BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan satu dan lainnya
saling berhubungan. Namun hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang
pertengahan, dan ada pula yang agak jauh.
Secara harfiah terdapat beberapa penafsiran tentang
arti istilah sufi. Di antara penafsiran itu antara lain menyebutkan bahwa kata
sufi bermula dari kata safa (suci hati dan perbuatan), saff (barisan terdepan
di hadapan Tuhan), suffah (menyamai sifat para sahabat yang menghuni serambi
masjid nabawi di masa kenabian), saufanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di
padang pasir), safwah (yang terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah
badui yang tinggal dekat ka’bah di masa jahiliyah.
Selain itu seseorang yang menuntut ilmu pengetahuan
haruslah mempunyai jiwa yang baik sehingga dapat menerima ilmu dengan baik
pula. Contohnya kita tidaklah boleh selalu merasa senang, sedih, takut dan
sebagainya, jadi keadaan jiwa kita haruslah stabil. Dalam hal ini disebut ahwal,
dalam pengertian lain ahwal adalah situasi kejiwaan yang yang diperoleh seorang
sufi sebagai karunia dari Allah SWT, bukan dari hasil usahanya sendiri. Memperbaiki budi pekerti dan membersihkan
jiwa hanyalah bisa dilakukan dengan semata-mata mengikuti sunnah nabi dimana
berkat mengikuti sunnah nabi dan meneladaninya akan membuahkan hasil berupa
ahwal yang baik.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka
rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :
1.
Apa yang dimaksud dengan karakteristik atau ahwal sufi?
2.
Apa sajakah karakteristik sufi dalam keilmuan tasawuf?
1.3
Tujuan
Tujuan penulisan ini diantaranya adalah sebagai
berikut :
1.
Mengetahui karakteristik sufi
2.
Kita bisa memahami karakteristik dalam tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Ahwal
Ahwal adalah
bentuk jamak dari “Hal” yang berarti keadaan mental seperti perasaan senang,
sedih, takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut Ahwal ialah takut( Khauf) rendah hati (al-Tawadlu)
patuh(taqwa) ikhlas (al-ikhlas) rasa berteman al-Uns) gembira hati( Al-Wajd)
berterima kasih ( Al-Syukr). Raja’ , syauq dan mahabbah. Hal sangat berlainan
dengan maqam, karena maqam sebagai proses untuk mendekatkan diri kepada tuhan dengan cara perjuangan melawan hawa
nafsunya yang sangat terjal, sedangkan ahwal merupakan sebuah fadhal
(keutamaan) yang diberikan tuhan dengan cara spontan tanpa adanya proses. Imam
al-Ghazali mengatakan apabila seseorang sudah menetap dalam suatu maqam maka ia
akan memperoleh perasaan tertentu, itulah yang disebut Ahwal.
Telah disebutkan
diatas bahwa penjelasan mengenai perbedaan maqamat dan hal membingungkan karena
definisi dari masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai
sebagai berikut: Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh
para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan
perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu
termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala
untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Salik memang untuk berpindah dari
satu maqam ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan “ahwal”
sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum
sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan (kasb). Tidak
ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah dari maqam.[1]
Beberapa ulama
mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam dan tidak mengikat
(dinamis). Al-Gazali dalam memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila
seseorang telah mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu
perasaan tertentu dan itulah hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh
tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning
yang tetap seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah
seperti pada sakit kuning. Seperti itulah kondisi atau hal seseorang. Kondisi
atau sifat yang tetap dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan
hal. Menurut Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang
lebih tinggi sebelum memperbaiki maqam sebelumnya. Namun, sebelum beranjak
naik, dari maqam yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya
menjadi kenyataan.[2]
Oleh karena itu, kenaikan seorang salik dari satu maqam ke maqam berikutnya
disebabkan oleh kekuasaan Allah dan anugerahNya, bukan disebabkan oleh usahanya
sendiri. pernyataan diatas memberikan pemahaman bahwa maqam bersifat lebih
permanent keberadaannya pada diri sang salik daripada hal. Selain itu, maqamat
lebih merupakan hasil upaya aktif para salik, sedangkan ahwal merupakan anugerah atau uluran Allah
yang sifatnya pasif.
Dalam pembicaraan
tentang tarekat sebagai perjalanan spiritual kita tidak bisa mengabaikan dua
istilah teknis yang sangat penting. Yaitu: “Maqamat dan ahwal” . Adapun “ahwal”
bentuk jamak dari “hal” biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental
states) yang di alami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Sekalipun
sama-sama di alami dan di capai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi
menuju tuhannya. Namun menurut para sufi ada perbedaan yang mendasar antara
“maqamat” dan “ahwal” ini baik dari cara mendapatkannya maupun
kelangsungannya. “Ahwal” sering di
peroleh secara spontan sebagai hadiah dari tuhan. Diantara “ahwal” yang sering di
sebut adalah takut, syukur, rendah hati, taqwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada
perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun ke banyakan mereka mengatakan
bahwa “ahwal” di alami secara spontan dan berlangsung sebentar dan di peroleh
tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada
“maqamat” melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-0kilatan ilahi (Divine
Flashes), yang biasa di sebut “lama’at”.
Selain soal cara
memperoleh dan sifat keberlangsungannya, saya juga merasa penting untuk
menyinggung sifat pengalaman para sufi dalam pengalaman spiritualnya menuju
tuhan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah maqamat dan susunannya.
Demikian jika
kalau kita baca naskah-naskah sufi ada yang mengatakan bahwa ridha misalnya
sebagai “maqam” (al-Kalabadzi, al-Ghazali dan Qusyairi), ada juga yang
mengganggap sebagai “akhwal”, seperti yang diyakini misalnya, oleh Abu Utsman
al-Hiri. Selain pelangsungan dalam “ahwal” ada yang mengatakan bahwa “beberapa
ahwal adalah seperti kilatan. Kalau itu dikatakan menetap maka menurut seorang
guru Al-Qusyari, itu sekedar omongan nafsu”. Tetapi di pihak lain, Abu Utsman
al-Hiri justru mengatakan, “Jika hal tidak abadai dan tidak terdelegasikan,
maka iti hanyalah kilatan dan pelakunya tidak sampai pada hal yang sebenarnya.
Hanya apabila sifat tersebut menetap, maka itulah yang dinamakan hal. Bagi saya
perbedaan persepsi terhadap baik maqamat maupun ahwal adalah akibat pengalaman
subyektif masing-masing sufi dalam perjalanan spiritualnya. Tidak ubahnya seperti
serombongan turis yang mengunjungi sebuah kota juga akan memiliki persepsi dan
diskripsi yang berbeda tentang kota itu. Pebedaan-perbedaan itu sama sekali
tidak berarti bahwa pengalaman mereka itu halusinasi atau palsu dan menunjukkan
ketidakobjektifan dunia yang mereka alami, dengan alasan yang sama bahwa kita
tidak bisa begitu saja menolak realitas “kota” yang dikunjungi para turis hanya
karena perbedaan yang terdapat dalam laporan masing-masing anggota rombongan
tersebut tentang kota yang mereka kunjungi. Jadi, pengalaman spiritual para
sufi bisa subjektif tetapi dunia sufi yang mereka alami tetaplah objektif dan
real.
2.2
Macam-macam karakteristik sufi
2.2.1 Muraqabah[3]
Muraabah adalah belajar
menetapkan hati, melatih jiwa dan hati untuk ingat kepada Allah dan selalu
memperhambakan diri kepada Allah sehingga dengan sendirinya ia akan merasa
selalu dalam pengawasan Allah SWT. Berarti dirinya sudah memasuki alam
muraqabah.
Muraqabah sebagai
salah satu ajaran tasawuf yang bertujuan memantapkan segi hakikat untuk
mencapai ma’rifat billah[4],
menurut kaum shufi adalah keadaan seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah
selalu melihat dan mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh gerak-gerik kita
dan bahkan apa saja yang terlintas dalam hati kita. Menurut Al-Qusyairi “muraqabah
adalah bahwa hamba tahu sepenuhnya bahwa Tuhan selalu melihatnya”. Sedangkan
menurut para ahli tasawuf “Barang siapa yang meraqabah dengan Allah dalam
hatinya, maka Allah akan memeliharanya dari berbuat dosa pada anggota tubuh”.
Perkataan shufi ini
dimaksudkan, bahwa orang yang selalu muraqabah dengan Allah, pasti ia tidak
akan mengerjakan dosa lagi, karena Tuhan telah menjauhkan ia dari peruatan
dosa. Berlainan dengan orang munafik, ia takut diawasi dan diintai orang lain.
Jadi kalau tidak dilihat orang maka beranilah ia membuat dosa disetiap
kesempatan.
Muraqabah menurut
para ahli shufi ada tiga tingkatan sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh
Ahmad al Husni dalam kitab Iqadhul Himam, yaitu :
1. Muraqabah Qalbi, yaitu kewaspadaan dan
peringatan terhadap hati, agar tidak keluar kehadiranya dengan Allah.
2. Muraqabatur Ruhi, yaitu kewaspadaan dan
peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah.
3. Muraqabatus sirri, yaitu kewaspadaan
dan peringatan terhadap Sir/rahasia, agar selalu meningkatkan amal ibadahnya
dan memperbaiki adabnya.
Sedangkan cara
bermuraqabah dengan Allah bisa di tempuh dengan berbagai macam jalan,
diantaranya :
a. Sesudah sembahyang tahajud ditengah malam
dan sebelum shubuh datang menjelang, duduk dengan kaifiyat iftiraasy, dengan
sadar dan penuh kesungguhan mengkonsentrasi , menyatukan fikiran sambil
berzikir, menunggu saat beraudensi dengan Tuhan maha pengasih lagi maha
penyayang.
b. Sesudah berwudhu duduk dengan pakaian
bersih, duduk menekur dilantai masjid sambil berzikir dengan lisan menunggu
saatnya berhadapan dengan Tuhan dengan dzauq dan bashirah.
Dari sini, maka
sebaiknya janganlah berpikir apakah Allah dekat dengan kita, melainkan usahakanlah
agar kita dekat dengan Allah atau mendekatkan diri kepada Allah.
2.2.2 Al-Khauf [5]
Khauf adalah rasa sakit serta bergetarnya hati karena
ada sesuatu yang dibenci dihadapannya. Perumpamaannya seperti jika seseorang
yang akan dihukum pancung oleh raja, lalu raja itu telah memerintahkan
algojonya dan algojo itu telah memegang pedangnya, maka ia telah merasa yakin
akan kematiannya sebentar lagi, maka terasalah pedih hatinya saat itu dan
bergetar karena rasa takut yang sangat, dan inilah yang disebut Khauf.
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut
terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah
karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai
Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai
perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya
ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah
Khauf ini dapat menjadi kuat dan lemah tergantung pada
keyakinan seseorang pada ALLAH SWT. Dan selain Khauf yang disebabkan takut pada
hukuman sebagaimana diatas, ada pula Khauf yang disebabkan oleh karena takut
akan kebesaran dan keagungan sesuatu. Jika manusia itu memahami begitu
banyaknya maksiatnya yang akan dihadapkan pada ke-Maha Agungan ALLAH SWT dan
ketidakbutuhan-NYA pada kita, maka akan timbullah rasa takut. Maka orang yang
paling tinggi Khauf-nya adalah yang paling
mengetahui dirinya dan penciptanya, firman ALLAH SWT :
“Sesungguhnya hanyalah yang
paling takut pada ALLAH diantara hambanya adalah para ‘ulama’.” (QS.
Faathir: 28)
Dampak dari Khauf yang benar adalah jika seseorang sudah
benar pemahamannya, maka mulailah rasa Khauf masuk dihatinya dan berdampak pada
pucatnya wajah, tangis, gemetar, dan dampaknya kemudian adalah meninggalkan
maksiat, lalu komitmen dalam ketaatan, lalu bersungguh-sungguh dalam beramal.
Khauf
ada yang berlebihan, moderat dan kurang. Yang berlebihan adalah yang
mengakibatkan rasa putus asa dan berpaling dari taat, sementara yang kurang
akan mengakibatkan tidak meninggalkan maksiat yang dilakukan. Sementara yang
seimbang/moderat (I’tidaal) akan menimbulkan waspada, hati-hati (wara’), takwa,
mujahadah, fikir, dzikir, kesehatan fisik dan kebersihan akal.
Khauf para salafus sholih bermacam-macam, ada yang takut
meninggal sebelum bertaubat, ada yang takut dicoba dengan nikmat, ada yang
takut bergeser dari istiqomah, ada yang takut su’ul khotimah, ada yang
takut dahsyatnya berdiri dihadapan ALLAH SWT, ada yang takut dihijab tidak bisa
melihat wajah ALLAH SWT, dan inilah takutnya para ‘aarifiin sementara yang
sebelumnya adalah takutnya para zaahidiin dan ‘aabidiin. Para
aarifiin ini takutnya murni kepada kehebatan dan keagungan ALLAH, sebagaimana
firman-NYA:
“Dan
ALLAH mempertakuti kamu dengan diri-NYA.” (QS ‘Aali Imraan 3/30)
Diantara
mereka ada Abu Darda’ ra yang berkata: “Tak seorangpun yang merasa aman dari
pengacauan syaithan terhadap imannya saat kematiannya.” Dan Sufyan ats-Tsauriy
saat wafatnya menangis, maka berkata seseorang: “Ya Aba Abdullah! Apa anda
punya banyak dosa?” Maka Sufyan mengambil segenggam tanah dan berkata: “Demi ALLAH
dosaku lebih ringan dari ini, tetapi aku takut dikacaukan imanku sebelum
kematianku.” Ada
pula seorang Nabi yang mengadukan kelaparan dan kekurangan pakaiannya kepada ALLAH
SWT, maka ALLAH SWT mewahyukan padanya: “Wahai hambaku, apakah engkau tidak
ridha bahwa aku telah melindungi hatimu dari kekafiran selama-lamanya sehingga
engkau meminta dunia kepada-KU?” Maka Nabi tadi mengambil segenggam tanah lalu
menaburkannya diatas kepalanya (karena rasa syukurnya) sambil berkata: “Demi ALLAH,
aku telah ridha ya ALLAH, maka lindungilah aku dari kekafiran.”
Keutamaan Khauf disebutkan dalam hadits Nabi SAW: “Berfirman Allah
SWT: Demi Keagungan dan Kekuasaan-KU tidak mungkin berkumpul 2 rasa takut dalam
diri hambaku dan tidak akan berkumpul 2 rasa aman. Jika ia merasa aman pada-KU
di dunia maka akan aku buat takut ia di hari kiamat, dan jika ia takut pada-KU
di dunia maka akan aman ia di akhirat.” (HR Ibnu Hibban 2494)
1. Takutnya
para Malaikat : “Mereka merasa takut kepada Rabb-nya, dan mereka melakukan
apa-apa yang diperintahkan ALLAH.” (QS An-Nahl 16/50).
2. Takutnya
Nabi SAW. “Bahwa Nabi SAW jika melihat mendung ataupun angin maka segera
berubah pucat wajahnya. Berkata A’isyah ra: “Ya Rasulullah, orang-orang jika
melihat mendung dan angin bergembira karena akan datangnya hujan, maka mengapa
anda cemas?” Jawab beliau SAW: “Wahai A’isyah, saya tidak dapat lagi merasa
aman dari azab, bukankah kaum sebelum kita ada yang diazab dengan angin dan
awan mendung, dan ketika mereka melihatnya mereka berkata: Inilah hujan yang
akan menyuburkan kita.” (HR Bukhari 6/167 dan Muslim 3/26) Dan dalam hadits
lain disebutkan bahwa Nabi SAW jika sedang shalat terdengar didadanya suara
desis seperti air mendidih dalam tungku, karena tangisnya.
3. Khauf-nya
shahabat ra. Abubakar ra sering berkata: “Seandainya saya hanyalah buah pohon
yang dimakan.” Umar ra sering berkata: “Seandainya aku tidak pernah diciptakan,
seandainya ibuku tidak melahirkanku.” Abu ‘Ubaidah ibnal Jarraah ra berkata:
“Seandainya aku seekor kambing yang disembelih keluargaku lalu mereka memakan
habis dagingku.” Berkata Imraan bin Hushain ra: “Seandainya aku menjadi
debu yang tertiup angin kencang.”
4. Khauf-nya
Tabi’iin. Ali bin Husein jika berwudhu untuk shalat pucat wajahnya, maka
ditanyakan orang mengapa demikian? Jawabnya: “Tahukah kalian kepada siapa saya
akan menghadap?” Berkata Ibrahiim bin ‘Iisa as Syukriy: “Datang padaku seorang
lelaki dari Bahrain
ke dalam mesjid saat orang-orang sudah pergi, lalu kami bercerita tentang
akhirat dan dzikrul maut, tiba-tiba orang itu demikian takutnya sampai
menghembuskan nafas terakhir saat itu juga.” Berkata Misma’: “Saya menyaksikan
sendiri mau’izhoh Abdul Waahid bin Zaid disuatu majlis, maka wafat 40 orang
saat itu juga dimajlis itu setelah mendengar ceramahnya.” Berkata Yaziid bin
Mursyid: “Demi ALLAH seandainya Rabb-ku menyatakan akan memenjarakanku dalam
sebuah ruangan selama-lamanya maka sudah pasti aku akan menangis selamanya,
maka bagaimanakah jika ia mengancamku akan memenjarakanku didalam api?!”
Demikianlah Khauf para Malaikat, Nabi-nabi, ulama dan
auliya’, maka kita lebih pantas untuk takut dibanding mereka. Mereka takut
bukan karena dosa, melainkan karena kesucian hati dan kesempurnaan ma’rifah,
sementara kita telah dikalahkan oleh kekerasan hati dan kebodohan. Hati yang
bersih akan bergetar karena sentuhan kecil, sementara hati yang kotor tak
berguna baginya nasihat dan ancaman.
2.2.3 Al-Raja’
Raja' adalah sikap mengharap dan menanti-nanti sesuatu yang
sangat dicintai oleh si penanti. Sikap ini bukan sembarang menanti tanpa
memenuhi syarat-syarat tertentu, sebab penantian tanpa memenuhi syarat ini
disebut berangan-angan (tamniyyan). Orang-orang yang menanti ampunan dan rahmat
ALLAH tanpa amal bukanlah Raja' namanya, tetapi berangan-angan kosong.
Ketahuilah bahwa hati itu sering tergoda oleh dunia,
sebagaimana bumi yang gersang yang mengharap turunnya hujan. Jika diibaratkan,
maka hati ibarat tanah, keyakinan seseorang ibarat benihnya, kerja/amal
seseorang adalah pengairan dan perawatannya, sementara hari akhirat adalah hari
saat panennya. Seseorang tidak akan memanen kecuali sesuai dengan benih yang ia
tanam, apakah tanaman itu padi atau semak berduri ia akan mendapat hasilnya
kelak, dan subur atau tidaknya berbagai tanaman itu tergantung pada bagaimana
ia mengairi dan merawatnya.
Dengan mengambil perumpamaan di atas, maka Raja' seseorang
atas ampunan ALLAH adalah sebagaimana sikap penantian sang petani terhadap
hasil tanamannya, yang telah ia pilih tanahnya yang terbaik, lalu ia taburi
benih yang terbaik pula, kemudian diairinya dengan jumlah yang tepat, dan
dibersihkannya dari berbagai tanaman pengganggu setiap hari, sampai waktu yang
sesuai untuk dipanen. Maka penantiannya inilah yang disebut Raja'.
Sedangkan petani yang datang pada sebidang tanah gersang lalu
melemparkan sembarang benih kemudian duduk bersantai-santai menunggu tanpa
merawat serta mengairinya, maka hal ini bukanlah Raja' melainkan bodoh (hamqan)
dan tertipu (ghuruur). Berkata Imam Ali ra tentang hal ini:
"Iman
itu bukanlah angan-angan ataupun khayalan melainkan apa-apa yang menghunjam di
dalam hati dan dibenarkan dalam perbuatannya."
Raja’ atau harapan menurut Al
Qusyairi adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di
masa yang akan datang, seperti halnya takut juga berkaitan dengan apa yang akan
terjadi dimasa datang. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan akan lenyapnya
beban di hati. Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan.
Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan. Harapan berarti melihat
pada kasih sayang Allah Yang Maha Meliputi. Al Ghazali memandang Raja’ sebagai
senangnya hati karena menunggu Sang Kekasih datang kepadanya. Khawf dan Raja’
adalah dua kata yang senantiasa bergandengan dan tidak akan terputus, jika terputus
bukan Khawf dan Raja’ namanya. Jika seseorang berkata, “Aku berharap terbitnya
matahari disaat terbit dan aku takut terbenamnya disaat terbenam.”, ucapan itu
menurut Al-Ghozali bukanlah Khawf dan Raja’ karena ada yang terputus. Tapi jika
ada yang mengatakan,” Aku berharap turun hujan dan aku takut berhentinya.”,
itulah ucapan yang menunjukkan keterpautan Khawf dan Raja’.
Abu
Ali Al-Rudzbari memandang Khawf dan
Raja’ seperti sepasang sayap burung. Apalabila takut dan harap keduanya tidak
ada, maka si burung akan terlempar ke jurang kematiannya. Raja’ berarti suatu
sikap mental optimism dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan
bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh. Dalam pandangan Al Sarraj, Raja’ merupakan
hal yang mulia. Kemuliaan hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya,
· ” Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
(QS. Al-Ahzab : 21).
·
Firmannya yang lain
“Orang-orang
yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di
antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)
ditakuti”. (QS. Al-Isra’ : 57)
Menurut
Al-Sarraj Raja’ terdiri atas tiga bagian :
a. raja’ bersama Allah (fi Allah)
b. raja’ di dalam luasnya rahmat Allah (fi
sa’ati rahmat Allah)
c. raja’ di dalam pahala Allah (fi tsawab Allah).
2.2.4 Al-Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya
cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah.
Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai
mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni.
Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu
harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan
pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan
rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa
rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
Secara literal, syauq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya
cinta. Menurut Suhrawardi, syauq merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti
halnya zuhud bagian dari tobat. Jika mahabbah sudah mantab akan tampak pula syauq.
Menurut Abu Utsman siapa yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak
berjumpa dengan-Nya. Rasa rindu tak mungkin ada pada yang mencinta. Sementara
itu, Dzunun memandang syauq sebagai
derajat atau maqom tertinggi. Jika sang hamba sudah mencapai derajat Syauq ini
mati rasanya mudah dan ringan karena kerinduan kepada Tuhannya dan harapan
hendak berjumpa dengan-Nya.
Pengetahuan dan pengenalan
yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa
senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin
bertemu, hasrat akan selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Di setiap denyutan
jantung, detak kalbu, dan desah nafas, serta ingatan hanya kepada Allah, itulah
Syauq (rindu).
Menurut Al Sarraj orang yang
merindu itu terbagi atas tiga golongan.
a. pertama adalah mereka yang merindu
kepada janji Allah atas para kekasih-Nya tdntang pahala, karamah, keutamaan,
dan keridlaan-Nya.
b. Kedua, mereka yang rindu kepada
kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan bersemayamnya rindu itu hendak
bertemu dengan kekasihnya.
c. Ketiga, mereka yang menyaksikan
kedekatan Allah terhadap dirinya, Allah senantiasa hadir tidak pernah pergi,
maka hatinya merasa senang walau hanya menyebut nama-Nya saja.
2.2.5
Al-Uns
Dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau
keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns adalah perbincangn roh dengan Sang
Kekasih pada kondisi yangs sangat dekat. Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan
lega yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya. Salah seorang pemuka
thabi’in menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz,”Hendaknya
keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain
dengan-Nya.”. Menurut Al-Sarraj, ‘Uns
bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan
benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang
menjauhkannya dari Allah.
Orang-orang yang intim itu
terbagi atas tiga tingkatan.
Pertama, mereka yang merasa
intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab
ketaatan dan jauh dari dosa.
Kedua, Ketika sang hamba sudah
sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun selain-Nya, yakni
pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya.
Ketiga
adalah hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan
keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat
‘uns itu sendiri.
2.2.6
Al-Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada
rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran
karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut
al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam
ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah
dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
Secara literal, Thuma’ninah berarti tenang tentram, tidak ada
perasaan khawatir atau was-was, tak ada yang dapat ,mengganggu perasaan dan
pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi.
Thuma’ninah menurut Al-Sarraj adalah hal yang paling tinggi. Thuma’ninah bagi sang hamba berarti kuat
akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya, bersih ingatannya dan kokoh realitasnya
(haqiqat). Beberapa firman Allah tentang Thuma’ninah, diantaranya:
·
”Ya” (yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”(QS. Al-Ra’du:28)
·
“Wahai jiwa yang tenang”(QS.
Al-Fajr:27)
Thuma’ninah terbagi menjadi 3
tingkatan.
Pertama adalah kaum awam.
Mereka merasa tenang jika menyebut-Nya.
Kedua, Kelompok
khushus(khusus). Mereka tenang karena rela dengan ketetapan-Nya, sabar dengan ,
musibah-Nya, bertakwa, ikhlas, dan damai.
Ketiga, kelompok istimewa
(khusus al khusus) mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia yang ada pada mereka
tidak akan mampu membuat tenang kepada-Nya, karena rasa agung dan segan yang
hinggap dihati mereka. Menurut mereka, Allah tidak memiliki akhir yang mungkin
dicapai.
2.2.7 Al-Musyahadah
Musyahadah adalah
nampaknya Allah pada hambanya dimana seorang hamba tidak melihat sesuatu apapun
dalam beribadah, kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini dalam hatinya, bahwa
ia hanyalah berhadapan dan dilihat oleh Allah SWT. Dalam beribadah ia
tidakmenghiraukan lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya, termasuk dirinya
sendiri karena asyiknya berhubungan dengan Allah seakan-akan Allah benar-benar
nampak dihadapannya.
Seorang akan dapat mencapai musyahadh
billah, jikalau ia melakukan mujahadah fil amal dan sebelumnya telah mencapai
maqam fana’ atau memunafikkan tujuan lain selain daripada Allah. Ibadahnya
hanya semata-mata ditujukan dan dihadapkan kepada Allah dan sama sekali bebas
dari unsur riya’.
Adapun terjadinyamusyahadah adalah dengan
adanya nur musyahadah yang terpancar dalam hati seseorang. Dan terjadinya musyahadah
ini melalui tiga tahap yaitu :
a. Nur
musyahadah pertama, adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seorang merasa
muraqabah/ berintaian dengan Allah.
b. Nur musyahadah kedua, adalah tampaknya
keadaan “adamiah” yakni hilangnya segala
maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud yang hakiki.
c. Nur musyahadah ketiga yakni tampaknya
Dzatullah yang maha suci. Dalm hal ini bila seorang telah fana’ sempurna, yaitu
diantaranya telah lebur dan yang baqa’ hanyalah wujud Allah.
Musyahadah ini masuk pada hati seorang
hamba Allah yang telah melakukan mujahadah fil ibadah dengan cara memfana’kan
diri terlebih dahulu, mengikhlaskan dirinya dalam beribadah dan menghilangkan
sifat-sifat yang menjadi penghalangnya musyahadatur rabbaniyah. Karena itu ada
pula yang mengatakan bahwa musyahadah bisa dicapai melewati pintu mati.
Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk
sampai pada musyahadah dengan Allah melalui pintu mati(dalam pengertian matinya
nafsu untuk hidupnya hati)dapat ditempuh pada 4 tingkat yaitu :
1. Mati tabi’i
Menurut sebagian ahli thariqat, bahwa mati
thabi’i terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qalbi didalam dzikir
lathaif. Dan mati tabi’i ini merupakan pintu musyahadah pertama dengan Allah.
2. Mati ma’nawi
Menurut
sebagian ahli thariqat bahwa mati ma’nawi ini terjadi dengan karunia Allah pada
seseorang salik saat melakukan dzikir Lathifatur Ruh dalam dzikir lathifatur
Ruh dalam dzikir lathaif. Terjsdinya itu sebagai ilham yang tiba-tiba nur Ilahi
terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap
dan mata batin menguasai penglihatan.
3. Mati suri
Mati suri
ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir
lathifatus sirri dalam dzikir lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang salik
telah memasuki pintu musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan
lenyap/fana’ alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam ghaib/alam malakut
yang penuh dengan nur cahaya. Dalm pada ini yang baqa’ adalah nurullah, nur
shifatullah, nur asmaullah, nur dzatullah dan nurun ala nurin.
4. Mati hissi
Mati hissi
terjadi juga karena karunia Allah pada saat seseorang/salik melakukan dzikir
lathifatul hafi dalam dzikir lathaif. Pada tingkat keempat ini, seorang atau
salik telah sampai pada tingkat yang lebih tinggi untuk mencapai ma’rifat
sebagai maqam tertinggi.
Untuk mencapai
keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah dengan mujahadah, niscaya Allah
akan memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah. Apabila seseorang telah
mendapatkan karunia Allah dengan musyahadah, maka dengan sendirinya akan
lenyaplah segala hijab dari sifat-sifat basyariah, nampaknya Allah atau
tajalli.
2.2.8
Al-Yakin
Al-yaqin berarti perpaduan
antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang
mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung
dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam
hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj
yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga
dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .
Perpaduan
antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang
bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam
jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu.
Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung,
itulah yang disebut dengan Al Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan
segenap jiwanya.
Keyakinan menurut Al Sarraj
merupakan hal yang tinggi. Ia adalah pondasi dan sekaligus bagian akhir serta
pangkalan terakhir dari seluruh ahwal. Dengan kata lain seluruh ahwal terletak
pada keyakinan yang nampak (Zahir) Puncak dari keyakinan ini diisyaratkan Allah
dalam firman-Nya.
”Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda”. (QS. Al Hijr : 75).
”Dan di bumi itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Dzariyat :20)
Lebih lanjut menurut Al sarraj seluruh ayat-ayat
Allah yang berbicara mengenai yaqin sesungguhnya terdiri atas tiga hal : Ilm
Al-yaqin, ‘ain Al yaqin, dan haq Al yaqin. Al Junaid berpandangan bahwa
keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak
berpindah, dan tidak berubah. Karena tetapnya keyakinan ini, nabi pernah
bersabda,”Sekalian makhluk nanti akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan mereka
ketika mati.” Maksudnya sesuai dengan keyakinan mereka ketika mati.
BAB IV
KESIMPULAN
Banyak orang mukmin yang sudah beribadah dengan
baik kepada Allah SWT tetapi mereka belum bisa khusyu’ dalam ibadahnya karena
keadaan jiwa mereka belum tenang atau stabil, sedangkan agar kita bisa dekat
kepada Allah SWT adalah kejiwaan kita haruslah tenang. Tidak bisa dipungkiri
bahwa manusia pasti merasakan apa yang namanya keadaan mental seperti senang,
sedih, perasaan takut dan sebagainya, tetapi kita tidaklah boleh terlalu
terhanyut di dalam keadaan tersebut karena kita harus segera merubahnya menjadi
lebih baik.
Selain itu kita haruslah mencontoh sifat sufi yang selalu
melatih sifat mentalnya dengan cara riyadlah
yang berarti latihan mental, mujahadah yaitu
bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah, uzlah yaitu mengasingkan diri dari pengaruh keduniawian, muraqabah mendekatkan diri kepada Allah.
Setelah itu adalah suluk yang berarti
menjalankan cara hidup seperti sufi yaitu berdzikir dan berdzikir.
Meski para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian
ahwal secara luas, perlu dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah
anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari
usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara
hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang
dan pergi.
Dalam macamnya, terdapat
beberapa macam Ahwal yang diantaranya, Muuraqabah, Khawf, Raja’, Syauq, ‘Uns,
Thuma ‘Ninah, Musyahadah, Yaqin yang dimana pada setiap macamnya memiliki
tingkatan masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
- Azis, Saifullah, 1998, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Terbit Terang.
- Nata, Abuddin, 1996, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
- Toriqudin, Mohammad, 2008, Sekularitas tasawuf, Malang: UIN-MALANG PRESS.
- Syukur, Amin, 2003, Tasawuf kontekstual, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
- Zahri, Mustafa, 1995, Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu.
- Suhrawardi Syekh Syihabuddin Umar, 1998, Awarif al-Ma’arif., (ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail), Bandung: Pustaka Hidayah.
- Solihin, M, 2001, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia.
- Kartanegara, Mulyadi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga.
- Bahri, Media Zainul. 2005. Menembus Tirai Kesendiriannya. Jakarta: Prenada.
- Haeri, Syekh Fadhlalla. 2003. Dasar-Dasar Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
- Shihab, Alwi. 2001. Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi dalam Islam
- Sufistik dan Pengaruhnya Hingga Kini. Bandung: Mizan.
- Syukur, Amin. 1999. Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Syihabuddin
Umar Suhrahwardi, ‘Awarif al-Ma’arif, Op. Cit, h. 109.
[2] Syihabuddin
Umar Suhrahwardi, ‘Awarif al-Ma’arif, Op. Cit, h. 111.
[3] Azis
Saifulah, risalah memahami ilmu tasawuf, (Surabaya:terbit terang),hlm.200.
[4] Mengenal
Allah swt.
[5] Disarikan dari Kitab Mukhtashar
Minhaajul Qaasidiin, Syaikh Ahmad bin Abdirrahman bin Qudamah al-Maqdisiy
rahimahullah. Dan HR Abu Daud 904, Turmudzi dalam Syamaa’il 305, al-Baghawiy
729, Ahmad 4/25-26.
sangat bermanfaat thank ya gan
BalasHapus