BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teologi sebagai ilmu membahas soal ketuhanan dan
kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam
memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya pikir
yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan
wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan
keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
Tuhan. Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan manusia di kakinya berusaha
dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan; dan Tuhan berdiri dengan
belas-kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan dengan
kemahakuasaan Tuhan, menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui Nabi-nabi
dan Rasul-rasul.
Teologi
dalam agama islam disebut juga ‘ilmu al-Tauhid yang artinya satu atau
esa. Sehingga dalam ilmu teologi sendiri membahas tentang sifat-sifat Tuhan.
Selanjutnya teologi dalam agama islam disebut ‘ilm al-Kalam yang artinya
kata-kata. Akan tetapi yang dimaksud disini adalah berupa kalam-kalam Allah SWT
yang berupa al-Qur’an. Dari modal istilah tersebut dapat kita simpulkan bahwa
yang dinamakan teologi dalam pandangan agama islam yaitu suatu ilmu yang
membahas tentang sifat-sifat yang berhubungan dengan keesaan Allah SWT yang
dihubungkan dengan kalam Allah SWT yang berupa al-Qur’an atau bahkan disangkut
pautkan tentang masalah kauniyah, yang berupa penciptaannya yang ada di muka
bumi ini.
Kalau
kita selidiki buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan kita jumpai bahwa
persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah
pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama adalah soal mengetahui
Tuhan dan masalah kedua adalah soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang
dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah
Arab disebut husul ma’rifah Allah dan
wujud ma’rifah Allah. Kedua cabang
dari masalah kedua ialah: mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan
perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifah al-husn wa al-qubh dan wujub
i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih, yang juga disebut al-tahsin wa al-taqbih (Nasution. H.
1986: 82).
Semua
aliran teologi dalam islam baik asy’ariyah maturidiyah apalagi mu’tazilah sama-sama
mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul
di kalangan umat Islam perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah
perbedaan derajat dalam kekuatan yang diberikan kepada akal, kalau mu’tazilah
berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy’ariyah sebaliknya akal
mempunyai daya yang lemah.
Akal
dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan
perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun
harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekerti yang sangat
mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari Baginda
Rasulullah SAW.
Semua
aliran juga berpegang kepada wahyu, dalam hal ini yang terdapat pada aliran
tersebut adalah hanya perbedaan dalam intrpretasi. Mengenai teks ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah, sebenarnya yang
menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang akal dan wahyu. Hal ini
tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum Islam atau fiqih.
Oleh
karena itu, dalam penjelasan makalah yang kami buat ini kami mencoba untuk
mengupas permasalahan
mengenai “Perbandingan Antara Akal dan Wahyu Menurut Menurut Berbagi Aliran
Teologi Islam Klasik”.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apakah pengertian wakyu dan akal secara
umum?
1.2.2
Bagaimanakah konsep wahyu dan akal
menurut berbagai aliran (Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah)?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui pengertian wahyu dan
akal secara umum.
1.3.2
Untuk mengetahui konsep wahyu dan akal
menurut berbagai aliran (Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah).
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wahyu dan Akal
Dikatakan “wahaitu ilaihi” atau “auhaitu” bila kita berbicara
kepada seseorang agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang
cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan berupa rumus dan lambang, dan terkadang
melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan anggota badan
(Syaikh Abu Isma’il Ash-Shabuni (373H – 449 H)(Nasution,1919:89).
Al-wahyu adalah kata masdar/infinitif, dan materi kata itu
menunjukkan dua dasar, yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, maka
dikatakan bahwa wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang
khusus diberikan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.
Inilah pengertian masdarnya. Tetapi, kadang-kadang juga bahwa yang dimaksudkan
adalah al-muha, yaitu penger tian isim maf’ul yang diwahyukan (Syaikh Abu
Isma’il Ash-Shabuni (373H – 449 H) (Nasution, 1919:89).
2.1.1
Pengertian wahyu dalam arti bahasa
Menurut bahasa (lughah), kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy
yang memiliki beberapa arti, di antaranya; suara, tulisan isyarat, bisikan,
paham dan juga api. Ttp ada juga yang mengartikan bisikan yang
tersembunyi dan cepat (Syaikh Abu Isma’il Ash-Shabuni (373H – 449 H)).
Sedang wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syar’i mereka
definisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi. Definisi
ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu Al Muha (yang diwahyukan). Ustad
Muhammad Abduh (1849M-1905M) mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid
adalah pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan
disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara
ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau
tanpa suara sama sekali(Hanafi,1980:59) .
Dengan demikian, pengertian wahyu secara etimologis adalah :
penyampaian sabda tuhan kepada manusia piihan-nya tanpa diketahui orang lain,
agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pegangan hidup baik
di dunia maupun di akhirat kelak (Syaikh Abu Isma’il Ash-Shabuni (373H – 449 H)
(Hanafi, 1980: 59).
2.1.2
Pengertian Wahyu Secara Istilah
Pemberitahuan Allah SWT kepada hambanya yang terpilih mengenai
segala sesuatu yang ia kehendaki untuk dikemukakannya, baik berupa petunjuk
atau ilmu, namun penyampaiannya secara rahasia dan tersembunyi serta tidak
terjadi pada manusia biasa(Hanafi,1980: 60).
2.1.3
Pengertian Akal
Akal adalah merupakan modal yang dimiliki manusia yang tidak
dimiliki oleh hewan serta tumbuhan yang berfungsi untuk berfikir,
merenung,serta aktifitas abstrak lainnya(Hanafi, 1987:98).
Akal menjembatani manusia untuk mengenal Tuhan-Nya. Kadang untuk
mengenal Tuhan manusia memerlukan suatu proses yang disebut pengalaman
Spiritual. Pengalaman Spiritual biasanya bersifat meyakinkan akal maupun hati
itu sendiri(Hanafi,1987: 98).
v Mengetahui
tuhan dan sifat-sifatnya.
v Mengetahui
adanya hidup akhirat.
v Mengetahui
bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat
baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan
jahat.
v Mengetahui
wajibnya manusia mengenal tuhan.
v Mengetahui
wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiannya di akhirat.
v Membuat
hukum-hukum mengnai kwajiban-kwajiban itu.
v Wahyu
lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
v Membuat
suatu keyakinan pada diri manusia
v Untuk
memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
v Wahyu
turun melalui para ucapan nabi-nabi.
2.2
Perbandingan
Akal dan Wahyu Menurut Sistem Teologi Islam Klasik
2.2.1 Syi’ah
Syiah
adalah mazhab tertua dalam islam, Aliran ini muncul sebagai suatu gerakan
politik di akhir masa pemerintahan Ustman bin Affan ra, kemudian tumbuh subur
dan berkembang pada masa pemerintahan kholifah Ali bin Abi Thalib ra.
Perkembangannya yang demikian pesat berkat sosok Ali bin Abi Tholib ra, yang
membuat kagum umumnya masyarakat muslim saat itu dengan banyak manusia, semakin
tampak keagungan, kecerdasan dan pengetahuannya dalam permasalahan agama. Hal
ini membuat sebagian kalangan semakin merasa takjub dengan pribadi yang bersahaja,
kemudian mereka mulai menyebar-luaskan ketakjuban itu pada masyarakat secara
luas (Zahrah, 2007:148).
Ketika
tiba masa Dinasti Umayyah, banyak kedzaliman yang menimpa kalangan keturunan
Ali ra. Mereka sering kali diperlakukan tidak semestinya oleh kalangan Bani
Umayyah. Kesewenangan-wenangan yang menimpa Alawiyah itu membuat mereka
mendapat simpati yang besar dari masyarakat, mulai itulah aliran Syi’ah mulai
resmi dan mempunyai banyak pengikut (Zahrah, 2007:149).
Aliran
ini memiliki beberapa pojok pemikiran yang dapat dikatakan sebagai ciri mereka
di hadapan aliran yang lainnya, diantaranya adalah (Zahrah, 2007:149):
1.
Mereka berpendapat bahwa masalah
kepemimpinan negara bukanlah masalah
kemaslahatan umum yang diserahkan kepada masyarakat muslim. Orang-orang yang
mempunyai hak untuk memimpin masyarakat muslim telah ditunjuk dan ditentukan
langsung oleh Allah SWT. Bahkan permasalahan ini merupakna salah satu pokok
ajaran islam. Dimana Nabi SAW mempunyai kewajiban untuk menentukan orang-orang
yang akan menjadi pengganti beliau yang bersifat ma’sum.
2.
Imam Ali bin Abi Ttholib ra. adalah
pemimpin yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW untuk menjadi khalifah setelahnya.
Beliau adalah orang yang paling utama dan paling mulia diantara para sahabat
Rasul yang lain. Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa Syi’ah bukanlah
satu-satunya kelompok yang menyatakan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib ra. adalah
orang yang paling utama dan paling mulia
diantara para sahabat. Sebagaimana kalangan Bani Umayyah juga ada yang mengakui
keutamaan Imam Ali ra. Melebihi para sahabat lain diantaranya adalah Kalid bin
Sa’id ibn al-‘Ash dan Umar bin Abdul Aziz.
Kelompok
Syi’ah berlebihan dalam mengagungkan sosok Imam Ali ra. Yang mana mereka sampai
menganggap bahwa beliau telah mencapai derajat kenabian. Mereka menganggap
bahwa kenabian sebenarnya merupakan hak Imam Ali ra. Dan Jibril telah berbuat
kesalahan dengan memberikan wahyu kepada Muhammad SAW. Bahkan ada kelompok
Syi’ah yang menganggap Imam Ali ra. Adalah Tuhan, sebagian lagi menganggap
bahwa Tuhan menitis ke dalam diri Imam Ali ra. serta kepada Imam yang lain yang
menjadi keturunannya. Pendapat ini sama dengan pendapat pendapat kalangan
Nasrani tentang unsur keturunan dalan diri Nabi Isa sa. Ada juga yang
berpendapat bahwa unsur ketuhanan berpindah dari satu Imam ke Imam yang lain
(Zahrah, 2007:152).
Kelompok
Syiah sendiri terdiri
dalam beberapa kelompok yang mana masing-masing kelompok memiliki dasar-dasar
sendiri, diantaranya:
1.
Syiah Rafidah.
Kalangan
Syiah Rafidhah telah sepakat bahwasanya Imam terakhir tidaklah wafat, Imam
tersebut masih hidup dengan kehidupan yang lain. Imam terakhir tersebut akan
kembali dan memenuhi bumi dengan keadilan, setelah sebelunya bumi diliputi oleh
aneka kegelapan dan perilaku buruk (Zahrah, 2007:152).
2.
Syiah Saba’iyah
Kalangan
Syiah Saba’iyah berpendapat bahwa Muhammad bin al-Hanafiyah masih hidup
(Zahrah, 2007:152). Mereka adalah pengikut Abdullah bin Saba’ aslinya adalah
orang Yahudi dari al-Hirrah. Ia menyatakan masuk islam dan ibunya bernama
Sauda. Oleh karena itu Abdullah bin Saba’ juga diberi gelar Ibnu Sauda’.
Abdullah bin Saba’ adalah seorang yang sangat menentang pemerintahan Utsman bin
Affan ra. Sedikit demi sedikit Abdullah bin Saba’ memasukkan dan menyemaikan
pemikiran-pemikirannya terutama mengenai sosok Imam Ali ra (Zahrah, 2007:156).
Yang
pertama kali digembar-gemborkannya kepada kaum Muslim adalah pernyataan Taurat
bahwa setiap Nabi pasti memiliki seorang yang diberi wasiat. Menurutnya, Imam
Ali ra adalah seorang yang diberi wasiat, dan Nabi Muhammad SAW adalah
sebaik-baik Nabi. Kemudian juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW akan kembali
lagi kedalam kehidupan dunia (Zahrah, 2007:156).
3.
Syiah Istna Asy’ariyah
Kalangan
Syiah Istna Asy’ariyah menyatakan bahwa Imam mereka yang kedua belas, yaitu
Muhammad bin al-Hasan al-Askari yang deberi gelar al-Mahdi, masuk ke dalam
godaan menghilang bersama ibundanya. Imam Mahdi ini kan keluar lagi di akhir
zaman dan memenuhi bumi dengan keadilan. Kalangan ini selalu menunggu
kedatangan Imam yang kedua belas tersebut selepas sholat maghrib di tempat
dimana beliau dinyatakan menghilang. Mereka menyediakan kendaraan, melantunkan
dan memanggil-manggil namanya agar Imam tersebut keluar. Hal ini mereka lakukan
sampai bintang-bintang dilangit bermunculan (Zahrah, 2007:152).
2.2.2 Khawarij
Sebagaimana
yang sudah kita ketahui bahwa kaum Khawarij sebenarnya adalah pengikut-pengikut
Ali ibn Abi Tholib. Mereka meninggalkan Ali ibn Abi Thalib karena tidak setuju
dengan sikap Ali ibn Abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk
menyelesaikan persengketan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah ibn Abi
Sufyan dalam perang sifin. Ciri yang menonjol dari aliran ini ialah
watak yang ekstrimis dalam memutuskan persoalan-persoalan Kalam. Mereka
berpegang teguh pada ayat 44 surat al-Maidah yang artinya “Barang siapa yang
tidak memutuskan menurut apapun yang diturunkan Allah, maka mereka adalah
orang-orang yang kafir”.
Semua
pelaku dosa besar menurut semua golongan dari sekte Khawarij kecuali an-Nadjah
adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Golongan yang lebih ekstirm
yaitu al-Azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir yaitu
musrik. Mereka memandang musrik bagi siapa saja yang thdak mau bergabung dengan
barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih
status dari keimanannya menjadi kafir millah (agama) dan berarti ia telah
keluar dari islam, mereka kekal di neraka bersama-sama orang kafir lainya.
2.2.3
Murjiah
Aliran
Murjiah membuat kesepakatan
bahwa sumber ajaran islam yang utama adalah Al quran dan As sunnah ,sedangkan penalaran atau
akal pikiran sebagai alat untuk memahami alquran dan as sunnah,
sesuai dengan agama islam itu sendiri sebagai wahyu yang
berasal dari Allah SWT. Adapun pengertian alquran dari segi istilah dapat
dikemukakan dari berbagai pendapat berikut ini:
Manna ‘al qaththan, secara rngkas mengutip pendapat para ulama pada umumnya
mengatakan bahwa alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.sedangkan pengertian Alquran secara lebih lengkap dikemukakan oleh
Abdul Wahab Akhallaf, menurutnya Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada hait
Rasulullah, Muhammad bin Abdul, melalui jibril dengan menggunakan lafal bahasa arab
dan maknanya yang benar.agar ia menjadi hujjah bagi rasul
bahwa ia benar-benar rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia ,memeberi petunjuk
kepada mereka, dan menjadi sarana untuk diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya.
Selanjutnya Alquran juga berfungsi sebagai hakim atau
wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus,
itulah sebabnya ketika umat islam berselisih dalam segal`
urusannya hendaknya ia berhakim kepada Alquran. Sedangkan menurut bahasa As sunnah artinya jalan hidup yang
dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk.
Sementara itu jumhurul ulama atau kebanyakan para ulama
akui hadist mengartikan As sunnah, Al hadist, Al khabar, dan Al atsar sama saja yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan,
perbuatan, maupun ketetapan. Pengertian ini didasarkan pada pandangan mereka terhadap
nabi sebagai suri tauladan yang baik bagi manusia.
2.2.4
Jabariyah
Ketika Qadariyah berasumsi bahwa manusia memiliki
kemerdekaan dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya, dan mengkultuskan
akal dalam menentukan kebenaran, maka Jabariyah berasumsi sebaliknya. Menurutnya manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam
paham ini terkait pada kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan segala perbuatannya
telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan. Penganut paham ini senantiasa akan mengatakan bahwa pendidikan tidak perlu
diadakan inovasi, bahkan percuma. Karena paham ini menganggap baik buruknya
nasib manusia telah ditetapkan oleh Tuhan.
Menurut pandangan Jabariyah konsep pendidikan
Islam yang ada pada zaman dahulu yang telah dipraktekkan oleh ulama-ulama
terdahulu sudah cukup, karena pada dasarnya pendidikan itu tidak akan memberi
pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan manusia, sebab baik buruknya nasib
seseorang telah ditentukan oleh Allah. Manusia tidak perlu ada ikhtiar, karena
apapun akhirnya tergantung pada Tuhan. Akhirnya semua factor-faktor pendidikan
yang tersebut di atas, tidak perlu adanya reformasi dan reorientasi.
2.2.5
Qodariyah
Dengan pemikiran-pemikiran yang cerdas, sebenarnya
kebebasan itu adalah sifat yang dimiliki manusia yang perlu ditumbuh
kembangkan. Sebab dengan kebebasan itu manusia menjadi kreatif dan inovatif.
Hanya saja kebebasan itu jangan kebablasan atau berlebih-lebihan. Padahal sesungguhnya kebebasan dalam dunia
Islam ditopang oleh akal yang sehat dan didukung oleh wahyu. Aliran ini
memberikan kemerdekaan atau kebebasan manusia untuk berbuat. Tapi harus
diyakini kebebasan yang dianutnya tetap berbeda dalam koridor wahyu. Karena
aliran Qadariyah memiliki alasan-alasan berpijak sesuai ayat-ayat al-Quran. Sekiranya ulama Islam dan umat Islam pada
zaman klasik itu hanya berorientasi akhirat saja, tanpa berorientasi dunia, dan
memakai filsafat fatalisme atau jabariyah, bukan filsafat qadariyah dan dengan
pahamnya tentang manusia yang bebas.
Telah dimaklumi bersama bahwa aliran Qadariyah
berpegang teguh pada anggapan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kekuasaan
penuh dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurutnya pula manusia mempunyai
kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya sehingga dengan
demikian manusia terpaksa tunduk pada Qadar dan kadar Tuhan, atau yang biasa
disebut dengan free will dan free act yang muncul kemudian, yang sangat mendukung argumen-argumen Qadariyah, yang
mana manusia dalam menentukan kehidupnya segala dapat diperoleh melalui
kebenaran akal, sehingga aliran ini biasa dengan disebut aliran rasionalisme
yakni aliran yang mengkultuskan kemampuan akal dalam menetapkan kebenaran.
Sifat
rasional dari pada manusia ini melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Bahwa
dengan rasionya manusia dapat memiliki dan mencapai kebebasan dari berbagai
belenggu yang dapat menurunkan derajat atau martabatnya seperti kebodohan, keragu-raguan.
Dengan senjata yang bersifat rasional manusia dapat menghilangkan belenggu atau
rintangan yang dihadapi, maka ia lalu merdeka.
2.2.6
Mu’tazilah
Mu’tazilah
menyandarkan pengambilan atau penarikan kesimpulan untuk aqidah-aqidah mereka
kepada akal, dan pengaruhnya adalah mereka menghukumi baik buruknya sesuatu
sesuai akal mereka.
Karena mereka
bersandar pada akal maka mereka menta’wilkan sifat-sifat Allah SWT dengan yang
sesuai akal mereka secara keseluruhan, seperti sifat Istiwa’, Yad, Ain,
Mahabbah, Ridho, dan telah maklum bahwa muktazilah itu menafikan semua sifat,
bukan kebanyakannya. Karena bersandar kepada akal pula mereka berani mencela
dan menghinakan para Kibaru Sahabat, dan menuduh mereka berdusta. Washil bin
atho’ menuduh / mendakwa salah satu dari dua kubu pada perang jamal adalah
golongan fasik, baik kubu Ali bin Abi Thalib, Amar bin Yashir, Hasan, Husain,
dan Abu Ayub Al Anshari, begitu pula kubu Aisyah dan Zubair, serta menolak
kesaksian seluruh sahabat tersebut dan berkata: “لا تقبل شهادتهم”
Sebab dari kaum
Mu’tazilah berselisih sendiri diantara mereka dan bertambahnya jumlah kelompok
dari mereka adalah penyandaran mereka terhadap akal dan penolakan mereka
terhadap nash-nash yang shohih dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Para ulama’ Islam
ketika masa mereka, mereka menyalahkan pendapat Mu’tazilah, diantara mereka
adalah Abu Hasan Al Asyari yang merupakan bekas Mu’tazilah yang kemudian keluar
dari Mu’tazilah, begitu pula Imam Ahmad bin Hambal yang disiksa dengan besi
panas kepada tubuhnya lantaran tidak mau mengakui kalau Al Quran adalah makhluk.
Perlakuan kelompok
Mu’tazilah kepada para ahli fikih inilah yang menyebabkan mereka mendapat
perlawanan keras dari umat Islam. Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah
berkata: “Menurutku hukuman yang tepat bagi seorang ahlul kalam (Mu’tazilah)
adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan sandal dihadapan orang banyak yang
berasal dari berbagai macam kabilah.” Kemudian dikatakan kepadanya: “Inilah
balasan bagi orang yang meninggalkan kitab Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW, serta
menyibukkan dirinya untuk membicarakan kalam Allah SWT.” Imam Ahmad juga pernah
berkata: “Ulama’-ulama’ ahlul kalam adalah orang-orang yang Zindiq (Ateis).
2.2.7
Asy’ariyah
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang
Mu’tazillah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi mereka berbeda dalam
menghadapi permasalahan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan
wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sedangkan Mu’tazillah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan
Mu’tazillah berdasarkan akal.
2.2.8
Maturidiyah
Dalam pemikiran teologinya,
Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan
Al-Asy’ari.
Menurut al-Maturidi akal mengetahui
sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang buruk yang terdapat
dalam yang buruk. Akal tahu bahwa berbuat baik adalah baik dan berbuat buruk
adalah buruk, dan pengetahuan inilah yang memestikan adanya perintah dan
larangan. Akal mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa
bersikap sebaliknya adalah buruk. Akal selanjutnya memerintah manusia
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang mempertinggi kemuliaan dan melarang
manusia mengerjakan perbuatan yang merendahkan.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui
Tuhan dan kewajiban Mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan
akal dalam kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia
menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap
Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk
ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan tersebut,
tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang
yang tidak mau menggunakan akal untk memperolah iman dan pengetahuan mengenai
Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut.
Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk,
Al-Maturidi berpedapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak
pada suatu itu sendiri, sedang perintah atau larangan syari’ah hanyalah
mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa
akal tidak selalu mampu membedakan yang baik dan yang buruk, namun terkadang
pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi
demikian, wahyu diperlukan untuk dijalankan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan
suatu suatu dengan akal pada tiga macam,
yaitu :
1.
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
kebaikan suatu itu.
2.
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
keburukan suatu itu.
3.
Akal tidak mengetahui kebaikan dan
keburukan suatu itu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan atau
keburukan suatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya
saja kalau Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah bahwa melakukan yang baik dan
meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada akal, Al-Maturidi mengatakan bahya
kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan wahyu saja. Dalam persoalan
ini Al-Maturidi , berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak
terdapat pada suatu itu sendiri. Suatu itu dipandang baik karena perintah syara
dan dipandang buruk karena dilarang syara. Jadi yang baik itu baik karana di
perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini
Al-Maturidi berada pada posisi tengandari
Mu’tazilah dan Al-Asy’ari.
BAB
III
KESIMPULAN
Wahyu merupakan pemberitahuan Allah SWT kepada hambanya yang
terpilih mengenai segala sesuatu yang ia kehendaki untuk dikemukakannya, baik
berupa petunjuk atau ilmu, namun penyampaiannya secara rahasia dan tersembunyi
serta tidak terjadi pada manusia biasa.
Sedang
akal adalah merupakan modal yang dimiliki manusia
yang tidak dimiliki oleh hewan serta tumbuhan yang berfungsi untuk berfikir,
merenung,serta aktifitas abstrak lainnya.
Kelompok
Syi’ah menggutamakan akal daripada wahyu. Mereka menganggap malaikat Jibril a.s
telah melakukan kesalahan dalam menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW.
Mereka menganggap bahwa kenabian sebenarnya merupakan hak Ali bin Abi Thalib
ra.
Kelompok
Khawarij sangat mengutamakan wahyu daripada akal. Hal ini termaktub dalam
semboyan mereka ‘Tidak ada hak menetapkan keputusan kecuali di tangan Allah’.
Mereka berpegang teguh pada ayat 44 surat al-Maidah yang artinya “Barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apapun yang diturunkan Allah, maka mereka adalah
orang-orang yang kafir”.
Aliran
Murjiah membuat kesepakatan
bahwa sumber ajaran islam yang utama adalah Al quran dan As sunnah,
sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk
memahami alquran dan as sunnah, sesuai dengan ag`ma islam itu sendiri sebagai wahyu yang
berasal dari Allah SWT.
Kelompok
Jabariyah mengutamakan wahyu di atas akal. Menurut mereka manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terkait pada kehendak mutlak
Tuhan.
Kelompok
Qadariyah berasumsi bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan
kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya, dan mengkultuskan akal dalam
menentukan kebenaran. Menurut mereka kebebasan dalam dunia Islam ditopang oleh akal yang sehat
dan didukung oleh wahyu, sehingga kebebasan yang dianut tetap
dalam koridor wahyu.
Kelompok Mu’tazilah menyandarkan
pengambilan atau penarikan kesimpulan untuk aqidah-aqidah mereka kepada akal,
dan pengaruhnya adalah mereka menghukumi baik buruknya sesuatu sesuai akal
mereka.
Kelompok
Al-Asy’ari mengutamakan wahyu daripada akal. Dan Al-Asy’ari berpendapat bahwa
baik dan buruk harus berdasarkan wahyu.
Kelompok
Maturidiyah mengutamakan akal daripada wahyu. Namun, ia mengakui bahwa akal
tidak selalu mampu membedakan yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula
mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian,
wahyu diperlukan untuk dijalankan sebagai pembimbing.
DAFTAR
PUSTAKA
Hanafi,
A. 1980. Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna
Hanafi,
A. 1987. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Kariem, 'eyyasy. 2011.
Mu’tazilah. http://agama.kompasiana.com/2011/02/07/mutazilah/.
Diakses tanggal 16 Oktober 2011.
Nasution,
H. 1986 Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI
Press. Jakarta.
Rozak, Abdul; Anwar, Rosihon. 2001. Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS.
Bandung : Pustaka Setia.
Sarkowi. 2010. Teologi
Islam Klasik Mengurai Akar Pemikiran Aliran-aliran Teologi Islam Klasik.
Malang : ReSIST Literacy.
Zahrah,
dan Abu, M. 2007. Imam Syafi’i (Biografi dan Pemikirannya Dalam
Masalah Akidah, Politik dan Fiqih). Penerbit Lentera.
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar