Minggu, 07 Oktober 2012

Kodifikasi Hadits


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an.Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.

Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.
Makalah ini mencoba untuk menjelaskan tentang sejarah yang melatar belakangi kodifikasi Hadits.

1.2  Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kedudukan Hadits serta pengharaman dan pembolehan penulisan Hadits ?
2. Bagaimanakah latar belakang serta perkembangan kodifikasi Hadits ?

1.3  Tujuan
1. Mengetahui kedudukan Hadits serta latar belakang pengharaman dan pembolehan penulisan Hadits
2.Mengetahuai latar belakang serta perkembangan kodifikasi Hadits

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Kedudukan Hadits dan Latar Belakang Pengharaman dan Pembolehan Penulisan Hadits
            Nabi Muhammad SAW, dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah Islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber Hadist menjadi figure sentral yang menjadi perhatian para sahabat. Segala aktifitas beliau seperti perkataan, perbuatan, dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majlis Nabi, dan tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan Hadist dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang di dengar dari Rasulullah baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadist- hadist dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi sesuai dengan sabda Beliau :[1]
“Sampaikan dari padaku walaupun satu ayat”. (HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan At-Tarmidzi dari Ibnu Umar).
            Nabi Muhammad SAW menjadi pusat narasumber, refrensi, dan tumpuan pertanyaan ketika mereka menghadapi suatu masalah baik secara langsung maupun tidak langsung seperti melalui istri-istri beliau dalam masalah-masalah keluarga dan kewanitaan, karena mereka orang-orang yang paling mengetahui keadaan Rasul dalam masalah keluarga. 
Proses terjadinya Hadist bisa jadi timbul dari berbagai sisi, yakni :[2]
1.      Terjadi pada Nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat dan kemudian para sahabat menyampaikan kepada sahabat yang lain.
Misalnya, suatu ketika Nabi melewati pedagang makanan dalam karung, beliau memasukkan tangan beliau ternyata basah, lantas beliau besabda :
“Tidaktergolong umatku (umat yang mendapat petunjuk) manusia yang menipu”. (HR. Ahmad).
2.      Terjadi pada sahabat atau kaum muslimin karena mengalami suatu problem masalah kemudian bertanya kepada Rasulullah. Banyak sekali Hadist yang timbul disebabkan dari pertanyaan sahabat, kemudian menjawab dan memberi penjelasan-penjelasan.
3.      Segala amal perbuatan dan tindakan Nabi dalam melaksanakan syari’ah Islamiyah baik menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat, kemudian mereka sampaikan kepada para Tabi’in.
Hadist pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal oleh para sahabat tidak ditulis seperti al-Qur’an ketika disampaikan Nabi, karena situasi yang tidak memungkinkan, beberapa alasan diantaranya :[3]
1.      Al-Qur’an masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih sangat sederhana, ditulis diatas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, dan batu-batuan dan belum dibukukan. (Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Al-Khatab).
2.      Kemampuan tulis menulis dari para sahabat pada awal Islam masih sangat terbatas, dan mereka sudah difungsikan sebagai penulis wahyu Al-Qur’an.
3.      Ingatan orang-orang Arab yang dikenal bersifat Ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan diandalkan Rasul untuk mengingat Hadist.
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi Hadist mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini wajar saja karena Al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin sekalipun dalam penyempurnaannya dilakukan padamasa Usman bin Affan yang disebut dengan Tulisan Ustmani (Khath ‘Ustmani). Sedangkan penulisan Hadist pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang.Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke-2 Hijriyah dan mengalami kejayaan pada abad ke-3 Hijriyah.[4]
Para sahabat dan Tabi’in berbeda pendapat dalam hal menentukan hukum menulis Hadist, yaitu :[5]
a.       Sebagian dari mereka, yaitu antara lain Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bi Tsabit tidak membolehkan mengadakan kegiatan penulisan Hadist.
b.      Sebagian lagi seperti Abdullah bin ‘Amr, Anas, Umar bin Abd Aziz dan sebagian besar sahabat memperbolehkannya.
c.       Kemudian selanjutnya mereka sepakat memperbolehkannya, sebab seandainya hadist-hadist tersebut tidak ditulis dalam suatu kitab niscaya akan hilang dan tidak akan sampai kepada masa kita sekarang.
Pangkal terjadinya perbedaan pendapat tentang hukum penulisan hadist adalah karena adanya hadist-hadist yang ta’arudl (saling bertentangan), yakni disatu pihak menyatakan boleh dipihak lain melarangnya.[6]
a.       Hadist yang menunjukkan larangan, yaitu Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

لاَتَكْتُبُوْا عَنّي شَيْأً إِلاَّ الْقُرْأنَ وَمَنْ كَتَبَ عَنّي شَيأً غَيْرَ الْقُرْأنِ فَلْيَمْحُهُ
“ Janganlah kalian menulis sesuatu dari saya kecuali Al-Qur’an, dan barang siapa yang menulis sesuatu selain Al-Qur’an maka hapuslah “.
b.      Hadist yang menunjukkan kebolehan, yaitu Hadist yang ditakhrij oleh As-Saikhan (Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) :
اُكْتُبُوْا لأبِي شَاةً
“ Tulislah untuk Abu Syah “
Dan masih banyak Hadist lain yang senada, seperti Hadist yang menunjukkan pemberian izin Nabi SAW kepada Abdullah ibn ‘Amar.
Ada beberapa pendapat tentang hasil kompromi kedua macam Hadist yang ta’arudl tersebut, yaitu :
v  Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa izin menulis Hadist itu diberikan kepada  otang yang dikhawatirkan lupa terhadap hadist yang pernah diterimanya. Adapun larangan menulis ditujukan kepada orang yang daya ingatannya dan dikhawatirkan selalu terpancang kepada hasil catatan (Khat).
v  Sebagian Ulama’ lagi menyatakan bahwa larangan tersebut timbul karena dikhawatirkan campur aduk dengan catatan al-Qur’an, kemudian setelah kekhawatiran itu hilang datanglah izin tersebut. Jadi, Hadist yang melarang telah di-nasakh (direvisi) oleh hadist yang membolehkannya.
Dalam menghadapi dua Hadist tersebut diatas yang tampaknya bertentangan, ada beberapa pendapat :[7]
1.      Bahwa Hadist yang melarang, Hadist itu ditulis (penulisan Hadist) telah dinasakh dengan Hadist yang membolehkannya (pendapat jumhur).
2.      Bahwa Hadist yang melarang itu ditujukan kepada orang-orang yang kuat ingatannya (hafalannya), sedang Hadist yang membolehkan ditujukan kepada orang-orang yang tidak kuat hafalannya.
3.      Bahwa Hadist yang melarang itu berlaku bagi orang yang menulis Qur’an dan Hadist dalam satu lembaran, karena dikuatirkan bercampur antara keduanya.
Kodifikasi hadits atau yang biasa disebut tadwin hadits adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli di bidangnya.Kodifikasi seperti ini pernah terjadi di zaman Rasululah SAW.[8]
2.2. Latar Belakang Serta Perkembangan Kodifikasi Hadits
2.2.1        Abad II H (Periode Penyaringan Al-Hadits Dari Fatwa-Fatwa )
Pada abad I H, sebagian perawi mencatat Hadits, sedangkan yang lain tidak menulisnya. Dalam meriwayatkan, mereka hanya berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya.Keadaan seperti ini berlangsung sampai pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz ra.[9]Masa ini disebut masa pra kodifikasi Hadits karena belum ada perintah resmi dari pemerintah. Walaupun ada sebagian sahabat yang menulis dan membukukannya, namun hal itu dilakukan terbatas pada motif pribadi, seperti kitab yang ditulis oleh Abdullah bin Umar bin Ash “ Al Shohifah al Shadiqah “ yang memuat seribu Hadits.
Permulaan abad ke II adalah masa penulisan dan kodifikasi Hadits yaitu kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli dibidangnya, tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang telah terjadi pada abad I H. Usaha ini dimulai ketika pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 99-102H ), khalifah ke-8 dari kekhalifahan dari Bani Umayah, melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadits dari hafalannya. Ia menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amar ibn Hazm (Gubernur Madinah) agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al Anshori (Murid kepercayaan Siti  Aisyah). Dan Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar. Instruksi yang sama juga ia berikan kepada Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui Hadits.
Motif utama khalifah Umar bin Abdul Aziz berinisiatif demikian:
1.      Kemauan beliau yang kuat untuk tidak  membiarkan Al-hadits seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya al-hadits dari pendarahaanmasyarakat.
2.      Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-hadits dari hadits-hadits maudhu’ yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongannya dan mempertahankan madzabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhilafan Ali bin Abi Thalib r.a.
3.      Alasan tidak terdewanya al-hadits secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan khulafaur rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-qur’an, telah hilang, disebabkan Al-qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata di seluruh pelosok. Ia telah dihafal di otak dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu orang.
4.      Kalau di zaman khulafaur rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang-orang muslim, yang kian hari kian menjadi-menjadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama hadits, maka pada saat itu konfrontasi tersebut benar-benar terjadi.
5.      Disisi lain semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lain tidak sama, sehingga sangat memerlukan adanya kodifikasi.
Beberapa ulama Hadits yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang diantaranya :
a)      Pertama, Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah, dengan kitabnya Al-Muwattha’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagai kitab Tadwin pertama. Jumlah Hadits yang terdapat dalam kitab al Muwattha’ kurang lebih 1720 buah Hadits.
b)      Kedua, kitab Musnadu al Syafi’i. didalam kitab ini ia mencantumkan seluruh Hadits yang bernama al-Umm, selain itu juga ada beberapa kitab lainnya seperti al-Jami’, al-Musnad, al-Musannaf Asy Syafi’I, al-Musannaf al-Auza.
Sistem pembukuan Hadits pada masa ini yaitu, para pengarang menghimpun semua Hadits mengenai masalah-masalah yang sama dalam satu kitab karangan saja. Dan dalam kitab ini Hadits masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabi’in, belum ada pemilihan mana Hadits yang marfu’, hadist mauquf, ataupun Hadits Maqtu’, serta antara Hadits Shohih, Hasan, dan Dho’if.
2.2.2Abad III H (Periode Penyempurnaan dan Penegmbangan System Penyusunan Kitab Hadits)
Awal masa ini ditandai dengan seleksi dan penyempurnaan serta pengembangan system penyusunan kitab Hadits yaitu ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Abbasiyah, khususnya sejak masa al Makmunsampai dengan al Muktadir (201-300 H).
Munculnya masa seleksi inikarena pada masa pen-tadwin-an para ulama belum berhasil memisahkan beberapa Hadits  mauquf dan maqtu’ dari hadits marfu’, memisahkan hadits dhai’if dari yang shohih, bahkan hadits maudlu’ yang tercampur pada hadits shahih. Pada masa inilah mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang masih tercampur sebagaimana disebutkan di atas. Berkat ke uletan dan keseriusan para ulama, pada masa ini bermunculan  kitab-kitab hadits yang hanya memuathadits-hadits shahih yang dikenal dengan kutub as Sittah (Kitab induk yang enam) yang secara lengkap kitab-kitab enam tersebut diurutkan sebagai berikut :
1.      Shahih Bukhari susunan Imam al-Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
2.      Shahih Muslim susunan Imam Muslim (202-261 H / 817-875 M)
3.      As Sunan Abi Daud susunan Abu Daud (202-275 H/ 817-888 M)
4.      As Sunan At-Tirmidzi susunan Imam Abu Isa Muhammad At-Turmudzi (209-279 H / 824-892 M)
5.      As Sunan an Nas’I susunan Imam Nasa’I (215-303 H / 830-915 M)
6.      As Sunan Ibnu Majjah susunan Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Raba’I al Qazwini atau Ibnu Majjah (209-273 H / 824-887 M)
Dimana di antara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu adalah:
1.      Mushannaf  Said bin Manshur (227 H)
2.      Mushannaf  Ibnu Abi Syaibah (235 H)
3.      Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (241 H)
4.      Shahih  Al Bukhari (251 H)
5.      Shahih Muslim (261 H)
6.      Sunan Abu Daud (273 H)
7.      Sunan Ibnu Majah (273 H)
8.      Sunan At-Tirmidzi (279 H)    
9.      Sunan An-Nasa’i (303 H)
10.  Al- Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307 H)
11.  Tahdzibul Atsar ibnu jarir Ayh-Thobari (310 H)
Setelah munculnya kitab sittah dan muwattha’-nya Malik serta musnadnya Ahmad bin Hambal para ulama mengalihkan perhatiannya menyusun kitab-kitab jawami’, kitab sarah mukhtashor. Penyusunan kitabpada masa ini lebih mengarah kepada usaha pengembangan dan beberapa variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab yang sudah ada, diantaranya mengumpulkan isi kitab shahih Bukhari dan Muslim.[10]
Masa ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan dalam sejarah kodifikasi Hadits.Sebab para ulama telah berhasil memisahkan hadits-hadits Nabi SAW dari yang bukan hadits (fatwa sahabat dan tabi’in).
2.2.3Abad IV-VI H (Periode Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan Hadits)
Abad ke IV-VI adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan hadits.Pada abad pertama, kedua, dan ketiga, hadits berturut-turut mengalami masa periwayatan, pembukuan, dan penyaringan dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in yang telah didewakan oleh para ulama.Ulama itu yang dikenal dengan ulama Mutakaddimin yaitu ulama yang hidup sebelum abad ke-4 H, sedangkan ulama yang hidup pada abad 4 H disebut dengan ulama Mutaakhirin.Mereka mempuanyai model baru yaitu menghafal sebanyak-banyaknya hadist-hadist yang telah terdewakan itu, sehingga mereka bisa menghafal beratus-ratus hadits.Sejak masa inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian seperti Al-Hakim, Al-Hafid, dan lain sebagainya.Perbedaan antara keduanya adalah ulama mutakaddimin melakukan kegiatannya secara mandiri.Dalam arti mereka menghimpun hadits-haditsnya tidak dengan jalan mengutipnya dari kitab-kitab hadits yang ada sebelumnya.Tapi mereka mendengar langsung hadits-hadits itu dari guru-gurunya dan mengadakan penelitian sendiri tentang matan serta perowinya.Untuk itu mereka mengadakan lawatan-lawatan ke berbagai daerah untuk mengecek kebenaran hadits-hadits yang didengarnya.
Adapun ulama mutaakhirin pada umumnya bersandar pada karya-karya ulama mutakaddimin, dalam arti kumpulan-kumpulan hadits mereka adalah hasil petikan atau nukilan dari kitab-kitab mutakaddimin, oleh sebab itu dirasakan tidak perlu lagi melakukan lawatan ke berbagai negeri untuk mencari Hadist.Semangat yang tumbuh pada masa ini adalah semangat untuk memelihara.Jadi para ulama masa ini berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits yang telah terkodifikasi.[11]
Selain itu ulama masa ini berusaha memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang masih beserakan dan memudahkan jalan-jalan pengumpulan hadits, usaha-usaha perbaikan tersebut memunculkan beberapa kitab hadits, di antaranya adalah:[12]
v  Kitab Syarh, yang mengomentari kitab hadits tertentu. Selain itu juga muncul kitab Mustakhraj, yaitu kitab hadits yang memuat hadits dari kitab hadits yang ada, dengan sanad sendiri yang berbeda dengan sanad hadits rujukannya.
v  Kitab Atraf , yang menyebut hanya sebagian dari matan atau teks hadits, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu baik sanad dari kitab yang dikutip maupun kitab lain.
v  Kitab Mustadrak, yang menghimpun hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhori Muslim atau salah satu dari keduanya saja.
v  Kitab Jam’i, yang menghimpun hadits-haditsyang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
2..2.4 Abad  VII–Sekarang (Periode Penghimpunan dan Pentarjihan Hadits)
Abad VII masa pensyarahan hadits, penghimpunan,pentarjihan serta pengeluaran riwayat (656 H dan seterusnya). Cara penerimaan dan penyampaian hadits pada masa ini menggunakan jalan surat menyurat dan ijazah. Para guru memberrikan izin untuk meriwayatikkan hadits.[13]Pada masa ini jarang ditemukan ulama-ulama yang mampu menyampaikan periwayatan hadits beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna.Yang umum adalah mempelajari kitab-kitab hadits yang ada,mengembangkannya, membuat pembahasan-pembahasannya atau membuat ringkasan-ringkasan hadits.[14]Pada masa ini meskipun hadits relative sudah mapan, tetapi banyak ulama yang melakukan ijtihad dalam menetapkan kaidah-kaidah ilmiyah ilmu hadits.Selanjutnya sejak abad X sampai abad XIV kreatifitas ijtihad berhenti, kegiatan yang ada hanya masalah peringkasan dan pendiskusian hal-hal yang sifatnya harfiyah.Di antara kitab yang lahir pada masa ini adalah Al-Mahmudah Al-Baiquniyah karya Umar Ibn Muhammad Ibn Futuhi Al-Baquni. Di antara kitab karya-karya yang muncul pada masa itu adalah Al-Hadits Wa Al-Muhaddistun karya Muhammad Abu Zahw, As-Sunnah Wa Makanatuhu Fi At-Tasyri’ Islami karya Musthofa As-Siba’i.[15]



























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pangkal terjadinya perbedaan pendapat tentang hukum penulisan hadist adalah karena adanya hadist-hadist yang ta’arudl (saling bertentangan), yakni disatu pihak menyatakan boleh dipihak lain melarangnya.
v  Hadist yang menunjukkan larangan, yaitu Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

لاَتَكْتُبُوْا عَنّي شَيْأً إِلاَّ الْقُرْأنَ وَمَنْ كَتَبَ عَنّي شَيأً غَيْرَ الْقُرْأنِ فَلْيَمْحُهُ
“ Janganlah kalian menulis sesuatu dari saya kecuali Al-Qur’an, dan barang siapa yang menulis sesuatu selain Al-Qur’an maka hapuslah “.
v  Hadist yang menunjukkan kebolehan, yaitu Hadist yang ditakhrij oleh As-Saikhan (Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) :
اُكْتُبُوْا لأبِي شَاةً
“ Tulislah untuk Abu Syah “
Motif utama peng-kodifikasi-an Hadits Nabi :
1.      Kemauan Umar bin Abdul Aziz yang kuat untuk tidak  membiarkan Al-hadits seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya al-hadits dari pendarahan masyarakat.
2.      Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-hadits dari hadits-hadits maudhu’ yang dibuat oleh orrang-orang untuk mempertahankan idiologi golongannya dan mempertahankan madzabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhilafan Ali bin Abi Thalib r.a
3.      Alasan tidak terdewanya al-hadits secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan khulafaur rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-qur’an, telah hilang, disebabkan Al-qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata di seluruh pelosok. Ia telah dihafal di otak dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu orang.
4.      Kalau di zaman khulafaur rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang-orang muslim, yang kian hari kian menjadi-menjadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama hadits, maka pada saat itu konfrontasi tersebut benar-benar terjadi.
5.      Disisi lain semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lain tidak sama, sehingga sangat memerlukan adanya kodifikasi.
Perkembangan kodifikasi Hadits sendiri dibagi menjadi empat periode :
1.      Abad II H (Periode Penyaringan Al-Hadits Dari Fatwa-fatwa )
2.      Abad III H (Periode Penyempurnaan dan Penegmbangan System Penyusunan Kitab Hadits)
3.      Abad  IV-VI H (Periode Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan Hadits)
4.      Abad  VII – Sekarang (Periode Penghimpunan dan Pentarjihan Hadits)











DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib,M. Ajaj. 1985. Al-mukhtashor al-wajiz fi ulum al-Hadist. Al-Muasasah ar-risalah: Beirut
As-Siba’i, Mustofa . 1998. As-Sunah wa Makanatuha fi Al-Tasyri’ Al-Islami. Dar As-Salam : Cairo
Fatkhurrahman. 1970. Ikhtisar. Mustholakhul hadits. PT Al ma’arif : Bandung

Fazlurrahman. 1994. Wacana: Studi Hadits  Kontemporer. PT. Tirta Wacana:Yogyakarta

Khon,Abdul Majid.1999.  Ulumul Hadits . Pustaka Firdaus. Jakarta

Mudasir. 1999. Ilmu Hadis.Pustaka Setia : Bandung
                                   
Syuhbah, Abu.1999, Kutubussitah, Mengenal Enam Kitab Pokok Hadits Shahih dan Biografi Para Penulisnya.Pustaka Progresif : Surabaya

Thahhan, Mahmud.  2007. Intisari Ilmu Hadits. UIN Press : Malang


[1]. Abdul Majid Khon.1999.Ulumul Hadits.Jakarta: Pustaka Firdaus .hal: 41-42
[2] . M. Ajaj Al-Khatib. 1985. Al-mukhtashor al-wajiz fi ulum al-Hadist. Beirut: al-Muasasah ar-risalah .hal: 44-48
[3].Mushtofa As-Siba’i. 1998. As-Sunah wa Makanatuha fi Al-Tasyri’ Al-Islami. Cairo : Dar As-Salam hal: 66-67
[4] . Opcit.Abdul Majid Khon. hal: 41
[5] . Mahmud Thahhan. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang : UIN Press. Hal :184
[6]. Ibid. Hal : 184:185
[7].  Ibid, hal: 81
[8] .Mudassir.1999.Ilmu Hadits.Bandung : Pustaka Setia . hal:96
[9] . Abu Syuhbah, 1999, Kutubussitah, Mengenal Enam Kitab Pokok Hadits Shahih dan Biografi Para Penulisnya. Surabaya : Pustaka Progresif. Hal : 24
[10] . Ensiklopedi Islam
[11] . Fatkhurrahman. 1970. Ikhtisar. Mustholakhul hadits.Bandung : PT Al ma’arif. Hal 58
[12]. Ensiklopedi Islam
[13]. ibid
[14].  Penyusun Ensikllopedia Islamic, loc.cit
[15].  Fazlurrahman,1994. Wacana: Studi Hadits Kontemporer. Yogyakarta:PT. Tirta Wacana. Hal 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar