BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Persoalan Iman (aqidah) merupakan aspek
utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Pentingnya masalah aqidah ini dalam
ajaran Islam tampak jelas dalam
misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode tersebut, persoalan aqidah
memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at sehingga tema
sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat
yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam
Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti
“kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan
pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli
debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi
Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak
mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama
muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan
tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu meningkat
menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam
sejak awal memang dapat mengemukakan
dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian
tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai
persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas
pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para
rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin
lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan
kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu
kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij,
Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan
aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan
secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di
dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya
secara umum.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apakah latar belakang lahirnya aliran
Jabariyah dan Qadariyah?
2.
Apa saja doktrin-doktrin aliran
Jabariyah dan Qadariyah?
3.
Siapa
sajakah tokoh-tokoh dalam aliran Jabariyah dan Qadariyah?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui latar belakang lahirnya
aliran Jabariyah dan Qadariyah.
2.
Untuk mengetahui doktrin-doktrin aliran
Jabariyah dan Qadariyah.
3.
Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam aliran Jabariyah dan Qadariyah.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aliran Jabariyah
2.1.1
Pengertian
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang
berarti memaksa dan mengharuskannya
melaksanakan sesuatu atau secara harfiah dari lafadz al-jabr yang
berarti paksaan. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Al-jabbar (dalam
bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Selanjutnya kata jabara setelah
ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu kelompok atau aliran.
Lebih lanjut Asy- Syahratsan menegasakan bahwa paham Al jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah.[1]
Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Menurut Harun Nasution, jabariyah adalah paham yang
menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh
Qada dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan
oleh manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan
dengan kehendaknya, disini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat,
karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah adalah
aliran manusia menjadi wayang dan tuhan sebagai dalangnya.[2]
Dalam bahasa inggris, jabbariyah disebut fatalism
atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah
ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[3])
Secara teminologis, berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah SWT. Jabariyyah
menurut mutakallimin adalah sebutan untuk mahzab al kalam yang
menafikkan perbuatan manusia secara hakiki dan menisbatkan kepada Allah SWT
semata.[4])
2.1.2
Latar Belakang
Paham Al Jabr pertama kali diperkenalkan oleh
Ja’ad bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam
sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyyah
dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Surai bin Al hariz dan
selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani Umayyah. Namun dalam
perkembangannya paham Jabariyyah juga dikembangkan oleh tokoh lainnya
diantaranya Al Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’ad bin Dirrar.[5]
Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah
muncul sejak sebelum agama Islam
datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir
sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi
yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang
panas ternyata tidak dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
yang kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[6]
Dan dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah
keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka
merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
bergantung terhadap alam, sehinggga menyebabkan mereka kepada paham fatalisme.[7]
Dalam Al Quran sendiri banyak terdapat ayat-ayat
yang menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah, diantaranya8:
- QS Ash-Shaffat :96
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Artinya:
“Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
- QS Al-Anfal :17
$tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4
Artinya: “dan bukan kamu yang melempar
ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.”
- QS Al-Insan :30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ
Artinya : “Dan kamu tidak
mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Selain ayat-ayat Al Quran diatas ,
benih-benih faham al-jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah[8]
:
a.
Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya
yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka
memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran
tentang ayat-ayat tuhan mengenai takdir.
b.
Khalifah Umar Bin Khattab pernah
menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah
menentukan aku telah mencuri”. Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah
berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu,
yaitu : hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan
dalil takdir Tuhan.
c.
Ketika Khalifah Ali bin Abu-thalib
ditanya tentang kadar Tuhan dalam kaitannya tentang siksa dan pahala. Orang itu
bertanya, “ apabila berjalan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan Qada dan
Qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskan
bahwa Qada dan Qadar tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan
didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka
tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah dan tidak ada
pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang yang berbuat dosa.
d.
Adanya paham jabar telah mengemukakan ke
permukaan pada masa bani umayyah yang tumbuh berkembang di Syria.
Disamping adanya bibit pengaruh faham jabar yang
telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri, ada sebuah
pandangan mengatakan bahwa aliran jabar muncul karena adanya pengaruh dari
pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermadzhab Qurra dan agama Kristen
bermadzhab Yacobit.
2.1.3
Macam-macam kelompok Aliran Jabariyyah dan Tokohnya
Menurut
Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian kelompok ekstrim dan moderat.
2.1.3.1
Jabariyah Ekstrim
Jabariyah murni atau
ekstrim,yang dibawa oleh Jahm bin Shafwān paham fatalisme ini beranggapan bahwa
perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tanpa ada kaitan
sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
Manusia sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan tidak memiliki daya untuk
berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti
takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan
Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat” bukan
dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majāzī atau kiasan.
Seperti halnya
“perbuatan” yang berasal dari benda-benda mati. Misalnya dikatakan: pohon
berbuah, air mengalir,batu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit
mendung dan menurunkan hujan, bumi bergerak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan,
dan sebagainya. Selain itu, menurut mereka pahala dan dosa ditentukan
sebagaimana halnya dengan semua perbuatan. Jika demikian, maka taklif atau
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab juga merupakan suatu paksaan. Kalau
seseorang mencuri atau minum khamr misalnya, maka perbuatannya itu bukanlah
terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan
yang menghendaki demikian. Dengan kata lain bahwa ia mencuri dan meminum khamr
bukanlah atas kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya untuk berbuat
demikian.
Di
antara totoh-tokoh Jabariyah ekstrim/ murni ialah sebagai berikut:
1. Jahm bin Shufwan
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan
persoalan teologi adalah sebagai berikut:
a. Manusia tidak mampu untuk berbuaat
apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak
mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal
dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam
Tuhan, meniadakan sifat Tuhan(nafyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
b. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak
ada yang kekal selain Tuhan.
c. Iman adalah ma’rifat atau
membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang
diajukan kaum Murji’ah.
d. Kalam Tuhan adalah makhluq. Allah
maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara,
mendengar dan melihat. Begitupula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata
di akhirat kelak.
Dengan demikian, beberapa pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan As-Ariah. Itulah sebabnya para
pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan
Al-Asy’ari.
2. Ja’d bin dirham
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm.
Al-Ghuraby Menjelaskannya sebagai berikut :
a. Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena
itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b. Allah tidak mempunyai sifat yang
serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
c. Manusia terpaksa oleh Allah dalam
segala-galanya.
2.1.3.2
Jabariyah
moderat
Jabariyah moderat, yang dibawa oleh al-Husain bin
Muhammad al-Najjār. Dia mengatakan bahwa Allah berkehendak artinya bahwa manusia
tidak terpaksa atau dipaksa. Allah adalah pencipta dari semua perbuatan
manusia, yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, tetapi manusia
mempunyai andil dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannnya. Dan inilah yang disebut dengan kasb (Orang yang mengaku adanya pebuatan dari
manusia namun perbuatan manusia tidak membatasi)[9].
Paham ini juga dibawakan oleh Dhirār bin ‘Amru. Ketika dia mengatakan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah, dan manusia
juga pada hakikatnya memiliki baagian untuk mewujudkan berbuatannya. Dengan
demikian, menurutnya bisa saja sebuah tindakan dilakukan oleh dua pelaku.
Paham moderat ini mengakui adanya intervensi manusia
dalam perbuatannya. Karena manusia telah memiliki bahagian yang efektif dalam
mewujudkan perbuatannya. Sehingga manusia tidak lagi seperti wayang yang
digerakkan dalang. Menurut paham ini, Tuhan dan manusia bekerja sama dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia.
Yang
termasuk tokoh Jabariyah Moderat adalah sebagai berikut:
1. An-Najjar
Di antara
pendapat-pendapatnya adalah:
a. Tuhan menciptakan segala perbuatan
manusia, tetapi manusia memiliki bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari.
Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang
yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
b. Tuhan tidak dapat dilihat di
akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan
potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
2. Adh-Ddirar
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar,
yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa
dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dirrar mengatakan bahwa satu
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan
manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa
Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa
hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat
dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
2.2
Qadariyah
2.2.1
Pengertian
Qadariyah berasal
dari bahasa arab, yaitu qodara yang artinya kemampuan dan kekutan. Adapun
menurut pengertian terminologi
qodariyyah
adalah
suatu aliran kepercayaan segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.
Aliran ini juga berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak
sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, qodariyyah merupakan nama
suatu aliran yang memberikan suatu penekanan atas kebebasan dan kekuatan
manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum
qodariyyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qodrat atau kekuatan
untuk melaksanakan kehendaknya, akan tetapi bukan berarti manusia terpaksa
tunduk paada qodrat Tuhan.[10]
kata qadar dipergunakan untuk menamakan orang yang mengakui qadar digunakan
untuk kebaikan dan keburukan pada hakekatnya kepada Allah.
2.2.2
Latar Belakang
Latar belakang timbulnya qodariyah ini sebagai isyarat kebijaksanaan politik Bani Ummayah yang di
anggapnya kejam. Tak dapat diketahui pasti kapan
paham ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi Islam. Menurut
Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa qodariyyah pertama
dimunculkan oleh Ma’bad Al Jauhani dan Ghoilan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah
seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al Basri.
Tetapi ia memasuki lapangan
politik dan memihak ‘Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, Gubernur Sajistan dalam
menentang bani Umayah. Dalam pertempuran dengan al- Hajjaj, ia mati terbunuh
ditahun 80 H. Adapun Ghoilan adalah berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi
maula Usman bin Affan.[11]
Ahmad Amin juga mengutip dalam kitab Syarh Al
Uyun. Informasinya yaitu yang pertama kali memunculkan paham qodariyyah
adalah orang Iraq yang semula beragama Kristen yang kemudian masuk Islam dan
kembali lagi masuk Kristen. Dari orang inilah Mabad dan Ghoilan mengambil paham
ini. Orang Iraq yang dimaksud sebagaimana dikatakan Muhammad ibn Syuaib yang
memperoleh informasi dari Al Auzai, adalah Susan.[12]
Sementara itu W. Montgomery Watt menemukan dokumen
lain melalui tulisan dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah
Islam tahun 1933 menjelaskan bahwa qodariyyah terdapat dalam kitab risalah dan
ditulis untuk khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al Basri sekitar tahun 700 M,
sedangkan Hasan Al Basri sendiri (642 – 728) merupakan anak seorang tahanan di
Iraq yang lahir di Madinah, akan tetapi pada tahun 657 pergi ke Basra dan
tinggal disana sampai akhir hayatnya. Yang menjadi perdebatan yaitu apakah
Hasan Al Basri termasuk orang qodariyyah, namun yang jelas berdasarkan
catatannya yang terdapat dalam kitab risalah ia percaya bahwa manusia dapat
memilih secara bebas antara baik dan buruk. Namun menurut Watt, Ma’bad Al
Jauhani dan Ghailan Ad Dimasyqy adalah menganut qodariyyah yang hidup setelah
Hasan Al Basri.[13]
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah
sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah
dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul
Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk
sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu
tertampung dalam Muktazilah.
Faham Qadariyah diduga berasal dari orang Irak bernama Susan
yang beragama Kristen, kemudian memeluk agama Islam, dan terdapat dua pendapat
tentang penamaan aliran Qadariyah;
1. pendapat yang menyandarkan kepada
orang-orang yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta dan memiliki
kekuatan mutlak terhadap apa yang akan diperbuatnya, tanpa intervensi apapun
dari Tuhan.
2. Kedua, adalah orang-orang yang
berkeyakinan bahwa qudrah manusia bukan pada penciptaan perbuatan tetapi pada
pemilihan dan pelaksanaan perbuatan tersebut.
Pendapat lain, W. Montgomery Watt
menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam
Kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri
sekitar tahun 700 M. Ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah
tentang aliran Qadariyah atau Jabariyah yang lebih dulu hadir? Penulis makalah
berpendapat bahwa aliran Qadariyah lebih dahulu muncul, disebabkan 2 hal;
Pertama, dilihat dari tahun wafat pencetus faham ini yaitu Ma’bad
al-Juhani.Kedua, faham Jabary
atau fat ali sm yang ada waktu dulu belum berbentuk sebuah institusi alir
kembali lagi ke Kristen. Dari Susan inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham
tersebut.
Dengan disebutkannya Ma’bad al-Juhani pernah berguru dengan
Hasan al- Basri pada keterangan Adz-Dzahabi dalam kitab Mizan al-I’tidal, maka
sangat mungkin faham Qadar yang mula-mula dikenalkan oleh Hasan al-Basri dalam
bentuk kajian-kajian keIslaman, kemudian dicetuskan oleh Ma’bad al-Juhani dan
Ghailan ad-Dimasyqi dalam bentuk aliran (institusi).
Ada dua sebab utama yang dapat dikategorikan menjadi sebab
munculnya faham dan aliran Qadariyah yaitu :
1.
Masyarakat Arab yang cenderung fatalis, kehidupan yang serba sulit, faktor alam
yang tidak mendukung untuk lepas dari faham tersebut. Agama Islam yang dianut
oleh mereka justru menjadikan mereka bertambah dalam ke faham fatalis tersebut.
Allah SWT telah menentukan nasib manusia terlebih dahulu, dalam perbuatannya,
manusia hanya bertindak menurut nasib yang ditentukan sejak azali. Ada
Sunnatullah yang hadir dalam setiap detak dan detik denyut kehidupan semesta
ini, dan manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan.
2. Secara
politis, pemerintah yang berkuasa ketika itu, Bani Umayyah, menganut dan
menekankan fahamfatalis, serta menjadikannya legitimasi Susan adalah penganut
filsafat Nasrani Sekte Nestorian yang mendirikan sekolah filsafat di
Gundisapur, dan berdekatan dengan Basrah. Sekte Nestorian ini mengadopsi
filsafat Yunani aliran Epikureanisme (Abiquriyyun), dengan konsepnya.
Dikarenakan perbuatan-perbuatan kita adalah bebas, dan kepada merekalah
(perbuatan-perbuatan tersebut) dilekatkan pujian dan celaan.
Paham qodariyyah mendapat tantangan keras dari umat
Islam. Beberapa hal yang mendapat
tantang keras yaitu seperti[14]
:
1.
Pendapat Harun Nasution karena
masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham fatalis.
Kehidupan bangsa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan.
Mereka yang selalu menerima keadaan alam panas yang menyengat serta tanah dan
gunung yang gundul yang mengakibatkan merasa dirinya lemah dan tak mampu
menghadapi kesukaran hidup oleh alam sekelilingnya. Paham itu terus dianut
kendatipun mereka sudah beragama Islam, karena itu ketika qodariyyah
dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya karena bertentangan dengan doktrin
Islam.
2.
Tantangan dari pemerintah karena pejabat
pemerintah menganut paham jabariyyah ada kemungkinan juga, pejabat pemerintah
menganggap paham qodariyyah sebagai usaha menyebarkan paham dinamis dan daya
kritis rakyat yang pada akhirnya mampu mengkritik dan bahkan dapat
menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
3. Doktrin-Doktrin Qodariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan
masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah,
sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga
menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah
sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah, akibatnya orang
menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya
bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan
Tuhan.[15]
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang
doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia
sendiri pula melakukan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya
sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain , An-Nazzam , mengemukakan
bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala perbuatannya.[16]
Doktrin Qodariyah pada dasarnya menyatakan bahwa
segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendak sendiri. Manusia mempunyai
kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas ke hendaknya sendirh, baik
perbuatan baik maupun jahat. Sesungguhnya tidak pantas, manusia menerima
siksaan atau tindakan salah yang di lakukan bukan atas keinginan dan kemampuan.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam
pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham
yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam
faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi
alam semesta seluruh isinya. Sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah
al-Qur’an adalah Sunatullah.
Dalam paham Qodariyah, takdir itu adalah ketentuan
Allah yang menciptakannya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, siksa
Azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatullah. Dengan
pemahaman yang seperti ini, kaum Qodariyah berpendapat, bahwa tidak ada alasan
yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan.
Doktrin-doktrin ini mempunyai pijakan dalam dokrtin Islam sendiri.[17]
Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam Surat
al Kahfi ayat 29 :
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 .....ÇËÒÈ
Artinya : “Dan Katakanlah: "Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir"…”.
Menurut
Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, ia melakukan
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan itu adalah perbuatan baik
maupun perbuatan buruk. Dalam paham ini manusia merdeka dalam segala tingkah lakunya, berdasarkan
kemauan dan daya yang dimiliki. Dialah yang menentukan nasibnya, bukan Tuhan
yang menentukan, pandangan tersebut didasarkan pada beberapa
ayat al Qur’an, antara lain QS. Al Ra’d ayat 11
¼çms9
×M»t7Ée)yèãB
.`ÏiB
Èû÷üt/
Ïm÷yt
ô`ÏBur
¾ÏmÏÿù=yz
¼çmtRqÝàxÿøts
ô`ÏB
ÌøBr&
«!$#
3
cÎ)
©!$#
w
çÉitóã
$tB
BQöqs)Î/
4Ó®Lym
(#rçÉitóã
$tB
öNÍkŦàÿRr'Î/
3
!#sÎ)ur
y#ur&
ª!$#
5Qöqs)Î/
#[äþqß
xsù
¨ttB
¼çms9
4
$tBur
Oßgs9
`ÏiB
¾ÏmÏRrß
`ÏB
@A#ur
ÇÊÊÈ
Artinya:”bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.”
2.3
Refleksi
Faham Qadariyah dan Jabariyah: Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam
paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas
yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan
gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham
Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh
manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya,
manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan
perbuatannya.
Pada perkembangan
selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan
konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional
dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di
atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash
agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran).
Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham
Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang
terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat
dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan
manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah
biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan
perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana
letak peranan manusia pada kecelakaan itu. Kedua paham teologi Islam tersebut
membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi
sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan
oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar,
karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus
dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam
paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga
adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia
demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap
dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham
Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa
dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan
Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban
dan memetik "hikmat" sudah dilakukan. Sedang hikmat yang dimaksud
hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi
dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan tsunami tidak
secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang
harus dijawab: “Adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem
kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan
tsunami?” Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi
(pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda
musibah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah
yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia
akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan
tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah
ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat
tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat
meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu
tersebut yang membuat adalah Allah SWT. Dalam
masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu lemah tetap bisa
diberlakukan secara temporal, terutama dalam langkah awal menyampaikan dakwah
Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang masih memerlukan
pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya
didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan irodat Allah SWT, ditambah
pula dengan sifat wahdaniat-Nya.
Sementara bagi Qodariyah manusia adalah pelaku
kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga kekufuran, ketaatan dan juga
ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah dan Qodariyah
tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Jabariyah
dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat
yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan
menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan
kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak
mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan berbahaya pula,
mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat.
Demikian makalah dari kami yang berjudul “Jabariyah dan Qodariyah”
kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan di masa
mendatang.
Sebagai penutup dalam makalah ini. Kedua aliran, baik Qadariyah
ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling
bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini
menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2011. http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/jabariyah-dan-qadariyah-pemikiran-dan.html. Diakses tanggal 9 Oktober 2011.
Anonimous. 2011. http://wans84.wordpress.com/2010/10/11/aliran-jabariyah-dan-qadariyah/. Diakses tanggal 9 Oktober 2011.
Asmuni,
Yusran. 1996. Dirasah Islamiyah:
Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Daudy,
Ahmad. 1997. Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta:
Bulan Bintang.
Hadariansyah,
AB. 2008. Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam,
Banjarmasin: Antasari Press.
Maghfur,
Muhammad. 2002. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Ilmu.
Bangil: Al-Izzah
Nassution,
Harun. 2008. Teologi Islam: Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI-Press
Razak,
Abdul dan
Rosihan Anwar. 2007. Ilmu
Kalam. Bandung: Pustaka
Setia
Sarkowi. 2010. Teologi Islam Klasik. Malang: RëSIST Literacy
Syahrastani.
2006. Al-Milal wa Al-Nihal. (diterjemahkan
oleh: Asywadie syukur). Surabaya: Bina Ilmu
Syihab.
1998. Akidah Ahlus Sunnah. Jakarta: Bumi Aksara.
[1] Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal,
diterjemahkan oleh Asywadie Syukur (Surabaya : Bina Ilmu, 2006), h. 71.
[2] Harun
Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.
5 ; Jakarta : UI-Press, 1986), h.
31.
[4] Muhammad
Maghfur, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam (
Bangil: Al-Izzah, 2002), h.41.
[5]
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. II; Bandung: Pustaka
Setia, 2006), h.64.
[6]
Ibid.
[7] Harun Nasution, Teologi
Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. 5 ; Jakarta :
UI-Press, 1986), h. 33-34.
[9] Asy-Syahrastani, Al-Milal
wa Al-Nihal, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur (Surabaya : Bina Ilmu,
2006).
[10]
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, diterjemahkan oleh Asywadie
Syukur (Surabaya : Bina Ilmu, 2006).h.37-38.
[11]
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. II; Bandung: Pustaka
Setia, 2006), h.71.
[12]
Ibid.
[13]
Ibid.
[15]
Asy-Syahrastani,
Al-Milal wa Al-Nihal, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur (Surabaya :
Bina Ilmu, 2006).h.37.
[16] Harun Nasution, Teologi
Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. 5 ; Jakarta :
UI-Press, 1986), h.
35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar