BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam beberapa
hadist Nabi (salah satu diantaranya diriwayatkan oleh Imam Thabrani) Rasulullah
SAW menerangkan bahwa umat Islam akan bergolong-golong menjadi 73 golongan.
Hanya satu golongan diantaranya yang selamat. Yaitu ahlussunnah wal jamaah.
Katika ditanya apakah ahlussunnah wal
jamaah itu? Beliau memberikan jawaban yang singkat padat, dengan rumusan : Maa Ana ‘Alaihi wa Ash-Haa-bii, yang
secara harfiah berarti, “apa yang saya berada di atasnya bersama sahabat saya”.[1]
Kiranya
tidak meleset dari kebenaran, kalau rumusan tersebut dijelaskan secara lebih
gambling, “ajaran yang bersumber dari wahyu Allah SWT, yang disampaikan oleh
Rasulullah SAW, diperagakan, diteladankan dan diamalkan oleh beliau, seta
dipahami, dihayati, ditiru dan diamalkan oleh para sahabat beliau (generasi
pertama kaum muslimin).
Islam,
agama Allah yang maha sempurna, pasti sempurna adanya. Dalam arti cukup memberi
pedoman kepada umat manusia dalam segala macam bidang, demi kebahagiaan hidup
mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Islam adalah agama untuk seluruh umat
manusia, di mana saja dan untuk sepanjang zaman, tidak hanya untuk zaman Nabi
bersama sahabatnya saja. Oleh karena itu ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah
itu bukan saja harus dilestarikan, tetapi agar dipertahankan, diamalkan dan
disebarluaskan, juga sekaligus harus dikembangkan secara benar.[2]
Dalam penerapan di
kehidupan sehari-hari masih ditemukan hal yang mulai menyimpang. Hal ini tidak
terlepas dari cara seseorang dalam mendapatkan ilmu (akidah/keyakinan) dari
sumber-sumber yang beragam. Salah satunya, masih banyak yang mengaku bahwa
kelompoknya paling benar dan betul-betul mengikuti Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah. Sedangkan selain dari kelompoknya adalah salah, bahkan dicap sebagai
calon penghuni neraka Jahannam. Namun, jika dilihat dengan cermat, maka akan
kelihatan dengan kelas bahwa sebagian dari mereka yang mengaku sebagai penganut
paham Ahlusunnah wal jamaah itu sesungguhnya masih jauh dari apa yang mereka
inginkan.
Islam merupakan agama
mayoritas di Indonesia dari masa ke masa telah mengalami perubahan sampai pada
Islam yang sekarang atau disebut juga dengan Islam Modern. Islam memiliki
beberapa paham untuk mengetahui ketauhidan Allah, salah satunya yaitu
Ahlusunnah wal jamaah. Dalam makalah ini dibahas tentang definisi akidah
Ahlusunnah wal jamaah, sejarah ahlusunnah wal jamaah, sumber ahlussunnah wal
jamaah, letak ahlussunnah wal jamaah, aliran-aliran ahlussunnah wal jamaah dan
sikap pergerakan Islam modern terhadap Ahlusunnah wal jamaah serta ke
Ahlussunnah wal jamaah-an seseorang.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah definisi Akhlak Ahli Sunnah wal
Jamaah?
2.
Bagaimana sejarah Ahlu Sunnah Wal Jamaah?
3.
Apakah sumber dari Akhlak Ahlu Sunnah
Wal Jamaah?
4.
Dimana letak Akhlak Sunnah Wal Jamaah?
5.
Apakah aliran-aliran Ahlu Sunnah Wal
Jamaah?
6.
Bagaimana sikap pergerakan islam modern
terhadap Akidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah?
7.
Bagaimana sikap ke-Ahlu Sunnah Wal
Jamaah-an seseorang?
1.3
Tujuan
1. Untuk
Mengetahui definisi Akhlak Ahli Sunnah wal Jamaah
2. Untuk
mengetahui sejarah Ahlu Sunnah Wal Jamaah
3. Untuk
mengetahui sumber dari Akhlak Ahlu Sunnah Wal Jamaah
4. Untuk
mengetahui letak Akhlak Sunnah Wal Jamaah
5. Untuk
mengetahui aliran-aliran Ahlu Sunnah Wal Jamaah
6. Untuk
mengetahui sikap pergerakan islam modern terhadap Akidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah
7. Untuk
mengetahui sikap ke-Ahlu Sunnah Wal Jamaah-an seseorang
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Akidah Ahlussunnah wal Jamaah
Secara bahasa
Aqîdah berasal dari kata ‘aqd (عقد) yang berarti mengikat dengan kuat. Ia juga
bermakna kokoh dan kuat, saling berpegangan dan saling berkaitan erat, permanen
dan utuh.[3]
Aqîdah
dalam istilah umum berarti keyakinan yang pasti dan keputusan yang final yang
tidak ada keraguan di dalam hati. Demikianlah makna aqidah dalam pengertian
yang umum, tanpa melihat kepada bentuk keyakinan yang diyakini, apakah haq
maupun batil. Disebut aqidah karena sesuatu yang diyakini itu diikat kuat di
dalam hati.
Yang
dimaksud dengan Aqidah Islam adalah keyakinan yang pasti kepada Allah, kepada
uluhiyah, rububiyah dan kepada asma’ dan sifat-sifat-Nya, beriman kepada para
malaikat, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian dan taqdir baik
maupun yang buruk, juga beriman kepada segala yang diberitakan oleh nash-nash
shahih tentang dasar-dasar agama (ushûluddîn), perkara ghaib, dan beriman
kepada apa yang telah menjadi konsensus (ijma’) as-Salaf ash-Shalih dan
berserah diri kepada Allah di dalam mematuhi hukum, perintah, taqdir dan
syari’at-Nya serta berserah diri kepada Rasul-Nya dengan merealisasikan
kepatuhan, bertahkim (berhukum) dan ber-ittiba’(mengikuti) kepadanya.
Berikut
beberapa pengertian Assunnah menurut bahasa dan istilah :[4]
1. Assunnah
menurut bahasa berarti jalan, perjalanan, juga dapat berarti kebiasaan, apakah
itu kebiasaan baik atau kebiasaan buruk
2. Assunnah
menurut istilah syara’, para ulama berbeda dalam mendefinisikannya sesuai
dengan bidang dan tingkat disiplin ilmu yang mereka miliki. Seperti yang
dikemukakan di bawah ini:
a.
Menurut ahli hadits: Semua yang dikutip
(yang diriwayatkan) dari Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
bentuk, sifat, perjalanan, atau kebiasaan, baik sebelum beliau diangkat menjadi
Rasul ataupun sesudahnya.
b.
Menurut ahli fiqh: Assunnah menurut
mereka adalah semua yang ditetapkan dari Nabi SAW berupa hukum yang tidak
termasuk dalam kelompok fardhu maupun wajib.
c.
Menurut ahli ushuluddin: Semua yang
datang dari Rasulullah SAW selain Al-Quran, yaitu berupa perkataan, perbuatan,
dan ketetapan.
Assunnah
dalam pengertian akidah Ahlusunnah wal jamaah adalah As-Sunnah yang merupakan
tuntunan atau bimbingan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para
sahabatnya, baik dalam bentuk ilmu, keyakinan, perkataan maupun dalam bentuk
perbuatan. Assunnah dalam pengertian inilah yang wajib untuk diikuti,
terpujilah bagi mereka yang mengikutinya dan tercelalah bagi mereka yang
menyalahinya.
Selain pengertian Assunnah, disini juga akan dikaji
pengertian Al-Jamaah menurut bahasa dan istilah adalah :[5]
1. Menurut
bahasa al-jama’ah berarti kelompok, kumpulan dan atau sekawan. Al-jama’ah
merupakan lawan dari bercerai-berai. Jadi, al-jama’ah adalah mereka yang
berkumpul, berkelompok (bersama) pada suatu urusan atau perbuatan.
2. Al-jama’ah
menurut istilah syara’ adalah: Kaum salaf, yaitu suatu generasi yang telah
terdahulu dari umat ini. Mereka terdiri dari generasi sahabat, tabi’in, tabi’
tabi’in serta orang-orang yang senantiasa mengikuti mereka dengan baik (ihsan) hingga datangnya Hari Kiamat.
Mereka senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW
serta pendapat sahabat yang telah mendapat petunjuk (hidayah) dari Allah SWT.
Setelah
dijelaskan pengertian Akidah, Assunnah dan Al-Jamaah dengan ringkas, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa Akidah Ahlusunnah wal jamaah adalah mereka yang
senantiasa berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah SAW, mereka berkumpul
(bersepakat) terhadap yang demikian itu. Mereka ini terdiri dari generasi
sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan para imam yang memperoleh petunjuk serta
siapa saja yang mengikuti mereka dengan cara yang baik dalam masalah akidah,
baik berupa perkataan maupun perbuatan sampai dengan datangnya Hari Kiamat.
Mereka
senantiasa istiqamah dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW serta menjauhkan
diri dari hal-hal yang berbentuk bid’ah dari segala tempat dan waktu. Merekalah
yang senantiasa mendapat pertolongan dari Allah sampai datangnya Hari Kiamat.
Tentang mereka, Rasulullah SAW telah memberikan penjelasan dalam sebuah hadits
shahih yang dapat dijadikan pegangan bagi kita kaum muslimin.
2.2
Sejarah Ahlussunnah wal Jamaah
Ketika muncul
perpecahan yang kemudian melahirkan berbagai kelompok faham keagamaan sejak
pertengahan abad pertama Hijriah dan berkembang pada abad kedua sampai abad
kelima, terdapat alur besar kaum muslimin yang mengakui peran para sahabat Nabi
termasuk Khulafaraurasydin sebagai
mata rantai pemahaman keagamaan dan generasi berikutnya para tabi’in dan salaf yang saleh mengikuti
mereka. Sementara itu terdapat kelompok aliran, antara lain golongan mu’tazilah, yang pada umumnya bersikap
apriori terhadap mereka. Pernyataan dengan sendirinya tidak menutup mata adanya
keragaman dan tingkat apriori itu.[6]
Ada
tiga pihak yang berselisih ketika itu yaitu golongan Muhajirin dan Ansar, dan
didalam golongan yang pertama terdapat ahl
al-bait, kerabat Nabi, yang menghendaki ‘Ali ibn Abi Talib sebagai
pengganti Nabi. Dua yang pertama sepakat menunjuk Abu Bakar meskipun pemimpin
Ansar yang semula diusulkan yaitu Sa’ad ibn ‘Ubadah tetap tidak setuju Atas
pengangkatan Abu Bakar dan akhirnya mengasinkan diri ke Syiria. Sementara itu
pihak ahl al-bait menghendaki’Ali
namun tidak memperoleh dukungan kaum muslimin yang lebih dahulu telah menunjuk
Abu Bakar. Benih dari ketidak puasan atas penyelesaian persoalan ini
tetap terpendam untuk pada akhirnya menjadi salah satu faktor penting yang
menimbulkan malapetaka besar (al-finah
al-kubra) dengan korban dua orang khalifah yaitu ‘Usman ibn affan dan ‘Ali
ibn abi talib.
Dari
sinilah kemudian pecah konflik yang besar dan pertumpahan darah yang
berkepanjangan. ‘Ali dan para pendukungnya menuduh ‘Usman melakukan politik
nepotism yang mengutamakan kerabat sendiri. Ketika kemudian ‘Usman terbunuh
kerabatnya antara lain Mu’awiyah ibn Abi Sufyan menuntut ‘Ali bertanggung jawab
atas kematian itu. Namun kebanyakan kaum muslimin dan elite sahabat setuju
mengangkat ‘Ali sebagai pengganti ‘Usman dengan pertimbangan obyektif mengenai
kecakapan, integritas dan orang yang paling awal masuk Islam selain karena
sejak semula ada kecenderunganyang kuat untuk menerima jabatan itu dari kerabat
Nabi sendiri. Akan tetapi sejumlah sahabat antara lain Mu’awiyah, Talhah dan
Zubair diikuti para pendukung mereka menyatakan tidak bersedia bai’ah sebelum ‘Ali mempertanggungjawabkan
kematian ‘Usman. Setelah kemudian ‘Ali wafat terbunuh maka Mu’awayah menyatakan
kekuasaannya sebagai khalifah dan memerintah dengan tangan besi terhadap siapa
saja yang tidak menyetujuinya. Selanjutnya Mu’awiyah mewariskan kekuasaan itu
kepada keturunannya berturut-turut selama satu abad. Salah satu keturunan ‘Abas
berkoalisi dengan keturunan ‘Ali menumbangkan kekuasaan itu dan memerintah
selama kurang lebih lima abad selanjutnya dan keturunan Mu’awiyah yang
tersingkir membangun kekuasaan baru di Spanyol.
Mengiringi rentetan konflik soal khalifah pengganti Nabi Muhammad antara
bani Hasyim dimana pihak ‘Ali dan ‘Abbas berasal dengan bani Ummayah asal nenek
moyang ‘Usman dan Mu’awiyah – setelah khalifah ‘Umar tutup hayat- timbul
rentetan konflik lain yang menyangkut sendi-sendi utama keagamaan dan muncul
kelompok-kelompok dengan pendukung mereka masing-masing. Kelompok pendukung
‘Ali yang kelak dikenal dengan nama Syi’ah
(pengikut) berkembang menjadi kelompok yang sangat fanatik. Mereka berpendirian
bahwa tiga orang khalifah pendahulu ‘Ali sejatinya merampas hak ‘Ali. Mu’awiyah
dan kawan-kawan seta bani ‘Abbas dipandang sama dengan para khalifah itu. Sementara
itu akibat tahki’m dalam
pemberontakan Siffi’n antar pihak
‘Ali dan Mu’awiyah muncul kelompol khawarij
yang tidak setuju. Mereka menganggap tahki’m
yang melanggar hukum Tuhan, sebab Mu’awiyah jelas melakukan pemberontakan karena
itu harus ditumpas. Selanjutnya kaum khawarij
menyatakan kedua belah pihak salah, melanggar hukum Tuhan. Orang yang melanggar
hukum Tuhan berarti melakukan dosa besar, kedudukannya kafir. Dalam pada itu
muncul pihak ketiga yaitu murji’ah yang tidak sependapat dengan mereka. Pihak khawarij mengafirkan ali dan usman dan
mereka yang terlibat tahkim,
sementara syiah mengafirkan tiga orang khalifah pendahulu ali, dan keduanya
menghujat bani umayyyah yang berkuasa. Sebaliknya bani umayyah yang berkuasa
menumpas mereka sebagai pelaku ‘kebathila’. Golongan murjiah menyatakan bahwa
ketiga pihak itu tetap mukmin. Mungkin sebagaian mereka salah dan sebagian
mereka benar, namun siapa yang salah dan yang benar tidak dietahui, karena itu
mereka menyerahkan keputusan kepada Allah. Golongan mu’tajilah yang muncul
belakangan pada mulanya tidak berlatar politik, bagaikan pendekar yang mengutamakan
pendekatan rasional berusaha mengatasi kritis yang terjadi, dan mereka berhasi
menarik simpati sejumlah khalifah abbasiyah bersandar kepada kekuasaan itu
mereka bukan saja menjadi pemersatu dari perselisihan yang terjadi, tetapi
sebaliknya menjadi mala petaka. Fanatisme berpendapat yang berlebihan akhirnya
menjadi boomerang bagi siapa saja yang tidak setuju dengan pendapat-pendapat
mu’tajilah.[7]
Imam
Asy’ari mengemukakan ada 10 golongan yang berselisih dan berbeda pendapat namun
mereka terpecah-pecah lagi menjadi beberapa cabang, ada yang sampai 15,20 atau
24 cabang pecahan. Al Baghdadi berusaha melacak jumlah 73 firqoh yang
diisyratkan Nabi Muhamad dalam salah satu hadistnya dan mencoba menjelaskan
firqoh yang benar yaitu yang mengikuti ‘aku dan para sahabatku’, namun trnyata
jumlahnya kurang lebih 100 firqoh kemudian digolong-golongkan satu sama lain
akhirnya menjadi 73. Belum termasuk firqoh lain yang digolongkan menyimpang
dari islam walaupun mereka sendiri.
Pola
pemahaman keagamaan yang merujuk pada sunnah nabi dan sahabat untuk memahami
sumber pokok ajaran islam Al-Qur’an sebenarnya telah dirintis oleh para sahabat
sendiri. Ketika terjadi fitnah pada akhir jaman khulafaur rosyidin sejumlah
sahabat antara lain Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dll menghindarkan diri
dari konflik itu dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan. Dari kegiatan
mereka inilah kemudian lahir sekelompok ilmuan sahabat yang kemudian mewariskan
tradisi keilmuan itu kepada generasi berikutnya para tabi’in. Selanjutnya kemudian
lahir para muhadisun atau ahli hadist, ulama fiqih dan tafsir. Mereka menulis
selain dalam idang keahlian masing-masing juga menulis ilmu kalam yang
menyanggah pendapat-endapat yang mengabaikan sunnah nabi dan sahabat dalam
menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an mengenai soal-soal pokok agama. Imam
Abu Hanifah (767 M) menulis Al-Fiqh Al Akbar yang menyangah pandangan Jahmiyah
dan Qodariah; Imam Syafi’I (820 M) menulis judul yang sama dengan pendahulunya;
Imam Ahmad Ibnu Hambali (855 M) menulis buku
Al-Radd Ala Al-Zanadikah wa Al-Jahmiyah; Imam Bukhori (870 M) menulis buku
kitab khalq af’al Al-Ibad wa A Radd A’la
Al jahmiyah wa Ashab ta’til dll.[8]
Golongan yang mengikuti pola ini dikenal
dengan nama ahlussunah wal jamaah atau ahlussunnah. Imam Asyari kadang-kadang
mengungkapkan dengan sebutan ahluassunnah
wal istiqomah. Dari segi nama menurut jamal muhamad musa mempunyai dua
pengertian. Pertama, sunnah berarti metode yang mengikuti metode para sahabat
dan thabi’in serta salaf dalam memahami ayat-ayat mutasabihat. Dengan
menyerahkan sepenuhnya yat tersebut kepada Allah sendiri, tidak mereka-reka
menurut daya manusia semata-mata. Kedua, sunnah berarati hadist nabi Muhammad meyakini kebenaran hadist shoheh
sebagai dasar keagamaan. Rangkaian kata sunnah dengan jamaah menjadi ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang ditulis dalam bahasa Indonesia
ahlussunnah waljama’ah memberi arti bahwa dasar keagamaan yang dianut bersumber
kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi dan sunnah para sahabat atau lazim dengan
ungkapan ijma’ sahabat Nabi setelah
Nabi Muhammad wafat, Khususnya zaman Khulafa
rasyidun.
Pola
dasar pemahaman keagamaan yang demikian ini berbeda dengan golongan khawarij, syi’ah atau mu’tazilah. Mereka umumnya menekankan
interpretasi rasional dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat dan mengabaikan hadis Nabi Muhammad maupun tradisi
sahabat Nabi. Imam Asy’ari dalam Maqalat
al-Islamiyyin mengemukakan bahwa rujukan ahlussunnah waljamaah untuk
memahami ayat-ayat Al-Qur’an berpedoman pada hadis Nabi menurut riwayat para
sahabatnya dalam hal ini termasuk ‘Ali ibn Abi Thalib yang memperoleh
penghargaan luar biasa kalangan syi’ah sebagai imam yang paling agung. Tidak
kurang banyaknya jalur sanad hadis
Nabi dalam lingkungan ahlussunnah waljamaah melalui mata rantai orang-orang
syi’ah. Imam Malik antara lain meriwayatkan hadis dari Abu Zar dan Ja’far
al-Sadiq (salah seorang imam syi’ah). Akhirnya patut dikemukakan pendapat Ibn
Taymiyyah tetang mazhab ahlussunnah waljamaah;[9]
Mazhab
ahlussunnah waljamaah merupakan mazhab yang telah lama. Disebutkan Abu Hanifah,
Syafi.i, Malik dan Ahmad ibn Hambali (pengikut mazhab ini). Mazhab tersebut
merupakan mazhab sahabat yang mereka terima dari Nabi mereka. Siapa yang
menyimpang dari mazhab tersebut dia pembid’ah, menurut fahan ahlussunah
waljamaah. Mereka sepakat bahwa Ijma’ sahabat sebagai hujjah, dan mereka
berselisih faham tentang Ijma’ sesudah mereka
.
Umumnya
mazhab ahlussunah waljamaah, setidaknya di Indonesia, dikaitkan dengan
mazhab-mazhab fikih Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad ibn Hambal. Mengingat
soal fikih menyangkut kebutuhan keseharian masyratkat dalam pelaksanaan ibadah
dan mu’amalah maka wajar bila mazhab
ahlussunnah waljamaah lebih sering terkait dengan mazhab fikih tersebut. Selain
itu keempat imam mazhab fikih tersebut dengan tegas menyatakan pendiriannya
sebagai golongan ahlussunnah waljamaah yang menentang pendapat-pendapat aliran mu’tazilah dan qadariyah maupun jahmiyah.
2.3
Sumber Ahlussunnah wal Jamaah
Ahlusunnah wal jamaah
sangat besar perhatiannya terhadap masalah akidah. Karena, mereka mempunyai manhaj (metode) dalam membawa umat ini
kepada jalan yang haq dengan sumber yang jelas dan selamat dari kesesatan. Di
kalangan Ahlusunnah wal jamaah telah masyhur dan telah menjadi kesepakatan
bahwa dalam ushuluddin (pokok-pokok
agama), ilmu, hukum, dan akhlaq berdasarkan kepada:[10]
1. Al-Quran
Bagi Ahlusunnah wal jamaah,
Al-Quran merupakan sumber utama dalam segala hal yang meliputi: aqidah, ibadah,
muamalah, akhlaq, dan konsepsi. Mereka meyakini bahwa Al-Quran adalah firman
Allah yang merupakan sebaik-baik perkataan. Mereka menempatkan firman Allah di
atas segala perkataan manusia dari golongan manapun.
Ayat Al-Quran bila ditinjau dari
sisi jenisnya, maka terbagi kepada dua: muhkamat
dan mutasyabihat.
a. Muhkamat
Adalah ayat-ayat yang telah jelas
arti dan telah jelas pula maksud dan tujuannya. Baik dengan ayat itu sendiri
atau dengan keterangan dari ayat lain. Seperti ayat-ayat yang berbicara tentang
akidah dan hukum. Misalnya surat Al-Ikhlas dan surat Al-Kafirun, yang
beribacara tentang akidah, atau surat Al-Maidah ayat 6 yang berbicara masalah
hukum wudhu’, tayamum, mandi janabah, dan lain-lain.
b. Mutasyabihat
Ayat-ayat mutasyabihat adalah
ayat-ayat yang belum (tidak) jelas artinya, dan belum (tidak) jelas pula maksud
dan tujuannya. Baik ayat itu sendiri atau dengan keterangan ayat
lainnya.seperti huruf-huruf yang terdapat di awal-awal surat. Misalnya, ﻂﻪ dan atau
ayat-ayat yang bercerita tentang masalah-masalah yang ghaib.
2. As-sunnah
Dalam keyakinan Ahlusunnah wal
jamaah, As-Sunnah mendapat tempat yang sangat terhormat dan sangat mulia, ia
menempati urutan kedua sebagai petunjuk bagi umat setelah kitab suci Al-Quran.
Ketinggian dan kemuliaannya, dapat dilihat dari berbagai ketetapan hukum dalam
syariat Islam yang mulia ini. Para ulama salaf telah menyebutkan paling tidak
ada tiga macam fungsi As-Sunnah dalam syariat Islam, yaitu:
a. Sebagai
penafsir (penjelasan) bagi Al-Quran
b. Sebagai
penambah hukum yang sudah ada dalam Al-Quran
c. Sebagai
pembuat hukum baru
3. Al-ijma’
Menurut bahasa ijma’ berarti
kesepakatan, seperti kaum muslimin telah ijma’ atas suatu masalah, artinya
bahwa mereka telah bersepakat atas masalah tersebut. Maksudnya bahwa Allah
tidak akan pernah menjadikan umat ini bersepakat dalam suatu kesesatan.
Bagi Ahlusunnnah wal jamaah, ijma’
merupakan dasar ketiga setelah Al-Quran dan hadits Rasulullah SAW yang shahih.
Tentang kehujjahan ijma’ ini dalam ajaran dan keyakinan Islam adalah:
a. Yang
bersumber dari Al-Quran
b. Yang
bersumber dari Sunnah Rasulullah SAW
c. Tindakan
khalifah Abu Bakar As-Shiddiq dalam kasus memerangi orang-orang yang tidak mau
membayar zakat
2.4
Letak Ahlussunnah wal Jamaah
Prinsip utama yang membedakan Ahli Sunnah wal Jamaah dengan
golongan lain adalah komitmen mereka terhadap sunnah Rasulullah saw dan jamaah
sahabat yang diridlai Allah SWT. Hal inilah yang membentuk pandangan umum yang
dapat digunakan untuk mengenali mereka. Selain itu prinsip tersebut merupakan
isyarat yang menunjukkan sikap moderat mereka yang membedakannya dengan
golongan kelompok dan aliran yang menyimpang. Ahli Sunnah wal Jamaah
mempersatukan ad-din melalui ilmu dan amalan lahir dan batin[11].
Ahli Sunnah wal Jamaah mempersatukan ad-din secara
keseluruhan melalui ilmu amalan lahir dan batin dengan selalu berpegang kepada
kemurnian Islam yang dibawa Nabi saw dan dipelihara oleh para sahabat. Yang
menjadi faktor penyebab kesatuan dan kerukunan adalah menyatukan ad-Din dan
mengamalkan ajarannya secara menyeluruh dalam rangka ibadah kepada Allah semata
tiada menyekutukan-Nya dengan apa pun sebagaimana yang diperintahkan-Nya baik
lahir maupun batin. Sedangkan faktor penyebab perpecahan tidak lain adalah
meninggalkan sebagian dari apa-apa yang diperintahkan-Nya dan berbuat
kezhaliman di antara mereka. Al-Jamaah akan membuahkan rahmat dan kebahagiaan
dunia-akhirat serta berserinya wajah . Sedangkan al-Firqah akan mendatangkan
siksa dan laknat-Nya membuat hitam dan muram wajah di samping menjauhnya
Rasulullah dari mereka.
Hal ini jelas merupakan daya bahwa ijma adalah hujjah yang
qath’i. Karena jika mereka berhimpun dan sama-sama mentaati Allah tentulah
mereka akan mendapatkan rahmat-Nya. Oleh sebab itu tidak akan ada ketaatan
kepada Allah dan tidak akan pula kedatangan rahmat-Nya bila mereka melakukan
perbuatan yang tidak diperintah oleh-Nya baik dalam hal keyakinan perkataan
ataupun perbuatan. Artinya jika perkataan atau amalan yang mereka himpun tidak
berdasarkan perintahAllah tentulah tidak akan lahir ketaatan kepada-Nya dan
tidak ada sebab yang mendatangkan rahmat-Nya.
Ahli Sunnah wal Jamaah adalah golongan tengah lagi lurus di
antara berbagai kelompok umat antara melebihkan dan mengabaikan. Mereka berada
di tengah-tengah kelompok umat sebagaimana keberadaannya di tengah-tengah
berbagai aliran dan agama. jalan lurus ini adalah Dinul Islam yang bersih sebagaimana
termaktub dalam Kitabullah. Jalan yang lurus adalah Ahli Sunnah Waijama’ah karena
sunnah mahdiah adalah Dinul Islam yang mumi. Hal ini telah banyak disebutkan
dalam hadits Nabi dalam berbagai versi yang diriwayatkan oleh para Ahli Sunnah
dan para Musnad seperti Imam Ahmad Abu Daud Turmudzi dan lainnya bahwa Nabi saw
bersabda “Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan sernuanya masuk neraka
kecuali satu. yaitu al-jarnaah.”
Dan dalam riwayat lain dikatakan “Mereka adalah
orana-orana yang menempuh jalan seperti yang aku tempuh hari ini dan para
sahabatku.” Golongan yang selamat adalah Ahli Sunnah karena mereka berada
di tengah-tengah berbagai aliran sebagaimana halnya Islam sendiri berada di
tengah-tengah antara berbagai agama. Demikian pula dalam semua perkara sunnah
mereka mengambil jalan tengah sebab mereka berpegang teguh kepada Kitabullah
sunnah Rasul serta ijma para sabiqun awwalun dari kaum Muhajirin dan Anshar
beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka berada di
tengah-tengah di antara flrqah-firqah umat sebagaimana halnya umat Islam itu
sendiri adalah pertengahan di antara umat-umat yang lain. Oleh karena itu
mereka bersikap moderat dalam masalah sifat-sifat Allah antara golongan ta’thil
dari golongan Jahmiyah dengan golongan ahli tamsil dari golongan Musyabbihah.
Mereka juga bersikap moderat dalam masalah af’al Allah antara faham Qadariyah dengan
Jabariyah. Demikian pula dalam masalah janji dan ancaman antara Murji’ah dengan
Wa’idiyah dari golongan Qadariyah lainnya. Mereka juga bersikap moderat dalam
masalah istilah-istilah iman dan ad-Din antara golongan Huririyah dengan
Mu’tazilah serta antara Murji’ah dengan Jahmiyah; dan dalam soal para sahabat
Rasul antara Rafidlah dengan Khawarij. [12]
Ahli Sunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang berpegang
teguh kepada Al-Qur’an Sunnah dan ijma’. Merekalah orang-orang yang taat
mengikuti ad-Din yang datang dari Rasulullah bukan din yang berasal dari
filsufdan ahli kalam. Orang-orang yang menghimpun tiga hal utama yang merupakan
sumber kebaikan akan mendapat pahala dari Rabb mereka selamat dari hukuman-Nya
tiada takut terhadap apa yang ada di hadapan mereka serta tidak merasa cemas
dan sedih terhadap apa yang mereka tinggalkan . Tiga hal itu ialah mengimani
penciptaaan dan kebangkitan awal penciptaan dan tempat kembalinya; beriman
kepada Allah dan hari akhir; beramal shaleh .
Ahli Sunnah wal Jamaah adalah asal-muasal dalam umat
Muhammad. Mereka juga merupakan penerus tabi’at alami dan benar bagi pemeluk
agama ini sebagaimana halnya millah Muhammad saw menjadi penerus alami dan
benar bagi millah-millah para nabi pendahulunya. Oleh karena itu jika ada
golongan lain di luar Ahli Sunnah wal Jamaah maka asing bagi millah ini dan
dianggap sebagai golongan minoritas yang menyimpang dan jalan yang asli dan
benar. Hadits-hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Daud Turmudzi Nasa’i dan
lainnya -yang sering disebut sebelum ini dengan lafazh yang berbeda-beda
menyebutkan tentang golongan yang selamat dan masuk surga atau golongan
mayoritas yang disebut dengan al-jamaah. Pemberian predikat golongan yang
selamat ini dikarenakan mereka termasuk Ahli Sunnah wal Jamaah kelompok
mayoritas terbesar. Adapun golongan lainnya termasuk golongan menyimpang
berpecah-belah bid’ah dan mengikuti hawa nafsu. Karena golongan-golongan
tersebut senantiasa memisah-misahkan kitabullah snnah dan ijma. Maka barang
siapa berkata berdasarkan kitabullah sunnah dan ijma mereka termasuk Ahli
Sunnah wal Jamaah. [13]
2.5
Aliran-aliran Ahlus sunnah wal Jamaah
Aliran
Ahlussunnah wal jamaah terbagi menjadi dua yaitu:[14]
A.
Al-Asy’ari
1. Riwayat singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-asy’ari
adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al- Al-Asy’ari. Menurut
beberapa riwayat, Al-Ary’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika
berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke Baghdad dan wafat di sana pada tahun
324 H/935 M.
Pada mulanya ia adalah
murid Al-Jubba’I dan salah seorang yang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah
sehingga menurut Al-Hussain Ibnu Muhammad Al-Askari, Al-Jubba’i berani
mempercayakan perdebatan dengan lawan kepada Al-Asy’ari. Al-Asy’ari menganut
faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan
di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham
Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.
Menurut Ibn Asakir,
yang melatarbelakangi Al-Asya’ri meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan
Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak tiga kali,
yaitu pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya
itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan
membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau. Sebab lain bahwa Al-Asy’ari
berdebat dengan gurunya Al-Jubba’i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat
menjawab tantangan murid
2. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran
Al-Asy’ari secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi
ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya,
pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas
menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak
dapat dihindarinya.
Pemikiran-pemikiran
Al-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut :[15]
a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Al-Asy’ari dihadapkan
pada pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah
mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan
sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak, ia
berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah
tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy
tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara
alegoris.
Menghadapi dua kelompok
itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu,
seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara
harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidah dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri,
tetapi sejauh menyangkut realitasnya tidak terpisah dari esensi-Nya, dengan
demikian tidak berbeda dengan-Nya.
b. Kebebasan dalam Berkehendak
Al-Asy’ari membedakan
antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan
manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah
lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
Demikian pula, yang menciptakan iman bukanlah orang mukmin yang tak sanggup
membuat iman tidak bersifat tidak berat dan sulit, tetapi Tuhanlah yang
menciptakannya dan Tuhan memang menghendaki supaya iman bersifat berat dan
sulit.
c. Akal dan Wahyu
Walaupun Al-Asy’ari dan
orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda
dalammenghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan
wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
d. Qadimnya Al-Qur’an
Dalam rangka
mendamaikan pandangan Mu’tazilah dengan pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriyah
yang bertentangan, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas
kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanya tidak qadim.
e. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah, yang
menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah
bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang
mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa
Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan
ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau
bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f. Keadilan
Al-Asy’ari seterusnya
menentang paham keadilan Tuhan yang di bawa kaum Mu’tazilah. Menurut
pendapatnya Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada suatu pun yang wajib bagi-Nya.
Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke
dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh
manusia ke dalam neraka tidaklah Ia bersifat zalim. Dengan demikian ia juga
tidak setuju dengan ajaran Mu’tazilah tentang al-wa’d wa al-Wa’id.
g. Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak
ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Bagi Al-Asy’ari orang yang
berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar
yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Sekiranya orang berdosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau
iman. Oleh karena itu tidak pula mungkin bahwa orang berdosa besar bukan mukmin
atau pula tidak kafir.
B.
Al-Maturidi
1. Riwayat singkat Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturudi
dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah
Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar
pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Ia adalah
pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan
paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang
ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal
dengan nama Al-Maturidiah.
Karir pendidikan Al-Maturidi
lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini
dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi
yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai
dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara.
2. Doktrin-doktrin Teologi
Al-Maturidiyah
Sebagai pengikut Abu
Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaanya, Al-Maturidi
banyak pula memakai akal dalam system teologinya. Oleh karena itu antara
teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh Al-Asy’ari terdapat perbedaan,
sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah.[16]
a. Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran
teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini,
sama dengan Al-Asy’ari, namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar
daripada yang diberikan oleh Al’Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi,
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal.
Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat
Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan
pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai
kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan
memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan
akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan
kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut
Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
b. Sifat Tuhan
Berkaitan dengan
masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dan
Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti
sama, basher dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang
sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan
sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan
bukan pula lain dari esensi-Nya.
Tampaknya faham
Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah.
Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya
sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
c. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan
bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara
lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih
lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata,
karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak
di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak
sama dengan keadaan di dunia.
d. Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi,
tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak
Tuhan dan tidak ada yang memaksa dan membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena
ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena
itu, Tuhan tidak wajib berbuat ash-shalah
wa al-ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan
yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia
tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya.
e. Pengutusan Rasul
Pandangan Al-Maturidi,
akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban dari syariat
yang dibebankan kepada manusia. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber
informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia
telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
f. Pelaku Dosa Besar
Al-Maturidi berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka
walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini Karena Tuhan telah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam
neraka adalah balasan untuk orang yang berbuatdosa syirik. Dengan demikian, berbuat
dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam
neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah
menjadikan seseorang kafir atau murtad.
2.5
Sikap Pergerakan Islam Indonesia terhadap Ahlussunnah wal Jamaah
Istilah
Ahlussunnah wal jamaah pada saat ini memang sering kali dipahami dengan cara
yang kurang tepat oleh sebagian umat Islam. Padahal istilah Ahlussunnah wal
jamaah adalah istilah yang telah disebutkan sejak masa Rasulullah SAW sebagai
golongan yang selamat dalam aqidahnya. Sebagaimana kita dapatkan dalam hadits
beliau:[17]
Dari Muawiyah
bin Abi Sufyan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Umat sebelummu dari ahli kitab terpecah menjadi 72 millah (aliran).
Dan agama ini (Islam) terpecah menjadi 73. 72 diantaranya di neraka dan satu di
surga. Yaitu Al-Jamaah.” (HR Abu Daud)
Istilah ahlisunnah wal jamaah
digunakan oleh Rasulullah SAW untuk menyebutkan semua umat Islam yang secara
aqidah berpegang teguh kepada apa yang beliau ajarkan (sunnah) serta yang
diajarkan oleh para sahabat beliau (jamaah). Jadi apapun nama organisasi atau
partainya, asalkan pemahaman aqidahnya sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW
(yang diajarkan beliau) dan jamaah (apa yang diajarkan oleh para shahabat
beliau), maka mereka semua adalah ahlus sunnah wal jamaah.
Maka nama-nama pergerakan ialam
modern seperti Muhammadiyah, Persis, Ahmadiyah, LDII, Islam Jamaat, Khurij, NU
dan ribuan nama lainnya bisa dikatakan sebagai ahlussunnah wal jamaah manakala
mereka memiliki prinsip aqidah yang seusai dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Sebaliknya, bila mereka mengajarkan aqidah
yang menyimpang dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para
shahabatnya, maka pada titik penyimpangan itu mereka bukanlah bagian dari ahlussunnah
wal jamaah. Misalnya, bila ada di antara jutaan organisasi itu yang mengingkari
Allah SWT sebagai tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya, atau mengingkari
kenabian Muhammad, atau mengatakan adanya nabi sepeninggal beliau, atau
mengingkari kebenaran Al-Quran dan hadits, atau mengingkari adanya hari kiamat,
atau mengingkari keberadaan surga dan neraka, qadha dan qadar serta apa-apa
yang Allah SWT tegaskan dalam kitab-Nya, maka itu adalah penyimpangan aqidah.
Sedangkan di dalam aqidah umat Islam
yang ahli sunnah wal jamaah ini, mungkin saja ada perbedaan teknis dalam
masalah tata cara ibadah. Perbedaan ini sangat logis, wajar dan mungkin
terjadi. Bahkan sudah terjadi sejak nabi Muhammad SAW masih hidup di antara
para shahabatnya. Untuk itu lalu para ulama membuat metologi dalam memahami
nash Quran dan Sunnah serta membuatkan ‘jalan’ bagi mereka yang ingin
mendapatkan kesimpulan hukum dari sumber-sumber ajaran Islam itu. Jalan inilah
yang kita sebut dengan mazhab fiqih. Adapaun bila metodologi yang berkembang
berbeda-beda, adalah hal yang amat wajar sekali. Karena memang syariat Islam
memberikan ruang untuk berijtihad di dalamnya. [18]
Di antara contohnya adalah adanya
perbedaan dalam masalah hukum qunut dalam shalat shubuh, jumlah bilangan rakaat
tarawih, bacaan ushalli, zikir dengan suara keras dan berjamaah serta
lain-lainnya. Semua itu adalah perbedaan yang bersifat fiqhiyah, bukan dalam
hal aqidah. Jadi mereka yang berbeda pendapat dalam masalah itu sebenarnya
tetap sama-sama termasuk bagian dari ahli sunnah wal jamaah juga. Sedangkan
yang dianggap keluar dari aqidah ahli sunnah misalnya bila punya pandangan
bahwa semua agama sama, atau bahwa pemeluk agama selain Islam juga bisa masuk
surga, atau pandangan bahwa hukum Islam itu tidak wajib diterapkan, memisahkan
antara agama dengan kehidupan dunia dan pemikiran sesat lainnya. Semua ini
termasuk paham sesat yang bisa mengeluarkan seseorang dari barisan ahli sunnah
wal jamaah.
Sebenarnya perlu disayangkan bahwa
di Indonesia sendiri sempat terjadi perdebatan yang cukup serius mengenai ahli
sunnah wal jamaah. Hal ini terjadi pada orang-orang NU yang mengklaim
dirinyalah Ahlus Sunnah, karena mereka menggariskan akidahnya mengikuti Asy’ari
dan Maturidi. Mereka menganggap Muhammadiyah bukan Ahlus Sunnah karena tidak
mengikuti kedua mazhab tersebut. Sebaliknya, Muhammadiyah pernah menganggap
orang-orang NU sebagai ahl al-bid‘ah, dan karenanya tidak layak disebut Ahlus
Sunnah; yang layak disebut Ahlus Sunnah hanya orang-orang Muhammadiyah. Klaim
seperti ini terjadi, karena masing-masing membangun klaim dengan pijakan dan
paradigma yang berbeda. Satu pihak menganggap Ahlus Sunnah sebagai mazhab
tertentu sehingga siapa saja yang tidak mengikuti mazhab tersebut dianggap
bukan Ahlus Sunnah. Pihak lain
menganggap Ahlus Sunnah bukan sebagai mazhab tertentu, tetapi sebagai tuntunan
Nabi saw. yang harus diikuti, sehingga siapa saja yang menyimpang dari tuntunan
tersebut disebut ahl al-bid‘ah, bukan Ahlus Sunnah. Dengan kata lain, Ahlus
Sunnah menurut Muhammadiyah adalah istilah umum, bukan khusus untuk mazhab
tertentu. Sebaliknya, menurut NU, Ahlus Sunnah adalah istilah khas, yang
merujuk pada mazhab tertentu.[19]
Dalam teori usul fikih, istilah
tersebut bisa dikategorikan sebagai haqîqah ‘urfiyyah (makna hakiki menurut
konvensi). Ada yang khâshash, atau konvensi tertentu, seperti konvensi Ahli
Kalam, sehingga istilah tersebut disebut haqîqah ‘urfiyyah khâshah ‘inda
al-mutakallimîn. Namun, ada juga yang bersifat ‘âmmah, atau konvensi umum,
sehingga bisa disebut haqîqah ‘urfiyyah ‘âmmah. Nah, dalam kasus NU dan
Muhammadiyah, bisa disimpulkan, bahwa NU menggunakan istilah tersebut dalam
konteks haqîqah ‘urfiyyah khâshah, sementara Muhammadiyah menggunakannya dalam
konteks haqîqah ‘urfiyyah ‘âmmah.
Karena NU adalah organisasi pergerakan
islam modern yang paling menjunjung tinggi ahlu sunnah maka akan kami paparkan
beberapa dasar kejadian ini.
Bagi NU memberlakukan ajaran Islam
menurut aliran ahlussunnah wal jamaah
tidak terlepas dari pengakuan terhadap ajaran keempat mazhab Islam (Hanafi,
Maliki, Syafi’I dan Hambali) dan peranan bimbingan para ulama. Hal ini
ditegaskan oleh Hasyim Asyari perumus pengertian ahlussunnah wal jamaah, seperti yang dirumuskannya dalam Muktamar
III (1928)- yang kemudian menjadi
Muqadimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (Pembukaan Dasar Nahdlatul Ulama);[20]
Hai para ulama dan pemimpin yang
takut kepada Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah dan pengikut mazhab
imam empat! Kalian sudah manuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup
sebelum kalian, begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya
sampai pada kalian; dan kalian harus meliat pada siapa kalian mencari atau
menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan caranya menuntut ilmu pengetahuan
sedemikian itu, maka kalian akan menjadi pemegang kuncunya, bahkan menjadi
pintu-pintu gerbang ilmu agam Islam. Oleh karena itu janganlah memasuki suatu
rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuli suatu rumah tidak
melalui pintunya maka pencurilah namanya.
Pengertian
ahlussunnah wal jamaah menjadi
berkembang, ia merupakan penegasan kaum tradisional menanggapi gerakan
pembaharuan bahwa memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Qur’an dan
Hadis tapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama mazhab, hadis (sunnah) dan akhirnya pada sumber Qur’an itu
sendiri. Itulah sebabnya pengertian Ahlussunnah
wal jamaah bagi NU adalah “ para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma’
ulama,” NU tidak menentang ijithad
(penalaran) tapi memikirkanya dalam konteks bagaimana suatu ijtihad dimengerti
oleh umat. “ Para kyai berpendapat bahwa Qur’an dan Hadis disampaikan kepada
kaum muslimin dalam bahasa yang tidak mudah dipahami dan penuh simbolisme yang
dapat lebih mudah dimengerti melalui tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh para
imam dan ulama-ulama terpilih “. Dengan kata lain para ulama memikirkan
bagaimana ajaran Islam dapat dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh
umat. Dengan demikian NU telah mengembangkan sebuah metodologi tersendiri dalam
mengembangkan ajaran Islam. Dalam pengakuannya terhadap keberadaan mazhab dan
tradisi (kebiasaan-kebiasaan sebelumnya), NU tidak akan mudah jatuh kepada
sikap fundamentalis karena mempunyai banyak rujukan untuk memberikan fatwanya.
Dengan menerima keempat mazhab NU menjadi golongan yang berpengaruh kuat; ia
mampu menghimpun berbagai tradisi dan potensi.
2.6
Ke-Ahlussunnah Wal Jamaah-an Seseorang
Ke-ahlussunnah
wal jamaah-an seseorang, tidak selalu identik dengan keanggotaannya pada suatu
organisasi tertentu. Memang ada beberapa organisasi Islam yang menegaskan dirinya mengikuti paham
Ahlussunnah wal jamaah , tetapi hal itu tidak bahwa yang tidak masuk organisasi
itu kemudian dapat dengan otomatis dicap sebagai bukan Ahlussunnah wal jamaah.
Sebaliknya tidak semua yang masuk ke dalam organisasi itu, otomatis menjadi
seorang ahlussunnah wal jammah seratus persen baik.[21]
Memasuki
organisasi yang mengikuti ahlussunnah wal jamaah , hendaknya dilakukan dengan
niat untuk berusaha bersama-sama di dalam organisasi itu untuk memelihara diri
dan meningkatkan diri sebagai seorang ahlussunnah wal jamaah yang semakin baik,
dengan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan yang sesuai dengan ahlussunnah
wal jamaah.
Kadar
dan nilai ke-Ahlussunnah wal jamaah-an seseorang itu naik turun sesuai dengan
kemantapan pemahaman, penghayatan dan
pangamalannya. Makin sesuai dengan Ahlussunnah wal jamaah, makin tinggi kadar
dan nilainya sebagai seorang Ahlussunnah wal jamaah.
Iman
seseorangpun dapat naik turun, sesuai dengan kemantapan keyakinan terhadap
Allah, Rasul dan kebenaran semau ajaran Islam serta (sekaligus pengamalan)
sesuai dengan keyakinan itu.
Kewajiban
kita adalah selalu berusaha meningkatkan diri menjadi mukmin (orang beriman)
yang lebih baik dari kemarin dan menjadi seorang Ahlussunnah Waljamaah yang
semakin baik dari hari kemarin. Untuk itu diperlukan ilmu tambahan yang dapat
memperkuat penghayatan dan pengamalan ajaran Islam. Dalam hal ini, organisasi
yang tegas mengikuti ahlussunnah wal jamaah akan besar pengaruhnya, baik untuk
meningkatkan diri maupaun untuk pengembangan Islam ahlusssunnah wal jamaah.
Karena
sikap dasar tasawufnya, seseorang ahlussunnah Waljamaah, juga organisasi
Ahlussunnah Waljamaah, seharusnya dapat bergaul, berkomunikasi dan bekerja sama
denga banyak pihak. Semestinya seorang Ahlussunnah Waljamaah bersikap luwes
dalam penampilan, meskipun ulet dan tidak mengorbankan pendirian. Organisasi
yang berpaham Ahlussunnah Waljamaah , terutama pemimpinnya harus menyadari hal
ini. Pada dasarnya, paham Ahlussunnah Waljamaah lebih mudah diterima oleh semua
pihak, tidak seperti;[22]
1. Kaum
Khawarij, yang terlalu anarkis, berlebih-lebihan menentang semua pihak
2. Kaum
Syi’ah yang terlalu emosionalis, berlebih-lebihan mengikuti persaan cinta yang
berlebihan kepada sahabat Ali bin Abu Thalib.
3. Kaum
Mu’tazilah, yang terlalu rasionalis, berlebih-lebihan dalam
4. Menggunakan
akal pikiran, melebihi dalil wahyu.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Akidah
Ahlusunnah wal jamaah adalah mereka yang senantiasa berpegang teguh kepada
sunnah Rasulullah SAW, mereka berkumpul (bersepakat) terhadap yang demikian
itu. Mereka ini terdiri dari generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan para
imam yang memperoleh petunjuk serta siapa saja yang mengikuti mereka dengan
cara yang baik dalam masalah akidah, baik berupa perkataan maupun perbuatan
sampai dengan datangnya Hari Kiamat.
Sejarah
Ahlussunnah muncul ketika perpecahan yang kemudian melahirkan berbagai kelompok
faham keagamaan sejak pertengahan abad pertama Hijriah dan berkembang pada abad
kedua sampai abad kelima, terdapat alur besar kaum muslimin yang mengakui peran
para sahabat Nabi termasuk Khulafaraurasydin
sebagai mata rantai pemahaman keagamaan dan generasi berikutnya para tabi’in dan salaf yang saleh mengikuti
mereka. Sementara itu terdapat kelompok aliran, antara lain golongan mu’tazilah, yang pada umumnya bersikap
apriori terhadap mereka. Pernyataan dengan sendirinya tidak menutup mata adanya
keragaman dan tingkat apriori itu.
Ahlusunnah
wal jamaah sangat besar perhatiannya terhadap masalah akidah. Karena, mereka
mempunyai manhaj (metode) dalam
membawa umat ini kepada jalan yang haq dengan sumber yang jelas dan selamat
dari kesesatan. Di kalangan Ahlusunnah wal jamaah telah masyhur dan telah
menjadi kesepakatan bahwa dalam ushuluddin
(pokok-pokok agama), ilmu, hukum, dan akhlaq berdasarkan kepada Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Ijma.
Prinsip utama yang membedakan Ahli Sunnah wal Jamaah dengan
golongan lain adalah komitmen mereka terhadap sunnah Rasulullah saw dan jamaah
sahabat yang diridlai Allah SWT. Hal inilah yang membentuk pandangan umum yang
dapat digunakan untuk mengenali mereka. Selain itu prinsip tersebut merupakan
isyarat yang menunjukkan sikap moderat mereka yang membedakannya dengan
golongan kelompok dan aliran yang menyimpang. Ahli Sunnah wal Jamaah
mempersatukan ad-din melalui ilmu dan amalan lahir dan batin.
Aliran-aliran
ahlusunnah wal jamaah dibagi menjadi dua yaitu Al-Asyari dan Al-Maturidi.
Istilah ahlisunnah wal jamaah
digunakan oleh Rasulullah SAW untuk menyebutkan semua umat Islam yang secara
aqidah berpegang teguh kepada apa yang beliau ajarkan (sunnah) serta yang
diajarkan oleh para sahabat beliau (jamaah). Jadi apapun nama organisasi atau
partainya, asalkan pemahaman aqidahnya sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW
(yang diajarkan beliau) dan jamaah (apa yang diajarkan oleh para shahabat
beliau), maka mereka semua adalah ahlus sunnah wal jamaah.
Maka nama-nama pergerakan ialam
modern seperti Muhammadiyah, Persis, Ahmadiyah, LDII, Islam Jamaat, Khurij, NU
dan ribuan nama lainnya bisa dikatakan sebagai ahlussunnah wal jamaah manakala
mereka memiliki prinsip aqidah yang seusai dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Sebaliknya, bila mereka mengajarkan aqidah
yang menyimpang dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para
shahabatnya, maka pada titik penyimpangan itu mereka bukanlah bagian dari
ahlussunnah wal jamaah. Misalnya, bila ada di antara jutaan organisasi itu yang
mengingkari Allah SWT sebagai tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya, atau
mengingkari kenabian Muhammad, atau mengatakan adanya nabi sepeninggal beliau,
atau mengingkari kebenaran Al-Quran dan hadits, atau mengingkari adanya hari
kiamat, atau mengingkari keberadaan surga dan neraka, qadha dan qadar serta
apa-apa yang Allah SWT tegaskan dalam kitab-Nya, maka itu adalah penyimpangan
aqidah.
Sedangkan di dalam aqidah umat Islam
yang ahli sunnah wal jamaah ini, mungkin saja ada perbedaan teknis dalam
masalah tata cara ibadah. Perbedaan ini sangat logis, wajar dan mungkin
terjadi. Bahkan sudah terjadi sejak nabi Muhammad SAW masih hidup di antara
para shahabatnya. Untuk itu lalu para ulama membuat metologi dalam memahami
nash Quran dan Sunnah serta membuatkan ‘jalan’ bagi mereka yang ingin
mendapatkan kesimpulan hukum dari sumber-sumber ajaran Islam itu. Jalan inilah
yang kita sebut dengan mazhab fiqih. Adapaun bila metodologi yang berkembang
berbeda-beda, adalah hal yang amat wajar sekali. Karena memang syariat Islam
memberikan ruang untuk berijtihad di dalamnya.
Kewajiban
kita adalah selalu berusaha meningkatkan diri menjadi mukmin (orang beriman)
yang lebih baik dari kemarin dan menjadi seorang Ahlussunnah Waljamaah yang
semakin baik dari hari kemarin. Untuk itu diperlukan ilmu tambahan yang dapat
memperkuat penghayatan dan pengamalan ajaran Islam. Dalam hal ini, organisasi
yang tegas mengikuti ahlussunnah wal jamaah akan besar pengaruhnya, baik untuk
meningkatkan diri maupaun untuk pengembangan Islam ahlusssunnah wal jamaah.
Karena
sikap dasar tasawufnya, seseorang ahlussunnah Waljamaah, juga organisasi
Ahlussunnah Waljamaah, seharusnya dapat bergaul, berkomunikasi dan bekerja sama
denga banyak pihak. Semestinya seorang Ahlussunnah Waljamaah bersikap luwes
dalam penampilan, meskipun ulet dan tidak mengorbankan pendirian. Organisasi
yang berpaham Ahlussunnah Waljamaah , terutama pemimpinnya harus menyadari hal
ini. Pada dasarnya, paham Ahlussunnah Waljamaah lebih mudah diterima oleh semua
pihak.
3.2
Saran dan Kritik
Selalu
berusaha untuk menjadi seorang Ahlussunnah Wal Jamaah yang semakin hari semakin
baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Adurrahman,
Hafidz. 2010. Siapakah Ahlussunnah?.
Http//www.Hizbut _Tahrir_ Indonesia.org (Diakses 20 Oktober 2010)
Al-Aql, Kariem. 2009. Studi Kritis Tentang Akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Sikap Pergerakan Islam Modern Terhadapnya. Http:/www.alsofwah.or.id (Diakses 20 Oktober 2010)
Haidar, Ali.
1998. Nahdatul Ulama dan Islam di
Indonesia. Jakarta : Gramedia
Irfan,
Riyan. 2009. Siapa Sebenarnya Ahli Sunnah
Waljamaah?. Http//www.Denciel178.blogspot.org. id (Diakses 20 Oktober 2010)
Magfur,
Muhamad. 2002. Koreksi Atas Kesalahan
Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Bangil : Al-Izzah
Muzadi, Muchith.
1994. NU dan Fiqh Kontekstual.
Jakarta: LKPSM
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam: aliran-aliran
, sejarah analisa perbandingan.
Jakarta :UIP
Ramli,Idrus M. 2009. Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah
Wal-Jama’ah? jawaban Terhadap Aliran
Salafi.Jakarta:Khalista
Rozak, Abdul.
2000. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka
Setia
Sitompul,
Martahan. 1989. Nahdlayul Ulama dan Pancasil. Jakarta: Pustaka sinar Harapan
Ubaidah,
Darwis Abu. 2008. Panduan Akidah Ahlu
Sunnah wal Jamaah. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar
[1] Muzadi, Muchith. 1994. NU dan Fiqh Kontekstual. Jakarta: LKPSM
[2] Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: aliran-aliran , sejarah
analisa perbandingan. Jakarta :UIP
[3] Al-Aql, Kariem. 2009. Studi Kritis Tentang Akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Sikap Pergerakan Islam Modern Terhadapnya. Http:/www.alsofwah.or.id (Diakses 20 Oktober 2010)
[4] Ubaidah, Darwis Abu. 2008. Panduan Akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
[5] Ubaidah, Darwis Abu. 2008. Panduan Akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
[6] Haidar, Ali. 1998. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia.
Jakarta : Gramedia
[7] Ibid, Lihat hal 66
[8] Ibid, Lihat Hal 68
[9] Muzadi, Muchith. 1994. NU dan Fiqh Kontekstual. Jakarta: LKPSM
[10] Ubaidah, Darwis Abu. 2008. Panduan Akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
[11] Ramli,Idrus
M. 2009. Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah
Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi.Jakarta:Khalista
[12] Ibid. Lihat hal 173
[13] Ibid. Lihat hal 180
[14] Magfur, Muhamad. 2002. Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan
Filsafat Islam. Bangil : Al-Izzah
[15] Rozak, Abdul. 2000. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia
[17] Irfan, Riyan. 2009. Siapa Sebenarnya Ahli Sunnah Waljamaah?.
Http//www.Denciel178.blogspot.org. id (Diakses 20 Oktober 2010)
[18] Irfan, Riyan. 2009. Siapa Sebenarnya Ahli Sunnah Waljamaah?.
Http//www.Denciel178.blogspot.org. id (Diakses 20 Oktober 2010)
[19] Adurrahman, Hafidz. 2010.
Siapakah Ahlussunnah?. Http//www.Hizbut _Tahrir_ Indonesia.org (Diakses 20
Oktober 2010)
[20] Sitompul, Martahan. 1889. Nahdlayul Ulama dan Pancasila.Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan
[21] Muzadi, Muchith. 1994. NU dan Fiqh Kontekstual. Jakarta: LKPSM
[22] Ibid. Lihat hal 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar