadaannya berdasarkan pada lemahnya para perowi antara lain : dhaif, dhaif jiddan, wahi, munkar. Dan seburuk-buruk tingkatan hadis adalah hadis Maudhu’ (palsu). Pada makalah yang kami buat ini akan membahas mengenai hadis dhaif yaitu yang meliputi pengertian hadis dhaif beserta penjelasannya secara rinci.
1.2              Rumusan Masalah
Ø    Bagaimanakah pengertian hadis dhaif ?
Ø    Bagaimanakah pembagian hadis dhaif ?
Ø    Bagaimanakah hukum-hukum hadis dhaif ?
Ø    Bagaimanakah hukum meriwayatkan hadis dhaif ?
Ø    Bagaimanakah cara periwayatan hadis dhaif ?
Ø    Bagaimanakah kaedah menghukumi shahih dan dhaif pada sebuah hadis ?
Ø    Bagaimanakah peranan ulama’ hadis masa kini dan pelajar hadis ?
1.3              Tujuan
Ø  Menjelaskan pengertian hadis dhaif
Ø  Menjelaskan pembagian hadis dhaif
Ø  Menjelaskan hukum-hukum hadis dhaif
Ø  Menjelaskan hukum meriwayatkan hadis dhaif
Ø  Menjelaskan cara periwayatan hadis dhaif
Ø  Menjelaskan kaedah menghukumi shahih dan dhaif pada sebuah hadis
Ø  Menjelaskan peranan ulama’ hadis masa kini dan pelajar hadis


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Hadis Dhaif
Kata dhaif menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dan kata kuat. Maka sebutan hadis dhaif dari segi bahasa berarti hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.
Secara istilah, diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefenisikan hadis dhaif ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama. Beberapa defenisi, diantaranya dapat dilihat di bawah ini.
An-Nawawi mendefenisikannya yang artinya ”hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan”. Ulama lain juga berpendapat bahwa hadis dhaif  ialah hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul” dan yang terakhir menurut Nur ad-Din’atr mendefenisikan hadis mursal yang paling baik ialah hadis yang hilang salah satu syaratnya  dari syarat-syarat hadis maqbul (hadis yang shahih dan yang hasan).
Pada defenisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja dari persyaratan hadis shahih atau hadis hasan hilang, berarti hadis itu dinyatakan sebagai hadis dhaif. Lebih-lebih jika yang hilang itu  sampai dua atau tiga syarat, seperti perawihnya  tidak adil, tidak dhabit, dan adanya kejanggalan dalam matan. Hadis seperti ini  dapat dinyatakan sebagai hadis dhaif yang sangat lemah.
Dalam referensi lain juga mengetakan bahwa Hadis dhaif ialah hadis yang tidak mencukupi syarat untuk diterima. (منحة المغيث) Al-Hafiz Ibnu Solah telah mentakrifkan hadis dhaif dengan katanya bahawa: “setiap hadis yang tidak mencukupi syarat-syarat hadis sahih dan tidak juga mencukupi syarat-syarat hadis hasan, maka itulah hadis dhaif”. (139(تدريب الراوي :ص
Hadis yang makbul (yang diterima) ialah hadis yang mencukupi enam syarat yaitu:
a.                Sanad yang bersambung
b.      Para perawinya bersifat adil (mempunyai ketaqwaan dan menjauhkan diri daripada kefasikan)
c.          Para perawinya dhabit (pengingat melalui catatan dan hafazan)
d.      Tiada syadz (seorang perawi yang tidak menyalahi dengan perawi-perawi yang lebih dipercayai daripadanya)
e.         Tiada ’illah (tiada didapati kecacatan pada matan dan sanad hadis)
f.         Ada sanad yang menyokong atau menguatkan ketika diperlukan
2.2  Bagian-bagian Dari Hadis Dhaif
Bagian dari hadis dhaif dapat di tinjau dari berbagai segi yaitu :
1.      Dhaif dari segi persambungan sanadnya
Dari segi persambungan sanadnya (ittisal as-sanad), para ulama menemukan banyak hadis yang jika dilihat dari sudut sanadnya, ternyata tidak bersambung. Tidak bersambung sanadnya ini menunjukan bahwa hadis tersebut adalah dhaif. Hadis-hadis yang tergolong dalam kelompok ini, ialah hadis al-mursal, hadis al-munqati, hadis al-mu’dal. Hadis al-muddallas.
a)      Hadis Mursal
Hadis mursal ialah hadis yang gugur sanadnya setelah tabi’in. yang di maksud dengan gugurnya di sini ialah tidak disebutkannya nama sanadnya terakhir. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadis dari rasululah SAW. Al-Hakim merumuskan hadis mursal dengan artinya hadis yang disandarkan  langsung oleh tabi’in kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi’in, baik termasuk tabi’in kecil maupun tabi’in besar.
Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadis mursal sebagai hujjah. Muhammad Ajjaj Al-khatib menyebutkan bahwa perbedaan tersebut mencapai sepuluh pendapat , tetapi yang tergolong masyhur hanya tiga yaitu :
Ø  Pertama; membolehkan ber-hujjah dengan hadis mursal secara mutlak. ulama yang termasuk kelompok ini adalah Abu Hanifah, imam malik, imam Ahmad dan lain-lain.
Ø  Kedua; tidak membolehkan secara mutlak . menurut imam Nawawi , pendapat ini di dukung oleh  Jumhur  Ulama ahli hadis, imam Syafi’I kebanyakan ulama ahli fiqih  dan ahli ushul.
Ø  Ketiga; membolehkan menggnakan hadis mursal apabila ada syarat lain yang musnad, diamalkan  oleh sebahgian ulama, atau sebahgian besar ahli ilmu. Apabila terdapat riwayat lain  yang musnad, maka hadis mursal  itu bisa  dijadikan hujjah, demikian pendapat jumhur ulama dan ahli hadis.
b)  Hadis Munqati
Para ulama berbeda pandangan dalam merumuskan  defenisi hadis munqati, antara lain :
1.      Hadis yang pada sanadnya terdapat seseorang perawi yang gugur atau pada sanadnya tersebut disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.
2.      Hadis yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak di kenal namanya
3.       Hadis yang seorang perawihnya gugur sebelum sahabat pada satu tempat atau gugur dua orang perawinya pada dua tempat yang tidak berturut-turut.

Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadis munqati  termasuk dalam kelompok  hadis dhaif. Dengan demikian, hadis ini tidak dapat dijadikan  hujjah karena  karena gugurnya seorang perawi atau lebih menyebabkan  hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat sahih, yang berarti tidak memenuhi syarat hadis sahih.
c)  Hadis Mu’dal
Hadis mu’dal ialah  hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut. Dalam pengertian yang lebih lengakap  hadis mu’dal di rumuskan dengan hadis yang gugur dua orang perawinya atau lebih secara berturut-turut, baik gugurnya itu antara  sahabat dengan tabi’in atau dua orang sebelumnya.
Dari segi pengertian di atas, jelas bahwa hadis hadis mu’dal berbeda dengan  hadis munqati. Pada hadis mu’dal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut, sedangkan pada hadis munqati , gugurnya dua orang perawi, terjadi secara terpisah (tidak berturut-turut).
2.      Dhaif dari segi sandarannya
Para ulama ahli hadis memasukkan semua hadis yang mauquf dan yang maqtu ke dalam hadis dhaif.
a.       Hadis mauquf
Hadis mauquf adalah hadis yang diriwayatkan dari para sahabat yaitu berupa perkataan, perbuatan  atau taqririnya baik periwayatannya itu bersambung ataupun tidak. Pengertian lain menyebutkan hadis yang disandarkan kepada sahabat disebut hadis mauquf.
Dengan kata lain hadis mauquf ialah perkataan sahabat, perbuatan atau taqrirnya. Dikatakan mauquf, karena sandarannya terhenti pada thabaqah sahabat. Kemudian tidak dikatakan marfu, karena hadis ini tidak disandarkan kepada Rasullulah SAW.
Ibnu shalah membagi hadis mauquf kepada dua bagian yaitu mauquf al-mausul dan mauquf ghair al-mausul. Mauquf al-mausul, berarti hadis mauquf yang sanadnya bersambung. Dilihat dari segi persambungan ini, hadis mauquf ghair al-mausul dinilai sebagai hadis dhaif yang lebih rendah sebagai hadis dhaif yang lebih rendah daripada hadis mauquf al-mausul.
b.      Hadis maqtu
Hadis maqtu ialah hadis yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya.
Dengan kata lain, bahwa hadis maqtu adalah perkataan atau perbuatan tabi’in. Sebagaimana hadis mauquf, hadis maqtu dilihat dari segi sandarannya adalah hadis yang  lemah, sehingga tidak dapat dijadikan Hujjah.
Di antara para ulama ada yang menyebut hadis mauquf dan hadis maqtu ini dengan al-atsar dan al-khabar.
3.      Dhaif dari segi segi lainya
Yang dimaksud dengan Kedhaifan pada bagian, ialah  kedhaifan karena kecacatan yang terjadi, baik pada matan maupun pada  rawinya. Kecacatan pada bagian ini banyak sekali macamnya sehingga mencapai puluhan macam, sebagaimana yang diuraikan oleh para hadis. Akan tetapi di sini hanya akan dikemukakan beberapa macam saja, sebagaimana uraian di bawah ini :
1.      Hadis munkar ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lemah (perawi yang dhaif), yang bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan.
2.      Hadis matruk ialah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadis yang diriwayatkannya), atau nampak kefasikkannya baik pada perbuatan atau pada perkataannya atau orang yan banyak lupa atau banyak ragu.
3.      Hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama. Sedangkan menurut Al-hakim hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan  oleh seorang terpercaya atau tsiqah tanpa ada sanad lain yang menguatkannya sebagai muttabi.
4.      Hadis maqlub ialah hadis yang lafaznya tertukar pada salah seorang dari sanadnya atau nama seorang sanadnya. Kemudian mendahulukan penyebutnya yang seharusnya disebut belakangan atau membelakangkan penyebutnya seharusnya didahulukan atau dengan sesuatu tempat yang lain.
Nama-nama hadis lain, yang juga termasuk hadis dhaif yaitu :
ü    Hadis mudraj, yaitu hadis yang di dalamnya berisi tambahan–tambahan baik matan atau pada sanad, karena di duga bahwa sanad tambahan tersebut termasuk bagian dari hadis itu
ü    Hadis mubham, yaitu hadis yang di dalam matan atau sanadnya ada seorang perawi yang tidak disebutkan dengan jelas, baik laki-laki maupun perempuan
ü    Hadis mu’allal, yaitu hadis yang didalamnya terdapat cacat, seperti menyebut muttasil terhadap hadis yang sanadnya terputus
ü    Hadis mudhaaf, yaitu hadis yang tidak terkumpul tanda-tanda kedhaifannya, tetapi sebagian ulama  ahli hadis menganggap lemah pada matan atau sanadnya. Termasuk dalam hadis mudhaaf, ialah hadis yang di anggap kuat dari satu sisi, tetapi sisi lain yang melemahkannya lebih kuat daripada yang  menguatkannya

4.      Dhaif segi  umum
Dhaif dari segi umum dapat dibagi atas tiga yaitu :
1.      Hadis yang mana kedhaifannya boleh ditampung dengan mufakat para ulama’ karena dikuatkan oleh kemasyhurannya yang datang daripada riwayat yang lain ataupun ianya disokong oleh sokongan yang diterima, lebih-lebih lagi apabila perawinya adalah seorang yang lemah hafalan atau kedhaifannya disebabkan ianya diriwayatkan secara mursal (gugur sahabat nabi di dalam sanad), ataupun tidak diketahui keadilan perawinya, maka hadis ini tarafnya naik ke peringkat hadis hasan li gharih (hadis menjadi kuat disebabkan ada sokongan). Maka jadilah ia hadis yang diterima pakai untuk dibuat sebagai hujah sehingga di dalam hukum hakam. Hadis ini juga dinamakan hadis mudho’af.
2.      Hadis yang mana kedhaifannya tidak boleh ditampung walaupun jalan-jalan periwayatannya banyak. Ia dinamakan hadith WAAHI (bersangatan dhaif). Ini disebabkan perawinya seorang fasik atau dituduh sebagai pembohong.
3.      Hadis waahi tersebut yang mempunyai sokongan daripada riwayat-riwayat yang lain, maka tarafnya naik kepada peringkat yang lebih tinggi melebihi martabat hadis munkar (hadis yang bersangatan lemah dan hadis yang tiada asal). Pada ketika ini diharuskan beramal dengannya di dalam soal-soal fadhilah (kelebihan) amalan-amalan, tetapi tidak boleh diamalkan di dalam soal aqidah dan hukum hakam. Sesetengah ulama’ menyatakan juga bahawa tidak boleh dijadikan rujukan untuk penafsiran Al-Quran.
2.3       Hukum–hukum Hadis Dhaif
Hadis dhaif berakibat hukum sebagai beikut :
1)      Tidak boleh diamalkan, baik dalam hal menggunakannya sebagai landasan menetapkan suau hukum maupun sebagai landasan suatu akidah, melainkan hanya dibolehkan dalam hal keutamaan – keutamaan amal dengan memberikan iklim yang kondusif menggairahkan atau merasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan suatu amal perbuatan, dan dalam hal menerangkan biografi. Menurut para ahli hadis, pendapat ini dapat dijadikan pegangan, tetapi hal itu masih diperselisihkan di kalangan patraulama tentang dibolehkannya mengamalkan hadis dhaif. Mereka membolehkan mengamalkan hadis dhaif dengan syarat – syarat sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar, yaitu:
a.       Hadis dhaif itumengenai keutamaan – keutamaan amal
b.      Kualitas kedhaifannya tidak terlalu, sehingga tidak dibolehkan mengamalkan hadis – hadis dhaif yang dirawayatkan oleh orang – orang pendusta, yang tertuduh berbuat dusta, dan yang sangat jelek kesalahanya.
c.       Hadis dhaii itu harus bersumber pada dalil yang bias diamalkan.
d.      Pada waktu mengamalkan hadis dhaif tidak boleh mempercayai kepastian hadis itu, melainkan harus dengan niat ikhtiyat ( berhati – hati dalam agama).
Ulama yang menegaska dibolehkannya mengamalkan hadis dhaif dalam bidang keutamaan – keutamaan amal, diantaranya ialah:
Ø  Imam Al – Nawawi dalam kitabnya Al – Taqrib.
Ø  Imam Al – Iraaqi dalam kitab Syarah Alfiyah Al- Iraaqi
Ø  Ibnu Hajar Al- Asqalani dalam kitab Syarah Al- Nukhbah.
Ø  Syekh Zakariya Al – Anshari dalam kitab Syarah Alfiyah Al- Iraaqi.
Ø  Al- Hafidz Al- Sayuti dalam kitab Al- Tadrib.
Ø  Ibnu Hajar Al- makki dalam kitab Syarah Al- Arba’in.
Ø  Al-Allaamah Al-Lukhnuwi dalam rísalahna yang membahas secara lengkap tentang hadis dhaif yang berjudul Al-Ajwibah Al-Fashisah.
Ø  Ayah saya, Al-Sayyid Alawi Al-Maliki dalam kitab Rísalah khususnya hukum hadis dhaif.
2)       Orang yang mengetahui hadis sanadnya dhaif, maka harus mengatakannya, “Hadis ini sanadnya dhaif”. Tidak di bolehkan untuk mengatakannya, “Hadis ini dhaif” hanya disebabkan adanya kelemahan dalam sanad. Karena, hadis ini kadang mempunyai sanad yang lain yang shahih. Seseorang dibolehkan menyebutnya dengan tegas, ”Hadis ini dhaif” apabila telah jelas tidak ada sanad lain yang shahih.
2.4       Hukum Meriwayatkan Hadis Dhaif
1)      Ulama’ mengharuskan mempermudah-mudahkan pada sanad hadis dhaif, meriwayatkannya dan beramal dengannya tanpa menyatakan kedhaifannya. Oleh kerana itu hadis dhaif boleh diterima pakai di dalam segala jenis amalan yang berbentuk menggemarkan, menakutkan, peradaban, kisah tauladan bukan di dalam perkara aqidah seperti sifat Allah dan hukum seperti halal haram.
2)      Ibnu Abdul Barri ada menyatakan hadis yang berkaitan dengan fadhilat maka kami tidak perlukan orang (perawi) yang layak untuk dijadikan hujah. (tidak semestinya perawi itu thiqah).
3)      Ibnu Mahdi menyebutkan dalam kitabnya Al-Madkhal : “Apabila kami meriwayatkan daripada nabi SAW tentang halal haram dan hukum- hakam maka kami  mengetatkan sanad-sanadnya dan kami akan membuat kritikan (pemeriksaan) terhadap rijal (nama perawi yang terdapat dalam sanad). Tetapi apabila kami meriwayatkan hal-hal yang berkaitan dengan ganjaran pahala dan seksa maka kami mempermudahkan sanad-sanadnya dan kami bertolak ansur”.
2.5  Cara Meriwayatkan Hadis Dhaif
Walaupun jumhur mengharuskan meriwayatkan hadis dhaif, namun perlu di ingatkan  mereka menyatakan bahawa tidak harus menggunakan perkataan yang menunjukkan kepastian (sighah jazam) seperti “sabda Rasulullah SAW”  ketika meriwayatkan hadis dhaif ini karena untuk mengelakkan daripada menisbahkan kepada Rasulullah SAW apa yang tidak disabdakannya bahkan hendaklah digunakan kalimah yang menunjukkan ketidakpastian (tamridh), seperti “diriwayatkan atau dikatakan bahwa nabi SAW pernah bersabda” dan seumpamanya.
2.6 Kaedah Menghukum Shahih Dan Dhaif Pada Sebuah Hadis
·         Menghukum sahih dan dhaif sesebuah hadis merupakan satu bidang ilmu yang khusus di mana ulama’ usul hadis dan juga ulama Jarhu dan Ta’dil (ulama’ pengkaji sanad atau pakar pengesah hadith) telah pun menyusun ilmu tersebut semenjak beberapa kurun yang lalu. Di sini tidak mungkin kami menyatakan keseluruhan bidang ilmu itu secara terperinci. Tetapi, kami ingin menyentuh beberapa perkara yang kurang diberi perhatian oleh segelintir masyarakat.
·         Ramai yang beranggapan bahwa hadis sahih hanya dikumpulkan di dalam Kitab Sahih Bukhari dan Muslim sahaja tidak di dalam kitab-kitab hadis yang lain. Ini kaedah yang salah yang digunakan oleh kebanyakan orang. Kesahihan sebuah hadis boleh ditentukan melalui kajian terhadap sanad-sanadnya. Imam Bukhari berkata : “bahawa daku tidak dapat mengumpulkan semua hadis-hadis sahih di dalam kitabku dan aku terpaksa meninggalkan beberapa banyak hadis-hadis sahih supaya dapat dielakkan daripada menjadi panjang”. Pengakuan ini menunjukkan bahawa masih ada lagi hadis-hadis yang sahih yang tidak termuat di dalam Sahih Bukhari dan berkemungkinan besar terdapat hadis-hadis yang tinggi sanadnya daripada sanad hadith Sahih Bukhari.
·         Menghukum shahih dan dhaif sesebuah hadis adalah satu kajian yang harus memerlukan pengetahuan yang luas dan mendalam. Hanya mereka yang mencapai derajat ijtihad dalam bidang ini sahaja layak mengkaji dan menentukan kesahihan atau kedhaifan sesebuah hadis. Menentukan sesuatu hadis samada taraf sahih atau hasan atau dhaif berdasarkan pengamatan zahir terhadap nama-nama yang terdapat dalam sanad bukan berdasarkan hakikatnya kerana yang sebenar hanya Allah SWT yang mengetahui. Oleh kerana itu ulama hadis menyatakan bahawa mungkin ada di antara hadis sahih pada hakikatnya ianya adalah hadis dhaif dan beberapa banyak hadis dhaif  berkemungkinan besar pada hakikatnya ianya adalah sahih. Oleh itu keyakinan terhadap mutu hadith berdasarkan ijtihad (pengamatan yang zahir).
·         Periwayatan hadis diambil kira berdasarkan kepada kejujuran (thiqah) dan amanah perawi bukan berdasarkan kepada mazhabnya seperti Syiah, Rafidah, Murjeah, Muktazilah dan lain-lain. Berapa ramai di kalangan perawi-perawi yang bermazhab Syiah, Khawarij dan lain di mana Imam Bukhari dan Muslim berbangga menyebutkan nama-nama mereka dalam sanad mereka berdua dan meriwayatkan hadis daripada mereka di dalam kitab sahih keduanya.
·         Kebanyakan perawi yang kepercayaaan atau dipercayainya (thiqah) meriwayatkan daripada perawi-perawi yang dhaif seperti Sufyan Al-Thauri dan Syu’bah dan selain mereka. Syu’bah berkata sekiranya aku tidak meriwayatkan hadis kepada kamu melainkan hanya daripada orang-orang yang kepercayaan (thiqah) neccaya aku tidak akan meriwayatkan kepada kamu melainkan daripada beberapa orang sahaja. Yahya Bin Al-Qattan berkata : “Sekiranya aku tidak meriwayatkan hadis melainkan hanya daripada beberapa orang yang aku redha (setuju) nescaya aku tidak boleh meriwayatkan hadis melainkan hanya daripada lima orang sahaja atau seumpamanya”. Menurut ulama usul hadith apabila seorang perawi yang bersifat adil meriwayat hadith yang diambil daripada perawi yang bertaraf dhaif maka ini bererti dia menganggap perawi itu bertaraf adil Terkadang wujud perselisihan ulama terhadap sesebuah hadis atau seseorang perawi tentang sahih dan dhaif atau thiqah dan tidak thiqah.
·         Hadis-hadis yang ditashihkan oleh ulama’ hadis dan feqah yang muktabar lagi yang terdahulu itu tidak akan jadi dhaif  kerana mencelahi perawi daif  kemudian daripada mereka itu. Maka pentashihan hadith yang dibuat oleh fuqahak (Imam-Imam Mujtahid) lebih tinggi kedudukannya daripada pentashihannya yang dibuat oleh ulama’ hadith. Contohnya tersebut di dalam Sunan Tirmizi yang berbunyi:
حدثنا يحي بن موسى أخبرنا أبو معاوية أخبرنا خالد بن إياس عن صالح مولى التوأمة عن أبي هريرة قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم ينهض في الصلاة على صدور قدميه.
Artinya: “Adalah Nabi s.a.w bangun berdiri (qiyam) di dalam sembahyang diatas kedua   hujung jejari kakinya”. Hadith ini dhaif di sisi Imam Tirmizi kerana terdapat Khalid bin Iyaas yang mana beliau adalah perawi yang dhaif. Akan tetapi hadis ini dianggap sahih di sisi Imam Abu Hanifah kerana tidak didapati Khalid bin Iyaas tersebut di dalam sanadnya.
·         Hadis dhaif tidak semestinya ditolak bulat-bulat kerana ianya boleh mencapai derajat hasan dan menjadi makbul sekiranya jalan periwayatannya berbilang-bilang sepertimana Mulla Ali Al-Qari berkata: “وتعدد الطرق يبلغ الحديث الضعيف إلى حد الحسن” bermaksud: “hadis boleh mencapai darajat hasan (hasan li ghairihi) dengan banyak jalan periwayatan”. Artinya : “sekiranya hadis dhaif berbilang-bilang periwayatan atau dikuatkan dengan hadis yang terlebih kuat penerimaannya maka ia menjadi hasan li ghairihi”.
·          حديث ضعيف مؤيد بالتعامل  yaitu hadis dhaif  yang disokong oleh amalan sahabat dan tabi’in. Apabila amalan mereka itu bertepatan dengan hadith dhaif maka dengan sendiri hadith dhaif itu menjadi hadith yang layak diamalkan dan dibuat hujah. Sebagai contoh:
(هو الطهور ماؤه والحل ميتته، القاتل لا يرث، لا وصية لوارث)
Artinya: “Ianya (air laut) adalah suci airnya dan halal bangkainya. Pembunuh tidak boleh mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Tidak boleh berwasiat untuk orang yang menerima harta pusaka”, hadis-hadis ini diakui dhaif oleh kebanyakan muhaddithin walaupun begitu ianya boleh diterima untuk dijadikan dalil (قابل للإستدلال) kerana didapati ramai sahabat dan tabein beramal dengan hadis itu.
2.7       Peranan Para Ulama Hadis Masa Kini Dan Pelajar Hadis
v  Mempelajari ilmu hadis dan memahiri kaedah para ulama yang berbeda-beda dalam manhaj penerimaan riwayat, penulisan hadis, penghukuman hadis, kaedah penyusunan hadis.
v  Mengetahui dan menyelidik sejarah dan tarikh para ulamak hadis, perkembangan hadis zaman berzaman dan mengkaji waktu terputusnya sanad sesuatu hadith dan kaedah penyampaian kitab dan tulisan ulama terdahulu kepada kita.
v  Melihat dan menyelidik para guru dan murid ulama’ hadis, perawi yang meriwayatkan dan diriwayatkan darinya, bilangan hadith, jenis dan kedudukan hadis-hadis tersebut.
v  Mengumpulkan hadis-hadis yang banyak masih belum diketahui dalam kitab-kitab yang masih belum dibuka oleh kebanyakan orang kerana hadis bukan hanya berada dalam ashab sunnah atau sahihan atau musnad saja sebaliknya banyak lagi hadis yang belum dijumpai oleh kebanyakan para pelajar hadis.
v  Menyemak dan melihat sanad, riwayat dan perawi yang meriwayatkan dan berusaha menjelaskan kedudukan perawi serta kedudukan matan hadis dan mencari kesamaan dalam hadis-hadis yang sudah berada dalam kitab yang mashyur dan berusaha menyingkap kesamaran perawi yang dituduh majhul dan berusaha membersihkan hadis waham, hadis dhaif jika mampu dengan jalan riwayat yang lain.
v  Menyusun dan mengumpulkan hadis-hadis yang sahih dalam satu susunan yang memudahkan dan menurut bab dan meneiliti kesalahan cetakan dan kesilapan penulisan dan kecuaian yang berlaku dalam pemindahan hadis.
v  Menyebarkan dan menggalakkan pembacaan dan pengajian hadis oleh para pelajar ilmu agama sebagai asas sebelum menguasai ilmu lain seperti fiqh, usul, tafsir dan lain-lain kerana ilmu hadis merupakan ilmu dasar yang menjadi tapak kepada keilmuan Islam.

BAB III
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
Hadis dhaif  yaitu hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis hasan, hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan. Karena syarat diterimanya suatu hadis sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya hadis terletak pada hilangnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih. Bagian-bagian dari hadis dhaif dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain dhaif dari segi persambungan sanadnya, dhaif dari segi sandarannya, dhaif dari segi lainnya, dan dhaif dari segi umum. Adapun hukum dari hadis dhaif adalah tidak boleh diamalkan dan orang yang mengetahui bahwa hadis tersebut sanadnya dhaif, maka harus mengatakan ”hadis ini sanadnya dhaif”. Ulama’ mengharuskan mempermudah-mudahkan pada sanad hadis dhaif, meriwayatkannya dan beramal dengannya tanpa menyatakan kedhaifannya. Oleh kerana itu hadis dhaif boleh diterima pakai di dalam segala jenis amalan yang berbentuk menggemarkan, menakutkan, peradaban, kisah tauladan bukan di dalam perkara aqidah seperti sifat Allah dan hukum seperti halal haram. Menghukum shahih dan dhaif sesebuah hadis adalah satu kajian yang harus memerlukan pengetahuan yang luas dan mendalam. Mempelajari ilmu hadis dan memahiri kaedah para ulama yang berbeda-beda dalam manhaj penerimaan riwayat, penulisan hadis, penghukuman hadis, kaedah penyusunan hadis.







DAFTAR PUSTAKA
Alawi, Al-Maliki Muhammad. 2009. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Al-Qaththan, Manna’. 2005. Pengantar Studi Hadis. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
Aminuddin, Ahmad Kilani. 2003. Research On Takhrij Of Hadith Al-Shahih About Islamic Beliefas Narrated And Agreed By Imam Bukhari And Muslim. Pusat Pengajian Islam dan Pembangunan Sosial (PPIPS).Universiti Teknologi Malaysia (UTM) Email Abawidad@hotmail.com. Diakses tanggal 12-10-2009
B. Smeer, Zeid. 2008. Ulumul Hadis. Malang : UIN Malang Press
Mudhasir, H. 2002. Ilmu Hadis. Bandung : Pustaka Setia
Nazimuddin, Ibrahim Fuad B. Abd .2009. HADIS DHAIF الحديث  الضعيف. Posted on September 29, 2009 by khairuummah 77 . Diakses tanggal 12-10-2009




Tidak ada komentar:

Posting Komentar