BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Seperti telah diketahui sebelumnya, bahwa istilah lain
dari hadits adalah khobar. Khobar dapat berarti berita, yang
mempunyai sifat bisa benar dan juga bisa salah. Hadits dibagi menjadi tiga
yaitu, hadits shohih, hadits hasan, dan hadits dhaif. Hadits shohih menurut
istilah adalah hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh
rawi yang adil dan dhabit, tidak syadz dan tidak pula terdapat ’illat
(cacat) yang merusak. Hadits hasan adalah hadis yang muttasil sanadnya,
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tetapi kedhabitannya di
bawah kedhabitan hadis shahih,
dan hadis itu tidak syadz dan tidak pula terdapat ’illat (cacat).
Hadis dhaif yaitu hadis yang
tidak memenuhi kriteria hadis hasan, hadis yang didalamnya tidak didapati
syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan. Karena syarat diterimanya
suatu hadis sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya hadis terletak pada
hilangnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih, maka atas dasar ini
hadis dhaif terbagi menjadi beberapa macam, seperti Syadz, Mudhtharib,
Maqlub, Mu’allal, Munqathi’, Mu’dhal, dan lain sebagainya.
Hadis dhaif bertingkat-tingkat keadaannya berdasarkan
pada lemahnya para perowi antara lain : dhaif, dhaif jiddan, wahi, munkar.
Dan seburuk-buruk tingkatan hadis adalah hadis Maudhu’ (palsu). Pada
makalah yang kami buat ini akan membahas mengenai hadis dhaif yaitu yang
meliputi pengertian hadis dhaif beserta penjelasannya secara rinci.
1.2
Rumusan Masalah
Ø
Bagaimanakah pengertian hadis dhaif ?
Ø
Bagaimanakah pembagian hadis dhaif ?
Ø
Bagaimanakah hukum-hukum hadis dhaif ?
Ø
Bagaimanakah hukum meriwayatkan hadis dhaif ?
Ø
Bagaimanakah cara periwayatan hadis dhaif ?
Ø
Bagaimanakah kaedah menghukumi shahih dan dhaif pada
sebuah hadis ?
Ø
Bagaimanakah peranan ulama’ hadis masa kini dan pelajar
hadis ?
1.3
Tujuan
Ø
Menjelaskan pengertian hadis dhaif
Ø
Menjelaskan pembagian hadis dhaif
Ø
Menjelaskan hukum-hukum hadis dhaif
Ø
Menjelaskan hukum meriwayatkan hadis dhaif
Ø
Menjelaskan cara periwayatan hadis dhaif
Ø
Menjelaskan kaedah menghukumi shahih dan dhaif pada
sebuah hadis
Ø
Menjelaskan peranan ulama’ hadis masa kini dan pelajar
hadis
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hadis Dhaif
Kata dhaif menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan
dan kata kuat. Maka sebutan hadis dhaif dari segi bahasa berarti hadis yang
lemah atau hadis yang tidak kuat.
Secara istilah, diantara para ulama terdapat perbedaan
rumusan dalam mendefenisikan hadis dhaif ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi
dan maksudnya adalah sama. Beberapa defenisi, diantaranya dapat dilihat di
bawah ini.
An-Nawawi mendefenisikannya yang artinya ”hadis yang di
dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan”.
Ulama lain juga berpendapat bahwa hadis dhaif
ialah hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul” dan
yang terakhir menurut Nur ad-Din’atr mendefenisikan hadis mursal yang paling
baik ialah hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul (hadis yang
shahih dan yang hasan).
Pada defenisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa
jika satu syarat saja dari persyaratan hadis shahih atau hadis hasan hilang,
berarti hadis itu dinyatakan sebagai hadis dhaif. Lebih-lebih jika yang hilang
itu sampai dua atau tiga syarat, seperti
perawihnya tidak adil, tidak dhabit, dan
adanya kejanggalan dalam matan. Hadis seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadis dhaif yang
sangat lemah.
Dalam referensi lain juga mengetakan bahwa Hadis
dhaif ialah hadis yang tidak mencukupi syarat untuk diterima. (منحة
المغيث) Al-Hafiz Ibnu Solah telah
mentakrifkan hadis dhaif dengan katanya bahawa: “setiap hadis yang tidak
mencukupi syarat-syarat hadis sahih dan tidak juga mencukupi syarat-syarat hadis
hasan, maka itulah hadis dhaif”. (139(تدريب الراوي
:ص
Hadis yang makbul (yang diterima) ialah hadis yang
mencukupi enam syarat yaitu:
a.
Sanad yang bersambung
b.
Para perawinya bersifat adil (mempunyai ketaqwaan
dan menjauhkan diri daripada kefasikan)
c.
Para
perawinya dhabit (pengingat melalui catatan dan hafazan)
d.
Tiada syadz (seorang perawi yang tidak menyalahi
dengan perawi-perawi yang lebih dipercayai daripadanya)
e.
Tiada ’illah
(tiada didapati kecacatan pada matan dan sanad hadis)
f.
Ada sanad yang menyokong atau menguatkan
ketika diperlukan
2.2 Bagian-bagian Dari
Hadis Dhaif
Bagian dari hadis dhaif dapat di tinjau dari berbagai
segi yaitu :
1.
Dhaif
dari segi persambungan sanadnya
Dari segi persambungan sanadnya (ittisal as-sanad), para
ulama menemukan banyak hadis yang jika dilihat dari sudut sanadnya, ternyata
tidak bersambung. Tidak bersambung sanadnya ini menunjukan bahwa hadis tersebut
adalah dhaif. Hadis-hadis yang tergolong dalam kelompok ini, ialah hadis
al-mursal, hadis al-munqati, hadis al-mu’dal. Hadis al-muddallas.
a)
Hadis Mursal
Hadis
mursal ialah hadis yang gugur sanadnya setelah tabi’in. yang di maksud dengan
gugurnya di sini ialah tidak disebutkannya nama sanadnya terakhir. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadis
dari rasululah SAW. Al-Hakim merumuskan hadis mursal dengan artinya hadis yang
disandarkan langsung oleh tabi’in kepada
Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi’in, baik
termasuk tabi’in kecil maupun tabi’in besar.
Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadis
mursal sebagai hujjah. Muhammad Ajjaj Al-khatib menyebutkan bahwa perbedaan
tersebut mencapai sepuluh pendapat , tetapi yang tergolong masyhur hanya tiga
yaitu :
Ø Pertama;
membolehkan ber-hujjah dengan hadis mursal secara mutlak. ulama yang termasuk
kelompok ini adalah Abu Hanifah, imam malik, imam Ahmad dan lain-lain.
Ø Kedua; tidak
membolehkan secara mutlak . menurut imam Nawawi , pendapat ini di dukung
oleh Jumhur Ulama ahli hadis, imam Syafi’I kebanyakan
ulama ahli fiqih dan ahli ushul.
Ø Ketiga; membolehkan
menggnakan hadis mursal apabila ada syarat lain yang musnad, diamalkan oleh sebahgian ulama, atau sebahgian besar
ahli ilmu. Apabila terdapat riwayat lain
yang musnad, maka hadis mursal
itu bisa dijadikan hujjah, demikian
pendapat jumhur ulama dan ahli hadis.
b)
Hadis Munqati
Para ulama berbeda pandangan dalam merumuskan defenisi hadis munqati, antara lain :
1. Hadis yang pada
sanadnya terdapat seseorang perawi yang gugur atau pada sanadnya tersebut
disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.
2. Hadis yang gugur
sanadnya di satu tempat atau lebih atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang
yang tidak di kenal namanya
3. Hadis yang seorang perawihnya gugur sebelum
sahabat pada satu tempat atau gugur dua orang perawinya pada dua tempat yang
tidak berturut-turut.
Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadis munqati termasuk dalam kelompok hadis dhaif. Dengan demikian, hadis ini tidak
dapat dijadikan hujjah karena karena gugurnya seorang perawi atau lebih
menyebabkan hilangnya salah satu syarat
dari syarat-syarat sahih, yang berarti tidak memenuhi syarat hadis sahih.
c) Hadis Mu’dal
Hadis mu’dal ialah
hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.
Dalam pengertian yang lebih lengakap
hadis mu’dal di rumuskan dengan hadis yang gugur dua orang perawinya
atau lebih secara berturut-turut, baik gugurnya itu antara sahabat dengan tabi’in atau dua orang
sebelumnya.
Dari segi pengertian di atas, jelas bahwa hadis hadis
mu’dal berbeda dengan hadis munqati.
Pada hadis mu’dal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut,
sedangkan pada hadis munqati , gugurnya dua orang perawi, terjadi secara
terpisah (tidak berturut-turut).
2.
Dhaif
dari segi sandarannya
Para
ulama ahli hadis memasukkan semua hadis yang mauquf dan yang maqtu ke dalam
hadis dhaif.
a.
Hadis mauquf
Hadis mauquf
adalah hadis yang diriwayatkan dari para sahabat yaitu berupa perkataan, perbuatan atau taqririnya baik periwayatannya itu
bersambung ataupun tidak. Pengertian
lain menyebutkan hadis yang disandarkan kepada sahabat disebut hadis mauquf.
Dengan kata lain hadis mauquf ialah perkataan sahabat,
perbuatan atau taqrirnya. Dikatakan mauquf, karena sandarannya terhenti pada
thabaqah sahabat. Kemudian tidak dikatakan marfu, karena hadis ini tidak disandarkan
kepada Rasullulah SAW.
Ibnu shalah membagi hadis mauquf kepada dua bagian yaitu
mauquf al-mausul dan mauquf ghair al-mausul. Mauquf al-mausul, berarti hadis
mauquf yang sanadnya bersambung. Dilihat dari segi persambungan ini, hadis
mauquf ghair al-mausul dinilai sebagai hadis dhaif yang lebih rendah sebagai
hadis dhaif yang lebih rendah daripada hadis mauquf al-mausul.
b.
Hadis maqtu
Hadis
maqtu ialah hadis yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya,
baik perkataan maupun perbuatannya.
Dengan kata lain, bahwa hadis maqtu adalah perkataan atau
perbuatan tabi’in. Sebagaimana hadis mauquf, hadis maqtu dilihat dari segi
sandarannya adalah hadis yang lemah,
sehingga tidak dapat dijadikan Hujjah.
Di antara para ulama ada yang menyebut hadis mauquf dan
hadis maqtu ini dengan al-atsar dan al-khabar.
3. Dhaif dari segi
segi lainya
Yang dimaksud dengan Kedhaifan pada bagian, ialah kedhaifan karena kecacatan yang terjadi, baik
pada matan maupun pada rawinya.
Kecacatan pada bagian ini banyak sekali macamnya sehingga mencapai puluhan
macam, sebagaimana yang diuraikan oleh para hadis. Akan tetapi di sini hanya
akan dikemukakan beberapa macam saja, sebagaimana uraian di bawah ini :
1. Hadis munkar ialah
hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lemah (perawi yang dhaif), yang
bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan.
2. Hadis matruk ialah
hadis yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadis yang
diriwayatkannya), atau nampak kefasikkannya baik pada perbuatan atau pada perkataannya
atau orang yan banyak lupa atau banyak ragu.
3. Hadis syadz ialah
hadis yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan
(matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
Sedangkan menurut Al-hakim hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang terpercaya atau tsiqah tanpa ada
sanad lain yang menguatkannya sebagai muttabi.
4. Hadis maqlub ialah
hadis yang lafaznya tertukar pada salah seorang dari sanadnya atau nama seorang
sanadnya. Kemudian mendahulukan penyebutnya yang seharusnya disebut belakangan
atau membelakangkan penyebutnya seharusnya didahulukan atau dengan sesuatu
tempat yang lain.
Nama-nama
hadis lain, yang juga termasuk hadis dhaif yaitu :
ü Hadis mudraj, yaitu
hadis yang di dalamnya berisi tambahan–tambahan baik matan atau pada sanad,
karena di duga bahwa sanad tambahan tersebut termasuk bagian dari hadis itu
ü Hadis mubham, yaitu
hadis yang di dalam matan atau sanadnya ada seorang perawi yang tidak
disebutkan dengan jelas, baik laki-laki maupun perempuan
ü Hadis mu’allal,
yaitu hadis yang didalamnya terdapat cacat, seperti menyebut muttasil terhadap
hadis yang sanadnya terputus
ü Hadis mudhaaf,
yaitu hadis yang tidak terkumpul tanda-tanda kedhaifannya, tetapi sebagian
ulama ahli hadis menganggap lemah pada
matan atau sanadnya. Termasuk dalam hadis mudhaaf, ialah hadis yang di anggap
kuat dari satu sisi, tetapi sisi lain yang melemahkannya lebih kuat daripada
yang menguatkannya
4. Dhaif segi umum
Dhaif
dari segi umum dapat dibagi atas tiga yaitu :
1.
Hadis yang mana kedhaifannya boleh ditampung
dengan mufakat para ulama’ karena dikuatkan oleh kemasyhurannya yang datang
daripada riwayat yang lain ataupun ianya disokong oleh sokongan yang diterima,
lebih-lebih lagi apabila perawinya adalah seorang yang lemah hafalan atau
kedhaifannya disebabkan ianya diriwayatkan secara mursal (gugur sahabat nabi di
dalam sanad), ataupun tidak diketahui keadilan perawinya, maka hadis ini
tarafnya naik ke peringkat hadis hasan li gharih (hadis menjadi kuat disebabkan
ada sokongan). Maka jadilah ia hadis yang diterima pakai untuk dibuat sebagai
hujah sehingga di dalam hukum hakam. Hadis ini juga dinamakan hadis mudho’af.
2.
Hadis yang mana kedhaifannya tidak boleh ditampung
walaupun jalan-jalan periwayatannya banyak. Ia dinamakan hadith WAAHI
(bersangatan dhaif). Ini disebabkan perawinya seorang fasik atau dituduh
sebagai pembohong.
3.
Hadis waahi tersebut yang mempunyai sokongan
daripada riwayat-riwayat yang lain, maka tarafnya naik kepada peringkat yang
lebih tinggi melebihi martabat hadis munkar (hadis yang bersangatan lemah dan
hadis yang tiada asal). Pada ketika ini diharuskan beramal dengannya di dalam
soal-soal fadhilah (kelebihan) amalan-amalan, tetapi tidak boleh diamalkan di
dalam soal aqidah dan hukum hakam. Sesetengah ulama’ menyatakan juga bahawa
tidak boleh dijadikan rujukan untuk penafsiran Al-Quran.
2.3 Hukum–hukum Hadis Dhaif
Hadis
dhaif berakibat hukum sebagai beikut :
1)
Tidak boleh diamalkan, baik dalam hal menggunakannya
sebagai landasan menetapkan suau hukum maupun sebagai landasan suatu akidah,
melainkan hanya dibolehkan dalam hal keutamaan – keutamaan amal dengan
memberikan iklim yang kondusif menggairahkan atau merasa takut untuk melakukan
atau tidak melakukan suatu amal perbuatan, dan dalam hal menerangkan biografi.
Menurut para ahli hadis, pendapat ini dapat dijadikan pegangan, tetapi hal itu
masih diperselisihkan di kalangan patraulama tentang dibolehkannya mengamalkan
hadis dhaif. Mereka membolehkan mengamalkan hadis dhaif dengan syarat – syarat
sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar, yaitu:
a.
Hadis dhaif itumengenai keutamaan – keutamaan amal
b.
Kualitas kedhaifannya tidak terlalu, sehingga tidak
dibolehkan mengamalkan hadis – hadis dhaif yang dirawayatkan oleh orang – orang
pendusta, yang tertuduh berbuat dusta, dan yang sangat jelek kesalahanya.
c.
Hadis dhaii itu harus bersumber pada dalil yang bias
diamalkan.
d.
Pada waktu mengamalkan hadis dhaif tidak boleh
mempercayai kepastian hadis itu, melainkan harus dengan niat ikhtiyat ( berhati
– hati dalam agama).
Ulama yang menegaska dibolehkannya mengamalkan hadis
dhaif dalam bidang keutamaan – keutamaan amal, diantaranya ialah:
Ø
Imam Al – Nawawi dalam kitabnya Al – Taqrib.
Ø
Imam Al – Iraaqi dalam kitab Syarah Alfiyah Al-
Iraaqi
Ø
Ibnu Hajar Al- Asqalani dalam kitab Syarah Al-
Nukhbah.
Ø
Syekh Zakariya Al – Anshari dalam kitab Syarah
Alfiyah Al- Iraaqi.
Ø
Al- Hafidz Al- Sayuti dalam kitab Al- Tadrib.
Ø Ibnu Hajar Al-
makki dalam kitab Syarah Al- Arba’in.
Ø Al-Allaamah
Al-Lukhnuwi dalam rísalahna yang membahas secara lengkap tentang hadis dhaif
yang berjudul Al-Ajwibah Al-Fashisah.
Ø Ayah saya,
Al-Sayyid Alawi Al-Maliki dalam kitab Rísalah khususnya hukum hadis
dhaif.
2)
Orang yang
mengetahui hadis sanadnya dhaif, maka harus mengatakannya, “Hadis ini
sanadnya dhaif”. Tidak di bolehkan untuk mengatakannya, “Hadis ini
dhaif” hanya disebabkan adanya kelemahan dalam sanad. Karena, hadis ini kadang mempunyai sanad yang lain yang
shahih. Seseorang dibolehkan menyebutnya dengan tegas, ”Hadis ini dhaif”
apabila telah jelas tidak ada sanad lain yang shahih.
2.4 Hukum Meriwayatkan Hadis Dhaif
1)
Ulama’ mengharuskan mempermudah-mudahkan pada
sanad hadis dhaif, meriwayatkannya dan beramal dengannya tanpa menyatakan kedhaifannya.
Oleh kerana itu hadis dhaif boleh diterima pakai di dalam segala jenis amalan
yang berbentuk menggemarkan, menakutkan, peradaban, kisah tauladan bukan di
dalam perkara aqidah seperti sifat Allah dan hukum seperti halal haram.
2) Ibnu Abdul Barri ada
menyatakan hadis yang berkaitan dengan fadhilat maka kami tidak perlukan orang
(perawi) yang layak untuk dijadikan hujah. (tidak semestinya perawi itu
thiqah).
3)
Ibnu Mahdi menyebutkan
dalam kitabnya Al-Madkhal : “Apabila kami meriwayatkan daripada nabi SAW
tentang halal haram dan hukum- hakam maka kami mengetatkan sanad-sanadnya
dan kami akan membuat kritikan (pemeriksaan) terhadap rijal (nama perawi yang
terdapat dalam sanad). Tetapi
apabila kami meriwayatkan hal-hal yang berkaitan dengan ganjaran pahala dan
seksa maka kami mempermudahkan sanad-sanadnya dan kami bertolak ansur”.
2.5
Cara Meriwayatkan Hadis
Dhaif
Walaupun jumhur
mengharuskan meriwayatkan hadis dhaif, namun perlu di ingatkan mereka
menyatakan bahawa tidak harus menggunakan perkataan yang menunjukkan kepastian
(sighah jazam) seperti “sabda Rasulullah SAW” ketika meriwayatkan hadis
dhaif ini karena untuk mengelakkan daripada menisbahkan kepada Rasulullah SAW
apa yang tidak disabdakannya bahkan hendaklah digunakan kalimah yang
menunjukkan ketidakpastian (tamridh), seperti “diriwayatkan atau dikatakan bahwa
nabi SAW pernah bersabda” dan seumpamanya.
2.6 Kaedah Menghukum Shahih Dan Dhaif Pada Sebuah Hadis
·
Menghukum sahih dan dhaif
sesebuah hadis merupakan satu bidang ilmu yang khusus di mana ulama’ usul hadis
dan juga ulama Jarhu dan Ta’dil (ulama’ pengkaji sanad atau pakar pengesah
hadith) telah pun menyusun ilmu tersebut semenjak beberapa kurun yang lalu. Di sini tidak mungkin kami menyatakan
keseluruhan bidang ilmu itu secara terperinci. Tetapi, kami ingin menyentuh
beberapa perkara yang kurang diberi perhatian oleh segelintir masyarakat.
·
Ramai yang beranggapan bahwa hadis sahih hanya
dikumpulkan di dalam Kitab Sahih Bukhari dan Muslim sahaja tidak di dalam
kitab-kitab hadis yang lain. Ini kaedah yang salah yang digunakan oleh kebanyakan
orang. Kesahihan sebuah hadis boleh ditentukan melalui kajian terhadap
sanad-sanadnya. Imam Bukhari berkata : “bahawa daku tidak dapat mengumpulkan
semua hadis-hadis sahih di dalam kitabku dan aku terpaksa meninggalkan beberapa
banyak hadis-hadis sahih supaya dapat dielakkan daripada menjadi panjang”.
Pengakuan ini menunjukkan bahawa masih ada lagi hadis-hadis yang sahih yang
tidak termuat di dalam Sahih Bukhari dan berkemungkinan besar terdapat hadis-hadis
yang tinggi sanadnya daripada sanad hadith Sahih Bukhari.
·
Menghukum shahih dan dhaif sesebuah hadis adalah
satu kajian yang harus memerlukan pengetahuan yang luas dan mendalam. Hanya
mereka yang mencapai derajat ijtihad dalam bidang ini sahaja layak mengkaji dan
menentukan kesahihan atau kedhaifan sesebuah hadis. Menentukan sesuatu hadis
samada taraf sahih atau hasan atau dhaif berdasarkan pengamatan zahir terhadap
nama-nama yang terdapat dalam sanad bukan berdasarkan hakikatnya kerana yang
sebenar hanya Allah SWT yang mengetahui. Oleh kerana itu ulama hadis menyatakan
bahawa mungkin ada di antara hadis sahih pada hakikatnya ianya adalah hadis
dhaif dan beberapa banyak hadis dhaif berkemungkinan besar pada
hakikatnya ianya adalah sahih. Oleh itu keyakinan terhadap mutu hadith
berdasarkan ijtihad (pengamatan yang zahir).
·
Periwayatan hadis diambil kira berdasarkan kepada
kejujuran (thiqah) dan amanah perawi bukan berdasarkan kepada mazhabnya seperti
Syiah, Rafidah, Murjeah, Muktazilah dan lain-lain. Berapa ramai di kalangan
perawi-perawi yang bermazhab Syiah, Khawarij dan lain di mana Imam Bukhari dan
Muslim berbangga menyebutkan nama-nama mereka dalam sanad mereka berdua dan
meriwayatkan hadis daripada mereka di dalam kitab sahih keduanya.
·
Kebanyakan perawi yang kepercayaaan atau
dipercayainya (thiqah) meriwayatkan daripada perawi-perawi yang dhaif seperti
Sufyan Al-Thauri dan Syu’bah dan selain mereka. Syu’bah berkata sekiranya aku
tidak meriwayatkan hadis kepada kamu melainkan hanya daripada orang-orang yang
kepercayaan (thiqah) neccaya aku tidak akan meriwayatkan kepada kamu melainkan
daripada beberapa orang sahaja. Yahya Bin Al-Qattan berkata : “Sekiranya aku
tidak meriwayatkan hadis melainkan hanya daripada beberapa orang yang aku redha
(setuju) nescaya aku tidak boleh meriwayatkan hadis melainkan hanya daripada
lima orang sahaja atau seumpamanya”. Menurut ulama usul hadith apabila seorang
perawi yang bersifat adil meriwayat hadith yang diambil daripada perawi yang
bertaraf dhaif maka ini bererti dia menganggap perawi itu bertaraf adil
Terkadang wujud perselisihan ulama terhadap sesebuah hadis atau seseorang
perawi tentang sahih dan dhaif atau thiqah dan tidak thiqah.
·
Hadis-hadis yang ditashihkan oleh ulama’ hadis dan
feqah yang muktabar lagi yang terdahulu itu tidak akan jadi dhaif kerana
mencelahi perawi daif kemudian daripada mereka itu. Maka pentashihan
hadith yang dibuat oleh fuqahak (Imam-Imam Mujtahid) lebih tinggi kedudukannya
daripada pentashihannya yang dibuat oleh ulama’ hadith. Contohnya
tersebut di dalam Sunan Tirmizi yang berbunyi:
حدثنا
يحي بن موسى أخبرنا أبو معاوية أخبرنا خالد بن إياس عن صالح مولى التوأمة عن أبي هريرة قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم ينهض في الصلاة على صدور قدميه.
Artinya: “Adalah Nabi
s.a.w bangun berdiri (qiyam) di dalam sembahyang diatas kedua
hujung jejari kakinya”. Hadith ini dhaif di sisi Imam Tirmizi
kerana terdapat Khalid bin Iyaas yang mana beliau adalah perawi yang dhaif.
Akan tetapi hadis ini dianggap sahih di sisi Imam Abu Hanifah kerana tidak
didapati Khalid bin Iyaas tersebut di dalam sanadnya.
·
Hadis dhaif tidak
semestinya ditolak bulat-bulat kerana ianya boleh mencapai derajat hasan dan
menjadi makbul sekiranya jalan periwayatannya berbilang-bilang sepertimana
Mulla Ali Al-Qari berkata: “وتعدد الطرق يبلغ الحديث الضعيف إلى حد الحسن”
bermaksud: “hadis boleh mencapai darajat hasan (hasan li ghairihi) dengan
banyak jalan periwayatan”. Artinya : “sekiranya hadis dhaif berbilang-bilang
periwayatan atau dikuatkan dengan hadis yang terlebih kuat penerimaannya maka
ia menjadi hasan li ghairihi”.
·
حديث ضعيف مؤيد بالتعامل yaitu hadis dhaif yang disokong oleh
amalan sahabat dan tabi’in. Apabila amalan mereka itu bertepatan dengan hadith
dhaif maka dengan sendiri hadith dhaif itu menjadi hadith yang layak diamalkan
dan dibuat hujah. Sebagai contoh:
(هو الطهور ماؤه والحل ميتته، القاتل لا يرث، لا وصية لوارث)
Artinya: “Ianya (air laut) adalah suci airnya
dan halal bangkainya. Pembunuh tidak boleh mewarisi harta orang yang
dibunuhnya. Tidak boleh berwasiat untuk orang yang menerima harta pusaka”, hadis-hadis
ini diakui dhaif oleh kebanyakan muhaddithin walaupun begitu ianya boleh
diterima untuk dijadikan dalil (قابل للإستدلال)
kerana didapati ramai sahabat dan tabein beramal dengan hadis itu.
2.7 Peranan Para Ulama Hadis Masa
Kini Dan Pelajar Hadis
v Mempelajari ilmu hadis dan memahiri
kaedah para ulama yang berbeda-beda dalam manhaj penerimaan riwayat, penulisan
hadis, penghukuman hadis, kaedah penyusunan hadis.
v Mengetahui dan menyelidik sejarah dan
tarikh para ulamak hadis, perkembangan hadis zaman berzaman dan mengkaji waktu
terputusnya sanad sesuatu hadith dan kaedah penyampaian kitab dan tulisan ulama
terdahulu kepada kita.
v Melihat dan menyelidik para guru dan
murid ulama’ hadis, perawi yang meriwayatkan dan diriwayatkan darinya, bilangan
hadith, jenis dan kedudukan hadis-hadis tersebut.
v Mengumpulkan hadis-hadis yang banyak
masih belum diketahui dalam kitab-kitab yang masih belum dibuka oleh kebanyakan
orang kerana hadis bukan hanya berada dalam ashab sunnah atau sahihan atau
musnad saja sebaliknya banyak lagi hadis yang belum dijumpai oleh kebanyakan
para pelajar hadis.
v Menyemak dan melihat sanad, riwayat dan
perawi yang meriwayatkan dan berusaha menjelaskan kedudukan perawi serta
kedudukan matan hadis dan mencari kesamaan dalam hadis-hadis yang sudah berada
dalam kitab yang mashyur dan berusaha menyingkap kesamaran perawi yang dituduh
majhul dan berusaha membersihkan hadis waham, hadis dhaif jika mampu dengan
jalan riwayat yang lain.
v Menyusun dan mengumpulkan hadis-hadis
yang sahih dalam satu susunan yang memudahkan dan menurut bab dan meneiliti
kesalahan cetakan dan kesilapan penulisan dan kecuaian yang berlaku dalam
pemindahan hadis.
v Menyebarkan dan menggalakkan pembacaan
dan pengajian hadis oleh para pelajar ilmu agama sebagai asas sebelum menguasai
ilmu lain seperti fiqh, usul, tafsir dan lain-lain kerana ilmu hadis merupakan
ilmu dasar yang menjadi tapak kepada keilmuan Islam.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Hadis
dhaif yaitu hadis yang tidak
memenuhi kriteria hadis hasan, hadis yang didalamnya tidak didapati syarat
hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan. Karena syarat
diterimanya suatu hadis sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya hadis terletak
pada hilangnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih. Bagian-bagian dari
hadis dhaif dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain dhaif dari segi
persambungan sanadnya, dhaif dari segi sandarannya, dhaif dari segi lainnya,
dan dhaif dari segi umum. Adapun hukum dari hadis dhaif adalah tidak boleh
diamalkan dan orang yang mengetahui bahwa hadis tersebut sanadnya dhaif, maka
harus mengatakan ”hadis ini sanadnya dhaif”. Ulama’ mengharuskan
mempermudah-mudahkan pada sanad hadis dhaif, meriwayatkannya dan beramal
dengannya tanpa menyatakan kedhaifannya. Oleh kerana itu hadis dhaif boleh
diterima pakai di dalam segala jenis amalan yang berbentuk menggemarkan,
menakutkan, peradaban, kisah tauladan bukan di dalam perkara aqidah seperti
sifat Allah dan hukum seperti halal haram. Menghukum shahih dan dhaif sesebuah
hadis adalah satu kajian yang harus memerlukan pengetahuan yang luas dan
mendalam. Mempelajari ilmu hadis dan memahiri kaedah para ulama yang
berbeda-beda dalam manhaj penerimaan riwayat, penulisan hadis, penghukuman hadis,
kaedah penyusunan hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Alawi, Al-Maliki Muhammad. 2009. Ilmu Ushul Hadis.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Al-Qaththan, Manna’. 2005. Pengantar Studi Hadis.
Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
Aminuddin, Ahmad Kilani. 2003. Research
On Takhrij Of Hadith Al-Shahih About Islamic Beliefas Narrated
And Agreed By Imam Bukhari And Muslim. Pusat Pengajian Islam dan Pembangunan Sosial (PPIPS).Universiti Teknologi Malaysia (UTM) Email Abawidad@hotmail.com. Diakses
tanggal 12-10-2009
B. Smeer, Zeid. 2008. Ulumul Hadis. Malang
: UIN Malang Press
Mudhasir, H. 2002. Ilmu
Hadis. Bandung : Pustaka Setia
Nazimuddin, Ibrahim Fuad B. Abd .2009. HADIS DHAIF الحديث الضعيف. Posted on
September 29, 2009 by khairuummah 77 . Diakses tanggal 12-10-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar