BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber hukum
utama sesudah al-Qur’an.Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari
ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah
sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam
risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah
penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.
Kendati demikian, keberadaan
al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak
awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para
sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi
dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan
dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa
Rasulullah.
Sementara itu, perhatian terhadap
al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru
dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah
yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa
Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan
otentisitas al-Hadits.
Makalah ini mencoba untuk
menjelaskan tentang sejarah yang melatar belakangi kodifikasi Hadits.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
kedudukan Hadits serta pengharaman dan pembolehan penulisan Hadits ?
2. Bagaimanakah latar
belakang serta perkembangan kodifikasi Hadits ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui kedudukan
Hadits serta latar belakang pengharaman dan pembolehan penulisan Hadits
2.Mengetahuai latar
belakang serta perkembangan kodifikasi Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kedudukan Hadits dan Latar Belakang
Pengharaman dan Pembolehan Penulisan Hadits
Nabi Muhammad SAW, dalam
melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan
mengajarkan risalah Islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber Hadist
menjadi figure sentral yang menjadi perhatian para sahabat. Segala aktifitas
beliau seperti perkataan, perbuatan, dan segala keputusan beliau diingat dan
disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh
sahabat dapat hadir di majlis Nabi, dan tidak seluruhnya selalu menemani
beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan Hadist dari beliau berkewajiban
menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang di dengar dari Rasulullah baik
ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadist- hadist dari Rasulullah. Mereka sangat
antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi sesuai dengan sabda Beliau :[1]
“Sampaikan dari padaku walaupun
satu ayat”. (HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan At-Tarmidzi
dari Ibnu Umar).
Nabi Muhammad SAW menjadi pusat
narasumber, refrensi, dan tumpuan pertanyaan ketika mereka menghadapi suatu
masalah baik secara langsung maupun tidak langsung seperti melalui istri-istri
beliau dalam masalah-masalah keluarga dan kewanitaan, karena mereka orang-orang
yang paling mengetahui keadaan Rasul dalam masalah keluarga.
Proses terjadinya Hadist bisa jadi timbul dari
berbagai sisi, yakni :[2]
1. Terjadi
pada Nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat dan kemudian para
sahabat menyampaikan kepada sahabat yang lain.
Misalnya, suatu ketika Nabi
melewati pedagang makanan dalam karung, beliau memasukkan tangan beliau
ternyata basah, lantas beliau besabda :
“Tidaktergolong
umatku (umat yang mendapat petunjuk) manusia yang menipu”.
(HR. Ahmad).
2. Terjadi
pada sahabat atau kaum muslimin karena mengalami suatu problem masalah kemudian
bertanya kepada Rasulullah. Banyak sekali Hadist yang timbul disebabkan dari
pertanyaan sahabat, kemudian menjawab dan memberi penjelasan-penjelasan.
3. Segala
amal perbuatan dan tindakan Nabi dalam melaksanakan syari’ah Islamiyah baik
menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat, kemudian mereka
sampaikan kepada para Tabi’in.
Hadist pada waktu itu pada umumnya
hanya diingat dan dihafal oleh para sahabat tidak ditulis seperti al-Qur’an
ketika disampaikan Nabi, karena situasi yang tidak memungkinkan, beberapa
alasan diantaranya :[3]
1. Al-Qur’an
masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih sangat
sederhana, ditulis diatas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, dan
batu-batuan dan belum dibukukan. (Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar
Ash-Shidiq dan Umar bin Al-Khatab).
2. Kemampuan
tulis menulis dari para sahabat pada awal Islam masih sangat terbatas, dan
mereka sudah difungsikan sebagai penulis wahyu Al-Qur’an.
3. Ingatan
orang-orang Arab yang dikenal bersifat Ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat
dan diandalkan Rasul untuk mengingat Hadist.
Dalam sejarah penghimpunan dan
kodifikasi Hadist mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap
dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini wajar saja karena
Al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana,
dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar khalifah pertama dari Khulafa
Ar-Rasyidin sekalipun dalam penyempurnaannya dilakukan padamasa Usman bin Affan
yang disebut dengan Tulisan Ustmani (Khath ‘Ustmani). Sedangkan penulisan
Hadist pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang.Masa pembukuannya pun
terlambat sampai pada masa abad ke-2 Hijriyah dan mengalami kejayaan pada abad
ke-3 Hijriyah.[4]
Para sahabat dan Tabi’in berbeda
pendapat dalam hal menentukan hukum menulis Hadist, yaitu :[5]
a. Sebagian
dari mereka, yaitu antara lain Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bi Tsabit tidak
membolehkan mengadakan kegiatan penulisan Hadist.
b. Sebagian
lagi seperti Abdullah bin ‘Amr, Anas, Umar bin Abd Aziz dan sebagian besar
sahabat memperbolehkannya.
c. Kemudian
selanjutnya mereka sepakat memperbolehkannya, sebab seandainya hadist-hadist
tersebut tidak ditulis dalam suatu kitab niscaya akan hilang dan tidak akan
sampai kepada masa kita sekarang.
Pangkal terjadinya perbedaan
pendapat tentang hukum penulisan hadist adalah karena adanya hadist-hadist yang
ta’arudl (saling bertentangan), yakni
disatu pihak menyatakan boleh dipihak lain melarangnya.[6]
a. Hadist
yang menunjukkan larangan, yaitu Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
لاَتَكْتُبُوْا عَنّي
شَيْأً إِلاَّ الْقُرْأنَ وَمَنْ كَتَبَ عَنّي شَيأً غَيْرَ الْقُرْأنِ
فَلْيَمْحُهُ
“
Janganlah kalian menulis sesuatu dari saya kecuali Al-Qur’an, dan barang siapa
yang menulis sesuatu selain Al-Qur’an maka hapuslah “.
b. Hadist
yang menunjukkan kebolehan, yaitu Hadist yang ditakhrij oleh As-Saikhan (Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim) :
اُكْتُبُوْا لأبِي شَاةً
“
Tulislah untuk Abu Syah “
Dan masih banyak Hadist lain yang
senada, seperti Hadist yang menunjukkan pemberian izin Nabi SAW kepada Abdullah
ibn ‘Amar.
Ada beberapa pendapat tentang hasil
kompromi kedua macam Hadist yang ta’arudl
tersebut, yaitu :
v Sebagian
Ulama’ menyatakan bahwa izin menulis Hadist itu diberikan kepada otang yang dikhawatirkan lupa terhadap hadist
yang pernah diterimanya. Adapun larangan menulis ditujukan kepada orang yang
daya ingatannya dan dikhawatirkan selalu terpancang kepada hasil catatan (Khat).
v Sebagian
Ulama’ lagi menyatakan bahwa larangan tersebut timbul karena dikhawatirkan
campur aduk dengan catatan al-Qur’an, kemudian setelah kekhawatiran itu hilang
datanglah izin tersebut. Jadi, Hadist yang melarang telah di-nasakh (direvisi) oleh hadist yang
membolehkannya.
Dalam menghadapi dua Hadist
tersebut diatas yang tampaknya bertentangan, ada beberapa pendapat :[7]
1. Bahwa
Hadist yang melarang, Hadist itu ditulis (penulisan Hadist) telah dinasakh
dengan Hadist yang membolehkannya (pendapat jumhur).
2. Bahwa
Hadist yang melarang itu ditujukan kepada orang-orang yang kuat ingatannya
(hafalannya), sedang Hadist yang membolehkan ditujukan kepada orang-orang yang
tidak kuat hafalannya.
3. Bahwa
Hadist yang melarang itu berlaku bagi orang yang menulis Qur’an dan Hadist
dalam satu lembaran, karena dikuatirkan bercampur antara keduanya.
Kodifikasi hadits atau yang biasa
disebut tadwin hadits adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah
kepala Negara dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli di
bidangnya.Kodifikasi seperti ini pernah terjadi di zaman Rasululah SAW.[8]
2.2.
Latar Belakang Serta Perkembangan Kodifikasi Hadits
2.2.1
Abad
II H (Periode Penyaringan Al-Hadits Dari Fatwa-Fatwa )
Pada abad I H,
sebagian perawi mencatat Hadits, sedangkan yang lain tidak menulisnya. Dalam
meriwayatkan, mereka hanya berpegang pada ingatan dan kekuatan
hafalannya.Keadaan seperti ini berlangsung sampai pada masa pemerintahan Umar
ibn Abdul Aziz ra.[9]Masa
ini disebut masa pra kodifikasi Hadits karena belum ada perintah resmi dari
pemerintah. Walaupun ada sebagian sahabat yang menulis dan membukukannya, namun
hal itu dilakukan terbatas pada motif pribadi, seperti kitab yang ditulis oleh
Abdullah bin Umar bin Ash “ Al Shohifah al Shadiqah “ yang memuat seribu
Hadits.
Permulaan abad
ke II adalah masa penulisan dan kodifikasi Hadits yaitu kodifikasi secara resmi
berdasarkan perintah kepala Negara dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli
dibidangnya, tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan untuk
kepentingan pribadi, sebagaimana yang telah terjadi pada abad I H. Usaha ini
dimulai ketika pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (
99-102H ), khalifah ke-8 dari kekhalifahan dari Bani Umayah, melalui
instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan
Hadits dari hafalannya. Ia menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn
Amar ibn Hazm (Gubernur Madinah) agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada
Amrah binti Abdurrahman al Anshori (Murid kepercayaan Siti Aisyah). Dan Al Qasim bin Muhammad bin Abi
Bakar. Instruksi yang sama juga ia berikan kepada Muhammad bin Syihab az-Zuhri
yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui Hadits.
Motif utama khalifah Umar bin Abdul
Aziz berinisiatif demikian:
1. Kemauan
beliau yang kuat untuk tidak membiarkan
Al-hadits seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau khawatir akan hilang
dan lenyapnya al-hadits dari pendarahaanmasyarakat.
2. Kemauan
beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-hadits dari
hadits-hadits maudhu’ yang dibuat
oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongannya dan mempertahankan
madzabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhilafan Ali bin Abi
Thalib r.a.
3. Alasan
tidak terdewanya al-hadits secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan khulafaur
rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-qur’an, telah
hilang, disebabkan Al-qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah
merata di seluruh pelosok. Ia telah dihafal di otak dan diresapkan di hati
sanubari beribu-ribu orang.
4. Kalau
di zaman khulafaur rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan
antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang-orang
muslim, yang kian hari kian menjadi-menjadi, yang sekaligus berakibat
berkurangnya jumlah ulama hadits, maka pada saat itu konfrontasi tersebut
benar-benar terjadi.
5.
Disisi lain
semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in
antara satu dengan yang lain tidak sama, sehingga sangat memerlukan adanya
kodifikasi.
Beberapa ulama
Hadits yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi
sekarang diantaranya :
a) Pertama,
Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah, dengan kitabnya Al-Muwattha’. Kitab
tersebut disusun pada tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagai kitab
Tadwin pertama. Jumlah Hadits yang terdapat dalam kitab al Muwattha’ kurang
lebih 1720 buah Hadits.
b)
Kedua, kitab
Musnadu al Syafi’i. didalam kitab ini ia mencantumkan seluruh Hadits yang
bernama al-Umm, selain itu juga ada beberapa kitab lainnya seperti al-Jami’,
al-Musnad, al-Musannaf Asy Syafi’I, al-Musannaf al-Auza.
Sistem pembukuan
Hadits pada masa ini yaitu, para pengarang menghimpun semua Hadits mengenai
masalah-masalah yang sama dalam satu kitab karangan saja. Dan dalam kitab ini
Hadits masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabi’in, belum ada pemilihan
mana Hadits yang marfu’, hadist mauquf, ataupun Hadits Maqtu’, serta antara
Hadits Shohih, Hasan, dan Dho’if.
2.2.2Abad
III H (Periode Penyempurnaan dan Penegmbangan System Penyusunan Kitab Hadits)
Awal masa ini
ditandai dengan seleksi dan penyempurnaan serta pengembangan system penyusunan
kitab Hadits yaitu ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Abbasiyah,
khususnya sejak masa al Makmunsampai dengan al Muktadir (201-300 H).
Munculnya masa
seleksi inikarena pada masa pen-tadwin-an para ulama belum berhasil memisahkan
beberapa Hadits mauquf dan maqtu’ dari
hadits marfu’, memisahkan hadits dhai’if dari yang shohih, bahkan hadits
maudlu’ yang tercampur pada hadits shahih. Pada masa inilah mereka berhasil
memisahkan hadits-hadits yang masih tercampur sebagaimana disebutkan di atas.
Berkat ke uletan dan keseriusan para ulama, pada masa ini bermunculan kitab-kitab hadits yang hanya
memuathadits-hadits shahih yang dikenal dengan kutub as Sittah (Kitab induk
yang enam) yang secara lengkap kitab-kitab enam tersebut diurutkan sebagai
berikut :
1. Shahih
Bukhari susunan Imam al-Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
2. Shahih
Muslim susunan Imam Muslim (202-261 H / 817-875 M)
3. As
Sunan Abi Daud susunan Abu Daud (202-275 H/ 817-888 M)
4. As
Sunan At-Tirmidzi susunan Imam Abu Isa Muhammad At-Turmudzi (209-279 H /
824-892 M)
5. As
Sunan an Nas’I susunan Imam Nasa’I (215-303 H / 830-915 M)
6. As
Sunan Ibnu Majjah susunan Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Raba’I al
Qazwini atau Ibnu Majjah (209-273 H / 824-887 M)
Dimana
di antara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu adalah:
1. Mushannaf Said bin Manshur (227 H)
2. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (235 H)
3. Musnad
Imam Ahmad bin Hanbal (241 H)
4. Shahih Al Bukhari (251 H)
5. Shahih
Muslim (261 H)
6. Sunan
Abu Daud (273 H)
7. Sunan
Ibnu Majah (273 H)
8. Sunan
At-Tirmidzi (279 H)
9. Sunan
An-Nasa’i (303 H)
10. Al-
Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307 H)
11.
Tahdzibul Atsar
ibnu jarir Ayh-Thobari (310 H)
Setelah
munculnya kitab sittah dan muwattha’-nya Malik serta musnadnya Ahmad bin Hambal
para ulama mengalihkan perhatiannya menyusun kitab-kitab jawami’, kitab sarah
mukhtashor. Penyusunan kitabpada masa ini lebih mengarah kepada usaha
pengembangan dan beberapa variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab yang sudah
ada, diantaranya mengumpulkan isi kitab shahih Bukhari dan Muslim.[10]
Masa ini dapat
dikatakan sebagai masa keemasan dalam sejarah kodifikasi Hadits.Sebab para
ulama telah berhasil memisahkan hadits-hadits Nabi SAW dari yang bukan hadits
(fatwa sahabat dan tabi’in).
2.2.3Abad
IV-VI H (Periode Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan Hadits)
Abad ke IV-VI
adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan hadits.Pada
abad pertama, kedua, dan ketiga, hadits berturut-turut mengalami masa
periwayatan, pembukuan, dan penyaringan dari fatwa-fatwa para sahabat dan
tabi’in yang telah didewakan oleh para ulama.Ulama itu yang dikenal dengan
ulama Mutakaddimin yaitu ulama yang hidup sebelum abad ke-4 H, sedangkan ulama
yang hidup pada abad 4 H disebut dengan ulama Mutaakhirin.Mereka mempuanyai
model baru yaitu menghafal sebanyak-banyaknya hadist-hadist yang telah terdewakan
itu, sehingga mereka bisa menghafal beratus-ratus hadits.Sejak masa inilah
timbul bermacam-macam gelar keahlian seperti Al-Hakim, Al-Hafid, dan lain
sebagainya.Perbedaan antara keduanya adalah ulama mutakaddimin melakukan kegiatannya
secara mandiri.Dalam arti mereka menghimpun hadits-haditsnya tidak dengan jalan
mengutipnya dari kitab-kitab hadits yang ada sebelumnya.Tapi mereka mendengar
langsung hadits-hadits itu dari guru-gurunya dan mengadakan penelitian sendiri
tentang matan serta perowinya.Untuk itu mereka mengadakan lawatan-lawatan ke
berbagai daerah untuk mengecek kebenaran hadits-hadits yang didengarnya.
Adapun ulama
mutaakhirin pada umumnya bersandar pada karya-karya ulama mutakaddimin, dalam
arti kumpulan-kumpulan hadits mereka adalah hasil petikan atau nukilan dari
kitab-kitab mutakaddimin, oleh sebab itu dirasakan tidak perlu lagi melakukan
lawatan ke berbagai negeri untuk mencari Hadist.Semangat yang tumbuh pada masa
ini adalah semangat untuk memelihara.Jadi para ulama masa ini berlomba-lomba
untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits yang telah terkodifikasi.[11]
Selain itu ulama
masa ini berusaha memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang masih beserakan
dan memudahkan jalan-jalan pengumpulan hadits, usaha-usaha perbaikan tersebut
memunculkan beberapa kitab hadits, di antaranya adalah:[12]
v Kitab Syarh,
yang mengomentari kitab hadits tertentu. Selain itu juga muncul kitab Mustakhraj, yaitu kitab hadits yang
memuat hadits dari kitab hadits yang ada, dengan sanad sendiri yang berbeda
dengan sanad hadits rujukannya.
v Kitab Atraf
, yang menyebut hanya sebagian dari matan atau teks hadits, kemudian
menjelaskan seluruh sanad dari matan itu baik sanad dari kitab yang dikutip
maupun kitab lain.
v Kitab Mustadrak,
yang menghimpun hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhori Muslim atau salah satu dari keduanya saja.
v Kitab Jam’i,
yang menghimpun hadits-haditsyang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah
ada.
2..2.4 Abad VII–Sekarang (Periode Penghimpunan dan
Pentarjihan Hadits)
Abad VII masa pensyarahan hadits,
penghimpunan,pentarjihan serta pengeluaran riwayat (656 H dan seterusnya). Cara
penerimaan dan penyampaian hadits pada masa ini menggunakan jalan surat
menyurat dan ijazah. Para guru memberrikan izin untuk meriwayatikkan hadits.[13]Pada
masa ini jarang ditemukan ulama-ulama yang mampu menyampaikan periwayatan
hadits beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna.Yang umum adalah
mempelajari kitab-kitab hadits yang ada,mengembangkannya, membuat
pembahasan-pembahasannya atau membuat ringkasan-ringkasan hadits.[14]Pada
masa ini meskipun hadits relative sudah mapan, tetapi banyak ulama yang
melakukan ijtihad dalam menetapkan kaidah-kaidah ilmiyah ilmu
hadits.Selanjutnya sejak abad X sampai abad XIV kreatifitas ijtihad berhenti,
kegiatan yang ada hanya masalah peringkasan dan pendiskusian hal-hal yang
sifatnya harfiyah.Di antara kitab yang lahir pada masa ini adalah Al-Mahmudah Al-Baiquniyah karya Umar Ibn
Muhammad Ibn Futuhi Al-Baquni. Di antara kitab karya-karya yang muncul pada
masa itu adalah Al-Hadits Wa Al-Muhaddistun
karya Muhammad Abu Zahw, As-Sunnah Wa
Makanatuhu Fi At-Tasyri’ Islami karya Musthofa As-Siba’i.[15]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Pangkal terjadinya perbedaan
pendapat tentang hukum penulisan hadist adalah karena adanya hadist-hadist yang
ta’arudl (saling bertentangan), yakni
disatu pihak menyatakan boleh dipihak lain melarangnya.
v Hadist
yang menunjukkan larangan, yaitu Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
لاَتَكْتُبُوْا عَنّي
شَيْأً إِلاَّ الْقُرْأنَ وَمَنْ كَتَبَ عَنّي شَيأً غَيْرَ الْقُرْأنِ
فَلْيَمْحُهُ
“
Janganlah kalian menulis sesuatu dari saya kecuali Al-Qur’an, dan barang siapa
yang menulis sesuatu selain Al-Qur’an maka hapuslah “.
v Hadist
yang menunjukkan kebolehan, yaitu Hadist yang ditakhrij oleh As-Saikhan (Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim) :
اُكْتُبُوْا لأبِي شَاةً
“
Tulislah untuk Abu Syah “
Motif utama peng-kodifikasi-an Hadits Nabi :
1. Kemauan
Umar bin Abdul Aziz yang kuat untuk tidak
membiarkan Al-hadits seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau
khawatir akan hilang dan lenyapnya al-hadits dari pendarahan masyarakat.
2. Kemauan
beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-hadits dari
hadits-hadits maudhu’ yang dibuat oleh orrang-orang untuk mempertahankan
idiologi golongannya dan mempertahankan madzabnya, yang mulai tersiar sejak
awal berdirinya kekhilafan Ali bin Abi Thalib r.a
3. Alasan
tidak terdewanya al-hadits secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan khulafaur
rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-qur’an, telah
hilang, disebabkan Al-qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah
merata di seluruh pelosok. Ia telah dihafal di otak dan diresapkan di hati
sanubari beribu-ribu orang.
4. Kalau
di zaman khulafaur rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan
antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara
orang-orang muslim, yang kian hari kian menjadi-menjadi, yang sekaligus
berakibat berkurangnya jumlah ulama hadits, maka pada saat itu konfrontasi
tersebut benar-benar terjadi.
5. Disisi
lain semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabi’in
antara satu dengan yang lain tidak sama, sehingga sangat memerlukan adanya
kodifikasi.
Perkembangan kodifikasi Hadits sendiri dibagi
menjadi empat periode :
1. Abad
II H (Periode Penyaringan Al-Hadits Dari Fatwa-fatwa )
2.
Abad III H
(Periode Penyempurnaan dan Penegmbangan System Penyusunan Kitab Hadits)
3.
Abad IV-VI H (Periode Pemeliharaan, Penertiban,
Penambahan, dan Penghimpunan Hadits)
4.
Abad VII – Sekarang (Periode Penghimpunan dan
Pentarjihan Hadits)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib,M.
Ajaj. 1985. Al-mukhtashor al-wajiz fi ulum
al-Hadist. Al-Muasasah ar-risalah: Beirut
As-Siba’i,
Mustofa . 1998. As-Sunah wa Makanatuha fi
Al-Tasyri’ Al-Islami. Dar As-Salam : Cairo
Fatkhurrahman. 1970. Ikhtisar. Mustholakhul hadits. PT Al ma’arif : Bandung
Fazlurrahman. 1994. Wacana: Studi Hadits Kontemporer.
PT. Tirta Wacana:Yogyakarta
Khon,Abdul Majid.1999. Ulumul
Hadits . Pustaka Firdaus. Jakarta
Mudasir.
1999. Ilmu Hadis.Pustaka Setia : Bandung
Syuhbah,
Abu.1999, Kutubussitah, Mengenal Enam
Kitab Pokok Hadits Shahih dan Biografi Para Penulisnya.Pustaka Progresif :
Surabaya
Thahhan,
Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. UIN Press : Malang
[1]. Abdul Majid Khon.1999.Ulumul Hadits.Jakarta: Pustaka Firdaus .hal:
41-42
[2] . M. Ajaj Al-Khatib. 1985. Al-mukhtashor al-wajiz fi ulum al-Hadist.
Beirut: al-Muasasah ar-risalah .hal: 44-48
[3].Mushtofa As-Siba’i. 1998. As-Sunah wa Makanatuha fi Al-Tasyri’
Al-Islami. Cairo : Dar As-Salam hal: 66-67
[4]
. Opcit.Abdul Majid Khon. hal:
41
[5]
. Mahmud Thahhan. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang : UIN
Press. Hal :184
[6]. Ibid. Hal : 184:185
[7]. Ibid, hal: 81
[8] .Mudassir.1999.Ilmu Hadits.Bandung : Pustaka Setia . hal:96
[9] . Abu Syuhbah, 1999, Kutubussitah, Mengenal Enam Kitab Pokok
Hadits Shahih dan Biografi Para Penulisnya. Surabaya : Pustaka Progresif.
Hal : 24
[10]
. Ensiklopedi Islam
[11]
. Fatkhurrahman. 1970.
Ikhtisar. Mustholakhul hadits.Bandung
: PT Al ma’arif. Hal 58
[12]. Ensiklopedi Islam
[13].
ibid
[14]. Penyusun Ensikllopedia Islamic, loc.cit
[15]. Fazlurrahman,1994. Wacana: Studi Hadits Kontemporer. Yogyakarta:PT. Tirta Wacana. Hal
23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar