BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar belakang.
Hadits atau yang disebut
dengan sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Sebagai
sumber ajaran Islam setelah Al-Qur'an, sejarah perjalanan Hadits tidak
terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam
beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam
mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Hadis dapat disebut sumber
hukum Islam ke-dua setelah Al-Qur’an karena, hadis diriwayatkan oleh para
perawi dengan sangat hati-hati dan teliti, sebagaimana sabda Nabi s.a.w. :
من كذ ب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من
النا ر
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka
tempatnya dalam neraka disediakan”
Tidak seperti Al-Qur'an,
dalam penerimaan Hadits dari Nabi Muhammad SAW banyak mengandalkan hafalan para
sahabatnya, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka. Penulisan itupun
hanya bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, Hadits-hadits
yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in,
memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbeda-beda. Sebab ada yang
meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafadz yang diterima dari Nabi SAW,
dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja, sedangkan redaksinya tidak
sama.
Atas dasar itulah, maka
dalam menerima suatu Hadits, langkah yang harus dilakukan adalah dengan
meneliti siapa pembawa Hadits itu (disandarkan kepada siapa Hadits itu), untuk
mengetahui apakah Hadits itu patut kita ikuti atau kita tinggalkan. Oleh karena
untuk memahami Hadits secara universal, diantara beberapa jalan, salah satu
diantaranya adalah dengan melihat Hadits dari segi kuantitas atau jumlah
banyaknya pembawa Hadits (Sanad) itu.
Berangkat dari hal
tersebut di atas, maka untuk memahami Hadits ditinjau dari kuantitas sanad,
maka dalam makalah ini akan kami bahas mengenai Hadits ditinjau dari kuantitas
sanadnya.
1.2. Rumusan
Masalah
- Ada berapa kelompokkah Hadits itu bila ditinjau dari segi kuantitas sanadnya ?
- Bagaimana ketentuan umum dari hadist ahad itu ?
- Bagaimanakah kedudukan hadits mutawatir dan hadits ahad itu?
1.2. Tujuan
1.
Mengetahui ada berapa kelompok hadist bila
ditinjau dari segi kuantitas sanadnya.
- Mengetahui ketentuan umum dari hadist ahad.
- Mengetahui kedudukan hadits mutawatir dan hadits ahad.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hadist Ditinjau dari Segi Kuantitas
Sanadnya.
Para ulama' berbeda
pendapat tentang pembagian Hadits ditinjau dari sudut kuantitas atau jumlah
rawi yang menjadi sumber berita ini. Diantara mereka ada yang mengelompokkannya
menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Mutawatir, Hadits Masyhur dan Hadits Ahad,
dan ada pula yang membaginya menjadi dua bagian yaitu Hadits Mutawatir dan
Hadits Ahad.
Ulama'
golongan pertama, yang menjadikan Hadits Masyhur berdiri sendiri, tidak
termasuk bagian dari Hadits Ahad, diikuti oleh sebagian ulama' ushul,
diantaranya adalah Abu Bakar al-Jashshash (305-307 H). Sedangkan golongan
ulama' kedua, yang menjadikan Hadits Masyhur sebagai bagian dari Hadits Ahad,
diikuti oleh kebanyakan ulama' ushul dan ulama' kalam. Mereka membagi Hadits
menjadi dua bagian, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. Berdasarkan
pembagian ini, maka Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib merupakan
bagian dari Hadits Ahad. Berangkat dari hal tersebut, guna memahami Hadits
secara mudah dan benar, maka dalam pembahasan makalah ini penulis
mengikuti pendapat yang kedua.
1. Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa
berarti "mutatabbi'" yaitu yang (datang) berturut-turut dengan
tidak ada jaraknya. Sedangkan pengertian Hadits Mutawatir secara terminologi
adalah :
فالحديث المتواتر هو
الحديث الذى رواه جمع يمتنع تواطؤهم على الكذب
عن جمع مثلهم من أول
السند إلى منتهاه[1]
Hadits Mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
orang yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta dari awal sanad
sampai akhir sanad.
Berdasarkan
definisi tersebut, ada empat hal yang harus terpenuhi pada sesuatu Hadits yang
dikategorikan Mutawatir, yaitu : Pertama, Hadits itu harus diriwayatkan
oleh banyak orang. Kedua, Hadits itu diterima dari banyak orang pula. Ketiga,
ukuran banyak di sini jumlahnya relatif, dengan ukuran berdasarkan sudut
pandang kebiasaan masyarakat, bahwa mereka tidak mungkin sebelumnya melakukan
kesepakatan untuk berdusta, dan keempat, Hadits itu diperoleh melalui
pengamatan panca indera, bukan atas dasar penafsiran mereka[2].
Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Dengan memperhatikan ta'rif di atas, maka
suatu Hadits baru bisa dikatakan Mutawatir bila memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
- Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) panca indera. Artinya bahwa berita yang disampaikan oleh para perawi harus berdasarkan hasil pengamatan panca indera. Dengan kata lain berita yang mereka sampaikan harus benar-benar hasil pendengarannya, penglihatannya, penciumannya atau sentuhannya.
- Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah sanad pada tiap thabaqahnya. Jumlah sanad Mutawatir antara satu thabaqah (tingkatan) dengan thabaqah lainnya harus seimbang. Misalnya, jika sanad pada thabaqah pertama 10 orang, maka pada thabaqah-thabaqah berikutnya juga masing-masing harus 10, atau 9, atau 11 orang. Dengan demikian, bila suatu Hadits diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh tabi'in dan selanjutnya hanya diterima oleh empat tabi' at-tabi'in, tidak digolongkan Hadits Mutawatir, sebab jumlah sanadnya tidak seimbang antara thabaqah pertama dengan thabaqah-thabaqah berikutnya.
- Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka untuk bersepakat bohong (berdusta). Dalam hal ini para ulama' berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta :
-
Abu at-Thayyib menentukan sekurang-kurangnnya
4 orang. Karena diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk
tidak memberi vonis kepada terdakwa.
-
Ash-habu as-Syafi'i menentukan 5 orang, karena
mengqiyaskan dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi
-
Sebagian ulama' menetapkan sekurang-kurangnya 20
orang, berdasarkan ketentuan yang difirmankan oleh Allah dalam QS. Al-Anfal :
65 tentang sugesti Allah kepada orang mukmin yang tahan uji, yang berjumlah 20
orang saja dapat mengalahkan 200 orang[3].
إن يكن منكم عشرون صابرون يغلبوا مائتين (الأنفال : 65)
Jika ada dua puluh orang yang
sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh (al-Anfal
: 65)
-
Ulama' yang lain menetapkan jumlah tersebut
sekurang-kurangnya 40 orang. Karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah :
يا أيها النبي حسبك الله ومن اتبعك من المؤمنين (الأنفال : 64)
Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang
mukmin yang mengikutimu
(menjadi penolongmu).
-
Dan ulama' yang lain berpendapat bahwa jumlah
tersebut sekurang-kurangnya 70 orang[4]. Karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah :
واختار موسى قومه سبعين رجلا لميقاتنا
Sedangkan Hadits Mutawatir terbagi kepada dua
bagian, yaitu Mutawatir Lafdzi dan Mutawatir Ma'nawi[5].
Adapun yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir Lafdzi dan Ma'nawi adalah :
المتواتر اللفظي هو ما تواتر لفظه ومعناه[6]
Hadits Mutawatir Lafdzi adalah Hadits yang
Mutawatir lafadz dan maknanya
Contoh dari Hadits Mutawatir Lafdzi ini yaitu :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (البخارى)
Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku,
maka hendaklah ia menduduki tempat di neraka. (HR. Bukhori)
Menurut Abu Bakar al-Bazzar, Hadits
tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama' mengatakan
bahwa Hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafadz dan
makna yang sama. Hadits tersebut terdapat pada 10 kitab Hadits ; al-Bukhori,
Muslim, al-Darimi, Abu Dawuf, Ibnu Majah, al-Turmudzi, al-Thayalisi, Abu
Hanifah, al-Tabrhani, al-Hikam.
المتواتر المعنوي هو ماتواتر معناه دون لفطه[7]
Hadits Mutawatir Ma'nawi adalah Hadits yang
Mutawatir maknanya bukan lafadznya
Contoh dari Hadits Mutawatir Ma'nawi
tersebut adalah :
ما رفع ص.م يده حتى رؤي بياض ابطيه فى شيئ من دعائه إلا
فى الإستسفاء
(متفق عليه)
Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam
berdo'a selain dalam shalat istisqa dan beliau mengangkat tangannya hingga
tampak putih kedua ketiaknya
Hadits-hadits yang semakna dengan Hadits
tersebut banyak sekali (kalau dikumpulkan ada 100 Hadits), antara lain :
كان يرفع يده حدو منكبيه
Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan
kedua pundak beliau
2. Hadits Ahad
Secara
etimologi, kata "ahad" merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti
satu. Maka Khobar Ahad atau Khobar Wahid adalah suatu berita yang disampaikan
oleh satu orang. Sedangkan
secara terminologi, Hadits Ahad adalah :
الحد يث الاحد هوالحديث الذى لم يبلغ رواته مبلغ الحد يث
المتوتر سواء كان الراوى واحد او اثنين اوثلاثة ااو اربعة اوخمسة الى غير ذ لك من العداد
التى لا تشعر بان الحديث د خل فى خبر المتوتر.
Artinya : “Hadis ahad adalah hadis
yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis mutawatir, baik rawinya itu
satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya. Tetapi jumlahnya tidak memberi
pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadis
mutawatir”.
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut
Hadits Ahad adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadits
Mutawatir[8]
Atau
dengan kata lain, Hadits Ahad adalah suatu Hadits yang jumlah pemberitaannya tidak
mencapai jumlah pemberita Hadits Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua
orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah
tersebut tidak memberi pengertian bahwa Hadits tersebut masuk ke dalam Hadits
Mutawatir[9]. Dan Hadits Ahad itu dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Hadits
Masyhur, Hadits 'Aziz dan Hadits Gharib.
1. Hadits Masyhur
Adapun yang dimaksud
dengan Hadits Masyhur adalah :
الحد يث المشهور او
الحد يث المشتفيض هو الحد يث الذى رواه الثلا ثة فاكثر لم يصل درجة التوتر.
Hadits Masyhur adalah Hadits yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih – dalam tiap thabaqah – serta belum
mencapai derajat Mutawatir.
Ditinjau dari segi kualitasnya, Hadits Masyhur ada
yang Shahih, ada yang Hasan dan ada yang Dho'if[10]. Hadits Masyhur yang Shahih artinya
Hadits Masyhur yang memenuhi syarat-syarat keshahihannya, Hadits Masyhur yang
Hasan artinya Hadits Masyhur yang kualitas perawinya di bawah kualitas perawi
Hadits Masyhur yang Shahih, sedangkan Hadits Masyhur yang Dho'if artinya Hadits
Masyhur yang tidak memiliki syarat-syarat atau kurang salah satu syaratnya dari
syarat Hadits Shahih.
Menurut ulama' fiqhi, Hadits Masyhur itu adalah muradhif dengan Hadits
Musthafid, sedangkan ulama' yang lain membedakannya. Suatu Hadits dikatakan
musthafid bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari
thabaqah pertama sampai thabaqah terakhir. Sedang Hadits Masyhur lebih umum
daripada Hadits Musthafid, yakni jumlah rawi-rawi dalam tiap thabaqah tidak
harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. Karena itu, dalam Hadits Masyhur
bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam thabaqah pertama adalah sahabat,
thabaqah kedua thabi'i, thabaqah ketiga tabi'it tabi'in dan thabaqah keempat
adalah orang-orang setelah tabi'it tabi'in, terdiri dari seorang saja, baru
kemudian jumlah rawi-rawi dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali[11].
Adapun contoh dari Hadits Masyhur tersebut adalah :
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرء ما نوى (متفق عليه)
Hanyasanya amal-amal itu dengan niat dan
hanya bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa yang ia niatkan (Muttafaqun
Alaihi)
Hadits tersebut pada
thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar sendiri, pada thabaqah kedua
hanya diriwayatkan oleh al-Qamah sendiri, pada thabaqah ketiga diriwayatkan
oleh orang banyak, antara lain : Abd al-Wahhab, Malik, Hammad dan Sufyan.
Hadits tersebut biasa disebut Hadits Masyhur, atau disebut Hadits Gharib
pada awalnya dan Masyhur pada akhirnya[12].
Istilah Masyhur yang diterapkan pada suatu Hadits, kadang-kadang bukan
untuk memberikan sifat-sifat Hadits menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya
rawi yang meriwayatkan suatu Hadits, tetapi diterapkan juga untuk memberikan
sifat suatu Hadits yang mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu
atau di kalangan masyarakat ramai. Dari
sisi ini, maka Hadits Masyhur terbagi kepada :
- Masyhur di kalangan para muhadditsin dan lainnya (golongan ulama' ahli ilmu dan orang umum)
- Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur di kalangan ahli Hadits saja, atau ahli Fiqih saja, atau ahli Tasawuf saja, atau ahli Nahwu saja dan lain sebagainya.
- Masyhur di kalangan orang-orang umum saja.
2. Hadits
'Aziz
Ulama' Hadits memberikan ta'rif Hadits 'Aziz adalah :
الحد يث العزيز هو الحد يث الذى راه اثنان ولو كان في طبقة
واحدة ثم رواه بعد ذالك جما عة
Artinya: “Hadis ‘Aziz adalah hadis yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua orang rawi itu pada satu tingkatan
saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.”
Dari definisi tersebut,
kiranyanya dapat disimpulkan bahwa suatu Hadits dikatakan 'Aziz bukan saja yang
meriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqat, yakni sejak dari
thabaqat pertama sampai thabaqat terakhir, tetapi sewaktu kedua thabaqat didapati
dua orang perawi, tetap dapat dikategorikan sebagai Hadits 'Aziz. Dalam
kaitannya dengan masalah ini, Ibnu Hibban mengatakan bahwa Hadits 'Aziz yang
hanya diriwayatkan dari dan kepada dua orang perawi pada setiap thabaqat tidak
mungkin terjadi. Secara teori memang ada kemungkinan, tetapi sulit untuk
dibuktikan[13].
Dari pemahaman seperti
ini, bisa saja terjadi suatu Hadits yang pada mulanya tergolong sebagai Hadits
'Aziz, karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi, tetapi berubah menjadi Hadits
Masyhur, karena perawi pada thabaqat lainnya berjumlah banyak.
Dalam Hadits 'Aziz terdapat
Hadits 'Aziz yang Shahih, ada yang Hasan dan ada pula yang Dha'if[14]. Hadits 'Aziz yang Shahih, Hasan dan Dha'if tergantung kepada terpenuhi
atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Hadits Shahih, Hasan
dan Dha'if.
Contoh 1
: Hadits 'Aziz pada thabaqah pertama
قال رسول الله صلي الله عليه و سلَم : نحن الا خرون فى الد نيا
اسا بقون يوم القيامة (عن حذ يفة وأبو هريرة)
Artinya: “Rasulullah SAW. Bersabda, “ Kita
adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu
dihari kiamat.” (HR. Hudzaifah dan Abu Hurairah).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat
(thabaqah) pertama yakni Hudzaifah Ibn al-Yaman dan Abu Hurairah. Hadits
tersebut pada thabaqah kedua sudah menjadi masyhur sebab melalui periwayatan
Abu Hurairah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh tujuh orang, yaitu Abu Salamah,
Abu Hazim, Thawus, al-'Araj, Abu Shalih, Humam dan Abd al-Rahman.
Contoh 2 : Hadits 'Aziz pada thabaqah kedua
لا يؤمن احدكم حتى اكون احب إليه من نفسه ووالده وولده والناس اجمعين
(متفق عليه)
Tidak sempurna iman salah seorang darimu sehingga aku lebih dicintainya
dari pada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia
seluruhnya (Muttafaqun 'Alihi)
Hadits
tersebut diterima oleh sahabat Anas Ibnu Malik (thabaqah pertama), kemudian
diterima oleh Qatadah dan Abd Aziz (thabaqah kedua).
Dari Qatadah diterima
oleh Husein al-Mu'allim dan Syu'bah, sedang dari Abd al-Aziz diriwayatkan oleh
Abd al-Warits dam Ismail Ibnu Ulaiyah (thabaqah III). Pada thabaqah IV, Hadits
itu diterima masing-masing oleh Yahya Ibn Ja'far dan juga Yahya Ibnu Sa'id dari
Syu'bah, oleh Zubair Ibnu Harab dari Ismail, oleh Syaiban Ibnu Abi Syaibah dari
Abd al-Warits.
3. Hadits Gharib
Adapun pengertian
Hadits Gharib adalah :
الغريب هو ما إنفرد بروايته راو بحيث لم يروه غيره او إنفرد بزيادة فى متنه
او إسناده
Hadits Gharib adalah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi
karena tidak ada orang lain yang meriwayatkannya, atau menyendiri dalam hal
penambahan terhadap matan atau sanadnya.
Hadis Gharib menurut bahasa adalah Hadist yang terpisah
atau yang menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai
berikut :
الحد يث الغريب هو الحد يث الَذي انفرد بروا يته شحص واحد فى اي
مضع وقع التفر د من السند.
Artinya: “Hadis gharib adalah hadis
yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun sanad ‘’
Contoh
hadis gharib:
عن عمر ابن الخطاب ضىالله عنه قال: سمعت سول الله صلى الله عليه
و سلم يقول: انما ا لاعمال با النيات و انما لكل امرئ ما نوى
(رواه البخارى و مسلم و غير هما )
Artinya: “Dari Umar bin Khattab, katanya,
aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya
(memperoleh) apa yang diniatkan.”(HR Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Adapun maksud dari
penyendirian rawi yaitu penyendirian rawi dalam meriwayatkan Hadits itu, dapat
mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain
rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan si rawi, artinya sifat
atau keadaan si rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang
juga meriwayatkan Hadits tersebut.
Ditinjau
dari segi bentuk penyendirian rawi seperti tertera di atas, maka Hadits Gharib
ini terbagi menjadi dua macam, yaitu Gharib Mutlaq dan Gharib Nisbi.
a. Gharib Mutlaq
Dikatakan Gharib Mutlaq,
artinya penyendirian itu terjadi berkaitan dengan keadaan jumlah personalianya,
yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan Hadits tersebut kecuali dirinya
sendiri.
Contoh :
الإيمان بضع وسبعون شعبة والحياء شعبة من الإيمان (متفق علعه)
Iman itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang,
malu itu salah satu cabang dari iman (Muttafaqun 'Alaihi)
Hadits tersebut diterima
oleh Abu Hurairah dan Abu Hurairah (sahabat) hanya diterima oleh Abu Shalih
(tabi'in) dari Abu Shalih hanya diterima oleh Abdullah Ibn Dinar (tabi'u
al-tabi'in) yang darinya juga hanya diriwayatkan oleh Sulaiman ibn Bilal, dan
dari Sulaiman diterima oleh Abu Amir. Baru setelah dari Abu Amir Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Ubaidillah Ibn Sa'id dan Abdun Ibn Humaid yang dari
keduanya, kemudian diterima oleh Muslim.
Mengenai Gharib Mutlaq
ini, para ulama' berbeda pendapat, apakah penyendirian pada thabaqah sahabat
juga termasuk ke dalam kategori Hadits Gharib atau tidak. Dengan kata lain,
apakah kajian tentang keghariban Hadits itu juga termasuk pada thabaqah sahabat
atau tidak. Menurut sebagian ulama', keghariban sahabat juga termasuk, sehingga
apabila suatu Hadits diterima dari Rasulullah hanya oleh seorang sahabat
(misalnya oleh Abu Hurairah sendiri atau oleh 'Aisyah sendiri), Hadits tersebut
juga disebut Gharib, meskipun pada thabaqah-thabaqah berikutnya diterima oleh
beberpa orang.
Menurut
sebagian ulama' lainnya berpendapat bahwa, penyendirian sahabat tidak termasuk
ke dalam Hadits Gharib. Keghariban Hadits menurut mereka hanya diukur pada
thabaqah tabi'in (misalnya pada Ibn Syihab az-Zuhri) dan thabaqah-thabaqah
berikutnya. Dengan demikian, suatu Hadits baru bisa dikatagorikan ke dalam
Hadits Gharib apabila terjadi penyendirian pada thabaqah tabi'in atau thabaqah-thabaqah
berikutnya.
b. Hadits Gharib Nisbi
Disebut
Hadits Gharib Nisbi, arti katanya Gharib adalah yang relatif. Ini maksudnya,
penyendirian itu bukan pada perawi atau sanadnya, melainkan mengenai sifat atau
keadaan tertentu seorang rawi :
- Penyendirian tentang sifat keadilan dan kedhabitan dan ketsiqahan rawi. Contoh :
كان رسول الله ص.م يقراء فى الأضحى والفطر بق والقران المجيد واقترب الساعة
وانشق القمر (اخرجه مسلم)
Konon Rasulullah SAW pada hari raya Qurban dan
hari raya Idul Fitri membaca surat
Qaaf dan surat
al-Qamar (Akhrajahu Muslim)
2. Penyendirian tentang kota atau tempat tinggal
tertentu, yakni Hadits yang hanya diriwayatkan oleh para rawi dari kota atau daerah tertentu
saja, misalnya Basrah, Kufah atau Madinah saja. Contoh :
امرنا رسول الله ص.م ان نقراء بفاتحة الكتاب وما تيسر منه (رواه ابو داوو)
Rasulullah memerintahkan kepada kita agar membaca
al-Fatihah
dan surat mudah
dari al-Qur'an (HR. Abu Dawud)
Hadits ini
diterima oleh Abu Dawud dari Abu Walid al-Thayalisi dari Hamam dan Qatadah dari
Abu Nasharah dan Sa'id yang kesemuanya berasal dari Bashrah.
- Penyendirian tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu. Contoh :
أن النبى ص.م اَوْلمَ َعلى صفية بسوبق وتمر
Sesungguhnya Nabi SAW mengadakan walimah untuk Shafiyah
dengan jamuan makanan yang terbuat dari tepung gandum dan kurma
Dalam
sanad Hadits tersebut, terdapat seorang rawi bernama Wa'il yang meriwayatkan
Hadits tersebut dari anaknya (Bakr Ibn Wa'il). Sedang perawi yang lain tidak
ada yang meriwayatkan demikian
Adapun
penyendirian pada segi matan, artinya matan Hadits yang diriwayatkan itu
berbeda dengan periwayatan rawi-rawi lain.
Penyendirian
seorang perawi seperti di atas, bisa pada keadilan dan kedhabitannya, atau pada
tempat tinggal atau kota
tertentu. Misalnya, Hadits itu tidak diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah
kecuali si fulan. Maka si fulan berarti gharib dalam ketsiqahannya dari perawi
lainnya. Atau misalnya, Hadits itu tidak diriwayatkan oleh penduduk ahli
Madinah kecuali si fulan. Maka si fulan berarti gharib dalam meriwayatkan
Hadits tersebut.
Dilihat
dari sudut keghariban pada sanad dan pada matan, Hadits Gharib terbagi kepada
dua macam. Pertama, keghariban pada sanad dan matan secara bersama-sama,
dan kedua, keghariban pada sanad saja[15].
Yang
dimaksud dengan Gharib pada sanad dan matan secara bersama-sama adalah
Hadits Gharib yang hanya diriwayatkan oleh satu silsilah sanad dengan satu
matan Haditsnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Gharib pada sanad saja adalah
Hadits yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada
seorang rawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang
tidak populer. Periwayatan Hadits melalui sahabat yang lain seperti ini
disebut sebagai Hadits Gharib pada sanad.
Dari
pembahasan tentang Hadits Gharib tersebut, jelasnya pada Hadits Gharib
mempunyai beberapa hukum (nilai) diantaranya :
- Shahih, yaitu jika perawinya mencapai dhabith yang sempurna dan tidak ditentang oleh perawi yang lebih kuat dari padanya.
- Hasan, yaitu jika dia mendekati derajat yang di atas dan tidak ditentang oleh orang yang lebih rajah dari padanya.
- Syad, yaitu jika ditentang oleh orang yang lebih kuat dari padanya, sedang dia adalah orang kepercayaan.
- Munkar, yaitu jika ditentang oleh orang yang lebih kuat dari padanya, sedang diapun adalah orang yang lemah.
- Matruk, yaitu jika dia tertuduh dusta walaupun tidak ditentang oleh orang lain.
Oleh karena
yang demikian, terbagilah Hadits Gharib kepada tiga bagian, yaitu :
- Gharib Shahih, yaitu segala Hadits Gharib yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
- Gharib Hasan, yaitu kebanyakan Hadits Gharib yang terdapat dalam sunan at-Turmudzi
- Gharib Dha'if, yaitu kebanyakan Hadits Gharib yang terdapat dalam sunan-sunan lain dan dalam musnad-musnad[16]
Untuk
menetapkan suatu Hadits itu Gharib, hendaklah diperiksa lebih dulu pada kitab-kitab
Hadits, semisal kitab Jami' dan kitab Musnad, apakah Hadits tersebut mempunyai
sanad lain selain sanad yang dicari kegharibannya itu, atau tidak. Kalau ada
hilanglah kegharibannya.
Cara
untuk melakukan pemeriksaan terhadap Hadits yang diperkirakan Gharib dengan
maksud apakah Hadits tersebut mempunyai mutabi' atau syahid, disebut i'tibar.
Jadi yang dimaksud dengan i'tibar di sini adalah :
الإعتبار تتبُّعُ طرق الحديث من الجوامع والمساند والأجزاء
حتى يُعلم أن له متابعا أو شاهدا, أو ليس له شيئ منهما
I'tibar adalah meneliti jalan-jalan Hadits dalam
kitab-kitab Jami' Musnad dan kitab-kitab
juz untuk mengetahui apakah Hadits yang disangka fard (gharib) itu, ada
mutabi'nya atau tidak.[17]
2.2. Ketentuan umum
Hadits Ahad
Pembagian
Hadits Ahad kepada Masyhur, 'Aziz dan Gharib tidak bertentangan dengan
pembagian Hadits Ahad kepada Shahih, Hasan dan Dha'if. Sebab membagi Hadits
Ahad kepada tiga macam tersebut, bukan bertujuan langsung untuk menentukan
maqbul dan mardudnya suatu Hadits, tetapi bertujuan untuk mengetahui banyak atau
sedikitnya suatu sanad. Sedang membagi Hadits Ahad kepada Shahih, Dha'if dan
Hasan adalah bertujuan untuk menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu
Hadits.
Dengan
demikian, Hadits Masyhur, 'Aziz itu masing-masing ada yang Shahih, Hasan dan
Dha'if. Juga tidak setiap Hadits Gharib itu tentu Dha'if. Ia adakalanya Shahih,
apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat diterima dan tidak bertentangan
dengan Hadits yang lebih rajih. Hanya saja pada umumnya, Hadits Gharib itu
Dha'if, dan kalaupun ada yang Shahih, itupun hanya sedikit.
Contoh Hadits Gharib
yang Shahih adalah Hadits Ibnu Mas'ud RA :
قال رسول الله صلعم : نضّرالله عبدا سمع مقالتي فوعاها فأدّاها كما سمعها
Rasulullah SAW bersabda : Allah mencemerlangkan
seorang hamba yang mendengarkan pembicaraan-pembicaraanku, lalu dipeliharanya,
kemudian disampaikannya seperti yang diterimanya.
2.3. Kedudukan Hadits Mutawatir Dan Hadits Ahad
Hadits
Mutawatir jumlahnya banyak sekali dan sudah pasti shahih, sehingga tidak
dibahas lagi dalam ilmu isnad/musthalahul Hadits, karena ilmu Hadits membahas
siapakah perawi Hadits itu, seorang muslim, adil, dlabith ataukah tidak,
bersambung-sambung sanadnya atau tidak dan seterusnya. Hanya yang perlu dibahas
di dalam Hadits Mutawatir adalah apakah jumlah perawi yang meriwayatkan itu
sudah cukup banyak atau belum, mungkinkah yang sama memberitakan itu atau
tidak, baik berdusta dengan jalan mufakat atau karena kebetulan saja, demikian
pula keadaan yang melatar belakangi berita itu, terutama kalau bilangan perawi
itu tidak begitu banyak jumlahnya. Karena Hadits Mutawatir sudah pasti shahih,
wajib diamalkan tanpa ragu-ragu, baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun
dalam bidang amaliyah, yakni baik mengenai ubudiyah maupun mu'amalah. Dan
Hadits Mutawatir memberikan faedah qat'i (yakin), sehingga bagi orang yang
mengingkari Hadits mutawatir dihukumi keluar agama Islam dan termasuk kafir[18].
Sedangkan menurut M. Ajaj al-Khotib, bahwa Hadits Mutawatir merupakan suatu
perintah atau larangan yang harus diikuti dan diamalkan oleh setiap orang
muslim[19].
Sedangkan
Hadits Ahad memberikan faedah dhanni (diduga keras akan kebenarannya) wajib
diamalkan kalau sudah diakui akan keshahihannya dalam ilmu Hadits dan Ushul
Fiqh[20].
Para muhaqqin menetapkan bahwa Hadits Ahad yang shahih diamalkan dalam bidang
amaliah, baik masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak
di dalam bidang aqidah/keimanan, karena keimanan atau keyakinan harus
ditegakkan atas dasar atau dalil yang qat'i, sedangkan Hadits Ahad hanya
memberikan faedah dhanni. Oleh karena itu, mempercayai suatu i'tikad yang hanya
berdasarkan dalil dhanni tidak dapat dipersalahkan. Dan Hadits Ahad tidak dapat
menghapuskan hukum dari al-Qur'an, karena al-Qur'an adalah Mutawatir, demikian
pendapat imam Syafi'i. Dan menurut Ahlu al-Dhahir (pengikut madzhab ad-Dahahiri)
bahwa Hadits Ahad juga tidak boleh dipakai untuk mentakhsiskan ayat-ayat
al-Qur'an yang 'am, pendapat ini dikuti oleh sebagian ulama' pengikut Hambali.
2.4. Perbedaan Hadis Mutawatir
dengan Hadis Ahad.
a
Dari segi
jumlah rawi, hadis mutawatir diriwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya
sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil
mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan hadsi ahad diriwayatkan oleh para rawi
dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan nasih memungkinkan mereka untuk
sepakat berdusta.
b
Dari segi
pengetahuan yang dihasilkan, hadis mutawatir menghasilkan ilmu qat’i (pasti)
atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini) bahwa Hadist itu sungguh-sungguh
dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadis ahad
menghasilkan ilmu zanni(bersifat dugaan),
bahwa hadis itu berasal dari
Rasulullah SAW. Sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.
c
Dari segi
kedudukan, hadis mutawatir sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dari pada hadis ahad. Sedangkan kedudukan hadis ahad sebagai
sumber ajaran Islam berada di bawah
kedudukan hadis mutawatir.
d
Dari segi
kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadis
mutawatir mustahiol bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Qur’an,
sedangkan keterangan matan hadis ahad mungkin saja (tidak mustahil)
bertentangan dengan keterangan ayat Al-Qur’an. Bila dijumpai Hadist-hadist
dalam kelompok Hadist ahad yang keterangan matan Hadistnya bertentangan dengan keterangan
ayat Al-Qur’an, maka Hadist-hadist tersebut tidak berasal dari Rasulullah.
Mustahil Rasulullah mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang
terkandung dalam Al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hadist di tinjau dari kuantitasnya adalah dilihat dari
sanadnya yaitu ada dua yakni Hadits Mutawatir dan Hadist ahad
·
Hadits
Mutawatir yang memberikan faedah qat'i (yakin), wajib diamalkan tanpa
ragu-ragu, baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni
baik mengenai ubudiyah maupun mu'amalah.
·
Hadits Ahad
memberikan faedah dhanni wajib diamalkan, baik dalam bidang amaliah,
masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak di dalam
bidang aqidah/keimanan, karena keimanan atau keyakinan harus ditegakkan atas
dasar atau dalil yang qat'i, sedangkan Hadits Ahad hanya memberikan faedah
dhanni.
3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiaanya kami selaku
manusia biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami mengharapkan kritk maupun saran bagi kami yang
brsifat membantu agar kami tidak melakaukan kesalahan yang sama dalam
penyusunan mkalah yang akan datang .
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad
dan M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadits. Pustaka Setia: Bandung.
Ajaj al-Khotib, Muhammad.Ushulu al-Hadisi : Ulumuhu wa
Musthalahuhu. Dar al-Manarah : Jeddah, Makkah
Al-Jawaby, Muhammad Thahir. Matnul
Hadisi an-Nabawy as-Syarif. Mu'assasah al-Karim Abdullah: Tunisia.
Al-'Aththar, Abdul an-Nashir Taffiqul.Úlumus as-Sunnah wa Dusturu
al-Ummah.
Anwar, Moh, Bc Hk.1981. Ilmu
Musthalah Hadits, al-Ikhlas: Surabaya.
Ash-Shiddieqy,
M. Hasbi. 1987. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang:Jakarta.
At-Thahhan, Mahmud.Taisiiru Musthalahul Hadisi.
'Atar, Nuruddin.
1997. Manhajun al-Naqdi fi Ulumil Haditsi. Dar al-Fikr al-Mu'asir:
Beirut.
Hasan, A. Qadir. 1990. Ilmu
Mushthalah Hadits. CV Diponegoro; Bandung.
Rahman, Fatchur.
1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. PT al-Ma'arif: Bandung.
Ranuwijaya, Utang. 2001. Ilmu Hadits,
Gaya Media Pratama: Jakarta.
Soetari, Endang.
1997. Ilmu Hadits. Amal Bakti Press:Bandung.
Suparta, Munzier.
2003. Ilmu Hadits.PT Raja Grafindo Persada,:Jakarta.
[1] Muhammad Ajaj al-Khotib, Ushulu al-Hadisi : Ulumuhu wa
Musthalahuhu, Dar al-Manarah, Jeddah, Makkah, hal : 315.
[2] Utang Ranuwijaya, 2001, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama,
Jakarta, hal : 125.
[3] Fatchur Rahman, 1974, Ikhtisar Musthalahul Hadits, PT
al-Ma'arif, Bandung, hal : 79.
[4] Nuruddin 'Atar, 1997, Manhajun al-Naqdi fi Ulumil Haditsi, Dar
al-Fikr al-Mu'asir, Beirut, hal : 405.
[5] A. Qadir Hasan, 1990, Ilmu Mushthalah Hadits, CV Diponegoro,
Bandung, hal : 44.
[8] Ibid, hal : 22.
[9] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, 2000, Ulumul Hadits, Pustaka
Setia, Bandung, hal : 74.
[10] Abdul an-Nashir Taffiqul al-'Aththar, Úlumus as-Sunnah wa Dusturu
al-Ummah, hal : 197.
[12] Endang Soetari, 1997, Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung,
hal : 125.
[13] Munzier Suparta, 2003, Ilmu Hadits, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal : 116.
[14] Abdul an-Nashir Taffiqul al-'Aththar, Op-Cit, hal : 197.
[15] Utang Ranuwijaya, Op-Cit, hal : 149
[16] M. Hasbi ash-Shiddieqy, 1987, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan
Bintang, Jakarta, hal 84.
[17] Ibid, hal : 90.
[18] Moh Anwar Bc Hk, 1981, Ilmu Musthalah Hadits, al-Ikhlas,
Surabaya, hal : 31.
[19] Muhammad Ajaj al-Khotib, Op-Cit, hal : 316.
[20] Muhammad Thahir al-Jawaby, Matnul Hadisi an-Nabawy as-Syarif, Mu'assasah
al-Karim Abdullah, Tunisia, hal : 439.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar