ABSTRAK
Kemudahan,
kesenangan dan kenyamanan duniawi hanya sementara, yang kekal yaitu akhirat.
Oleh karena itu diharapkan untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para
sufi menyebutnya dengan maqam munuju Allah. Agar dalam beribadah dapat khusyuk dan
istiqamah. Maqam menuju Allah SWT banyak sekali antara lain taubat, sabar,
zuhud, tawakal, cinta (mahabah), ridha, ma’rifat. Taubat berarti tidak akan
membawa kepada dosa lagi. Sabar berarti rela menerima semua yang diberikan Allah
SWT. Zuhud berarti mengurangi keinginan terhadap kehidupan duniawi. Tawakal
berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Cinta (mahabah) berarti cinta
kepada Allah SWT. Ridha berarti orang yang rela menerima apa yang telah
diberikan Allah SWT. Ma’rifat berarti pengetahuan langsung dari Allah
berdasarkan ilham atau petunjuk-Nya.
BAB
I
PENDAHULUAN
Kecanggihan material
sebagai hasil dari kemajuan ilmu dan teknologi modern telah mempermudah hidup.
Banyak kesenangan dan fasilitas hidup dapat dinikmati dengan bertambahnya
setiap penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi. Kita semua dapat
menyaksikan, melihat dan merasakan sendiri secara langsung kemajuan-kemajuan
dan kemudahan tersebut yaitu sarana kebutuhan sehari-hari, seperti alat
transportasi dan komunikasi, tempat dan sarana hiburan dan sebagainya. Dengan
demikian hidup terasa bertambah mudah, enak dan nyaman.
Tetapi kenyataan yang
ada bukanlah sebuah garis lurus. Kemudahan, kesenangan dan kenyamanan lahiriah
yang diberikan oleh ilmu dan teknologi tidak selalu membahagiakan umat manusia,
malah ada yang memandangnya sebagai
pembawa banyak bencana daripada rahmat.
Di era modern ini
banyak ilmu pengetahuann maju seiring dengan semakin modern dunia ini namun
manusia telah terbawa oleh dunia yang fana ini. Masyarakat modern saat ini
meskipun ilmu mereka banyak namun hati mereka kosong, mereka sangat membutuhkan
adanya siraman rohani. Banyak orang kaya namun hatinya tidak kaya sehingga
mereka tidak bias mengimbanginya. Sehingga untuk menghidupkan kembali hati yang
telah mati perlu adanya pendekatan spiritual kepada Allah. Adapun jalan menuju
sisi Allah adalah dengan melalui beberapa tahapan, adapun tahapan tersebut
disebut dengan maqam, yaitu suatu jalan yang ditempuh oleh seorang sufi untuk
mendekatkan diri menuju sisi kepada Allah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 MAQAM
Maqam diartikan sebagai
station, tahapan atau tingkatan, yaitu tingkatan spiritual yang telah dicapai
oleh seorang sufi. Maqam merupakan hasil kesungguhan dan perjuangan yang
terus-menerus. Yang berarti bahwa seseorang baru dapat berpindah dan naik dari
satu maqam ke maqam yang lebih tinggi setelah melalui latihan dan melakukan
kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik lagi dan juga telah menyempurnakan
syarat-syarat yang harus ada pada maqam di bawahnya.
Jumlah dan susunan
perjalanan sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah berbeda-beda pendapat,
yaitu menurut Abu Bakr Muhammad al-Kalabazi dalam bukunya Al-Ta’aruf li Mazhab
Ahl Al-Tasawwuf.
Taubah, zuhd, sabr, faqr, tawadu’,
taqwa, tawakal, ridha, mahabah, dan ma’rifah1[1]
Menurut Abu Hamid
al-Gazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum Al-Din menyebutkan bahwa
Maqam
itu adalah taubah, sabr, faqr, zuhd,
tawakal, mahabah, ma’rifah dan ridha1
Siapapun yang pertama
menyusun maqam, tidaklah penting, tetapi yang pasti adalah
Sejak
abad tiga hijriah setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf atau ingin
menjadi sufi, ia harus menempuh jalan yang berat dan panjang, melakukan
berbagai macam latihan amalan, baik yang bersifat amalan lahiriah maupun amalan
batiniyah[2].
Walaupun pengetahuan
tentang tasawuf pada dasarnya berat, tetapi dapat dipelajari melalui
tahapan-tahapan tertentu, yang disebut dengan maqam. Apakah tujuannya hanya
sekedar mendekatkan diri kepada Allah atau bertujuan ma’rifat dan mahabah,
setiap orang harus melewati tahapan-tahapan yang telah disebutkan di atas.
2.2. Taubat
Ada
beberapa pengertian kata “tobat” menurut redaksi al-Qur’an: Pertama, kembali dari pemberatan kepada
keringanan, seperti pada firman Allah SWT [3]
* ¨bÎ)
y7/u
ÞOn=÷èt
y7¯Rr&
ãPqà)s?
4oT÷r&
`ÏB
ÄÓs\è=èO
È@ø©9$#
¼çmxÿóÁÏRur
¼çmsWè=èOur
×pxÿͬ!$sÛur
z`ÏiB
tûïÏ%©!$#
y7yètB
4 ª!$#ur
âÏds)ã
@ø©9$#
u$pk¨]9$#ur
4 zOÎ=tæ
br&
`©9
çnqÝÁøtéB
z>$tGsù
ö/ä3øn=tæ
( (#râätø%$$sù
$tB
u£us?
z`ÏB
Èb#uäöà)ø9$#
4 zNÎ=tæ
br&
ãbqä3uy
Oä3ZÏB
4ÓyÌó£D
tbrãyz#uäur
tbqç/ÎôØt
Îû
ÇÚöF{$#
tbqäótGö6t
`ÏB
È@ôÒsù
«!$#
tbrãyz#uäur
tbqè=ÏG»s)ã
Îû
È@Î6y
«!$#
( (#râätø%$$sù
$tB
u£us?
çm÷ZÏB
4 (#qãKÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$#
(#qè?#uäur
no4qx.¨9$#
(#qàÊÌø%r&ur
©!$#
$·Êös%
$YZ|¡ym
4 $tBur
(#qãBÏds)è?
/ä3Å¡àÿRL{
ô`ÏiB
9öyz
çnrßÅgrB
yZÏã
«!$#
uqèd
#Zöyz
zNsàôãr&ur
#\ô_r&
4 (#rãÏÿøótGó$#ur
©!$#
( ¨bÎ)
©!$#
Öqàÿxî
7LìÏm§
ÇËÉÈ
Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu
mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam,
atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa
yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu
orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan
Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman
yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu
memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang
paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kedua, kembali dari larangan menuju
kebolehan, diantaranya seperti firman Allah SWT :
¨@Ïmé&
öNà6s9
s's#øs9
ÏQ$uÅ_Á9$#
ß]sù§9$#
4n<Î)
öNä3ͬ!$|¡ÎS
4 £`èd
Ó¨$t6Ï9
öNä3©9
öNçFRr&ur
Ó¨$t6Ï9
£`ßg©9
3 zNÎ=tæ
ª!$#
öNà6¯Rr&
óOçGYä.
cqçR$tFørB
öNà6|¡àÿRr&
z>$tGsù
öNä3øn=tæ
$xÿtãur
öNä3Ytã
( z`»t«ø9$$sù
£`èdrçų»t/
(#qäótFö/$#ur
$tB
|=tF2
ª!$#
öNä3s9
4 (#qè=ä.ur
(#qç/uõ°$#ur
4Ó®Lym
tû¨üt7oKt
ãNä3s9
äÝøsø:$#
âÙuö/F{$#
z`ÏB
ÅÝøsø:$#
ÏuqóF{$#
z`ÏB
Ìôfxÿø9$#
( ¢OèO
(#qJÏ?r&
tP$uÅ_Á9$#
n<Î)
È@ø©9$#
4 wur
Æèdrçų»t7è?
óOçFRr&ur
tbqàÿÅ3»tã
Îû
ÏÉf»|¡yJø9$#
3 y7ù=Ï?
ßrßãn
«!$#
xsù
$ydqç/tø)s?
3 y7Ï9ºxx.
ÚúÎiüt6ã
ª!$#
¾ÏmÏG»t#uä
Ĩ$¨Y=Ï9
óOßg¯=yès9
cqà)Gt
ÇÊÑÐÈ
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam
hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian
bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi
ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.
Dari kedua arti
tersebut ada kata “kembali”. Di dalam bahasa arab, ada beberapa kata untuk
menujukkan makna kembali. Kata yang
paling kita ketahui adalah ‘id atau ‘awd yang berasal dari kata ‘ada-ya ‘udu-‘dan-‘awdan, yang artinya
kembali. Sebagian orang mengatakan bahwa Idul Fitri kembali kepada fitrah.
Kata lain untuk
menunjukkan kembali dalam bahasa arab
adalah ruju’ dari kata roja’a-yarji’u-ruju’an. Di dalam
al-Qur’an kata ini bermakna kembalinya kita kepada Allah, sedangkan dalam
masyarakat khusus digunakan dalam kasus percaraian.
Salah
satu keindahan Al-Qur’an adalah adanya beberapa kata yang berbeda dengan makna
yang sama, sehingga tidak terjadi pengulangan kata. Seperti halnya kembali yang juga memilki kata lain
dalam bahasa arab selain kata di atas yaitu anaba-yunibu-inabah.
Seperti halnya taubah yang artinya
kembali.
Di
dalam tasawuf, kata taubah dan inabah menunjukkan dua maqom yang
berbeda. Dalam sebuah kitab tasawuf disebutkan bahwa dalam perjalanan kita
menuju Allah, tobat adalah maqom yang kedua dan inabah adalah maqom yang
keempat. Maqom yang pertama adalah yaqazan
atau kesadaran[4].
Menurut
Al-Qur’an, hati kita memilki lampu fitrah yang membawa kita kepada kesucian dan
membawa kita untuk merindukan Allah. Namun, kerinduan itu sering kita lupakan
dalam keadaan tertentu seperti terpesona oleh sesuatu. Walaupun demikian
kerinduan itu masih ada di dalam hati kita. Lalu, kapan kerinduan itu tiba-tiba
muncul dam satu saat yang disebut yaqazan?
Kalau orang sedang ditimpa musibah maka biasanya ia akan kembali kepada Allah.
Namun setelah semua musibah yang ia hadapi telah selesai maka biasanya manusia
kembali musyrik tidak mensyukuri nikmat. Hal inilah yang sering terjadi di
Indonesia. Sekarang ini banyak masyarakat yang menyelaesaikan masalah mereka
dengan pergi ke dukun. Padahal hal tersebut sama saja dengan musyrik.
Dari
yaqazan orang meningkat ke tobat,
maqom yang kedua. Dari tobat meningkat menuju maqom yang ketiga yaitu muhasabah (perenungan). Setelah
maqom muhasabah, barulah maqom
inabah.
Mansur
(2007:100) dalam bukunya mengemukakan:
Siapa tobat sebelum maut, mencegat
setengah hari kira-kira, maka Allah memaafkan ia. Siapa tobat sebelum kematian
menjelang, kira-kira sesaat, maka Allah ampunkan ia. Siapa tobat sebelum
tercabut nyawa dari tenggorokannya, maka Allah terima tobatnya3
Dalam
melakukan tobat Allah telah menetapkan batas waktunya. Mula-mula batas waktu
yang ditetapkan adalah setengah hari sebelum orang itu sekarat. Apabila orang
tersebut bertobat sebelum ia mati, maka tobatnya akan diterima. Artinya
dosa-dosanya akan dihapus selama hidupnya. Apabila sampai batas waktunya ia
meninggal dalam keadaan seperti itu maka ia meninggal dalam keadaan khusnul
khotimah. Adakalanya pula yang sudah sesingkat itu pun masih ada saja orang
berbuat maksiat. Sehingga dosa yang telah dihapus sebelumnya timbul kembali.
2.3
Sabar (Ash Shabru)
Menurut
pendapat dari beberapa tokoh sabar yaitu merupakan media yang paling ampuh
dalam terapi penyakit jiwa, sabar sipenderita itu sendiri merupakan obat jiwa,
seperti yang dikatakan oleh Hamdut Al Qisrah:” Seseorang tidak akan mengeluh
atas suatu musibah kecuali yang menuduh Rabbnya.”
Allah
berfirman:
Artinya:
“wahai orang-orang yang beriman, sabarlah
kalian dan saling bersabarlah.” (Ali Imron, 200)
Allah SWT juga
berfirman:
Artinya: “Berilah berita gembira bagi orang-orang
yang sabar.” (Al Baqarah, 155)
Pandangan orang sufi
tentang sabar merupakan sisi yang penting dalam memperbaiki kendala kejiwaan,
dan sabar pada hakikatnya merupakan sikap berani dalam menghadapi
kestlitan-kesulitan. Kesulitan ini adakalanya merupakan hal yang bersifat
mental dan juga bersifat akal. Sabar merupakan sikap utama adalah kehidupan
akhlak dan akan memberikan keutamaan dalam segala bidang kehidupan, sabar dalam
ibadah, sabar dalam menutut ilmu, sabar dalam pekerjaan, sabar dalam komunikasi
dengan sesama manusia, sabar dalam kesehatan dan dalam kondisi sakit, sabar
ketika membenci, sabar dalam kenikmatan dan penderitaan, dan sesungguhya latihan
sabar untuk sabar merupakan sumber keutamaan dalam dunia akhlak
Di dalam kitab Al Washaya, Al Muhasibi berkata: jika
kalian mendapatkan ujian dalam bentuk derita dan kesulitan, maka kala itu
kalian wajib berjuang untuk menjadi seseorang yang sabar dalam penderitaan itu,
karena yang demikian itu merupakan ujian dari
Allah SWT kepada hamba-Nya. Sehingga jauhilah perbuatan mengeluh dan
tidak rela dengan qadha’ Allah itu. Karena orang yang sabar adalah orang yang
yang dapat menahan kemarahan dengan kesadarannya, karena pada saat itu dia bisa
marah namun dia memiliki sabar, sehingga dia lebih memilih mempergunakan
akalnya sehingga dapat menahan kemarahannya.
Betapa bodohnya orang
yang merasa susah dan payah ketika menghadapi suatu cobaan penderitaan. Karena hanya
orang yang berakallah yang berharap ada kebaikan dibalik dari suatu cobaan.
Karena sesunggunya Allah tidak akan memberikan cobaan diatas kemampuan umatnya.
Menurut Al Kharraz
sabar adalah sebuah isim (nama) yang mengandung makna-makna lahir dan batin.
Dimana nama lahir terdiri dari tiga unsur:
1. Sabar
dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dalam segala kondisi, baik dalam
keadaan sulit maupun mudah, atau dalam keadaan sehat maupun sakit atau dalam
keadaan rela maupun terpaksa.
2. Sabar
dalam menjauhi segala apa yang dilarang oleh Allah SWT dan mencegah terhadap
yang menjadi kencendrungan jiwanya, yaitu dalam pekerjaan yang tidak di ridhai
oleh-Nya baik dalam keadaan rela maupun terpaksa.
3. Sabar
untuk melakukan sunah dan perbuatan-perbuatan yang mengandung kebaikan yang
menyebabkan seorang hamba menjadi lebih dekat kepada-Nya dan mengiring jiwanya
untuk mencapai tujuan sabar yaitu mencapai pahala dari Allah SWT.[5]
Sedangkan sabar batin
adalah sabar untuk menerima kebenaran (Al-Haq) yang datang dari siapapun yang
mengajakmu untuk kebaikan, lantas ia akan menerimanya. Sebab, kebenaran itu
adalah berasal dari Allah SWT untuk hamba-Nya, dan tidak boleh bagi seseorang
untuk menolaknya. Bagi orang yang menolak kebenaran berarti ia menolak perintah
Allah.
Kita sebagai orang
muslim haruslah memiliki sifat yang sabar karena sudah di paparkan di atas bahwasanya Allah memerintahkan kepada
hamba-hambanya untuk memiliki sifat sabar. Sifat sabar dapat mencerminkan
kepribadian dari setiap orang muslim. Sifat sabar merupakan suatu alat yang
sangat tepat untuk kejiwaan kita. Sifat sabar merupakan suatu proses dari
pengosongan jiwa sehingga menciptakan jiwa yang putih. Sifat sabar dapat
meciptakan suatu persaudaraan yang erat, sehingga menjauhkan dari permusuhan
dan persatuan umat Islam. Alangkah baiknya apabila pada setiap individu orang
memiliki sifat yang sabar maka tali persaudaraan kita sebagai orang muslim
tidak akan pecah dan akan menjauhkan kita dari konflik baik sesama orang muslim
maupun non muslim sehingga tercipta suatu kehidupan yang harmonis.
Sifat sabar dapat
menciptakan rasa persatuan warga negara maupun antar negara sehingga dijauhkan
dari konflik yang akhir-akhir ini tejadi baik di dalam maupun di luar negeri.
Namun cukup sulit sekali menemuka orang yang sabar. Karena kebanyakan manusia
yang mengejar kesenangan duniawi dari pada akhirat. Sehingga manusia
berlomba-lomba untuk mencapai tujuannya tersebut meskipun dengan menghalalkan
segala sesuatu.
Kebanyakan orang
memahami sabar adalah, menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik
dalam menemukan sesuatu yang tidak diingini, ataupun dalam bentuk kehilangan
sesuatu yang disenangi. Namun faktanya, sabar itu bertingkat-tingkat dan dapat
diupayakan. Menjadi luas maknanya dan tidak saja dikaitkan kepada hal-hal yang
berkenaan dengan penderitaan, melainkan keteguhannya di dalam mengekang segala
bentuk keinginan-keinginannya yang menggebu-gebu (syahwat).
Orang yang keluar dari
kesenangan dalam keadaan istiqomah di jalan yang benar, maka derajatnya lebih
tinggi daripada orang yang keluar dari kesulitan dalam keadaan istiqomah. Maka
kita sebagai orang muslim yang selalu mengiginkan suatu yang lebih baik sari
sebelumnya haruslah selalu berada di jalan yang benar dengan mengamalkan segala
sesuatu yang di anjurkan oleh Allah SWT yaitu dengan memngamalkan sifat
sabar.
2.4.
Zuhud
“Diantara sekian banyak
ajaran tasawuf yang paling dikenal dan paling dianggap penting disamping
taubat, mujahadah dan lain-lainnya ialah zuhud. Zuhud bisa diartikan berpaling
dari urusan keduniaan secara berlebihan, bisa juga diartikan menghapus rasa
tergila-gila terhadap harta dunia, menghilangkan nafsu keinginan untuk memiliki
atau merasakan kemewahan dunia. Jadi zuhud yang sebenar-benarnya zuhud adalah
kita harus menghindarkan diri dari segala bentuk keinginan yang tidak pantas
apalagi terlarang dalam agama. Kita harus menjauhkan diri denga sungguh-sungguh
terhadap keinginan hawa nafsu. Misal mencintai harta dan dunia secara
berlebihan. Kita harus mampu mengendalikan nafsu sehingga antara dunia dan
akhirat berjalan seiring. Kita manfaatkan dunia untuk jembatan menuju akhirat[6]”.
Maka perlu ditekankan
kembali bahwa zuhud bukan berarti membenci harta, sehingga sama sekali tidak
suka harta, sama sekali tidak suka rejeki, namun sebagian orang menganggap
”zuhud” yang merupakan salah satu ajaran dari tasawuf, adalah seseorang yang
memakai kopiah kusam, memakai pakaian yang jelek memakai sarung di bawah lutut
dan sebagainya. Ini adalah anggapan yang keliru, ajaran tasawuf yang sebenarnya
tidaklah demikian.
Sifat zuhud tersebut
adalah tujuan dari ajaran tasawuf dan ajaran tasawuf itu tidak bertentangan
dengan Al Qur’an dan Hadits. Justru ajaran tasawuf berusaha mengamalkan Al Qur’an
dan Hadits. Hal ini di tunjukkan dalam firman Allah sebagai berikut:
wur ¨b£ßJs?
y7øt^øtã
4n<Î)
$tB
$uZ֏GtB
ÿ¾ÏmÎ/
%[`ºurør&
öNåk÷]ÏiB
not÷dy
Ío4quptø:$#
$u÷R9$#
ôMåks]ÏGøÿuZÏ9
ÏmÏù
4 ä-øÍur
y7În/u
×öyz
4s+ö/r&ur
ÇÊÌÊÈ
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu
kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka,
sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia
Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal”[7].
FirmanNya
yang lain:
`tB
c%x.
ßÌã
y^öym
ÍotÅzFy$#
÷ÌtR
¼çms9
Îû
¾ÏmÏOöym
( `tBur
c%x.
ßÌã
y^öym
$u÷R9$#
¾ÏmÏ?÷sçR
$pk÷]ÏB
$tBur
¼çms9
Îû
Í otÅzFy$#
`ÏB
A=ÅÁ¯R
ÇËÉÈ
Artinya:
“Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah
Keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia
Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya
suatu bahagianpun di akhirat”[8].
Ketika
turun firman Allah sebagai berikut:
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim
Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan
batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”
Kemudian
Rasulullah bersabda di depan para
sahabat.
“celakalah bagi orang yang
memperhambakan diri pada dunia”
2.5 Tawakal
Tawakal adalah termasuk
pula ajaran tasawuf, di samping ajaran-ajaran lainnya. Sebab tawakal ini ialah
melatih hati dan melatih keimanan kepada Allah. Tawakal adalah salah satu sikap
orang muslim, yang merupakan hasil dari keyakinan hati yang kuat terhadap Allah
dengan sendirinya bahwa Allah berkehendak atas segala makhluk termasuk
hamba-hambanya.
“Menurut pendapat Prof. Dr. Buya Hamka, Tawakal
itu artinya ialah menyerahkan segala keputusan dan persoalan, ikhtiar dan usaha
kepada Allah SWT yang kuat dan kuasa sedangkan kita lemah dan tak berdaya.
Beliau juga menerangkan tentang usaha yang menghindarkan diri dari kemelaratan,
baik yang menyinggung diri, harta atau benda, anak keturunan. Baik kemelaratan
yang akan datang atau berat fikiran yang akan datang. Semua itu bukan berarti
suatu sikap tawakal, sebab tawakal itu setelah kita melakukan usaha atau
ikhtiar”[9]
Dari pendapat prof. Dr.
Buya Hamka, tawakal tidak hanya menyerahkan segala hasil dari urusan kita
kepada Allah SWT namun setelah ada usaha dan ikhtiar sekuat tenaga dan
kemampuan kita, maka setelah itu semua sepatutnyalah kita serahkan hasil akhir
dari usaha kita. Karena manusia hanya diberi otoritas sebagai pelaku proses
saja namun apapun hasilnya adalah mutlak kuasa Allah Azza wa jalla. Sebagai
seorang muslim maka hendaklah kita bertawakal kepada Allah dalam urusan apapun,
mengenai tawakal hendaknya kita pahami terlebih dahulu kata-kata “manusia
berusaha tetapi tuhan yang menentukan, kalau sudah begitu maka kita pun wajib
Ikhtiar”.
Sikap tawakal adalah
perasaan seorang mukmin dalam memandang alam dan kehidupan, bahwa apa yang
terdapat didalamnya tidak luput dari kehendak Allah sehingga Allah akan
memberikan ketenangan di dalam jiwanya dan Seorang mutawakil tidak perlu
khawatir di dalam menghadapi persoalan-persoalan karena Allah SWT tidak akan
memberikan persoalan-persoalan di luar kemampuan kita.
Allah SWT berfirman:
çmø%ãötur
ô`ÏB
ß]øym
w Ü=Å¡tFøts
4 `tBur
ö@©.uqtGt
n?tã
«!$#
uqßgsù
ÿ¼çmç7ó¡ym
4 ¨bÎ)
©!$#
à÷Î=»t/
¾ÍnÌøBr&
4 ôs%
@yèy_
ª!$#
Èe@ä3Ï9
&äóÓx«
#Yôs%
ÇÌÈ
Artinya: “Dan memberinya rezki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya. Dan Barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”[10]
(pada ayat sebelumnya yaitu Ath-Thalaaq
ayat -2 “Barangsiapa bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar”)
Hubungan antara tawakal
dan sabar adalah satu kepadauan yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat
hanya di perhatikan pada satu sisi dan meninggalakan sisi lainnya. “At-Tustari
mengatakan: “barangsiapa yang meninggalkan tawakal berarti meninggalkan sunnah
dan barangsiapa yang meninggal tawakal berarti meninggalkan Iman.”[11]
Dari beberapa
pengertian diatas tawakkal dapat diartikan mempercayakan segala urusan kepada Allah,
mempercayakan di dalam jaminan rezeki, jodoh, dan kematian hanya kepada Allah.
Tahap ini terletak setelah harapan (raja’). Tawakal adalah hasil dari kebenaran
keimanan melalui pertimbangan yang baik dan takdir. Tingkat keimanan ini
merupakan derajat keyakinan dimana yang pemiliknya meyakini bahwa segala urusan
telah ditetapkan oleh Allah dengan kehendak yang sempurna, ketentuan yang adil
dan sama sekali tidak ditambah dan dikurangi sedikitpun.
Maka seorang mutawakkil
(orang yang bertawakal) adalah seorang yang hanya melihat wujud penyebab dari
segala sebab. Dimana tawakkulnya tidak pernah berubah oleh ada atau tidak
adanya sebab. Ini adalah tawakkul seseorang yang akan mencapai tahapan Tauhid.
Seorang yang mutawakkil akan mengabaikan segala sebab, baginya kepercayaan
kepada segala sebab merupakan tercela.
Mewujudkan tawakal bukan
berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk berusaha
sekaligus bertawakal. Berusaha dengan seluruh anggota badan (ikhtiar) dan
bertawakal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah SWT.
Sebagian orang mungkin
ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakal kepada Alloh itu akan diberi
rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah
kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari
langit?” Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang itu tentang
hakikat tawakal. Nabi Muhammad SAW menyerupakan orang yang bertawakal dan
diberi rizki namun beliau mencontohkan pada seekor burung yang pergi di pagi
hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak
memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan
tertentu. Ia keluar berbekal tawakal kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tempat
bergantung.
“Dalam
sebuah kisah seorang sufi yang bernama junayd yaitu pada suatu waktu sekelompok
orang bertanya kepada junayd, “jika kami tidak berusaha mencari makanan
sehari-hari, maka bagaimana keadaannya?” Ia menjawab,”jika kalian tahu bahwa
sang Penyedia makanan sehari-hari telah melupakan kalian, maka berusahhalah
mencarinya, “mereka bertanya lagi, “kalau begitu, apakah kami harus diam saja
dirumah dan mengamalkan tawakkul saja?” Ia menjawab, ”dengan tawakkul kalian
sendiri jangan menggoda Allah; sebab, kalian hanya akan menuai kekecewaan saja.
“mereka kembali bertanya,’pikiran macam apa yang harus kami ambil? “Ia menjawab, tinggalkan pikiran.”[12]
Sebuah contoh kecil
misal kita menjumpai binatang buas yang akan mencelakakan diri kita maka kita
tidak boleh membiarkannya dengan dalih bertawakal kepada Allah. Namun hendaknya
kita menghindar tapi kalau sudah terjepit kita lawan sekuat tenaga dan
kemampuan kita atau kita bunuh dan jika kita sudah tidak sanggup maka barulah
kita bertawakal kepada Allah. Bila kita membiarkannya mencelakakan diri kita
maka yang demikian itu bukan tawakal namun termasuk tindakan yang tolol.
Ibnul Qayyim berkata,”Tawakal
adalah faktor paling utama yang bisa mempertahankan seseorang ketika tidak
memiliki kekuatan dari serangan makhluk lainnya yang menindas serta
memusuhinya. Tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan
seperti itu, karena ia telah menjadikan Alloh sebagai pelindungnya atau yang
memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang menjadikan Alloh sebagai
pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak akan bisa
mendatangkan bahaya padanya.”[13]
Tingkatan tawakal
bukanlah merupakan akhir perjalanan seorang sufi, sebab perjalan sufi tidak
mengenal kata akhir, tawakal tidak lain hanyalah rahasia Ar Rububiyah atau
rahasia antara hamba dengan Rabbnya dan ia mengetahui dengan jelas tentang
tawakal itu. Tawakal merupakan rahasia Ilahiyah, tidak dibuka kecuali kepada
para Nabi-Nya dan kepada sedikit orang.
Tawakal tidaklah
berarti meninggalkan usaha namun hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh dan
berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan
diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa
segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.
2.6.
Cinta (Mahabah)
Masalah cinta (mahabbah)
adalah sesuatu yang penting bagi mereka yang sudah mempunyai istri atau suami.
Bagi mereka yang belum menikah, masalah ini biasa menjadi gawat. Kalau sedang
berpuasa bisa batal puasanya. Menurut Imam Ahmad ibn Hanbali
cinta itu ada tiga bagian. Pertama,
cinta karena pemberian. Kedua, cinta
karena sebab. Ketiga, cinta yang
hakiki[14].
Kriteria cinta pada
bagian pertama adalah cintanya anak-anak. Anak-anak kalau mencintai orang tua
sering karena ia diberi sesuatu. Sama halnya ketika kita sehat, cantik, tampan,
pintar, dan kaya, lantas karena itu kita mencintai Allah SWT dan sadar bahwa
semuanya itu berasal dari-Nya, berarti cinta yang seperti itu tumbuh sebagai
cinta tingkat anak-anak. Cinta yang demikian itulah menurut Imam Ahmad ibn Hanbali
persis seperti anak kecil, karena jika kesehatan kita dicabut, kepandaian juga
hilang, dan kekayaan juga lenyap, kita akan berkeluh kesah seakan-akan Allah
tidak sayang kepada kita lagi.
Sedangkan kriteria
cinta yang kedua yaitu cinta karena sebab. Jika kita mencintai Allah SWT karena
Dia hebat, cinta demikianlah adalah cinta tingkat menegah. Kalau tadi adalah
cintanya anak-anak, yang ini mungkin cintanya anak remaja. Kalau kita ditanya,
mengapa Anda mencintai Allah SWT? Kemudian menjawab, karena Allah itu memeng
Mahakuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Cinta itu lebih tinggi
tingkatannya ketimbang cinta jenis yang petama. Cinta yang pertama termasuk
cinta yang meterialistik sekali, persis seperti cinta seorang gadis kepada
pemuda karena motornya atau kekayaannya, lalu tatkala motornya hilang atau
kekayaannya hilang, dia tidak cinta lagi. Sementara cinta yang kedua tidak
demikian. Dia mencintai seseorang karena orang yang dicintainya memang luar
biasa, mempunyai banyak kelebihan. Cinta ini juga masih termasuk cinta yang
agak materialistik.
Sedangkan cinta yang
ketiga, apabila kita ditanya kenapa mencintai Allah? Kemudian menjawab tidak
tahu alasannya dan cinta yang seperti itulah cinta yang hakiki. Betul-betul
dicari alasannya, tetapi tidak ditemukan jawabanya. Kerena banyaknya alasan
hingga tidak ditemukan jawabannya.
Dari cinta itulah
nantinya akan muncul apa yang disebut syawq
(rindu). Sulit mendefinisikan rindu ini. Rindu adalah kondisi psikologis ketika
seseorang ingin bertemu sesuatu atau seseorang, atau apaun yang tidak ada
dihadapannya. Perasaan rindu tidak akan muncul kalau kita belum mengenal orang
yang kita rindukan1.
Dalam
kaitannya dengan Allah SWT, orang tidak akan memilki perasaan cinta ataupun
rindu kepada Allah SWT kalau sebelumnya tidak mengenal-Nya. Oleh karena itu,
yang mempunyai rasa rindu kepada Allah tentunya hanya orang-orang mukmin.
Rasullulah SAW pernah bersabda bahwa Allah SWT memberikan segala sesuatu
(benda) kepada orang yang dicintaiNya dan tidak dicintaiNya. Jadi, urusan harta
tidak ada hubungannya dengan cinta atau tidak dicintainya seseorang oleh Allah
SWT. Karena Allah memberikan kekayaan kepada seluruh manusia, baik yang
dicintai ataupun tidak. Akan tetapi, Allah hanya memberikan kimanan kepada
orang yang dicintainya.
Sementara
itu, rindu juga muncul kalau kita mencintai orang yang kita rindukan. Sekalipun
mengenalnya, kalau tidak mencintainya, mana mungkin timbul rasa rindu. Mengenal
Allah tetapi tidak mencintai-Nya tidak mungkin timbul rasa rindu. Hanya sekedar
tahu bahwa Allah itu Pencipta langit dan bumi dan Pemberi rezeki, tetapi tidak
didasari rasa cinta tidak akan mungkin timbul rindu.
2.7
Ridha
Al-Junaid mengartikan ridha dengan “meninggalkan usaha” (tark al-ikhtiyar). Sedangkan menurut Zu
al-Nun al-Misri,
Ridha
ialah menerima qada dan qadar dengan kerelaan hati. Menurutnya
juga, tanda-tanda orang yang ridha
itu ada tiga: (1) meninggalkan usaha sebelum terjadinya ketentuan, (2)
hilangnya rasa resah setelah terjadi ketentuan, (3) cinta yang mendalam dikala
menghadapi cobaan1.
Kebanyakan manusia
sulit untuk menerima keadaan yang biasa menimpa, seperti kemiskinan, kerugian,
kehilangan pangkat dan barang, dan kematian. Tetapi yang dapat bertahan dari
berbagai cobaan hanyalah orang yang telah memiliki sifat ridha. Rela berjuang
di jalan Allah, rela menghadapi kesulitan, rela berkorban harta, jiwa, dan
lainnya. Semua itu bagi sufi dipandang sebagai sifat yang terpuji dan akhlak
yang bernilai tinggi bahkan sebagai suatu ibadah karena mengharap ridha Allah.
Pengertian
ridha merupakan perpaduan antara
sabar dan tawakal yang melahirkan
sikap mental yang tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi[15].
Setiap yang terjadi
disambut dengan hati terbuka, bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walau yang
datang itu berupa bencana. Suka dan duka diterima dengan gembira, sebab apapun
yang datang itu adalah ketentuan Allah yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.
Apapun yang datang dan pergi selalu ia terima dengan ridha, ikhlas dan bahagia.
Sikap ridha yang
merupakan suatu sikap yang harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin mencapai
ketinggian, kemuliaan, kebersihan dan kesempurnaan rohani. Sikap ridha baru
dapat dimiliki setelah iman dan keteguhan seseorang meningkat, karena imanlah
yang menyebabkan seseorang ridha menerima ketentuan atau takdir Tuhan.
Sikap ridha ini baru tercapai oleh seseorang
apabila Allah telah ridha pula
kepadanya, sebagaimana firmanNya: Allah
ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepadaNya. Dan keridhaan Allah hanya
dapat dicapai dengan meningkatkan iman kepadaNya. Dengan meningkatkan iman,
Allah bertambah ridha kepadanya,
seperti diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Orang
yang merasakan lezatnya iman ialah orang yang telah ridha menjadikan Allah itu
sebagai Tuhannya”. Dan orang yang mendapat ridha dari Tuhan sajalah yang akan
diterima di sisiNya. Allah SWT berfirman[16]:
$pkçJr'¯»t ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuÅÊ#u Zp¨ÅÊó£D ÇËÑÈ
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya
(QS. Al-Fajr:27-28).
Ridha
erat
hubungannya dengan takdir, yakni ridha
kepada takdir. Sedang yang dimaksud dengan ridha
kepada takdir ialah agar kita berusaha mengerjakan apa yang diridhai dan disenangi
Allah dengan memenuhi pula syarat-syarat untuk dapat mencapainya, bahkan
apabila dengan sengaja meninggalkan apa yang menjadi syarat tercapainya sesuatu
yang diridhai Allah, bukanlah dinamakan ridha
kepada Allah. Bukanlah orang ridha
kepada takdir yang tidak mengerjakan dan melaksanakan syara’ dan memelihara sunnah rasulNya.
Bahkan
arti dan makna ridha itu ialah tidak
menentang Allah, baik secara terang-terangan maupun tidak tetapi mengarahkan
kesungguhan untuk mencapai apa yang disukai Allah; yang demikian itu dengan
memelihara dan melaksanakan apa yang diperintah dan memenuhi apa yang
dilarangNya
2.8. Makrifat
“Ma’rifah berarti mengenal dan mengetahui berbagai Ilmu (Ulum) ringkasan secara terperinci.
Ma’rifatullah (mengenal Allah) berarti bergantung pada dan berhubungan erat
dengan, mengenal diri sendiri (ma’rifah an-nafs). Mengenal Allah
berarti mengenal sifat-sifat Allah dalam bentuk keadaan secara terperinci,
berbagai kejadian dan musibah. Kemudian diketahui (secara ringkas) bahwa Dia
sajalah Wujud Hakiki segala dan Pelaku Mutlak”[17].
Orang yang menguasai ilmu tauhid, Ia
akan melihat segala sesuatu dalam bentuk (rincian, keadaan) misal:
a)
Kehilangan = sang penyebab kehilangan,
yakni Allah
b)
Keberuntungan = sang penyebab
keberuntungan, yakni Allah
c)
Larangan = sang penyebab larangan, yakni
Allah
d)
Kesumpekan = sang penyebab kesumpekan,
yakni Allah
e)
Kelegaan = sang penyebab kelegaan, yakni
Allah
Jika mampu mengetahui semuanya itu, maka
orang-orang menyebut dirinya sebagai seorang yang ‘Arif.
Mengenal Allah (ma’rifatullah) mempunyai
berbagai tingkatan yaitu:
a)
Setiap akibat yang diperolehnya , Ia
mengetahuinya bahwa berasal dari Allah.
b)
Setiap akibat yang berasal dari Allah
(sang pelaku mutlak) adalah sebagai hasil dari sifat tertentu Allah
c)
Dalam keagungan setiap sifatNya, ia
mengetahui maksud dan tujuan Allah
d)
Sifat Ilmu Allah Ia ketahui dalam
ma’rifahnya sendiri
Jadin makin tinggi tingkat kedekatan
seseorang dengan Allah makin tampak efek-efek keagunganNya. Pada umunya Ilmu
dapat diperoleh jika seseorang menyadari ketidaktahuannya, makrifat tentang
kehalusan meningkat, ketakjuban diatas segala ketakjuban bertambah
“Ketika
sahabat Rasulullah saw, abu bakar ash shiddiq ditanya tentang ma’rifatullah
yang ada pada dirinya, Ia berkata: “sangat mustahil datangnya ma’rifat masuk ke
hati sanubari seorang hamba kecuali karena ma’unah Allah”. Ia mengatakan bahwa
ma’unah allah tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia, tidak ada
ukurannya. Ma’rifat itu dekat tapi jauh, jauh tapi dekat, tidak dapt diucapkan
maupun dinyatakan. Dibawahnya ada sesuatu dan berada di depan segala sesuatu
Dialah Allah zat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu tiada sesuatu yang dapat
menyamainya. Dia seperti sesuatu yang ada pada sesuatu yang lain. Tiada yang
sama seperti itu, yakni Allah Azza Wajalla”[18].
Dari kutipan diatas dapat
diterangkan bahwa makrifatullah merupakan tingkatan tertinggi keimanan manusia.
Diamana orang-orang yang ma’rifat mereka akan selalu berhikmah kepada Allah dan
menumpahkan seluruh cinta mereka hanya kepada Allah dan Allah selalu
menyebut-nyebut mereka dan mereka juga akan menyebut-nyebut Allah, Allah
meridlai mereka dan mereka ridla kepada
Allah.
Modal
ma’rifat mereka adalah kefakiran. Menejemen-menejemen mereka adalah getaran
hati karena mengingat Allah. Ma’rifat mereka adalah obat hati, mereka adalah
lampu-lampu yang memancarakan hujjah-hujjah Allah. Mereka adalah kunci . kunci
pembuka gudang hikmah-hikmah Allah. Imam mereka adalah rembulan yang bersinar
terang dan penglima adalah cahaya dan dia itulah junjungan seluruh umat
manusia, yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib. Beliau adalah Rasul
penutup, buah suci dari pohon yang diberkati yang pangkalnya adalah tauhid dan
cabang-cabangnya adalah taqwa.
“Murid
sufi berada pada tiga prinsip utama yaitu khauf, raja’ dan hub (cinta). Kahuf
(takut adalah cabang Ilmu), raja’ (harap) adalah cabang keyakinan dan hub
(cinta) adalah cabang ma’rifat[19]”
[2] Nata, abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf.
PT Raja Grafindo Persada:Jakarta. Hal 193.
[3] Ali al-karazkani, Ibrahim Y.
2004. Indahnya Bertobat Sepenuh Hati Menggapai Ridla Ilahi. Yogyakarta: Hijrah.
Hal 25
[4] Rakhmat, Jalaludin dkk. 2000.
Kuliah-Kuliah Tasawuf. Bandung. Pustaka Hidayah. Hal 225
[5] DR Amir Annajar, 2001, Ilmu jiwa
dalam Tasawuf, jakarta, Pustaka Azzam, Hal 241-242.
[6] Ali hasyim, menuju puncak
tasawuf, surabaya, visi7, 2006, hal. 56,57
[7] Surat Ath Thaha, ayat: 131
[9] Ali Hasyim, menuju puncak
tasawuf, surabaya, Visi7, hal 117
[10] Terdapat di dalam surat Ath –
thalaq ayat 3
[11] DR. Amiran An-Najar, Ilmu jiwa
dalam tasawuf, Buku Islam Rahmatan 2001, hal. 244
[12]
Syaikh syihabuddin umar suhrawardi, ‘Awaruf Al- Ma’arif, 1998, bandung:
pustaka hidayah, hal 179
[13] (Bada’i Al-Fawa’id
2/268)
[14]
Rakhmat, Jalaludin dkk.
2000. Kuliah-Kuliah Tasawuf. Bandung. Pustaka Hidayah. Hal 238
[15]
Habuddin Nata. 2006. Akhlak
Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta
[17] Syaikh syihabuddin umar
suhrawardi, ‘Awaruf Al- Ma’arif, 1998, bandung: pustaka hidayah, hal 54
[18] Djamaluddin ahmad al-buny,
menyelami basyirah shufiah, 2002, yogyakarta, mitra pustaka, hal 37
[19] Imam Al-Ghazali, jalan hidup kaum
sufi, tahun 2004, surabaya: pustaka media, hal 10
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Maqom atau perjalanan sufi untuk
mendekatkan diri menuju kepada
Allah berbeda-beda dalam melalui
tahapan atau tingkatan, yaitu tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh
seorang sufi dengan menempuh jalan yang
berbeda, adapun menurut Abu Bakar Muhammad al-Kalabazi
dalam bukunya Al-Ta’aruf li Mazhab Ahl Al-Tasawwuf tingkatan maqom melalui Taubah,
zuhd, sabar, faqr, tawadu’, taqwa, tawakal, ridha, mahabah, dan ma’rifah. Sedangkan menurut Abu Hamid al-Gazali dalam kitabnya
Ihya’ ‘Ulum Al-Din menyebutkan bahwa, maqam
itu adalah taubah, sabr, faqr, zuhd,
tawakal, mahabah, ma’rifah dan ridha. Namun sebenarnya inti dari maqom menuju Allah adalah suatu jalan
panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk lebih dekat dengan Allah
SWT.
Maqam-maqam menuju Allah yaitu taubat yang berarti memohon ampun atas
segala dosa dan kesalahan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Maqam
selanjutnya yaitu sabar para sufi mengartikan sabar menjalankan perintah dan
menjauhi larangan Allah sekaligus menerima segala cobaan yang ditimpa. Zuhud yaitu
menghilangkan
nafsu keinginan untuk memiliki atau merasakan kemewahan dunia. Maqam tawakal
adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Cinta (mahabah)
merupakan cinta kepada Allah melebihi cinta kepada yang lainnya. Ma’rifah yaitu
pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahur, tetapi lebih
mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazali. 2004. Jalan Hidup Kaum Sufi. Pustaka Media: Surabaya.
Ali al-karazkani,
Ibrahim Y. 2004. Indahnya Bertobat
Sepenuh Hati Menggapai Ridla Ilahi. Hijrah: Yogyakarta.
Annajar, Amir. 2001, Ilmu jiwa dalam Tasawuf. Pustaka Azzam. Jakarta.
Djamaluddin, Ahmad Al-Buny.
2002. Menyelami Basyirah Shufiah.
Mitra Pustaka: Yogyakarta.
Hasyim, Ali. 2006. Menuju Puncak Tasawuf. Visi7: Surabaya.
Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. PT Raja Grafindo
Persada:Jakarta.
Rakhmat, Jalaludin dkk.
2000. Kuliah-Kuliah Tasawuf. Pustaka
Hidayah: Bandung.
Suhrawardi, Syaikh
syihabuddin umar. 1998. Awaruf Al-
Ma’arif. Pustaka Hidayah: Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar