Abstrak
Setelah kecendrungan umat terhadap kehidupan dunia pada abad 21 ini,
terdapat perbuatan manusia yang diluar batas dan melanggar aturan Allah Swt.
Orang sufi menganggap bahwa kemerosotan akhlak tidak hanya dapat diatasi secara
lahiriah, tetapi juga secara batiniah. Karakteristik sufi yang dapat membuat
seorang mukmin menuju jalan taqwa adalah keimanan yang selalu dipupuk dengan
muqarobah, selalu khauf terhadap murka Allah, selalu raja’ terhadap ampunan
Allah, selalu rindu terhadap cinta dan kasih sayang Allah, selalu al uns dan
thuma’ninah dalam setiap perbuatan, senantiasa musyahadah dalam tindakan dan
yakin bahwasanya Allah maha pengasih dan maha penyayang yang tak akan
menjerumuskan hambanya yang beriman. Hal inilah yang sangat menarik untuk kita pelajari.
Perlu kiranya kita untuk mengetahui karakteristik sufi tersebut dan
menerapkannya dalam kehidupan. Dengan metode library riset, kami menyimpulkan
bahwasanya utuk mewujudkan karakteristik sufi tersebut hendaknya selalu
meningkatkan keimanan secara terus-menerus.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Karakteristik sufi merupakan sifat yang
menjadi ciri khas dari seorang sufi. Karakteristik sufi mencerminkan akhlak dan
amal perbuatan yang dilakukan dengan harapan pada Allah semata. Karakteristik
sufi yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain al muraqobah (Merasa
diawasi oleh Allah), al khauf (takut terhadap siksa Allah), ar Raja’(Berharap
terhadap ampunan Allah), al Syauq (Rindu terhadap kasih sayang Allah), al Uns
(kedekatan dan kepasrahan kepada Allah), al Thuma’ninah (Tenang), Musyahadah
(Kesungguhan), dan yakin. Karakteristik
ini sangatlah penting untuk kita bahas. Dengan senantiasa mengetahui dan
mengamalkan sifat-sifat tersebut kita telah melangkah menuju akhlak tasawuf yang
dimiliki oleh para sufi untuk menuju kedekatan dengan Allah Swt. Sehingga kita
akan menjadi mukmin yang shaleh, yang akan merasakan nikmatnya iman, yang dekat
dengan Allah, senantiasa menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Pada hakekatnya khulk (budi
pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap
dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam
perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat – buat dan tanpa
memerlukan pemikiran. Beberapa istilah lain yang senada dengan istilah akhlak
ialah etika, moral, dan kesusilaan. Pokok pembahasan akhlak tertuju pada
tingkah laku manusia untuk menetapkan nilainya, baik atau buruk, dan daerah
pembahasan akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai
individu maupun masyarakat. Dalam perspektif perbuatan manusia, tindakan atau
perbuatan dikategorikan menjadi dua, yaitu perbuatan yang lahir dengan kehendak
dan disengaja (akhlaki) dan perbuatan yang lahir tanpa kehendak dan tak
disengaja. Nah disinilah ada titik potong antara tasawuf dengan akhlak
yang menjadi karakteristik sifat dari
sufi[1].
Sesungguhnya hati yang keras merupakan
masalah yang akan membawa akibat yang sangat berbahaya, baik dalam kehidupan
dunia maupun akhirat. Sungguh, selama ini kita sering tanpa sadar telah
meninggalkan jalan Allah dalam hidup ini, bahkan kita sering kali mengikuti
hawa nafsu dan godaan setan. Kemudian setan menghiasi kita dengan keindahan
dunia yang membuat kita terlena. Sesungguhnya ketika kita telah terlena dengan
kemaksiatan, kita akan lalai dari jalan Allah, sehingga hati tidak akan mampu
memahami, mata tidak lagi bisa melihat, telinga tidak lagi mampu mendengar
hidayah dan kebenaran Allah. Maka kita perlu untuk memuhasabah diri kita dan
terus instropeksi serta bertaubat atas segala tindakan yang telah kita lakukan.
Dan kita perlu mengetahui karakteristik dari sufi supaya segala tindakan kita
mendapatkan ridha dari Allah Swt.
Taqwa lahir dari keimanan yang kokoh,
keimanan yang selalu dipupuk dengan muqarobah, selalu khauf terhadap murka
Allah, selau raja’ terhadap ampunan Allah, selalu rindu terhadap cinta dan
kasih sayang Allah, selalu al uns dan thuma’ninah dalam setiap perbuatan,
senantiasa musyahadah dalam tindakan dan yakin bahwasanya Allah maha pengasih
dan maha penyayang yang tak akan menjerumuskan hambanya yang beriman. Taqwa
inilah yang akan membuat hati kita tidak mati, membuat hati kita tercegah dari
perbuatan dosa. Pengaruh taqwa merupakan sumber dari segala kebaikan yang ada
di masyarakat, dengan taqwa maka kita bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk.
Sufi adalah seorang muslim yang
sempurna, yang menjalankan segala perintah Allah Swt, dan meninggalkan larangan
Allah Swt serta menjalankan segala aktivitas hidupnya berdasarkan Al-Qur’an dan
Al-Sunnah, mereka telah mendapatkan
derajad ketaqwaan yang tinggi. Maka keistimewaan seorang sufi adalah terletak
pada akhlak, budi pekerti dan amal ibadahnya. Diantara karakteristik seorang sufi
yang akan kita bahas ini merupakan karakteristik secara umum, sebenarnya masih
banyak karakteristik lain yang tidak selengkapnya dibahas pada makalah ini.
Namun pembahasan tentang karakteristik sufi yang meliputi al muqarobah, al
khauf, al raja’,al syauq, al uns, al thuma’ninah, musyahadah dan yakin ini semoga
bisa kita ambil hikmahnya dan dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari
kita.
Dari
beberapa buku yang telah dikaji tentang
karakteristik sufi, kita bisa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari
buku-buku tersebut. Pelajaran tersebut adalah pelajaran akhlak, pelajaran budi
pekerti dan perjalanan para sufi dalam merebut kasih sayang Allah Swt yang
memotivasi kita untuk turut serta menjadi lebih baik.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah karakteristik seorang
sufi?
2.
Apakah yang dimaksud dengan al
muqarobah, al khauf, al raja’, al uns, al thuma’ninah, musyahadah dan al yakin
dan bagaimanakah cara mewujudkan karakteristik sufi tersebut?
1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui karakteristik seorang sufi.
- Mengetahui pengertian dari al muqarobah, al khauf, al raja’, al uns, al thuma’ninah, musyahadah dan al yakin dan cara mewujudkan karakteristik sufi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik
Sufi
Sufi adalah seseorang yang senantiasa menghiasi jiwanya
dengan akhlak yang terpuji, menjalankan segala perintah Allah Swt dan menjauhi
larangan Allah Swt sesuai dengan Al-Quran dan As Sunnah, serta menyerahkan
seluruh jiwa raganya hanya untuk Allah semata. Beberapa karakteristik atau
sifat-sifat yang ada dalam diri sufi adalah al muraqobah (Merasa diawasi oleh
Allah), al khauf (takut terhadap siksa Allah), ar Raja’(Berharap terhadap
ampunan Allah), al Syauq (Rindu terhadap kasih sayang Allah), al Uns (kedekatan
dan kepasrahan kepada Allah), al Thuma’ninah (Tenang), Musyahadah
(Kesungguhan), dan yakin. Demikian seluruh karakteristik sufi ini akan dibahas
dibawah ini.
2.1.1 Al Muraqabah
Muraqabah
sebagai salah satu ajaran tasawuf yang bertujuan memantapkan segi hakikat untuk
mencapai ma’rifat biLlah, menurut kaum shufi adalah keadaan seseorang meyakini sepenuh
hati bahwa Allah selalu melihat dan mengawasi kita, mengetahui seluruh
gerak-gerik kita dan bahkan mengetahui apa saja yang terlintas dalam hati kita.
Demikian menurut al-Qusyairi. Selanjutnya al-Qusyairi berkata:
المراقبة علم العبد بالطّلاع الربّ سبحانه وتعالى
Artinya:
“Muraqabah ialah bahwa hamba tahu sepenuhnya bahwa Tuhan selalu melihatnya” (Ar Risalah Al Qusyairiyah).
Terhadap
orang seperti inilah, Allah akan senantiasa memeliharanya dari perbuatan
maksiat. Dalam hal ini para ahli tasawuf berkata:
من راقب الله فى خواطره عصمه الله
تعالى فى جوارحه
Artinya: “Barang siapa yang muraqabah dengan Allah dalam hatinya, maka
Allah akan memeliharanya dari berbuat dosa pada anggota tubuh” (Ar Risalah Al Qusyairiyah).
Perkataan shufi ini dimakudkan bahwa
orang yang selalu muraqabah dengan Allah, pasti ia tidak akan mengerjakan dosa
lagi, karena Allah telah menjauhkan ia dari perbuatan dosa. Berlainan dengan
orang-orang munafik, ia takut diawasi dan diinyai orang lain. Jadi kalau tidak
dilihat orang lain maka beranilah ia berbuat dosa di setiap kesempatan.
Dalam hal ini, berkatalah seorang
ahli tasawuf, Nazrabazdi dalam Ar Risalah Al Qusyairiyah:
الرّجاء يحرّكك الى الطّاعة والخوف يبعدك عن المعاصى والمراقبة
تؤدّيك الى طريق الحقائق
Artinya: “Adapun
harapan baik itu adalah menggerakkan kamu supaya berbuat amal shaleh.
Khauf/takut dan menjauhkan kamu dari maksiat. Adapun muraqabah adalah membawa
kamu ke jalan yang benar”.
Maksud dari perkataan ini adalah
bahwa orang yang tiada muraqabah dengan Allah, tiadalah ia mempunyai pengawal
kebenaran dan pengawal yang ada pada dirinya hanyalah syaithan yang
menjerumuskannya pada perbuatan maksiat dan dosa.
Muraqabah ini menurut para ahli
shufi ada tiga tingkatan sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Ahmad al-Husni
dalam kitab Iqhadul Himam, yaitu[2]:
1.
Muraqabah Qalbi, yaitu kewaspadaan
dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar kehadirannya dengan Allah.
- Muraqabah Ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah.
- Muraqabah Sirri, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap Sir/Rahasia, agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya.
Berkata
ahli tasawuf:
فإنّ بعد العبد من ربّه انّما هو بسوء أدبه
Artinya: “Bahwa
seesungguhnya jauhnya seorang hamba dari Tuhannya, hanya karena buruk
adabnya/tingkah lakunya”.
Dalam hadits Qudsi, Allah berfirman:
عبدى اجعلنى مكان همّك اكفك كلّ همّك ما كنت بك فأنت فى محلّ
بعد وما كنت بى فأنت فى محلّ القرب فاختر لنفسك
Artinya: “Hai
hamba-Ku, jadikanlah Aku tempat perhatianmu, niscaya Aku penuhi pula
perhatianmu itu. Dimana Aku ada karena kemauanmu, maka engkau itu berada di
tempat jauh dari Aku. Dimana kamu ada karena kehendak-Ku (Allah) maka engkau
itu berada di dekat Aku, maka pilihlah mana yang lebih baik pada dirimu”.
Demikian ajaran tasawuf tentang
muraqabah yang dijelaskan dalam kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah dan Iqadhul
Himam sebagaimana yang dinukil oleh Dr. Mustafa Zahri dalam bukunnya “Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf”.
Adapun dasar ajaran ini adalah
berdasarkan petunjuk dari Al-Qur’an:
واذا سألك عبادى عنّى فإنّى قريب أجيب دعوة الداع اذا دعانى
Artinnya: “Jika
hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, bahwa sesungguhnya Aku dekat
dan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku dipanggil” (QS. Al-Baqarah:
186).
ونحن اقرب اليه من حبل الوريد
Artinya: “Aku
lebih dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya” (QS.
Qaaf: 16).
Dalam hadits Qudsi disebutkan:
ان تعبد الله كانّك تراه
Artinya:
“Hendaknya engkau menyembah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya”.
Muraqabah
ini digambarkan seolah-olah manusia itu selalu bersama Allah, merasa diintai
dan diawasi. Diumpamakan bagaikan seekor kucing menunggu tikus keluar dari
lubangnya, tikus akan keluar, tapi kapankah waktunya, belum diketahui.
Begitulah gambaran antara orang yang selalu merasa diawasi oleh Allah dan
merasa dekat dengan-Nya.
Sedangkan cara bermuraqabah dengan
Allah dapat ditempuh dengan berbagai macam jalan, diantaranya:
- Sesudah sembahyang tahajjud di tengah malam dan sebelum shubuh datang menjelang, duduk dengan kaifiat iftirasy, dengan sadar dan penuh kesungguhan mengkonsentrasi, menyatukan pikiran sambil berdzikir, menuggu saat beraudiensi dengan Allah.
- Sesudah berwudlu’ duduk dengan pakaian bersih, duduk menekur di lantai masjid sambil berdzikir dengan lisan menunggu saatnya berhadapan dengan Allah dengan dzauq dan bashirah.
Hal
ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
قال نعم وانّكم اذا لمن المقرّبين
Artinya: “Ia
jaawab: “Betul! Dan sesungguhnya kamu di waktu itu (adalah) dari orang-orang
yang dihampiri” (QS. Asy-Syu’ara’: 42).
Dari
sini maka sebaiknya janganlah berfikir, apakah Allah dekat dengan kita,
melainkan usahakanlah agaar kita dekat dengan Allah atau mendekatkan diri
kepada Allah.
2.1.2
Al Khauf
Ajaran tasawuf lainnya adalah melatih jiwa dan raga untuk
khauf. Khauf adalah menghadirkan rasa takut kepada siksa Allah Swt. Ini sangat penting dalam
melatih jiwa agama. Hal ini disebabkan banyak diantara kita yang tidak takut
dan lupa terhadap siksa Allah Swt. Bahwasannya Allah memberikan pahala kepada
umatNya yang melakukan kebaikan dan memberikan siksa bagi yang melanggar
perintahNya. Perasaan tidak takut terhadap siksa Allah
adalah karena diperbudak oleh hawa nafsunya sendiri. Sifat khauf harus
ditanamkan kedalam hati. Dengan adanya sifat khauf maka segala perbuatan yang
dilakukan adalah dengan penuh waspada dan takut kepada ancaman Allah Swt.
Malik
bin Dinar berpendapat bahwa “ seseorang merasakan bukti takut dan berharap
kepada Allah, berati berpedoman dengan pergelangan dan perintah. Sedangkan
bukti takut adalah menjauhi maksiat, dan bukti harap adalah dengan melaksanak
perintahNya.
Khauf
(takut kepada siksa) Allah memang merupakan suatu sarana untuk mendorong diri
kita lebih tekun dalam menjalankan perintahNya dan lebih menjaga diri dari
segala hal yang mampu menjerumuskan diri dari perbuatan yang dilarangNya.
Marilah kita merenung sejenak tentang rahasia Allah yang tersimpan. Kita semua
tak pernah mampu membuka rahasia Allah. Salah satu contoh saja adalah tentang
kematian. Didunia ini tidak ada yang tahu kapan datangnya kematian. Bagi orang
yang beriman akan senantiasa memikirkan tentang kematian, karena rasa takutnya
terhadap hari setelah kematian. Sebelum kita mati seharusnya kita menyiapkan
diri untuk selalu bertaubat sebelum datangnya kematian.
Oleh
karena itu rasa takut terhadap siksa berarti takut kepada Allah. Perwujudan dari rasa takut
adalah dari iman dan takwa. Bila kita mempunyai rasa takut kepada Allah,
selama hidup di dunia sehingga dikehidupan akhirat kelak kita akan mendapatakan
kebahagiaan. Sebaliknya bila kita tidak menghadirkan khauf dalam kehidupan,
maka diakhirat kita akan menjumpai kesengsaraan [3].
2.1.2.1 Mengingat
Kematian
Setiap
makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Sesungguhnya jika hati itu
telah mengeras dan seperti batu, atau bahkan lebih keras darinya, maka kita
akan tenggelam dalam keinginan duniawi dan kelezatannya dan kita akan melupakan
kematian.
Alangkah
parahnya kelalaian kita, hati kita menjadi semakain hitam dan parah sehingga
melupakan kematian. Maka tidaklah mengherankan jika Rasullah selalu
mengingatkan kepada kita untuk selalu mengigat kematian. Beliau pernah
bersabda: “perbanyaklah kalian untuk mengingat (hadzima al-ladzdzat) sesuatu
yang memutuskan kenikmatan, yaitu mati.” Kematian itulah yang memutuskan dan
memisahkan (seseorang) dari sesuatu yang dicintainya. Oleh sebab itu, hendaknya
hati dan mulut kita selalu mengingat kematian. Kita hendaknya mempersiapkan
diri untuk menghadapi saat terakhir. Selagi hidup didunia maka kita harus
semangat untuk menyiapkan hari kematian kita.
Sesungguhnya
kita akan meninggalkan dunia, meski mungkin kita memprediksi hidup kita agak
lama. Kita akan digeletakkan di tanah. Disana tidak akan ada yang menemani dan
menolong kecuali amal ibadah kita. Jika kita tidak mempunyai amal saleh, maka
cacing, kalajengking, ular dan siksa kubur yang sangat menyakitkan akan
menemani kita[4].
Alangkah
banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang mengingatkan manusia akan kematian, antara
lain QS Ali Imran ayat 185 yang artinya
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga,
maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan”
2.1.2.2 Siksa
Neraka Jahannam
Untuk
menambah rasa takut kita kepada Allah Swt dan kepada siksanya, belum lengkap
kiranya bila kita tidak mengingatkan kepada hati terhadap siksa neraka
jahannam. Setelah kita mengingat kematian yang maha dahsyat, maka sekiranya
kita mengigatkan diri terhadap neraka jahannam dan segala resikonya.
Neraka
adalah lawan dari surga. Neraka merupakan tempat bagi orang-orang yang berdosa
ketika hidupnya. Dalam neraka terdapat siksa yang amat pedih dan balasan
terhadap perbuatan maksiat dikala hidup didunia.
Dikala
itu para malaikat zabaniah yakni petugas neraka menyerukan dengan suara lantang
dan membentak-bentak “ mana shalat dan berpanjang angan-angan, sampai habis
umurmu untuk berbuat jahat?”. Kemudian setelah bertemu seseorang yang
dimaksudkan, maka diberinya belenggu di lehernya berupa besi yang panas dengan
dihardik dan digertak. Dicambuk dengan besi yang berduri untuk dihalau ke ruang
siksa yakni kedalam kerak api neraka, disana dibakar habis-habisan.
Demikianlah
orang yang semasa hidupnya tidak pernah mengingat Allah Swt, dan hanya
tenggelam dalam kemaksiatan, mereka ditelungkupkan dalam ruang yang sempit,
gelap, panas. Gelapnya bukan karena tidak ada sinar, melainkan nyala api yang
sangat panas dan telah lama. Mereka dibelenggu di dalam nyala api
selama-lamanya. Betapa jeritan dan tangis yang sangat memilukan. Pekikan
bercampur gemuruhnya suara api menggema dimana-mana.
Ada
sedikit harapan kepada mereka untuk memohon kepada penjaga neraka yakni
malaikat Malik “ Wahai malaikat Malik, ketua penjaga Neraka, lihatlah kulitku
terkelupas, dan daguku hancur karena api neraka. Tangan kami sudah tak kuat
membawa belenggu, leher kami sudah tidak kuat membawa belenggu, maka
keluarkanlah kami dari sini”. Dan ternyata penyesalan tinggallah penyesalan,
tidak ada satu pun malaikat yang menggubris. Memang penyesalan selalu datang
diakhir. Oleh sebab itu sangatlah penting bagi kita menghadirkan rasa takut
terhadap siksa api neraka ini, agar kita senantiasa terjaga untuk selalu
meningkatkan amal kebaikan dan menjaga setiap perbuatan kita dari kemungkaran.
Itulah wujud dari Khauf seperti yang dilakukan oleh para sufi yang mulia.
2.1.3
Ar Roja’
Roja’ berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka artinya ammalahu: dia mengharapkannya. Syaikh Utsaimin berkata, “roja’ adalah keinginan seorang insan untuk
mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang
diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek”[5]. Syaikh
Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata, “asal makna roja’ adalah
menginginkan atau menantikan sesuatu yang disenangi…[6]”. Khouf artinya
perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau
mengganggu.
Syaikh Zaid bin Hadi
Al Madkhali berkata, “roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang
dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla
berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh
sebab-sebab untuk mencapai tujuan…[7]”. Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang
dicintai. Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat
tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah.
Allah Swt berfirman dalam surat al Anbiya
ayat 90 yang artinya: “Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang
baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah
orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.”
Lawan dari harapan ini adalah keputusasaan
dari rahmat Allah. Allah berfirman dalam surat al Hijr ayat 56 yang artinya,“tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali
orang-orang yang sesat”.
Dalam kehidupan kita, seharusnya selalu
optimis baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Kita tidak boleh berputus asa
pada rahmat Allah dan senantiasa bertaubat atas segala dosa baik yang dilakukan
sengaja ataupun tidak, karena manusia adalah tempatnya salah. Dalam berharap
sewajarnya haruslah diiringi dengan usaha, karena usaha merupakan musabab untuk
tercapainya tujuan dari apa yang diharapkan.
Berharap kepada Allah dapat
tumbuh melalui tiga hal, yaitu:
a.
Kesaksian dan pembenaran seorang hamba atas karunia, perbuatan ihsan Allah dan karunia-Nya atas hamba-hambaNya.
b.
Kehendak yang jujur untuk memperoleh pahala dan kenikmatan yang ada di
sisi Allah Swt.
c.
Membentengi diri dengan amal shalih dan senantiasa berlomba dalam mengerjakan
kebajikan.
Dalam kehidupan ini
kita diberikan beberapa potensi oleh Allah Swt, diantaranya adalah potensi
akal, ilmu, rezeki dan waktu. Potensi akal akan membedakan manusia dengan
binatang. mengapa kita pesimis dalam menjalani kehidupan ini, sementara
binatang-binatang siap menjalani hari-harinya? Perhatikan di sekitar kita,
betapa burung-burung bernyanyi seraya mengepakkan sayapnya menyongsong
datangnya pagi dan terbang entah kemana untuk mencari rezeki yang disiapkan
Allah. Terkadang kita kurang memahami bagaimana kehendak Allah terhadap diri
kita. Di dalam agama Islam, rezeki itu yang utama adalah berkah.
Dalam mencari rezeki ada kalanya kita
harus berpedoman pada al Quran dan al Hadits agar jalan yang kita tempuh sesuai
dengan aturan dalam Islam. Kita harus menyadari bahwa hidup kita dibatasi oleh
umur dan Allah Swt memberikan penghargaan berupa pahala dan hukuman berupa dosa
yang harus kita pertanggungjawabkan di akhirat nanti, untuk itu alangkah
baiknya kita menjalankan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.
2.1.4
Al Syauq
Syauq (rindu) adalah
ketertarikan hati untuk melihat yang dicintai. Ada pendapat lain yang
mendefinisikan syauq sebagai api dari Allah yang dinyalakan di hati para
kekasih-Nya hingga api itu mampu membakar apa yang ada di dalam hati mereka,
mulai dari kekhawatiran, keinginan, sesuatu yang mendadak muncul, dan beraneka
macam kebutuhan. Rindu itu timbul dari cinta. Bila seorang hamba sampai pada
tingkat kerinduan ini, maka ia ingin sekali segera bertemu kematian, sebab ia
sudah rindu ingin bertemu Tuhannya. Ia juga mulai merasakan telah bertemu dan
terbang menemui ke hadirat Tuhannya.
Syauq atau rindu adala
kondisi kejiwaan yang menyertai maabbah, yaitu rasa rindu (yearning) yang
memancar dari kalbu karena gelora yang murni. Pengetauan dan pengenalan yang
mendalam teradap Alla akan menimbukan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan
bergairah melairkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu,
hasrat selau bergeora agar sealu bersama dia. Setiap denyutan jantung, detak kalbu
dan desah nafas, ingatan hanya kepada Allah, itulah rindu. Persamaan inilah
yang menjadi motor pendorong orang sufi agar selalu berada sedekat mungkin
kepada Allah, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang
didambakan setiap sufi.
2.1.5
Al Uns
Uns
adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik
sentrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada
yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia
seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang
kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang
disebut uns. Al-junaid mengatakan apabila seseorang telahh sampai kepada
kondisi jiwa uns, andaikata tubuhnya ditusuk dengan pedang, ia tidak akan
merasakannya. Situasi uns ini mirip dengan al-fana, nanun orang sufi tidak
menyebutnya fana, tetapi al-mahwu,
yaitu sekedar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada satu arah[8].
2.1.6
Al Thuma’ninah
Tuma’ninah adalah tenang atau tidak tergesa-gesa. Rasulullah
shallallahu alaihi wa alihi wasallam melakukan shalat dengan tuma’ninah
(rileks), yaitu sikap tenang atau diam sejenak sehingga dapat menyempurnakan
perbuatannya, dimana posisi tulang dan organ tubuh lainnya dapat berada pada
tempatnya dengan sempurna.
Dalam ilmu tasawuf tuma’ninah memiliki
kedudukan untuk menjayakan islah selain ikhlas dan siddiq. Islah atau pembaikan ini memang sangat dianjurkan oleh Islam. Dalam
kaitan ini Allah swt menjelaskan dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 35 yang
artinya, “Hai anak-anak Adam, jika datang
kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku,
Maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Konsep islah amat luas kerana boleh
diibaratkan sebagai pemulihan tabiat, peningkatan ilmu, memulakan kehidupan baru
atau berhijrah (berpindah) dari satu keadaan (negeri atau tempat) ke keadaan
yang lain. Jelasnya, islah mengkehendaki perlucutan sifat cela atau mazmumah kepada sifat terpuji atau
mahmudah.
Shalat mempunyai rukun-rukun yang apabila salah satu-nya
ditinggalkan, maka batallah shalat tersebut. Diantara rukun-rukun shalat ialah
tuma’ninah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam
kepada seseorang yang salah dalam melaksanakan shalatnya: "Sampai kamu
merasakan tuma'ninah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[9].
Dan tuma'ninah tersebut
beliau tegaskan kepadanya pada saat ruku', sujud dan duduk sedangkan i'tidal pada saat berdiri. Hakikat
tuma'ninah itu ialah
bahwa orang yang ruku', sujud, duduk atau berdiri itu berdiam sejenak.
Tuma’ninah,
adalah sebuah syarat mencapai kekhusyu’an dalam shalat; Sebuah riwayat
menerangkan, bahwa sebelum shalat subuh, Rasulullah mempunyai kebiasaan melakukan
istirahat dalam posisi tiduran miring yang disebut qailulah. Kebiasaan ini
beliau lakukan pula menjelang shalat dhuhur. Relaksasi sebagaimana Rasulullah
lakukan merupakan hal penting bagi orang yang hendak melakukan shalat, karena
shalat merupakan perjalanan jiwa menuju Allah sehingga diperlukan persiapan
yang serius namun rileks[10].
Orang
yang melakukan shalat dengan tuma'ninah
(tenang dan rileks) akan menghasilkan energi tambahan dalam tubuhnya, sehingga
tubuh merasa fresh. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah begitu yakin bahwa
shalat merupakan jalan yang ampuh untuk mengubah perilaku manusia, yang tidak
baik menjadi berakhlaq mulia. Sebagaimana Allah menegaskan dalam kitab
al-Qur’an yang artinya, “bacalah apa yang
Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.
dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(al-Ankabuut 29:45)
2.1.7
Musyahadah
Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata
Syahida-Shaahada yg mempunyai arti bersaksi atau menyaksikan, oleh karna itu
seseorang belum dpt untuk dikatakan sebagai seorang Islam jika orang tersebut
belum menyatakan akan dua kalimat syahadat. Didalam bermusyahadah ini juga
sangatlah di butuhkan sebab segala peristiwa atau kejadian itu yg pertama di
tanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi.
Musyahadah adalah nampaknya Allah pada hamba-Nya di mana
seorang hamba tidak melihat sesuatu apapun dalam
beribadah, kecuali hanyalah menyaksikan dan menyakini dalam hatinya,bahwa ia
hanyalah berhadapan dan dilihat oleh Allah. Dalam beribadah ia tidak
menghiraukan lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya, termasuk dirinya
sendiri karena asyiknya berhubungan dengan Allah
seakan-akan Allah benar-benar nampak dihadapannya. Untuk mencapai pada
tingkatan musyahadah ini seseorang harus terlebih dahulu bersungguh-sungguh
dengan sepenuh hati demi untuk mengamalkan akan ajaran-ajaran tasawuf untuk
meningkatkan maqam berikutnya.
Seorang
akan dapat mencapai musyahadah billah, jikalau ia melakukan mujahadah fil amal
dan sebelumnya telah mencapai makam fana’ atau menafikan tujuan lain selain
daripada Allah. Ibadahnya hanya semata-mata ditujukan dan dihadapkan kepada
Allah dan sama sekali bebas dari unsur riya’.
Pokoknya orang yang ingin mencapai musyahadah kepada Allah
hanya akan bisa dicapai dengan mujahadah dan senantiasa taqarrub dengan billah
dan melanggengkan dzikrullah, disertai kebersihan hatinya. Pada hakikatnya
musyahadah itu adalah merasakan berhadapan dengan Allah dan bersama Allah atau
yang dinamakan “hudlurul qalbi”. Mengingat Allah dengan sepenuh hati, artinya
dengan hati yang khusyu’ saat melakukan dzikrullah dan bertaqarrub kepada
Allah.
Dalam konteks hubungan dengan "Menyaksikan Allah"
dan "Seakan-akan menyaksikan Allah", maka ada sejumlah ayat, misalnya
ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin menyaksikan dan melihat Allah. "Musa
as berkata: Ya Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu."
Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu" (al-A'raf 143). Ayat lain
menyebutkan, "Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah
Allah."(Al-Baqarah 115). "Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada
Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan (Al-An'aam 79)”.
Setelah
mencapai musyahadah ini, kemudian menanjak lagi ke tingkat al-Mukasyafah atau
terbukanya segala rahasia artinya tiada tertutup lagi sifat-sifat ghoib.
Maksudnya terbukalah rahasia alam ghoib
yaitu tiada tertutup dari sifat-sifat ghoib. Setelah itu barulah seseorang
dapat mencapai tingkat al-musyahadah. Menurut al Junaidi al Baghdadi “Al
Musyahadah adalah nampaknya Al-Haqqu Ta’ala dimana alam perasaan sudah tiada”[11].
Adapun
terjadinya musyahadah adalah dengan adanya Nur Musyahadah yang terpencar hati
seseorang. Dan terjadinya musyahadah ini melalui tiga tahap, yaitu :
a.
Nur Musyahadah pertama, adalah
yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seorang merasa
muraqabah/berintaian dengan Allah.
b.
Nur Musyahadah kedua, adalah
tampaknya keadaan “adamiyah” yakni hilangya segala maujud, lebur kedalam wujud
Allah dan baginyalah wujud yang hakiki.
c.
Nur Musyahadah ketiga, yaitu
tampaknya Dzatullah Yang Maha Suci. Dalam hal ini bila seorang telah fana’
sempurna, yaitu dirinya telah lebur dan yang baqa’ hanyalah wujud Allah.
Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk sampai pada
musyahadah dengan Allah melalui pintu mati (dalam pengertian matinya nafsu
untuk hidupnya hati) dapat ditempuh pada 4 tingkat, yaitu :
a.
Mati Tabi’i
Menurut sebagian ahli thariqat, bahwa
“mati thabi’I terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qalbi didalam
dzikir Lathaif. Dan mati tabi’i ini merupakan pintu musyahadah pertama dengan
Allah.
Pintu pertama ini dilalui pada saat
seseorang dalam melakukan dzikir qalbi dalam dzikir Lathaif. Maka dengan
karunia Allah ia fana’/lenyap pandangannya secara lahir, dimana telinga bathin
mendengar Allah, Allah, Allah. Pada tingkat ini, dzikir qalbi mula-mulanya
hatiberdzikir, kemudian dari hati ke mulut dimana lidah berdzikir jalan
sendiri. Dalam hal ini perasaan mulai hilang (mati tabi’i).
b.
Mati Ma’nawi
Menurut
sebagian ahli thariqat, bahwa “mati ma’nawi” ini terjadi dengan karunia Allah
pada seorang Salik saat melakukan dzikir Lathifatur Ruh dalam dzikir Lathaif.
Terjadinya itu sebagai ilham yang tiba-tiba Nur Ilahi terbit dalam hati. Ketika
itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata batin menguasai
penglihatan.
Dzikir
“Allah, Allah, Allah” pada tingkat ini semakin meresap tembus pada diri dimana
dzikir sudah terasa amat panasnya di sekujur tubuh dan disteiap bulu roma
badan. Perasaan keinsanan tercengang, bimbang, semua persendian gemetar, bisa
juga terus pingsan. Sifat keinsanan telah lebur diliputi sifat Ketuhanan.
c.
Mati Suri
Seterusnya
ialah yang dinamakan “mati suri’. Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah
pada saat seseorang salik melakukan dzikir lathifatus sirri dalam dzikir
lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang salik telah memasuki pintu musyahadah
dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana’ alam wujud yang gelap
telah ditelan oleh alam ghoib / alam malakut yang penuh dengan Nur Cahaya.
d.
Mati Hissi
Mati
hissi ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang/salik melakukan
dzikir Lathifatul Hafi dalam dzikir lathaif. Pada tingkat keempat ini,
seorang/salik telah sampai pada tingkat yang lebih tinggi untuk mencapai
ma’rifat sebagai maqam tertinggi.
Ada tiga derajat musyahadah, yaitu :
1. Musyahadah ma'rifat, yang berlalu di atas batasan
ilmu, dalam cahaya wujud dan berada dalam kefanaan kebersamaan. Ini merupakan
landasan golongan ini, bahwa ma'rifat di atas ilmu. Ilmu menurut mereka adalah
pengetahuan tentang data, sedangkan ma'rifat merupakan penguasaan tentang
sesuatu dan batasannya. Dengan begitu ma'rifat lebih tinggi daripada ilmu. Ada
pula yang mengatakan bahwa amal orang-orang yang berbuat baik berdasarkan ilmu,
sedangkan amal orang-orang yang taqarrub berdasarkan ma'rifat. Di satu sisi
pendapat ini bisa dibenarkan, tapi di sisi lain dianggap salah. Orang-orang
yang berbuat baik dan orang-orang yang taqarrub beramal berdasarkan ilmu
memperhatikan hukum-hukumnya. Sekalipun ma'rifatnya orang-orang yang taqarrub
lebih sempurna daripada orang-orang yang berbuat baik, tetapi keduanya
sama-sama ahli ma'rifat dan ilmu. Orang-orang yang berbuat kebaikan tidak akan
menyingkirkan ma'rifat dan orang-orang yang taqarrub tetap membutuhkan ilmu.
Manusia berbeda-beda dalam tingkat ma'rifatnya.
2. Musyahadah dengan mata kepala, yang memotong tali
kesaksian,mengenakan sifat kesucian dan mengelukan lidah isyarat. Derajat ini
lebih tinggi daripada derajat pertama, sebab derajat pertama merupakan
kesaksian kilat yang berasal dari ilmu mengenai tauhid, sehingga orangnya dapat
melihat semua sebab. Sedangkan orang yang ada dalam derajat ini tidak memiliki
tali kesaksian, bebas dari sifat-sifat jiwa, dan sebagai gantinya dia
mengenakan sifat kesucian serta lidahnya tidak membicarakan isyarat kepada apa
yang disaksikannya. Ini merupakan kesaksian wujud itu sendiri, tanpa disertai
kilat dan cahaya, yang berarti derajatnya lebih tinggi.
3. Musyahadah kebersamaan, yang menarik kepada
kebersamaan, yang mencakup kebenaran perjalanannya dan menumpang perahu wujud. Orang
yang ada dalam derajat ini lebih mantap dalam kedudukan musyahadah, kebersamaan
dan wujud serta lebih mampu membawa beban perjalanannya, yang berupa berbagai
macam pengungkapan dan ma'rifat.
Dasar mujahadah adalah firman Allah surat al-Ankabut:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami,
benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan
sesungguhnya Allah bena-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.
(al-Ankabut: 9)
Makna Mujahadah sebagaimana disyaria’tkan oleh ayat tersebut adalah:
Apabila seorang mu’min terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak
lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada
waktunya maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak
dari sebelumnya[12].
2.1.8
Al Yaqin
Perpaduan
antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang
bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung tertanamlah dalam
jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap. Perasaan mantapnya pengetahuan
yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut dengan al-yakin. Dengan demikian, al-yakin
adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan
yang ia mliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya dan ia
rasakan dengan seluruh ekspresinya serta dipersaksikan oleh segenap
eksistensinya.
Apabila
seseorang telah mencapai tingkat tertinggi yang dapat diraih manusia, bukan
berarti selesailah mujahadatnya atau tamatlah latihannya. Sebab, karakteristik
dari tasawuf sebagai pengalaman spiritual adalah bersifat repetatif, bukan
kumulatif, sehingga memerlukan pengulangan yang tiada hentinya sampai ujung
usia. Walaupun seorang sufi sudah mencapai tingkat wali atau insan kamil, ia
tetap dibebani syari’at.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, maka kami
dapat menyimpulkan bahwasanya karakteristik sufi terdiri atas al muqorobah
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A.1989. Rukun-Rukun Shalat. Bandung: Mizan.
Al Aziz, S.
1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Terbit Terang.
Al Fauzan, S.A. 2008. Hushuulul Ma’muul. Semarang: Daarul Kutub.
Al Madkhali, Z. 1998. Thariqul Wushul. Kudus: Menara Kudus.
Fachrudin,Imam.2009. Hubungan Tasawuf, Akhlak, hakikat dan syariat.
Jurnal UIN Maliki Malang.
Hasyim, A. 2006.
Menuju Puncak Tasawuf. Surabaya: Visi 7.
Maman. 2010. Maqam Musyahadah. http://teosufi.blogspot.com/2010/04/maqam-musyahadah_24.html. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2010.
Nashih, A. 1999. Tarbiyah
Ruhiyah Petunjuk Praktis Mencapai Derajad Taqwa. Jakarta : Robbani Press.
Said, A. 2003. Managemen
Kalbu, Resep Sufi Menghentikan Kemaksiatan. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Senali, Moh Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya
: Terbit Terang.
Utsmaini. 2002. Syarh
Tsalatsatu Ushul. Semarang:
Daarul Kutub.
[1] Fachrudin,Imam.2009. Hubungan Tasawuf, Akhlak, hakikat dan syariat.
Jurnal UIN Maliki Malang.
[2] Al Aziz. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Terbit
Terang. Hal: 303-305
[4] Said, A. 2003. Managemen
Kalbu, Resep Sufi Menghentikan Kemaksiatan. Yogyakarta: Mitra Pustaka hal 47.
[5] Utsmaini. 2008. Syarh Tsalatsatu Ushul.
Semarang: Daarul
Kutub. Hal: 57-58
[6] Al Fauzan. 2002. Hushuulul Ma’muul. Semarang: Daarul Kutub. Hal: 79
[7] Al Madkhali. 1998. Thariqul Wushul. Kudus: Menara Kudus. Hal: 136
[8] Al Khalabi, Op.cit, ; 127
[9] HR. Muslim secara mauquf
-terhenti sanadnya kepada Umar bin Khattab dan diriwayatkan oleh Abu
Daud, At-Tirmidzi daAl-Hakim secara marfu' -bersambung sanad-nya
hingga kepada Nabi Shallallaahu alaihi wasallam-, shahih
[12] Maman. 2010. Maqam Musyahadah. http://teosufi.blogspot.com/2010/04/maqam-musyahadah_24.html. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar