Minggu, 06 Mei 2012

Akal dan Wahyu


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Teologi sebagai ilmu membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya pikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan manusia di kakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan; dan Tuhan berdiri dengan belas-kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kemahakuasaan Tuhan, menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui Nabi-nabi dan Rasul-rasul.
Teologi dalam agama islam disebut juga ‘ilmu al-Tauhid yang artinya satu atau esa. Sehingga dalam ilmu teologi sendiri membahas tentang sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya teologi dalam agama islam disebut ‘ilm al-Kalam yang artinya kata-kata. Akan tetapi yang dimaksud disini adalah berupa kalam-kalam Allah SWT yang berupa al-Qur’an. Dari modal istilah tersebut dapat kita simpulkan bahwa yang dinamakan teologi dalam pandangan agama islam yaitu suatu ilmu yang membahas tentang sifat-sifat yang berhubungan dengan keesaan Allah SWT yang dihubungkan dengan kalam Allah SWT yang berupa al-Qur’an atau bahkan disangkut pautkan tentang masalah kauniyah, yang berupa penciptaannya yang ada di muka bumi ini.
Kalau kita selidiki buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama adalah soal mengetahui Tuhan dan masalah kedua adalah soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah Arab disebut husul ma’rifah Allah dan wujud ma’rifah Allah. Kedua cabang dari masalah kedua ialah: mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifah al-husn wa al-qubh dan wujub i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih, yang juga disebut al-tahsin wa al-taqbih (Nasution. H. 1986: 82).
Semua aliran teologi dalam islam baik asy’ariyah maturidiyah apalagi mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul di kalangan umat Islam perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan derajat dalam kekuatan yang diberikan kepada akal, kalau mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy’ariyah sebaliknya akal mempunyai daya yang lemah.
Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari Baginda Rasulullah SAW.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu, dalam hal ini yang terdapat pada aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam intrpretasi. Mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah, sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang akal dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum Islam atau fiqih.
Oleh karena itu, dalam penjelasan makalah yang kami buat ini kami mencoba untuk mengupas permasalahan mengenai “Perbandingan Antara Akal dan Wahyu Menurut Menurut Berbagi Aliran Teologi Islam Klasik”.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apakah pengertian wakyu dan akal secara umum?
1.2.2        Bagaimanakah konsep wahyu dan akal menurut berbagai aliran (Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah)?
1.3  Tujuan
1.3.1        Untuk mengetahui pengertian wahyu dan akal secara umum.
1.3.2        Untuk mengetahui konsep wahyu dan akal menurut berbagai aliran (Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah).


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Wahyu dan Akal
Dikatakan “wahaitu ilaihi” atau “auhaitu” bila kita berbicara kepada seseorang agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan anggota badan (Syaikh Abu Isma’il Ash-Shabuni (373H – 449 H)(Nasution,1919:89).
Al-wahyu adalah kata masdar/infinitif, dan materi kata itu menunjukkan dua dasar, yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, maka dikatakan bahwa wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus diberikan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi, kadang-kadang juga bahwa yang dimaksudkan adalah al-muha, yaitu penger tian isim maf’ul yang diwahyukan (Syaikh Abu Isma’il Ash-Shabuni (373H – 449 H) (Nasution, 1919:89).

2.1.1        Pengertian wahyu dalam arti bahasa
Menurut bahasa (lughah), kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy yang memiliki beberapa arti, di antaranya; suara, tulisan isyarat, bisikan, paham dan juga api. Ttp ada juga yang mengartikan bisikan  yang tersembunyi dan cepat (Syaikh Abu Isma’il Ash-Shabuni (373H – 449 H)).
Sedang wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syar’i mereka definisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu Al Muha (yang diwahyukan). Ustad Muhammad Abduh (1849M-1905M) mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid adalah pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali(Hanafi,1980:59) .
Dengan demikian, pengertian wahyu secara etimologis  adalah : penyampaian sabda tuhan kepada manusia piihan-nya tanpa diketahui orang lain, agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pegangan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak (Syaikh Abu Isma’il Ash-Shabuni (373H – 449 H) (Hanafi, 1980: 59).

2.1.2        Pengertian Wahyu Secara Istilah
Pemberitahuan Allah SWT kepada hambanya yang terpilih mengenai segala sesuatu yang ia kehendaki untuk dikemukakannya, baik berupa petunjuk atau ilmu, namun penyampaiannya secara rahasia dan tersembunyi serta tidak terjadi pada manusia biasa(Hanafi,1980: 60).

2.1.3        Pengertian Akal
Akal adalah merupakan modal yang dimiliki manusia yang tidak dimiliki oleh hewan serta tumbuhan yang berfungsi untuk berfikir, merenung,serta aktifitas abstrak lainnya(Hanafi, 1987:98).
Akal menjembatani manusia untuk mengenal Tuhan-Nya. Kadang untuk mengenal Tuhan manusia memerlukan suatu proses yang disebut pengalaman Spiritual. Pengalaman Spiritual biasanya bersifat meyakinkan akal maupun hati itu sendiri(Hanafi,1987: 98).
Adapun kekuatan akal antara lain :
v  Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
v  Mengetahui adanya hidup akhirat.
v  Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
v  Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
v  Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
v  Membuat hukum-hukum mengnai kwajiban-kwajiban itu.
Dan kekuatan wahyu antara lain :
v  Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
v  Membuat suatu keyakinan pada diri manusia
v  Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
v  Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.

2.2  Perbandingan Akal dan Wahyu Menurut Sistem Teologi Islam Klasik
2.2.1 Syi’ah
Syiah adalah mazhab tertua dalam islam, Aliran ini muncul sebagai suatu gerakan politik di akhir masa pemerintahan Ustman bin Affan ra, kemudian tumbuh subur dan berkembang pada masa pemerintahan kholifah Ali bin Abi Thalib ra. Perkembangannya yang demikian pesat berkat sosok Ali bin Abi Tholib ra, yang membuat kagum umumnya masyarakat muslim saat itu dengan banyak manusia, semakin tampak keagungan, kecerdasan dan pengetahuannya dalam permasalahan agama. Hal ini membuat sebagian kalangan semakin merasa takjub dengan pribadi yang bersahaja, kemudian mereka mulai menyebar-luaskan ketakjuban itu pada masyarakat secara luas (Zahrah, 2007:148).
Ketika tiba masa Dinasti Umayyah, banyak kedzaliman yang menimpa kalangan keturunan Ali ra. Mereka sering kali diperlakukan tidak semestinya oleh kalangan Bani Umayyah. Kesewenangan-wenangan yang menimpa Alawiyah itu membuat mereka mendapat simpati yang besar dari masyarakat, mulai itulah aliran Syi’ah mulai resmi dan mempunyai banyak pengikut (Zahrah, 2007:149).
Aliran ini memiliki beberapa pojok pemikiran yang dapat dikatakan sebagai ciri mereka di hadapan aliran yang lainnya, diantaranya adalah (Zahrah, 2007:149):
1.        Mereka berpendapat bahwa masalah kepemimpinan negara bukanlah masalah kemaslahatan umum yang diserahkan kepada masyarakat muslim. Orang-orang yang mempunyai hak untuk memimpin masyarakat muslim telah ditunjuk dan ditentukan langsung oleh Allah SWT. Bahkan permasalahan ini merupakna salah satu pokok ajaran islam. Dimana Nabi SAW mempunyai kewajiban untuk menentukan orang-orang yang akan menjadi pengganti beliau yang bersifat ma’sum.
2.        Imam Ali bin Abi Ttholib ra. adalah pemimpin yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW untuk menjadi khalifah setelahnya. Beliau adalah orang yang paling utama dan paling mulia diantara para sahabat Rasul yang lain. Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa Syi’ah bukanlah satu-satunya kelompok yang menyatakan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib ra. adalah orang yang paling utama  dan paling mulia diantara para sahabat. Sebagaimana kalangan Bani Umayyah juga ada yang mengakui keutamaan Imam Ali ra. Melebihi para sahabat lain diantaranya adalah Kalid bin Sa’id ibn al-‘Ash dan Umar bin Abdul Aziz.
Kelompok Syi’ah berlebihan dalam mengagungkan sosok Imam Ali ra. Yang mana mereka sampai menganggap bahwa beliau telah mencapai derajat kenabian. Mereka menganggap bahwa kenabian sebenarnya merupakan hak Imam Ali ra. Dan Jibril telah berbuat kesalahan dengan memberikan wahyu kepada Muhammad SAW. Bahkan ada kelompok Syi’ah yang menganggap Imam Ali ra. Adalah Tuhan, sebagian lagi menganggap bahwa Tuhan menitis ke dalam diri Imam Ali ra. serta kepada Imam yang lain yang menjadi keturunannya. Pendapat ini sama dengan pendapat pendapat kalangan Nasrani tentang unsur keturunan dalan diri Nabi Isa sa. Ada juga yang berpendapat bahwa unsur ketuhanan berpindah dari satu Imam ke Imam yang lain (Zahrah, 2007:152).
Kelompok Syiah sendiri terdiri dalam beberapa kelompok yang mana masing-masing kelompok memiliki dasar-dasar sendiri, diantaranya:
1.      Syiah Rafidah.
Kalangan Syiah Rafidhah telah sepakat bahwasanya Imam terakhir tidaklah wafat, Imam tersebut masih hidup dengan kehidupan yang lain. Imam terakhir tersebut akan kembali dan memenuhi bumi dengan keadilan, setelah sebelunya bumi diliputi oleh aneka kegelapan dan perilaku buruk (Zahrah, 2007:152).
2.      Syiah Saba’iyah
Kalangan Syiah Saba’iyah berpendapat bahwa Muhammad bin al-Hanafiyah masih hidup (Zahrah, 2007:152). Mereka adalah pengikut Abdullah bin Saba’ aslinya adalah orang Yahudi dari al-Hirrah. Ia menyatakan masuk islam dan ibunya bernama Sauda. Oleh karena itu Abdullah bin Saba’ juga diberi gelar Ibnu Sauda’. Abdullah bin Saba’ adalah seorang yang sangat menentang pemerintahan Utsman bin Affan ra. Sedikit demi sedikit Abdullah bin Saba’ memasukkan dan menyemaikan pemikiran-pemikirannya terutama mengenai sosok Imam Ali ra (Zahrah, 2007:156).
Yang pertama kali digembar-gemborkannya kepada kaum Muslim adalah pernyataan Taurat bahwa setiap Nabi pasti memiliki seorang yang diberi wasiat. Menurutnya, Imam Ali ra adalah seorang yang diberi wasiat, dan Nabi Muhammad SAW adalah sebaik-baik Nabi. Kemudian juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW akan kembali lagi kedalam kehidupan dunia (Zahrah, 2007:156).
3.      Syiah Istna Asy’ariyah
Kalangan Syiah Istna Asy’ariyah menyatakan bahwa Imam mereka yang kedua belas, yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Askari yang deberi gelar al-Mahdi, masuk ke dalam godaan menghilang bersama ibundanya. Imam Mahdi ini kan keluar lagi di akhir zaman dan memenuhi bumi dengan keadilan. Kalangan ini selalu menunggu kedatangan Imam yang kedua belas tersebut selepas sholat maghrib di tempat dimana beliau dinyatakan menghilang. Mereka menyediakan kendaraan, melantunkan dan memanggil-manggil namanya agar Imam tersebut keluar. Hal ini mereka lakukan sampai bintang-bintang dilangit bermunculan (Zahrah, 2007:152). 
2.2.2 Khawarij
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bahwa kaum Khawarij sebenarnya adalah pengikut-pengikut Ali ibn Abi Tholib. Mereka meninggalkan Ali ibn Abi Thalib karena tidak setuju dengan sikap Ali ibn Abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan dalam perang sifin. Ciri yang menonjol dari aliran ini ialah watak yang ekstrimis dalam memutuskan persoalan-persoalan Kalam. Mereka berpegang teguh pada ayat 44 surat al-Maidah yang artinya “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apapun yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir”.
Semua pelaku dosa besar menurut semua golongan dari sekte Khawarij kecuali an-Nadjah adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Golongan yang lebih ekstirm yaitu al-Azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir yaitu musrik. Mereka memandang musrik bagi siapa saja yang thdak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status dari keimanannya menjadi kafir millah (agama) dan berarti ia telah keluar dari islam, mereka kekal di neraka bersama-sama orang kafir lainya.
2.2.3        Murjiah
Aliran Murjiah membuat kesepakatan bahwa sumber ajaran islam yang utama adalah Al quran dan As sunnah ,sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami alquran dan as sunnah, sesuai dengan agama islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT. Adapun pengertian alquran dari segi istilah dapat dikemukakan dari berbagai pendapat berikut ini:
Manna ‘al qaththan, secara rngkas mengutip pendapat para ulama pada umumnya mengatakan bahwa alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.sedangkan pengertian Alquran secara lebih lengkap dikemukakan oleh Abdul Wahab Akhallaf, menurutnya Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada hait Rasulullah, Muhammad bin Abdul, melalui jibril dengan menggunakan lafal bahasa arab dan maknanya yang benar.agar ia menjadi hujjah bagi rasul bahwa ia benar-benar rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia ,memeberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya.
Selanjutnya Alquran juga berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus, itulah sebabnya ketika umat islam berselisih dalam segal` urusannya hendaknya ia berhakim kepada Alquran. Sedangkan menurut bahasa As sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk.
Sementara itu jumhurul ulama atau kebanyakan para ulama akui hadist mengartikan As sunnah, Al hadist, Al khabar, dan Al atsar sama saja yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Pengertian ini didasarkan pada pandangan mereka terhadap nabi sebagai suri tauladan yang baik bagi manusia.
2.2.4        Jabariyah
Ketika Qadariyah berasumsi bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya, dan mengkultuskan akal dalam menentukan kebenaran, maka Jabariyah berasumsi sebaliknya. Menurutnya manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terkait pada kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan segala perbuatannya telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan. Penganut paham ini senantiasa akan mengatakan bahwa pendidikan tidak perlu diadakan inovasi, bahkan percuma. Karena paham ini menganggap baik buruknya nasib manusia telah ditetapkan oleh Tuhan.
Menurut pandangan Jabariyah konsep pendidikan Islam yang ada pada zaman dahulu yang telah dipraktekkan oleh ulama-ulama terdahulu sudah cukup, karena pada dasarnya pendidikan itu tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan manusia, sebab baik buruknya nasib seseorang telah ditentukan oleh Allah. Manusia tidak perlu ada ikhtiar, karena apapun akhirnya tergantung pada Tuhan. Akhirnya semua factor-faktor pendidikan yang tersebut di atas, tidak perlu adanya reformasi dan reorientasi.
2.2.5        Qodariyah
Dengan pemikiran-pemikiran yang cerdas, sebenarnya kebebasan itu adalah sifat yang dimiliki manusia yang perlu ditumbuh kembangkan. Sebab dengan kebebasan itu manusia menjadi kreatif dan inovatif. Hanya saja kebebasan itu jangan kebablasan atau berlebih-lebihan. Padahal sesungguhnya kebebasan dalam dunia Islam ditopang oleh akal yang sehat dan didukung oleh wahyu. Aliran ini memberikan kemerdekaan atau kebebasan manusia untuk berbuat. Tapi harus diyakini kebebasan yang dianutnya tetap berbeda dalam koridor wahyu. Karena aliran Qadariyah memiliki alasan-alasan berpijak sesuai ayat-ayat al-Quran. Sekiranya ulama Islam dan umat Islam pada zaman klasik itu hanya berorientasi akhirat saja, tanpa berorientasi dunia, dan memakai filsafat fatalisme atau jabariyah, bukan filsafat qadariyah dan dengan pahamnya tentang manusia yang bebas.
Telah dimaklumi bersama bahwa aliran Qadariyah berpegang teguh pada anggapan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kekuasaan penuh dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurutnya pula manusia mempunyai kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya sehingga dengan demikian manusia terpaksa tunduk pada Qadar dan kadar Tuhan, atau yang biasa disebut dengan free will dan free act  yang muncul kemudian, yang sangat mendukung argumen-argumen Qadariyah, yang mana manusia dalam menentukan kehidupnya segala dapat diperoleh melalui kebenaran akal, sehingga aliran ini biasa dengan disebut aliran rasionalisme yakni aliran yang mengkultuskan kemampuan akal dalam menetapkan kebenaran.
 Sifat rasional dari pada manusia ini melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Bahwa dengan rasionya manusia dapat memiliki dan mencapai kebebasan dari berbagai belenggu yang dapat menurunkan derajat atau martabatnya seperti kebodohan, keragu-raguan. Dengan senjata yang bersifat rasional manusia dapat menghilangkan belenggu atau rintangan yang dihadapi, maka ia lalu merdeka.


2.2.6        Mu’tazilah
Mu’tazilah menyandarkan pengambilan atau penarikan kesimpulan untuk aqidah-aqidah mereka kepada akal, dan pengaruhnya adalah mereka menghukumi baik buruknya sesuatu sesuai akal mereka.
Karena mereka bersandar pada akal maka mereka menta’wilkan sifat-sifat Allah SWT dengan yang sesuai akal mereka secara keseluruhan, seperti sifat Istiwa’, Yad, Ain, Mahabbah, Ridho, dan telah maklum bahwa muktazilah itu menafikan semua sifat, bukan kebanyakannya. Karena bersandar kepada akal pula mereka berani mencela dan menghinakan para Kibaru Sahabat, dan menuduh mereka berdusta. Washil bin atho’ menuduh / mendakwa salah satu dari dua kubu pada perang jamal adalah golongan fasik, baik kubu Ali bin Abi Thalib, Amar bin Yashir, Hasan, Husain, dan Abu Ayub Al Anshari, begitu pula kubu Aisyah dan Zubair, serta menolak kesaksian seluruh sahabat tersebut dan berkata: “لا تقبل شهادتهم”
Sebab dari kaum Mu’tazilah berselisih sendiri diantara mereka dan bertambahnya jumlah kelompok dari mereka adalah penyandaran mereka terhadap akal dan penolakan mereka terhadap nash-nash yang shohih dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Para ulama’ Islam ketika masa mereka, mereka menyalahkan pendapat Mu’tazilah, diantara mereka adalah Abu Hasan Al Asyari yang merupakan bekas Mu’tazilah yang kemudian keluar dari Mu’tazilah, begitu pula Imam Ahmad bin Hambal yang disiksa dengan besi panas kepada tubuhnya lantaran tidak mau mengakui kalau Al Quran adalah makhluk.
Perlakuan kelompok Mu’tazilah kepada para ahli fikih inilah yang menyebabkan mereka mendapat perlawanan keras dari umat Islam. Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata: “Menurutku hukuman yang tepat bagi seorang ahlul kalam (Mu’tazilah) adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan sandal dihadapan orang banyak yang berasal dari berbagai macam kabilah.” Kemudian dikatakan kepadanya: “Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan kitab Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW, serta menyibukkan dirinya untuk membicarakan kalam Allah SWT.” Imam Ahmad juga pernah berkata: “Ulama’-ulama’ ahlul kalam adalah orang-orang yang Zindiq (Ateis).

2.2.7        Asy’ariyah
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazillah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi mereka berbeda dalam menghadapi permasalahan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sedangkan Mu’tazillah mengutamakan akal. Dalam menentukan baik dan burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazillah berdasarkan akal.

2.2.8        Maturidiyah
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan Al-Asy’ari.
Menurut al-Maturidi akal mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang buruk yang terdapat dalam yang buruk. Akal tahu bahwa berbuat baik adalah baik dan berbuat buruk adalah buruk, dan pengetahuan inilah yang memestikan adanya perintah dan larangan. Akal mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap sebaliknya adalah buruk. Akal selanjutnya memerintah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan yang merendahkan.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban Mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat  Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untk memperolah iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpedapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedang perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijalankan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan suatu  suatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
1.      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan suatu itu.
2.      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan suatu itu.
3.      Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan suatu itu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan atau keburukan suatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja kalau Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah bahwa melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada akal, Al-Maturidi mengatakan bahya kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan wahyu saja. Dalam persoalan ini Al-Maturidi , berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada suatu itu sendiri. Suatu itu dipandang baik karena perintah syara dan dipandang buruk karena dilarang syara. Jadi yang baik itu baik karana di perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini Al-Maturidi berada pada posisi tengandari  Mu’tazilah dan Al-Asy’ari.


BAB III
KESIMPULAN

Wahyu merupakan pemberitahuan Allah SWT kepada hambanya yang terpilih mengenai segala sesuatu yang ia kehendaki untuk dikemukakannya, baik berupa petunjuk atau ilmu, namun penyampaiannya secara rahasia dan tersembunyi serta tidak terjadi pada manusia biasa.
Sedang akal adalah merupakan modal yang dimiliki manusia yang tidak dimiliki oleh hewan serta tumbuhan yang berfungsi untuk berfikir, merenung,serta aktifitas abstrak lainnya.
Kelompok Syi’ah menggutamakan akal daripada wahyu. Mereka menganggap malaikat Jibril a.s telah melakukan kesalahan dalam menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka menganggap bahwa kenabian sebenarnya merupakan hak Ali bin Abi Thalib ra.
Kelompok Khawarij sangat mengutamakan wahyu daripada akal. Hal ini termaktub dalam semboyan mereka ‘Tidak ada hak menetapkan keputusan kecuali di tangan Allah’. Mereka berpegang teguh pada ayat 44 surat al-Maidah yang artinya “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apapun yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir”.
Aliran Murjiah membuat kesepakatan bahwa sumber ajaran islam yang utama adalah Al quran dan As sunnah, sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami alquran dan as sunnah, sesuai dengan ag`ma islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT.
Kelompok Jabariyah mengutamakan wahyu di atas akal. Menurut mereka manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terkait pada kehendak mutlak Tuhan.
Kelompok Qadariyah berasumsi bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya, dan mengkultuskan akal dalam menentukan kebenaran. Menurut mereka kebebasan dalam dunia Islam ditopang oleh akal yang sehat dan didukung oleh wahyu, sehingga kebebasan yang dianut tetap dalam koridor wahyu.
Kelompok Mu’tazilah menyandarkan pengambilan atau penarikan kesimpulan untuk aqidah-aqidah mereka kepada akal, dan pengaruhnya adalah mereka menghukumi baik buruknya sesuatu sesuai akal mereka.
Kelompok Al-Asy’ari mengutamakan wahyu daripada akal. Dan Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu.
Kelompok Maturidiyah mengutamakan akal daripada wahyu. Namun, ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijalankan sebagai pembimbing.



DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, A. 1980. Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna
Hanafi, A. 1987. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Kariem, 'eyyasy. 2011. Mu’tazilah. http://agama.kompasiana.com/2011/02/07/mutazilah/. Diakses tanggal 16 Oktober 2011.
Nasution, H. 1986 Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press. Jakarta.
Rozak, Abdul; Anwar, Rosihon. 2001. Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Sarkowi. 2010. Teologi Islam Klasik Mengurai Akar Pemikiran Aliran-aliran Teologi Islam Klasik. Malang : ReSIST Literacy.
Zahrah, dan Abu, M. 2007. Imam Syafi’i (Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih). Penerbit Lentera. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar