Minggu, 06 Mei 2012

Murji'ah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Persoalan politik yang timbul sepeninggalan Usman Ibn Affan membawa perpecahan dikalangan umat Islam. Persoalan-persoalan politik yang terjadi dalam lapangan politik ini membawa timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir.
Persoalan teologi dimulai pada masa pemerintahan Usman dan Ali, yaitu disaat terjadinya pergolakan-pergolakan politik dikalangan umat Islam. Perjuangan politik untuk merebut kekuasaan selalu dibingkai dengan ajaran agama, sebagai payung pelindung. Baik bagi kelompok yang menang demi untuk mempertahankan kekuasaannya, maupun kelompok yang kalah untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Dari sini dapat dikatakan mazhab-mazhab fikih dan aliran-aliran teologi dalam Islam lahir dari konflik politik yang terjadi dikalangan umat Islam sendiri, untuk kepentingan dan mendukung politik masing-masing kelompok, ulama dari kedua kelompokpun memproduksi hadits-hadits palsu dan menyampaikan fatwa-fatwa keberpihakan.
Adanya keterpihakan kelompok pada pertentangan tentang Ali bin Abi Thalib, memunculkan kelompok lainnya yang menentang dan beroposisi terhadapnya. Begitu pula terdapat orang-orang yang netral, baik karena mereka mengganggap perang saudara ini sebagai seuatu fitnah (bencana) lalu mereka berdiam diri, atau mereka bimbang untuk menetapkan haq dan kebenaran pada kelompok yang ini atau itu.
Dalam persoalan pertentangan ini, timbul suatu golongan baru yang bersifat netral, yaitu golongan Murji'ah. Kaum murjiah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau ikut campur dalam  pertentangan-pertentangan  yang  terjadi  ketika  itu  dan  mengambil  sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.
Dalam perjalanan sejarahnya, kaum murjiah mulai menanggapi persoalan-persoalan teologis yang mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, hukuman atas dosa. Hal ini nampaknya memicu perbedaan pendapat dikalangan para pendukung murji'ah sendiri, akhirnya kaum murjiah pecah menjadi beberapa golongan, yaitu Golongan Murjiah Moderat yang berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tasdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan dan golongan Murjiah Ekstrim yang berpendapat bahwa iman hanya pengakuan hati (tasdiq bi al-qalb).
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas  tentang Murji’ah dan perkembangan pemikiran dalam mewarnai pemahaman ketuhanan dalam agama Islam, yaitu perbandingan dari pemikiran sekte-sekte antara aliran Murji’ah ekstrim dan Murji’ah moderat di mana mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin.

1.2  Rumusan Masalah
  1. Bagaimana latar belakang kemunculnya kaum Murji’ah?
  2. Siapa sajakah tokoh-tokoh kaum Murji’ah?
  3. Apa saja dokrin-dokrin murji’ah?
  4. Bagaimana pandangan Aliran Murjiah Ekstrim dan Moderat tentang status pelaku dosa besar dan konsep keimanan?
  5. Apa sajakah kesesatan kaum Murji’ah?
  6. Bagaimanakah definisi iman menurut kaum Murji’ah?




1.3  Tujuan
1.      Mengetahui latar belakang kemunculnya kaum Murji’ah.
2.      Mengetahui tokoh-tokoh kaum Murji’ah.
3.      Mengetahui dokrin-dokrin murji’ah.
4.      Memahami pandangan aliran Murjiah Ekstrim dan Moderat tentang status pelaku dosa besar dan konsep keimanan.
5.      Mengetahui kesesatan kaum Murji’ah.
6.      Memahami definisi iman menurut kaum Murji’ah.













BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Kemunculan Kaum Murji’ah
Pada mulanya, kemunculan aliran murji’ah beranjak dari sikap pasif atau tidak memihak antara dua kelompok umat Islam yang tengah bertikai setelah pembunuhan Utsman. Peristiwa terbunuhnya khalifah Usman bin Affan oleh para pengacau keamanan yang digerakkan oleh Abdullah bin Saba’ telah menimbulkan kekacauan besar di tengah kaum muslimin. Ali bin Abi Thalib kemudian dibaiat menjadi khalifah yang baru. Selaku khalifah, Ali berpendapat langkah yang harus segera diambil adalah menegakkan ketertiban dan mengembalikan stabilitas keamanan dan politik. Sementara itu beberapa orang sahabat yang lain memandang langkah yang harus segera ditempuh adalah mengusut dan mengadili para pengacau yang terlibat dalam pembunuhan terhadap Khalifah Utsman. Perbedaan sudut pandang ini mengakibatkan terjadinya dua peperangan besar anatara kaum muslimin, yaitu perang jamal antara pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan rombongan ummul mukminin Aisyah, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah, dan perang shiffin antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.[1]
Mereka menahan diri untuk tidak memberi penilaian siapa yang benar dan salah di antara kedua belah pihak dan lebih memilih menangguhkan atau mengembalikan (irja’) penilaiannya kepada keputusan Allah kelak di akhirat.
Kerasnya paham khawarij melahirkan sikap kritis dari sejumlah ulama yang menyebut dirinya Murji’ah. Dalam sejarah, Murji’ah adalah istilah bagi mereka yang memisahkan dari kelompok Islam yang bertikai.[2]
Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, konflik berdarah yang terjadi pada umat Islam menjadi alasan dari beberapa sahabat Nabi untuk menghindari peperangan. Agar tidak terjerumus dalam kubangan perang saudara, Saad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Amran bin Al-Husain, Abu Bakrah, dan sahabat lainnya mengambil sikap tidak berpihak pada siapapun. Karena sikap mereka itu, mereka dijuluki Murji’ah.
Kata irja' atau arja'a yang berarti penundaan, penangguhan dan pengharapan. Kata arja'a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan pada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja'a berarti pula melakukan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu, murji'ah artinya orang yang mengemudikan amal kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Mu'awiyah, serta pasukannya di hari kiamat kelak.
Hal-hal yang melatarbelakangi kehadiran murji’ah adalah:
1.    Adanya perbedaan pendapat antara orang-orang syi’ah dan khawarij, mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali dan mengafirkan orang yang terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang Shiffin.
2.      Adanya pendapat yang menyalahkan Aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang jamal.
3.      Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan.
Asal usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi dua sebab yaitu:
1. Permasalahan Politik
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr  bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar dari Ali yakni Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak bertahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar yang lain.[3]
Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi Thalib, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.[4]
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.[5]
Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan menghindari sekatrianisme.[6]

2.      Permasalahan Ke-Tuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.[7]
Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya
atau tidak.[8]
Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan  selain  Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.[9]
Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat dari kata Murji’ah itu sendiri yang berasal dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberikan pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dan mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata menangguhkan, dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang melakukan dosa di hadapan Tuhan.[10]
Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah yang diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan hukum terhadap orang Islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kedua dari iman, tetapi karena mereka memberi pengaharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga.[11]

2.2 Tokoh-tokoh Murji’ah
Beberapa tokoh utama dari aliran Murji’ah ini adalah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, Dirar bin Umar, Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Jahm bin Shafwan, Said bin Jubair, Thalq bin Habib, Amr bin Murra, Muharib bin Ziyad, Muqatil bin Sulaiman, Dharr, Amr bin Dharr, Hamdad bin Abu Sulaiman, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Qudaid bin Ja’far.

2.3 Dokrin-dokrin Murji’ah
Dokrin atau ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau dokrin irja dan arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan. Berkaitan dengan dokrin teologi Murjia’ah, Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin teologi Murji’ah yaitu:[12]
1.      Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.      Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.
4.      Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu,  Abu A’ la Al-Maududi menyebutkan dua dokrin pokok ajaran murji’ah, yaitu:[13]
1.      Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
2.      Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan tnadarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.


2.4  Sekte-sekte Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas) di kalangan  para pendukung Murji’ah sendiri. Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan ekstrim.[14]
1.      Murji’ah Moderat
Pengagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadis. Kelompok ini berpendirian bahwa:
a.       Pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali.
b.      Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan rasul-rasul-Nya serta apa saja yang datang dari-Nya secara keseluruhan namun dalam garis besar.
c.       Iman ini tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini.

2.      Murji’ah Ektrim
Adapun yang termasuk kelompok ektrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut.
a.       Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang  percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b.      Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
c.       Yunusiyah dan Ubadiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politheist).
d.      Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, “Saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya  tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan ”Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau tempat lain.”


2.5   Kesesatan murjiah
Murjiah adalah sekelompok orang atau golongan yang berpendapat bahwa orang  Islam yang berdosa besar itu tetap mengakui, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah. Dengan kata lain orang serupa itu tetap mengucapkan kedua syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini, tetap mukmin dan bukan kafir.
Itulah bahayanya pemikiran mereka karena jika banyak orang yang berpendapat seperti mereka maka akan banyak  terjadinya maksiat dan kejahatan di muka bumi  ini karena mereka  berfikiran  selama mereka  berada  dalam  syahadat maka  kejahatan  atau dosa-dosa mereka tidak akan diperhitungkan kelak.
 Adapun kesesatan murjiah yang lain selain  tidak menganggap dosa besar adalah mereka berpendapat bahwa budak mereka itu para thaghut dan budak Laa Ilaaha Illallah. Murjiatul  ‘Ashri  di  sini  memiliki  syubhat  lain  yang  berkaitan  dengan  yang sebelumnya,  yang  telah mereka warisi  dari  para  guru mereka Murjiah  pertama,  yaitu ihitijaj mereka dengan sebagian hal-hal umum yang ada dalam khabar-khabar yang tsabit dari Nabi  saw  bahwa  siapa  yang mengucapkan  “laa  ilaaha  illallah” maka  dia masuk surga, atau haramnya  darah dan hartanya, seperti hadits Usamah Ibnu Zaid “Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan..?” hadits bithaqah dan yang lainnya.
Sedangkan al haq adalah bahwa orang yang suka mentelaah kitab-kitab ahlul ilmi, maka  ia  mengetahui  bahwa  ahlul  ilmi  telah  membahas  tuntas  masalah-masalah  ini sebagai  bentuk bantahan  dan  penjelasan. Dan  dengan  ini  nampak  jelas  kebatilan  satu syubhat  dari  syubhat-syubhat Murjiatul  ‘Ashri  yaitu  penutupan mereka  akan  thaghut-thaghut mereka, dengan klaim bahwa An Najasyi memutuskan dengan selain apa yang telah  Allah  turunkan  setelah  dia  masuk  Islam,  namun  demikian  Nabi  saw  tidak  mengkafirkannya, namun justru beliau menyatakan ke-Islaman dia dan menshalatkannya tatkala meninggal dunia.
“Sungguh besar ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka, mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan” .
Justru beliau telah memutuskan dengan apa yang  telah Allah  turunkan kepada mereka saat  itu, dan beliau mengikuti apa yang telah  difardlukan  atas  mereka  pada  waktu  itu,  karena  ajaran  Islam  saat  itu  belum sempurna, sehingga pemasrahan diri, ketundukan dan pengakuan akan laa ilaaha illallah dan makna yang dikandung di dalamnya berupa bara’ah dari setiap apa yang diibadati selain Allah adalah al iman dan ittiba’ syari’at serta pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan saat itu, terutama bila engkau telah mengetahui bahwa An Najasyi telah menulis surat kepada Nabi saw seraya bersaksi bahwa beliau Rasulullah saat itu seraya jujur lagi membenarkan bahkan dia membai’at Rasulullah atas Islam, sehingga sebagian penduduk Habasyah memberontaknya seraya ingin merebut kerjaannya, dan bahwa dia mampu  mengalahkan  mereka,  kondisi  Habasyah  tetap  jadi  miliknya  setelah  itu  dan kaumnya pun mengakuinya di atas  Islam dan  ia akhirnya para usquf dan para pendeta mengikutinya.  Kemudian  dia  meninggal  tidak  lama  setelah  keislamannya,  dan  itu sebelum syari’at turun sempurna.  Adapun Najasyi yang disurati Nabi saw beserta Kisra, kaisar dan semua penguasa seraya mengajak mereka kepada Islam, maka ia adalah selain An Najasyi muslim yang dishalatkan Nabi saw sebagaimana dalam shahih Muslim, dan Ibnul Qayyim  telah mengisyaratkan  kepada  hal  ini  dalam Zaadul Ma’ad,  serta  beliau sebutkan kekeliruan sebagian para perawi di dalamnya dalam mencampur adukkan antara dua orang ini.


2.6  Definisi Iman Menurut Murji’ah
Kaum murji’ah yaitu kaum yang berkitikad bahwa dosa besar tidak menjadi masalah kalau disertai oleh iman. Jadi, seseorang tidak perlu bertobat karena berbuat  dosa besar. Yang penting orang itu beriman, nanti imannya itu dapat mengikis atau kebal terhadap dosa. Mereka menyepelekan dosa besar, karena dosa besar dianggap tidak ada dampaknya terhadap iman seseorang. Aliran itu jelas sangat berbahaya kepada Islam karena membuka pintu selebar-lebarnya untuk berbuat dosa. Orang tidak segan-segannya melakukan dosa besar karena bagaimanapun besarnya, kalau ia masih beriman, pasti tidak akan mendapat sikasaan.
Taat dan ibadah tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah iman, ikhlas, dan mahabbah (cinta) kepada Allah dan Rasul. Tanpa ibadah dan taat pun, kalau ia ikhlas dan yakin serta mahabbah kepada Allah dan Rasulnya, seseorang akan masuk surga. Orang mukmin masuk surga bukan dengan amal dan taatnya, melainkan karena keikhlasan dan keyakinan.
Mereka menyakini bahwa iman adalah mengetahui Allah dan membenarkanNya tanpa melalui perbuatan. Meski tidak beramal baik, apabila sudah mengucapkan syahadah, ia sudah termasuk orang beriman. Meskipun pengusa Daulah Umayyah berbuat zalim, menurut Murji’ah, wajib ditaati karena masih bisa disebut Mukmin. Jelaslah bahwa kehadiran Murji’ah secara tidak langsung melegitimasi tampuk kekuasaan Daulah Umayyah.
Menurut Murji’ah, orang Islam yang melakukan dosa besar dan masih mengucap syahadah, masih termasuk Mukmin dan bukan kafir atau musyrik.  Perbuatan-perbuatan baik orang yang melakukan dosa besar akan menjadi pertimbangan masuk tidaknya ke dalam surga. Perbuatan manusia tidak dapat dipakai sebagai ukuran menentukan Islam atau kafirnya seseorang. Karena yang menentukan adalah iman di hati dan apa yang ada di dalam hati manusia hanya ia dan Allah yang tahu. Karena itu, seorang manusia tidah berhak menilai atau menvonis seorang sebagai kafir atau Mukmin.[15]
Iblis menurut mereka sangat arif terhadap Allah. Kalau hanya sekedar maksiat dan tidak mau menaati perintah Allah, ia tidak akan divonis dengan kutukan (laknat).  Ia menjadi kafir oleh sebab takaburnnya, bukan karena maksiatnya. Ia sebenarnya mukmin, hanya tidak ikhlas dan tidak ada mahabahnya sehingga menjadi takabur.
Kaum murji’ah tidak mengakui bahwa iman bercabang-cabang seperti dinyakini oleh kaum ahlus sunnah, yaitu lebih dari tujuh puluh cabang, seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw.
Kaum Murji’ah beriktikad bahwa iman hanya bulat dan utuh tidak terbagi-bagi. Dalam kitabnya yang berjudul Maqalat al islamiyin, Imam Al Asy’ari menulis, “Mereka tidak mengakui bahwa iman terbagi-bagi dan juga tidak berkurang dan berlebih.” (Juz 1 hal. 134).
Menurut kaum ahlus sunnah waljama’ah iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Iman bisa bertambah dengan taat dan ibadat. Sebaliknya iman akan berkurang dengan berkurangnya taat dan ibadat. Kaum Murji’ah sanyai dalam pengamalan dan penghayatan agama karena yang penting niat dan ikhlas, bukan amal dan taat.[16]
Mereka berkeyakinan bahwa amalan ibadah bukan dari bagian keimanan karena hakikat keimanan itu ada tiga: pertama, keyakinan dalam hati dan diucapkan dengan lisan; kedua, keyakinan atau pembenaran dalam hati; ketiga perkataan dengan lisan saja.

Ada dua pangkal kesalahan golongan Murjiah:
1.      Anggapan mereka bahwa iman hanya sekedar pembenaran dan ilmu, tidak perlu amal, keadaan, aktifitas, kehendak, cinta, dan rasa takut di dalam hati.
2.      Anggapan mereka bahwa setiap orang yang dihukumi pembuat Syariat sebagai orang kafir, kekal di dalam neraka. 
Golongan murjiah berkata: “Iman adalah pembenaran hati dan perkataan lidah, tapi  amal  tidak  termasuk  bagian darinya”. Golongan Murjiah  mempunyai  beberapa alasan  yang  dianggap  syar’iyah  (bahwa  amal  tidak  termasuk  dalam  iman),  yang karenanya ada kerancuan pada diri mereka. Mereka melihat bahwa Allah membedakan antara iman dan amal dalam kitab-Nya. Apabila ada seseorang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya pada suatu pagi lalu dia meninggal  sebelum  sempat mengerjakan  amal-amal  yang  diwajibkan  atas  dirinya, maka  dia  mati dalam  keadaan  mukmin  dan  ia  termasuk  penghuni  surga. Hal  ini menunjukkan  bahwa  amal  bukan  temasuk  bagian  iman. Mereka  berpaling  dari  sabda Nabi saw dalam sebuah hadits yang mulia, “Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh lebih cabangnya. Yang paling tinggi adalah perkataan “Laa Ilaaha Illallah” dan yang paling  rendah  adalah  menyingkirkan  gangguan  dari  jalan.”  Mereka  menganggap kandungan hadits ini sebagai majaz. 
Pemahaman golongan Murjiah mengenai iman adalah:[17]
1.       Iman hanya  sebatas penetapan dengan  lisan,  atau  sebatas pembenaran dengan hati, atau hanya penetapan dan pembenaran.
2.      Iman tidak terbagi-bagi, orang yang beriman tidak bertingkat-tingkat, dan iman semua orang adalah sama.
3.      Iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang, akan tetapi ia merupakan satu kesatuan  yang  utuh.  Sehingga  suatu  dosa  besar  (kemaksiatan)  tidaklah  dapat mengurangi/merusak keimanan sedikit pun, sebagaimana pula suatu ketaatan tak akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu, pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang  fasiq, bahkan  tergolong orang yang  sempurna  imannya dan  tak akan mendapatkan adzab apapun dari Allah SWT.
4.      Mengharamkan istitsn (mengucapkan ‘saya beriman insya Allah’) di dalam iman.
5.      Orang  yang  meninggalkan  kewajiban  dan  melakukan  perbuatan  haram  (dosa  dan maksiat) tidak berkurang imannya dan tidak merubahnya.
6.      Membatasi kekufuran hanya pada pendustaan dengan hati.
7.      Mereka semua sepakat bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.
Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hakikat keimanan, dengan tiga versi:
·         Iman  adalah  keyakinan  dalam  hati  dan  perkataan  dengan  lisan  (versi  Murji`ah Fuqaha).
·         Iman adalah pengetahuan/pembenaran dalam hati saja (versi Jahm bin Shafwan dan mayoritas Murji`ah).
·         Iman adalah perkataan dengan lisan saja (versi Muhammad bin Karram).
Murji’ah dalam hal iman ada dua macam :
a.        Ghulatul Murji’ah yakni Murji’ah Mutakallimin (ahli kalam)
Adapun murji’ah mutakallimin, maka Jahm bin Shofwan dan para pengikutinya telah mengatakan:  Iman  itu  cukup  dengan  tasdiq  (pembenaran)  di dalam hati dan mengetahuinya. Mereka tidak menjadikan amalan sebagai  bagian dari iman. Mereka beranggapan  bahwa seseorang bisa menjadi mukmin  yang  sempurna  imannya  hanya dengan hatinya, meskipun ia menghina Allah swt dan rasul-Nya, memusuhi  wali-wali  Allah, memberikan loyalitas kepada  musuh-musuh Allah swt, menghancurkan masjid dan meninggalkan isi mushaf-mushaf dan  kaum  mukminin  puncak  penghinaan  yang  luar  biasa,  sementara  itu  mereka memuliakan  orang-orang  kafir  setinggi-tingginya. Mereka  berkata,  “Ini  semua  adalah maksiat  yang  tidak merusakkan  keimanan  yang  ada  di  dalam  hatinya,  akan  tetapi  ia melakukan semua ini sedangkan bathinnya tetap beriman kepada Allah.”
Kaum Murji’ah  berkata,  “Dijatuhkannya  vonis  kufur  kepada  seseorang  di  dunia hanyalah karena ucapan-ucapan yang menjadi tanda kekafiran”.
Kekafiran menurut mereka  hanyalah  satu  tingkat  saja,  yaitu  kejahilan.  Iman  dalam pandangan  mereka  juga  hanya  satu tingkat, yaitu pengetahuan  (ilmu) baik  hatinya mendustakan  atau  membenarkanya. Sesungguhnya mereka  berselisih apakah tasdiqul qolbi (membenarkan dengan hati) itu merupakan entitas lain dari ilmu ataukah ia suatu entitas yang sama. Meskipun pendapat ini adalah pendapat yang paling rusak tetapi tetap digunakan untuk mendefinisikan  iman. Banyak  tokoh-tokoh  ahli kalam dari madzhab Murji’ah menyatakannya. Tetapi oleh tokoh salaf seperti Waki’ bin al-Jarrah, Ahmad  bin  Hanbal,  Abu  ‘Ubaid  dan lain-lainnya telah mengkafirkan orang  yang  berpendapat  seperti  ini. Mereka menyatakan,  “Iblis  dinyatakan  kafir  dengan  nash Al-Qur’an. Dikafirkan karena istikbar (kesombongan) dan serta sikap penolakan terhadap perintah untuk sujud (menghormati) kepada Adam, bukan karena ia mendustakan khabar dari Allah. Begitu juga Fir’aun dan kaumnya dinyatakan  kafir  berdasarkan nash al-Qur’an. Allah swt berfirman:

“Dan mereka mengingkarinya Karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (TQS. An-Naml:14)
Nabi Musa as berkata kepada Fir’aun :

“Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mushaf-mushaf itu kecuali tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti bukti yang nyata” (TQS Al-Isra’:102)
Ini  adalah  kata-kata Nabi Musa ash-Shadiq  al-Mashduq  (yang  benar  dan  dibenarkan) kepada Fir’aun. Maka, ayat ini menunjukkan bahwa Fir’aun itu telah mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat-ayat  ini, meskipun dia adalah makhluk  Allah yang paling besar pembangkangan dan sikap aniayanya karena keburukan keinginan dan tujuannya, bukan karena ketidak tahuanya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Fir’aun  telah berbuat  sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah dengan menindas segolongan dari mereka, membunuh anak laki-laki mereka  dan membiarkan  hidup  anak-anak  perempuan mereka,  sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (TQS Al-Qashas: 4).
Begitu juga, Allah telah berfirman tentang orang-orang Yahudi
 

“Orang-orang  yang telah  kami  beri  kitab  mengenalnya  (Muhammad)  seperti  mereka mengenal anak- anak mereka sendiri.” (TQS Al-Baqarah:146)


Dan begitu juga kaum musyrikin yang telah disebut oleh Allah 
 

 Sesungguhnya mereka bukan mendustakan kamu akan tetapi orang orang yang zalim itu mengingkari ayat ayat Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.”(TQS Al-An’am 33)
b.       Murji’ah Fuqaha’ (ahli fiqih)
Murji’ah Fuqoha’, yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa  iman  itu adalah tashdiqul qolbi (membenarkan di dalam hati) dan ucapan di dalam lisan, sedang amal bukan bagian darinya.  Di  antara mereka  ada  beberapa ahli  fiqih  dari Kufah dan ahli  ibadahnya.  Pandangan mereka tidak sama dengan pandangan Jahm. Mereka mengakui bahwa seseorang itu tidak akan  menjadi  mukmin bila tidak menyatakan keimananya ketika  dia  mampu melakukannya. Mereka  pun mengetahui  bahwa  Iblis,  Fir’aun  dan  lain-lainnya  adalah kafir merkipun hati mereka membenarkan keberadaan Allah. Mereka juga tidak berpendapat bahwa iman bisa bertambah dan berkurang karena amal.
Namun mereka mengatakan bahwa bertambahnya iman itu terjadi sebelum sempurnanya tasyri’, maksudnya setiap kali Allah menurunkan ayat maka ia wajib  membenarkanya.  Dengan  demikian,  tashdiq  (pembenaran)  ini  akan  bergabung dengan tashdiq yang telah ada sebelumnya, itulah yang dimaksud bertambahnya iman.
Akan  tetapi  setelah  sempurnanya  ayat-ayat  yang  Allah  turunkan,  menurut  mereka,  iman  tidak  lagi  bertingkat -tingkat,  tetapi  iman  manusia seluruhnya  sama.  Imannya as-sabiqun al-awalun  seperti Abu Bakar dan Umar  adalah sama  dengan  iman  manusia  yang  paling  durjana  seperti  al-Hajaj,  Abu  Muslim  al-Khurasani dan lain-lainya.  Pada masa kita ini banyak terjadi irja’, baik dikalangan orang-orang awam ataupun di kalangan santri.
Diantara irja’ yang terjadi pada orang awam adalah ucapan mereka yang masyhur “iman itu di hati” atau kata mereka “iman adalah keyakinan” lalu mereka tidak memperhatikan amal, mereka mengabaikannya atau menyepelekanya dengan dalih sudah cukup dengan kebaikan hati dan yang penting niatnya.
Adapun irja’ yang terjadi di kalangan kaum santri atau juru dakwah. Pada umumnya irja’ tersebut bukan terletak dalam mendifinisikan iman, karena mereka telah mendifinisikannya dengan difinisi yang benar. Mereka mengatakan,  “Iman  adalah  ucapan  dengan  lesan,  keyakinan  dengan  hati,  dan amalan dengan anggota tubuh”. Atau mereka katakan, “Iman adalah ucapan dan amalan”. Definisi iman yang mereka katakan ini adalah pendapat ahlussunah.
Namun ketika mereka menerapkan definisi tersebut di dalam realita dan khususnya dalam menerapkan nawaqidhul iman (pembatal keimanan) dimensi amal  yang mereka  tetapkan  dalam definisi  iman  itu  dikesampingkan, bahkan dimensi tersebut nyaris dinafikan.
Mereka  mengatakan  bahwa  iman  itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat. Sebagaimana dikatakan oleh ahlussunah.  Tetapi  seluruh  dosa-dosa,  menurut  mereka,  hanyalah  mengurangi.
Kesempurnaan  iman  saja  dan  tidak  ada  dosa-dosa  yang  bisa  menggugurkan  pokok keimanan, kecuali pada satu keadaan saja yaitu, bila perbuatan dosa itu disertai dengan pengingkaran atau  istihlal (penghalalal) atau keyakinan. Begitulah mereka memandang perbuatan dan dosa-dosa secara mutlak, padahal nabi saw telah menjelaskan di dalam sabda beliau;

“Iman  itu  ada  tujuh  puluh  sekian  cabang  [dan  dalam  riwayat  at Tirmidzi  dikatakan “pintu”]  sedang  yang  paling  utama  [dalam  riwayat  at-Tirmidzi  “yang  paling  tinggi”]  adalah ucapan laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan sedangkan malu itu satu cabang dari iman” (HR Muslim dan Ashab as-Sunan, dari Abu Hurairah).
Tidak seluruh cabang dan pintu iman itu memiliki kedudukan yang sama. Cabang Laa ilaha illallah tidak sama dengan cabang malu atau menyingkirkan kotoran dari jalan. Ada  di  antara  cabang-cabang  itu  yang  ketiadaannya  hanya  akan  mengurangi  kadar keimanan  saja,  seperti  malu dan ada  di  antaranya  yang  ketiadaannya  akan menggugurkan  iman,  seperti  Laa  ilaha  illallah.  Maksudnya  kalau  saya  tidak menyingkirkan duri di jalan, anda tidak boleh menuduh saya tidak beriman. Anda baru boleh  menuduh  saya  tidak  beriman  bila  saya  mengangkat  Tuhan  lain  selain  Allah swt (melanggar  Laa  ilaha  illallah  baik  melalui  perbuatan, perkataan maupun hati).
Khawarij  dan  kaum  ghulat mukaffiroh menjadikan  ketiadaan  salah  satu  cabang  iman sebagai  hal  yang  menggugurkan  pokok  keimanan.  Kemudian  datang  murjiatul  ashr  (murjiah  kontemporer)  sebagai  antitesa  terhadap  kaum  ghulat  mukaffirah,  mereka menjadikan lenyapnya seluruh cabang iman hanya sekedar mengurangi kadar keimanan, dan  tidak  ada  satupun  tindakan  yang  bisa menghilangkan  atau menggugurkan  pokok keimanan  kecuali  bila  hal  itu  berkaitan  dengan  pembangkangan  atau  keyakinan.






BAB III
PENUTUP
Nama murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan Rahmat Allah. Oleh karena itu Murji’ah, artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Mu’awiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Asal usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi dua sebab yaitu:
1. Permasalahan Politik
2. Permasalahan ke-Tuhanan
Beberapa tokoh utama dari aliran Murji’ah ini adalah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, Dirar bin Umar, Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Jahm bin Shafwan, Said bin Jubair, Thalq bin Habib, Amr bin Murra, Muharib bin Ziyad, Muqatil bin Sulaiman, Dharr, Amr bin Dharr, Hamdad bin Abu Sulaiman, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Qudaid bin Ja’far.
Doktrin teologi Murji’ah menurut Harun Nasution ada empet yaitu:
1.      Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bn Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.      Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.
4.      Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu:
1.      Murji’ah Moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat hukuman dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya.
2.      Murji’ah Ektrim
Murji'ah Ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Artinya, mengakui dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad Rasul-Nya.
Adapun kesesatan murjiah yaitu mereka menganggap orang yang berbuat dosa besar tidaklah kafir dan memiliki peluang masuk surga apabila bertobat. Mereka berpendapat bahwa budak mereka itu para thaghut dan budak Laa Ilaaha Illallah.
Aliran Murji’ah menyakini bahwa iman adalah mengetahui Allah dan membenarkanNya tanpa melalui perbuatan. Meski tidak beramal baik, apabila sudah mengucapkan syahadah, ia sudah termasuk orang beriman.
Murji’ah dalam hal iman ada dua macam :
1.      Ghulatul Murji’ah yakni Murji’ah Mutakallimin (ahli kalam)
2.      Kedua: Murji’ah Fuqaha’ (ahli fiqih)







DAFTAR PUSTAKA

Abuddin, Nata. 1995. Ilmu Kalam Filsafat dan Tassawuf.  Jakarta:  PT Raja Grafindo Persada
Al-Maududi, Abu A’la. 1994. Al-khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Al-baqir. Bandung: Mirzan
Muhammad, Ahmad. 1998. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:  UI-Press
Rozak , Abdul dan Rosihan Anwar. 2007. Ilmu Kalam.  Bandung:  CV Pustaka Setia
Taimiyah, Ibnu. 2001. Al-Iman. Jakarta: Daarul Falah
Sahidin, Ahmad. 2009. Aliran-aliran dalam Islam. Jakarta: PT Salamadani Pustaka Semesta
Sarkowi,,,,,,,,,,,,,,
Syihab, A.Z.  1998. Akidah Ahlus Sunnah. Jakarta: Bumi Aksara



[1] Sarkowi, Aliran-aliran Teologi Islam Klasik.hlm: 45
[2] Ahmad Sahidin, Aliran-aliran dalam Islam, Jakarta: PT Salamadani Pustaka Semesta, 2009, hlm: 34
[3] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam,  Bandung:  CV Pustaka Setia, 2007, Hlm: 57
[4] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:  UI-Press,
1986, Hlm: 22

[5] Ibid
[6] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Op. Cit,  2007, Hlm: 56
[7] Harun Nasution, Op. Cit, 1986, Hlm: 23
[8] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Op. Cit, 2007, Hlm: 57
[9] Abuddin Nata.Ilmu Kalam, Filsafat dan Tassawuf, Jakarta:  PT Raja Grafindo Persada, 1995, Hlm: 33
[10] Ibid, Hlm: 34
[11] Harun Nasution, Op. Cit,  1986, Hlm: 24
[12] Harun Nasution, Op. Cit,  1986, Hlm: 22
[13] Abu A’la Al-Maududi, Al-khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Al-baqir, Bandung: Mirzan, 1994, Hlm: 279
[14] Harun Nasution, Op.Cit, hlm 24-27
[15] Ahmad Sahidin, Aliran-aliran dalam Islam, Jakarta: PT Salamadani Pustaka Semesta, 2009, hlm: 34
[16] Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, hlm: 72
[17] Ibnu Taimiyah, Al-Iman, Jakarta: Daarul Falah, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar