BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada beberapa kurun terakhir ini, ummat Islam khususnya
di Indonesia telah banyak dikejutkan oleh berbagai aksi terorisme yang merusak
dan meluluhlantahkan tatanan sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan bangsa
Indonesia yang mengatasnamakan perjuangan Islam.
Islam telah dibajak oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab yang justru merugikan umat Islam sendiri menurut kacamata
nasional, regional bahkan global, sehingga terjadi pandangan miring dan negatif
bahwa umat Islam identik dengan kekerasan dan terorisme. Padahal Islam adalah rahmatan
lil ‘alamin, pembawa kedamaian, kejahteraan dan ketentraman bagi alam
semesta.
Kesatuan
aqidah yang dibina oleh Rasulullah Saw. Selama priode makkah dan madina, pada masa
sahabat dan khususnya pada masa ahir
khalifa ke tiga Usman bin Affan dan awal khalifa ke empat Ali bin Abi Thalib,
mulai timbul macam-macam perbedaan pendapat yang berawal dari terbunuhnya Usman
bin Affan dan pengankatan khalifa Ali bin Abi Thalib sebagai khalifa ke empat.
Kematian khalifah Utsman bin Affan secara tragis melalui tangan para perusuh pada tahun 35 H telah menyebabkan terjadinya beberapa
peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam, dimana salah satu adalah perang Shiffien, 2 tahun setelah Ali ibn
Abi Thalib dibai’at menjadi khalifah menggantikan khalifa Utsman bin Affan.
Perang besar
antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah bin Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi
dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang
secara ekstrem selalu bertentangan yaitu Al-Khawarij dan Syi’ah, misalnya khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah
‘Ali setelah peristiwa, sementara Syi’ah belakangan mengkultuskan ‘Ali demikian
rupa sehingga seolah-olah ‘Ali adalah manusia tanpa cacat. Sekalipun semula
kedua aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan
dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama.
Khawarij adalah aliran kalam pertama
dalam sejarah Islam pada abad ke 1 hijriah. Aliran khawarij ini juga merupakan
kelompok sektarian utama yang ketiga di luar sunni dan syi’ah di bidang
politik. Munculnya aliran khawarij ini berawal dari masalah politik, walaupun
pada akhirnya kebanyakan ulama dan cendikiawan lebih memfokuskan pembahasan
aliran khawarij dalam disiplin ilmu kalam (theologi), karena dalam
perkembangannya kaum khawarij lebih banyak bercorak theologis.
Kemunculan aliran khawarij dilatarbelakangi
oleh adanya pertikaian politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin
Abi Sufyan yang pada waktu itu menjabat gubernur Syam (Suriah/Syria).Muawiyah
menolak untuk membaiat Ali yang terpilih sebagai khalifah, sehingga Ali
mengerahkan bala tentara untuk memerangi Muawiyah.Sebaliknya Muawiyah juga
mengumpulkan pasukannya untuk menghadapi Ali.
Pertempuaran terjadi antara kedua belah pihak
di Shiffin. Pasukan Ali bin Abi Thalib memperlihatkan tanda akan menang dan
berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Amr bin Ash yang ikut berperang dari pihak
Muawiyah bisa membaca situasi dan mengusulkan kepada Muawiyah agar
memerintahkan pasukannya untuk mengangkat mushaf al-Qur’an dengan ujung tombak
sebagai isyarat genjatan senjata minta untuk damai dengan mengadakan arbitrase
(tahkim atau penjurian).
Pada mulanya Ali bin Abi Thalib tidak mau
menerima tawaran genjatan senjata tersebut, karena beliau tahu permintaan damai
tersebut hanya sebagai strategi tipu muslihat dan akal busuk lawan yang
terdesak dan hampir kalah dalam perang, akan tetapi karena didesak sebagian
pengikutnya terutama para qurra dan huffaz, akhirnya
diputuskanlah untuk mengadakan arbitrase.
Sebagai mediator atas usul sebagian pengikut
Ali diangkat Abu Musa Al-Asy’ary, walaupun sebenarnya Ali sendiri tidak setuju
untuk mengangkat Abu Musa Al-Asy’ary sebagai mediator karena beliau bukan
diplomatik yang mengerti politik dan strategi. Dari pihak Muawiyah diwakili
oleh Amr bin Ash seorang diplomatik ulung sekaligus politikus dan ahli
strategi. Akhirnya perundingan damai tersebut dimenangkan oleh kubu Muawiyah bin
Abi Sufyan dan membawa petaka serta kerugian pihak Ali bin Abi Thalib.
Keputusan Ali bin Abi Thalib menerima arbitrase
ternyata tidak didukung semua pengikutnya. Mereka yang tidak setuju dengan
sikap Ali keluar dari barisan Ali dan mengangkat Abdullah bin Wahab al-Risbi
sebagai pemimpin mereka yang baru. Kelompok ini kemudian memisahkan diri ke
Harurah suatu desa dekat Kufah. Mereka inilah kemudian dikenal dengan kaum
khawarij.
Makalah ini tidak akan
membahas kedua aliran ekstrem tersebut, tapi menfokuskan pembahasan pada aliran
Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan politik dan
teologi yang ekstrem. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah
latar belakang apa yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai
pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku
keras bahkan cenderung kejam. Mereka, kata Abu Zahra, suka menyabung nyawa
dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu. Ironisnya mereka
sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama
Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab.
Tapi sebelum menganalisis
masalah di atas penulis akan mendiskripsikan terlebih dahulu asal usul dan
perkembangan khawarij, dengan tekanan pada asal usul, untuk dapat melihat
secara jelas bagaimana persoalan politik diberi legitimasi teologi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Mendiskipsikan Sejarah
Terbentuknya
Aliran Khawarij
1.2.2
Bagai
Mana Pemikiran dan Paham-Paham Aliran
Khawarij
1.2.3  :
Bagai
mana Tentang Sekte-sekte Aliran Khawarij
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk Mengetahui Sejara Terbentuknya Aliran Khawarij
1.3.2 Untuk Memahami
Pemikiran Aliran Khawarij
1.3.3 Untuk Memahami Sekte-sekte Khawarij
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Khawarij
Khawarij
adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar. Dinamakan khawarij karena kelompok ini adalah orang-orang yang keluar dari
barisan Ali bin Abi Thalib sebagai protes terhadap Ali yang menyetujui
perdamaian dengan mengadakan arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan
persengketaan tentang khilafah dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pendapat lain mengatakan bahwa khawarij berasal dari
kata kharaja- khurujan didasarkan atas Q.S. An-Nisa : 100 yang pengertiannya keluar
dari rumah untuk berjuang di jalan Allah dan Rasul-Nya.
Kaum khawarij memandang diri mereka
sebagai orang-orang yang keluar dari rumah semata-mata untuk berjuang di jalan
Allah, Q.S. An-Nisa ayat 100.
* `tBur öÅ_$pkç Îû È@Î6y « $# ôÅgs Îû ÇÚöF{$# $VJxîºtãB #ZÏWx. Zpyèyur 4 `tBur ólãøs .`ÏB ¾ÏmÏF÷t/ #·Å_$ygãB n<Î) «!$# ¾Ï&Î!qßuur §NèO çmø.Íôã ßNöqpRùQ$# ôs)sù yìs%ur ¼çnãô_r& n?tã «!$# 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊÉÉÈ
Artinya:
Barangsiapa
berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat
hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di
sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Khawarij adalah
sekelompok kaum yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, karena mereka
tidak setuju dengan upaya Tahkim/ arbitrase, dalam rangka mencapai perdamaian
dalam perang shiffin, keluarnya khawarij dari barisan Ali ibarat keluarnya anak
panah dari busurnya.
Arbitrase ini berakibat kepada hilangnya dukungan
dari pengikut Ali yang militant
dan marah dengan upaya Tahkim tersebut. Mereka membentuk kelompok yang bernama “al-Syurat” yaitu :
Orang-orang yang menjual diri secara totalitas kepada
Allah dan rela berkorban demi Agama yang benar.
2.1.1 Nama-nama Lain Aliran Khawarij
Aliran Khawarij menyebutkan dirinya sebagai kaum Syurah,
yang berasal dari kata Yasyri yang berarti menjual. Penyebutan nama tersebut
didasarkan kepada ayat 207 dari Surat Al-Baqarah, yang berbunyi:
ÆÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB Ìô±o çm|¡øÿtR uä!$tóÏGö/$# ÉV$|ÊósD «!$# 3 ª!$#ur 8$râäu Ï$t6Ïèø9$$Î/
Artinya
:
“Dan di antara segolongan manusia ada yang menjual dirinya
untuk memperoleh keridhaan Allah, dan Allah itu Maha Pengasih kepada
hamba-hamba- Nya”
Maksudnya dari ayat diatas adalah orang yang
bersedia untuk mengorbankan diri untuk Allah. Maka sebutan al-Syurat nama lain dari al-khawarij itu
sekaligus memberikan gambaran tentang hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu
gerakan dengan semangat, dengan sendirinya kelompok ini berkembang menjadi kelompok
dengan tingkat ekstrim dan militansi yang tinggi, sehingga tidak terhindari
lagi membawa mereka kepada situasi yang mudah sekali terpecah dan saling
bermusuhan dan akhirnya melenyapkan mereka sendiri. Adapun nama lain yag diberikan kepada mereka adalah haruriah yag berasal dari kata harura yang merupakan desa yang terletak
di dekat kota Kuffah di Irak. Dan disinilah orang-orang khawarij
memilih Abdullah bin Abi Wahb Al-Rasidi yang menjadi imam sebagai ganti Ali bin
Abi Thalib. Al-Mariqah
berasal dari kata maraqa
artinya anak panah keluar dari busurnya. Pemberian nama ini oleh
orang-orang yang tidak sepaham (lawan) aliran ini karena dianggap telah keluar
dari sendi-sendi agama Islam.
Al-khawarij terkenal dengan kekerasan dalam
berprinsip, mereka tidak mau
berkompromi dalam hal penyimpangan agama selain dari ajaran Islam yang mereka yakini. Prinsip tersebut
terbawa-terbawa daripada sejarah kaum khawarij itu
sendiri. Mereka umumnya kaum badui yang hidup di padang pasir tandus, kehidupan sehari-hari mereka menyebabkan
mereka menjadi pemberani, tegas dan
tidak mau bergantung kepada orang lain. Disisi lain pula kehidupan sebagai badui membuat mereka terus semakin jauh
dari ilmu Islam, oleh karena itu mereka
memahami al-Qur’an dan hadis secara harfiah saja. Akibat dari aktifitas mereka yang selalu merongrong tatanan
dan aturan Islam yang sudah mapan mereka
juga di gelar sebagai kaum “al-hururiyun” Nisbah kepada Oase al-Hurura dekat Kufah (Markas mereka). Seperti
dikatakan tadi mereka ini mengalami penghancuran
diri sendiri (self annihilation) karena watak mereka yang ekstrem, akibatnya mereka perlahan-lahan punah
dan hamper hilang dari peta umat Islam hingga
saat ini.
Adanya sebutan (nama) yang variatif
bagi aliran khawarij itu didasarkan kepada slogan-slogan yang diproklamirkan
aliran ini, atau berdasarkan markas dan pusat perkembangan serta penyebaran
aliran ini, bahkan ada yang berdasarkan kecaman dari yang tidak sefaham dengan
aliran ini.
Walaupun kaum khawarij mengalami
kekalahan besar, namun mereka dapat menyusun kembali barisan mereka untuk
meneruskan perlawanan mereka terhadap kekuasaan Islam resmi, baik di zaman
dinasti Bani Umayyah, maupun di
zaman
kekuasaan dinasti Bani Abbas. Pemegang-pemegang kekuasaan yang ada pada waktu
itu menganggap bahwah aliran khawarij telah menyeleweng dari Islam, karena itu
mesti ditentang dan dijatuhkan.
2.2 Sejarah Terbentuknya Aliran Khawarij
Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah, bahwa Nabi Muhammad
di sampin sebagai Rasul beliau juga pemimpin umat sebagai kepala Negara. Ini
berarti bahwa Islam disamping sebagai system agama juga sebagai system politik
yang mengatur tentang ketatanegaraan.
Oleh karena itu tidak mengherankan kalau pada waktu Nabi
Muhammad wafat masyarakat Madinah menjadi bingung memikirkan pengganti beliau
untuk mengepalai Negara Islam yang belum lama berdiri.
Maka timbullah masalah besar bagi mereka, yaitu siapakah yang
akan menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala Negara. Masalah ini dikenal
dalam sejarah Islam sebagai masalah khilafah. Sebagai Nabi atau Rasul, mereka
tidak mempersoalkannya, sebab Nabi atau Rasul itu tidak dapat digantikan.
Dalam sejarah, kita ketahui bahwa masyarakat Islam pada waktu
itu menyetujui Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad dalam mengepalai
Negara mereka. Karena itu Abu Bakar dikenal sebagai khalifah pertama. Kemudian
Abu Bakar digantikan oleh Umar ibn al-Khatab sebagai khalifah kedua, dan
kemudian Umar digantikan oleh Usman ibn Affan sebagai khalifah ketiga.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, Usman
termasuk dalam golongan pedangan Quraisy yang sangat kaya. Kaum keluarganya
terdiri dari orang-orang aristokrasi Mekkah, yang karena pengalaman dagang, mereka mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini sangat
bermanfaat dalam mengelola administrasi daerah- daerah di luar semenanjung
Arabia, yang semakin lama semakin bertambah banyak masuk ke bawah kekuasaan Islam.
Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar ibn al- Khattab, khalifah yang
terkenal sebagai orang kuat dan tak memikirkan kepentingan sendiri atau
kepentingan keluarganya itu dijatuhkan oleh Usman.
Tindakan-tindakan politik yang dijalankan Usman ini sudah barang
tentu menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi khalifah Usman sendiri.
Sahabat-sahabat Nabi yang mulanya menyokong Usman, ketika melihat tindakan yang
kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang
semula ingin menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul
pada waktu itu. Perasaan tidak senang muncul di daerah-daerah. Dari Mesir
sebagai reaksi terhadap dijatuhkannya Umar ibn al-As yang diganikan oleh
Abdullah ibn Sa’d ibn Abi Sarh, salah satu anggota kaum keluarga Usman, sebagai
Gubernur Mesir, lima ratus pemberontak bergerak ke Madinah. Perkembangan
suasana di Madinah selanjutnya menimbulkan pembunuhan terhadap Usman, yang dilakukan
oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir ini.
Setelah Usman wafat, maka Ali menjadi
khalifah yang keempat. Tetapi ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang
ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubair dari Makkah, yang
mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan dari Aisyah-Talhah Zubair ini dapat
dipatahkan oleh kekuatan Ali. Dalam pertempuran yang terjadi di Irak pada tahun
656 M. Talhah dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Pada tahun 37 H
Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Amir al-Mu’minin Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam
suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan Utsman, Ali
mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara,
yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu
Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan Ali. Tidak jelas mana yang lebih
dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian Ustman atau ingin
mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.
Sebelum peperangan
meletus, Ali sudah mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan
Mu’awiyah, akan tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena
tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh Ali. Mu’awiyah
menuntut dua hal: (1) ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku
pembunuhan Amir al Mu’minin Utsman ibn Afan, (2) pengunduran diri Ali dari
jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.
Berbeda dengan Mu’awiyah
yang secara pribadi punya alasan untuk menuntut balas atas kematian Utsman,
penduduk Syria yang mendukungnya memerangi Ali tidaklah dapat dikatakan juga
punya motivasi yang sama. Kalau memang mereka siap mati membela darah Utsman,
hal itu tentu telah mereka lakukan sejak awal-awal begitu Utsman dibunuh.
Tetapi setelah Ali mencapai kemenangan dalam perang Jamal, penduduk Syria
melibatkan diri dalam menentang Ali karena mereka menghawatirkan campur tangan Ali
dalam urusan dalam negeri mereka sediri di Syria. Demi untuk melemahkan
kedudukan Ali penduduk Syria menjadikan pembelaan terhadap Utsman sebagai
lambang perjuangan menentang Ali. Sekali lagi sebelum peperangan benar-benar
meletus Ali mengirim kembali juru runding yang terdiri dari Syabats ibn Aibi
al-Yarbu’i at-Tamimi, Ali ibn Hatim at-Tha’i, Yazid ibn Qais al-Arhabi, dan
Ziyad ibn Khasafah at-Taimi at-Tamimi, untuk merunding dengan Mu’awiyah. Tapi
perundingan inipun juga berakhir dengan kegagalan.
Makalah ini tidak akan
menguraikan tentang perang Shiffien secara rinci, yang penting diungkap di sini
dalam kaitannya dengan kelahiran aliran Khawarij adalah ide Amru ibn Ash dari
pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan Ali dengan mengangkat lembaran
mushhaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon perdamaian dengan
bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Tiga Sejarawan Muslim besar, At-Thabari,
Ibnu al-Atsir dan Ibnu Katsir menyebutkan peristiwa itu dalam kitab mereka masing-masing.
Menurut ‘Amru, tawaran bertahkim kepada Al-Qur’an itu akan diterima oleh
sebagian pengikut ‘Ali dan akan ditolak oleh yang lain. Dengan demikian mereka
pecah. Jika sekiranya mereka sepakat maka juga tidak ada ruginya bagi Mu’awiyah
karena paling kurang sampai waktu tertentu peperangan dapat berhenti.
Sebagian pengikut Ali
menyerukan untuk menerima tawaran Mu’awiyah. Ali sendiri menolaknya, karena
menurut dia itu hanyalah bagian dari taktik perang Mu’awiyah. Ali megatakan, Ibâdallah, teruslah berada dalam kebenaran dan keyakinan
kalian. Teruslah memerangi musuh, karena Mu’awiyah, Amru Ibn Abi Mu’ith, Habib Ibn
Abi Sarah dan Dhahhak bukanlah Asshab ad-din dan bukan pula Ashhab Al-Qur’an.
Saya lebih mengenal mereka dibandingkan kalian. Saya telah bergaul dengan
mereka sejak kecil sampai dewasa, mereka adalah anak-anak dan laki-laki dewasa
yang jelek. Mereka minta bertahkim kapada kitab Allah, padahal demi Allah,
mereka mengangkat mushhaf itu hanyalah untuk tipu muslihat belaka. Mendengar
seruan Ali mereka menjawab, mereka mengajak kita kembali kepada Kitabullah,
kenapa kita tidak menerimanya? Ali kembali menjawab Saya
memerangi mereka supaya mereka tunduk kepada hukum kitab Allah karena mereka
telah menentang perintah Allah dan melupakan janji mereka dengan Allah, serta
mengabaikan kitab suci allah. Kemudian Mis’ar ibn Fadki at-Tamimi, Zaid ibn
Hushain ath-Thai dan beberapa tokoh lain dari kelompok Al-Qura’ salah satu
unsur koalisi pasukan Ali mendesak, bahkan mengancam akan memperlakukan ‘Ali
seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap khalifa Utsman bin affan.
Setelah Ali terpaksa
mengikuti kehendak mereka, Al-Asy’asts ibn Qais menawarkan diri untuk menemui
Mu’awiyah dan menanyakan apa yang diinginkannya dengan mengangkat mushhaf
seperti itu. Ali menyetujuinya. Mu’awiyah mengatakan: “Mari kita kembali kepada
apa yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an. Kalian utuslah seseorang yang
kalian sukai dan kami pun akan mengutus seseorang yang kami sukai. Biarkan
mereka berdua berunding berdasarkan Kitabullah, kemudian kita ikuti apa yang
mereka sepakati. Dengan segera usulan Mu’awiyah itu disetujui sepenuhnya oleh
pasukannya sendiri dan mereka sepakat mengutus Amru ibn Ash sebagai juru
runding, sementara dari pihak Ali menunjuk Abu Musa al-Ays’ari, sementara Ali
menginginkan ‘Abdullah ibn ‘Abbas atau Malik al-Asytar.
Abu Musa adalah tokoh yang
sudah terlibat dalam fase-fase pertama penaklukkan Iraq baik sebagai jenderal
pasukan maupun gubernur Kufah dan Bashrah. Dia juga pernah menentang kebijakan Utsman
dan dipilih oleh kelompok sebagai gubernur Kufah ketika mengusir gubernur dari
pihak Utsman, Sa’id ibn Ash. Menurut Shaban, Abu Musa punya hubungan politik
yang lama tidak tergoyahkan dengan kelompok. Sebaliknya Ali meragukan loyalitas
Abu Musa karena Ali pernah memecat Abu Musa dari jabatannya karena kurang aktif dan loyal kepadanya. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu
Abu Musa tidak ada dalam pasukan, karena dia memencilkan diri ke tanah Hijaz.
Waktu utusan memberi tahu bahwa dia telah dipilih sepakai Hakam, Abu Musa
berkomentar: Innâ lillahi wa innâ illaihi râji’un. Tidak jelas bagaimana
menafsirkan komentar Abu Musa seperti itu. Yang jelas baik Abu Musa maupun Amru
adalah dua tokoh yang sangat mengenal daerah masing-masing. Abu Musa sangat
kenal daerah Iraq dan Amru sangat kenal dengan Syiria.
Perundingan di Daumah
al-Jandal, Azruh itu berjalan cukup lama, sekitar enam bulan, mulai Shafar
sampai Ramadhan tahun 37 H. tidak banyak yang dapat diketahui tentang apa saja
yang dibicarakan dalam perundingan sehingga memerlukan waktu yang lama,
walaupun ada masalah yang alot dibicarakan juga tidak jelas masalah apa itu. Di
antara yang terungkap adalah keberhasilan Amru meyakinkan Abu Musa bahwa
Mu’awiyah sebagai wali utusan Utsman paling berhak
dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman. Waktu Amru
membicarakan keterlibatan Ali dalam pembunuhan Utsman, Abu Musa tidak mau
melayani. Dia mengajak Amru membicarakan hal yang bisa menyatukan umat Muhammad.
Kata Abu Musa, penduduk Iraq sama sekali
tidak menyukai Mu’awiyah, dan penduduk Syiria tidak menyukai Ali. Bukankah
lebih baik kita copot keduanya dan kita angkat Abdullah ibn Umar. Amru segera menyetujui pendapat Abu Musa
dan mengusulkan beberapa nama, tapi Abu Musa hanya menyetujui Ibnu Umar. Karena
tidak tercapai kesepakatan siapa yang akan diangkat menjadi Khaifah, akhirnya
disepakati menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum Muslim.
Beberapa sumber kemudian
menyebutkan kedua juru runding itu mengumumkan hasil kesepakatan mereka yang duluan bicara adalah Abu Musa, baru kemudian Amru.
Tapi kemudian Amru menghianati Abu Musa dengan secara sepihak mengukuhkan
Mu’awiyah menjadi Khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu seperti yang
disepakati. Harun Nasution yang terkenal berpikiri kritis juga meyakini
kelicikan bahkan kecurangan Amru tersebut. Tulisnya, Tradisi menyebut bahwa Abu
Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan
kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu.
Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amru ibn Ash mengumumkan hanya
menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari, tetapi menolak
penjatuhan Mu’awiyah.
Sekarang kita kembali pada
kelompok Qurra’ Setelah perundingan selesai mereka berbalik menentang Tahkim,
padahal tadinya mereka juga mendesak Ali menerima Tahkim. Sekarang mereka
kemukakan alasan-alasan yanf bersifat teologis, untuk mendukung pandangan dan
sikap polotik mereka. Menurut mereka, Tahkim salah karena hukum Allah
tentang pertikaian mereka sudah jelas. Mereka yakin kubu Ali lah (dalam konflik
dengan kubu Mu’awiyah) yang berada di pihak yang benar. Kubu Ali yang beriman.
Tahkim berarti meragukan kebenaran masing-masing pihak. Hal
itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Mereka teriakkan La hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah).
Mereka meminta Ali mengaku salah, bahkan megakui bahwa dia telah kafir kerena
menerima Tahkim. Mereka mendesak Ali
supaya membatalkan hasil kesepakatan Tahkim. Kalau tuntutan mereka dipenuhi
mereka akan kembali berperang di pihak Ali, akan tetapi Ali menolak kemauan
mereka dimana Ali mengatakan Kesepakatan
tidak boleh dilanggar, agama memerintahkan kita untuk menepati janji, kalau Ali
mungkir janji koalisinya akan semakin pecah, lagipula bagaimana mungkin dia mau
mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik semenjak
beriman.
Karena tuntutan mereka
tidak dipenuhi Ali, akhirnya mereka meninggalkan Ali di Kufah pergi ke luar
kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa
Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan
Al-Haruriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi
sediri dan memilih Abdullah ibn Wahab ar-Rasibi dari Banu Azd sebagai pemimpin
mereka. Karena mereka keluar dari kubu Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan
golongan
al-Khawarij, bentuk jama’ dari Khariji (yang keluar).
Menurut Syahrastani, yang
disebut Kharij, adalah siapa saja yang keluar dari (barisan) imam yang hak yang
telah disepakati oleh jama’ah, baik dia keluar pada masa sahabat di bawah
pimpinan al-Aimmah ar-Rasyiddin atau pada masa tabi’in atau pada masa imam mana
pun di setiap masa. Secara etimologis Syahrastani benar, tapi secara
terminologi apalagi secara historis nama Khawarij hanya diberikan kepada kelompok
yang keluar dari kubu Ali seperti yang disebut di atas, dan disebut juga al-Haruriyah
karena mereka pergi memisahkan diri ke Harura. Tapi dibanding dengan nama-nama
lain yang dipanggilkan kepada mereka maka nama Khawarij lah yang paling umum
bisa dipakai untuk semua kelompok pecahan Khawarij, sebab dalam perkembangan
sekanjutnya kita akan lihat kelompok ini paling mudah memisahkan diri dari
kelompok awalnya karena perbedaan pendapat yang kadang-kadang tidak prinsip.
Khuruj sudah merupakan dustur mereka. Dalam bahasa
Inggris Khawarij ditulis Kharijites dan dialihbahasakan menjadi Seceders,
Rebels.
Semakin lama kelompok yang
meisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal
tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang, dan mereka kemudian
pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. Ali
berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam
sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi
ditolak oleh Gubernur setempat, yang pada akhirnya mereka pergi ke Nahrawan,
dimana Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah
pimpinan Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula Ali tidak menanggapi secara
serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang
kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat
mereka di antara yang menjadi korban adalah Abdullah ibn Khabbab, salah seorang
putera sahabat Nabi. Abu Zahra mengutip kisah kematian putera Khabbab dari buku
Al-Kamil karya Al-Mubarrad.
Ali kemudian mengirim
utusan membujuk dan menyadarkan mereka, Ali
menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria
atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian memenuhi anjuran Ali ada yang
bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke
daerah lain, namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang, mereka
menyerang pasukan Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran
Nahrawan yang mengenaskan, hampir semua mereka mati terbunuh hanya delapan
orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan
itu lah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan
kejam. Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh Abdurrahman ibn Muljam
Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena
peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik Ali dapat menumpas habis semua
Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan Ali tidak pernah bisa
berangkat ke Syria antara tahun 39 dan
40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras ali untuk
menghadapinya, Mu’awiyah pun, yang setelah ali wafat menjabat kedudukan Amirul
Mu’minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan arif), selama pemerintahannya kurang
lebih 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.
2.3 Pemikiran Aliran Khawarij
Corak pemikiran khawarij dalam memahami nash
(al-Qur’an dan hadits) cenderung tekstual dan parsial, sehingga dalam
menetapkan suatu hukum terkesan dangkal dan sektarian. Hal ini dipengaruhi oleh
kondisi milli para penganut aliran khawarij yang mayoritas berasal dari suku
Baduwi yang rata-rata dalam kondisi kehidupan keras dan statis.Keimanan yang
kuat tanpa disertai wawasan keilmuan yang luas menimbulkan fanatisme dan
radikal, sehingga mudah memvonis bersalah terhadap setiap orang yang tidak
sepaham dan sejalan dengan alirannya. Diantara pendapat aliran khawarij :
Semua permasalahan harus diselesaikan dengan
merujuk kepada hukum Allah berdasarkan Q.S.5 : 44 : Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang kafir. Dengan berpedoman pada ayat tersebut, maka Ali, Muawiyah
dan semua orang yang terlibat dan menyetujui arbitrase (tahkim) dianggap telah
kafir karena memutuskan masalah tidak merujuk kepada al-Qur’an. Menurut
pandangan aliran khawarij arbitrase tidak mempunyai dasar dalam al-Qur’an.
Memang benar dan tepat bahwa ummat islam dalam
segala aktivitas hidup dan kehidupan termasuk memutuskan suatu permasalahan
harus berdasarkan pada al-Quran, akan tetapi di dalam aplikasinya tidak
dibenarkan menggunakan al-Quran secara parsial dan sektarian sehingga
mengaburkan pesan inti al-Quran, karena kandungan al-Quran itu ada yang mantuq
(tekstual) dan ada yang mafhum (kontekstual), sehingga tidak begitu saja mudah
memvonis bahwa sesuatu itu tidak ada dalam al-Quran sebagaimana faham khawarij
di atas.
- Iman tidak cukup hanya dengan pengakuan “Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah” melainkan harus disertai amal saleh. Dengan kata lain iman tidak hanya sekedar tashdik (pembenaran dan pengakuan) akan tetapi juga amal perbuatan.
- Kafir adalah pengingkaran terhadap Allah dan Rasul Allah serta melakukan dosa besar.
- Seorang muslim yang melakukan dosa besar (al-kabair) adalah keluar dari islam (murtad) dan tidak lagi di bawah perlindungan hukum islam.
Pemikiran di atas akibat dari cara memahami
makna al-Qur’an dengan pemahaman yang formalistik, tekstual dan skripturalistik,
maka aliran khawarij menganggap bahwa:
- Al-Qur’an adalah makhluk.
- Manusia memiliki kebebasan berbuat dan berkehendak.
- Khalifah harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam, yang berhak menjadi khalifah tidak terbatas dari suku Quraisy atau bangsa Arab, melainkan semua orang Islam berhak menjadi khalifah dengan sarat memiliki kapasitas dan kapebilitas untuk menduduki jabatan tersebut.
- Khalifah wajib ditaati apabila berlaku adil dan menjalankan syariat Islam. Apabila khalifah (imam) melakukan maksiat (dosa) atau hilang keadilannya (adam al-adalah) harus diberhentikan dan dibunuh.
- Orang Islam diluar aliran khawarij (non khawarij) dianggap sebagai politheis (musyrik) atau kafir dan boleh untuk diperangi dan dibunuh. Akan tetapi ahli kitab yang meminta perlindungan dari khawarij diperlakukan dengan baik hati.
Setiap muslim (khawarij) harus diperlakukan
sama, tidak memandang suku atau ras, tidak ada nasab (kehormatan keturunan)
dalam islam. Bahkan seorang budak hitam legam bisa menjadi orang yang paling
mulia dalam komunitas khawarij.
Demikian diantara corak hasil pemikiran aliran
khawarij yang paling mendasar.Mereka berhasil menarik orang-orang non Arab
(bangsa Ajam) masuk ke kelompoknya, walaupun penganut asal khawarij adalah suku
Baduwi dan suku-suku Arab bagian selatan yang menentang hegemoni orang-orang
Arab bagian Utara.Hal ini disebabkan aliran khawarij memiliki paham demokratis
dalam urusan politik. Mereka berpendapat bahwa urusan kepemimpinan yang
merupakan urusan umat dan setiap individu memiliki hak yang sama atasnya.
Kepemimpinan bukan urusan dan hak suku tertentu serta dimonopoli secara turun
temurun yang penting memiliki kekuatan, berilmu, berlaku adil, punya keutamaan
dan wara.Akan tetapi mereka bersikap radikal dan tidak mengenal kompromi kepada
pemimpin atau masyarakat yang melanggar syariat Islam.
Bashrah menjadi pusat intelektual kaum khawarij
yang juga mempunyai pengikut di Arab bagian Selatan dan Mesopotamia
Hulu.Tentara Arab (khawarij) membawa doktrin khawarij ke Afrika Utara dan
doktrin tersebut segera menjadi bentuk Islam di kalangan suku Barbar.
2.4 Ajaran Aliran
Khawarij
Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah:
Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah:
Ø Kaum muslimin
yang melakukan dosa besar hukumnya adalah kafir.
Ø Kaum muslimin
yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan
Zubair yang melawan Ali bin Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang
menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir.
Ø Khalifah harus
dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW, dan tidak
mesti keturunan Quraisy, jadi seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi
kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.
2.5 Tokoh utama
Aliran Khawarij
Tokoh-tokoh utama aliran khawarij antara lain:
Tokoh-tokoh utama aliran khawarij antara lain:
Ø Abdullah bin
Wahhab ar-Rasyidi
Ø Urwah bin
Hudair
Ø Mustarid bin
Sa’ad
Ø Hausarah
al-Asadi
Ø Quraib bin
Maruah
Ø Nafi’ bin
al-Azraq
Ø Abdullah bin
Basyir
Ø Najdah bin Amir
al-Hanafi
2.6
Sekte-sekte Aliran Khawarij
Khawarij terkenal karena ketidaksudian dan keengganan
berkompromi dengan pihak manapun yang dianggap bertentangan dan berseberangan
dengan pendapat dan pemikirannya, sehingga muncullah beberapa kelompok
sektarian (sempalan) dari aliran khawarij ini yang masing-masing sekte tersebut
cenderung memilih imamnya sendiri dan menganggap sebagai satu-satunya komunitas
muslim yang paling benar.
Ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits
diartikan menurut lafadz dan harus diartikan sepenuhnya. Iman dan paham mereka
merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal
serta fanatik yang membuat mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan terhadap
ajaran Islam walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.
Hal inilah yang menyebabkan kaum khawarij mudah terpecah
belah menjadi sekte-sekte kecil dan terus menerus mengadakan perlawanan
terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada pada masanya.
Mengenai jumlah sekte khawarij, ulama berbeda pendapat, Abu
Musa Al-Asy’ary mengatakan lebih dari 20 sekte, Al-Baghdady berpendapat ada 20
sekte, Al-Syahristani menyebutkan 18 sekte, Musthafa al-Syak’ah berpendapat ada
8 sekte utama, yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-Baihasiyah,
al-Ajaridah, al-Saalibah, al-Ibadiah dan al-Sufriyah. Muhammad Abu Zahrah
menerangkan 4 sekte yaitu al-Najdat, al-Sufriyah, al-Ajaridah dan al-Ibadiah.
Sedangkan Harun Nasution ada 6 sekte penting yaitu:
2.6.1
Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah dipandang sebagai golongan khawarij asli
(pelopor aliran khawarij) karena terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang
kemudian membangkang dan keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Nama
al-Muhakkimah berasal dari semboyan dari doktrin mereka la hukma illa li
allah yang merujuk pada Q.S. 6 : 57 : In al-hukmu illa li allah
(menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah). Mereka menolak arbitrase karena
dianggap bertentangan dengan perintah Allah dalam Q.S. 49 : 9 yang menyuruh
memerangi kelompok pembangkang (bughat) sampai mereka kembali ke jalan Allah.
Pemimpin sekte ini bernama Abdullah bin Wahab al-Risbi yang
dinobatkan setelah keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Dalam paham sekte
ini Ali, Muawiyah dan semua orang yang terlibat dan menyetujui arbitrase
dituduh telah menjadi kafir karena telah menyimpang dari ajaran Islam.
Sekte ini juga
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar seperti membunuh tanpa alasan
yang benar dan berzina adalah kafir. Hal ini didasarkan dengan ayat Al-qur’an Surat
An-nisa ayat :31.
bÎ) (#qç6Ï^tFøgrB tͬ!$t62 $tB tböqpk÷]è? çm÷Ytã öÏeÿs3çR öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy Nà6ù=ÅzôçRur WxyzôB $VJÌx. ÇÌÊÈ
Artinya
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara
dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus
kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat
yang mulia (surga).
2.6.2 Al- Azariqah
Sekte al-Azariqah lahir sekitar tahun 60 H. (akhir abad 7
M.) di daerah perbatasan antara Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbahkan
kepada pemimpin sekte ini yang bernama Nafi bin Azraq al-Hanafi al-Hanzali.
Sebagai khalifah Nafi diberi gelar amir al-mukminin. Menurut al-Baghdadi
pendukung sekte ini berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Paham dari
pemikiran sekte ini lebih ekstrem (radikal), diantaranya:
- Orang Islam yang tidak bersedia memihak atau bekerja sama dengan mereka dianggap murtad.
- Orang yang menolak ajaran al-Azariqah adalah musyrik.
- Pengikut al-Azariqah yang tidak berhijarah (eksodus) ke daerah wilayah kekuasaan mereka dianggap musyrik juga.
- Semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan atau dibunuh termasuk anak dan istri mereka.
- Adanya praktek isti’rad artinya menilai dan menyelidiki atas keyakinan para penentang mereka. Orang-orang yang tidak lolos dari penyelidikan ini dijatuhi hukuman mati, termasuk wanita dan anak-anak, karena anak-anak orang musyrik akan dikutuk bersama orang tuanya.
Berdasarkan prinsip dan pemikiran tersebut, pengikut
al-Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada
di luar wilayah daerah kekuasaan mereka. Mereka menganggap daerah mereka
sebagai dar al-islam, diluar daerah itu dianggap dar al-kufr
(daerah yang dikuasai/diperintah orang kafir). Pada tahun 684 M. Sekte
al-Azariqah ini membiarkan kaum khawarij lainnya di Bashrah menjalani perang
yang mencekam di Irak selatan dan Iran, akhirnya semuanya menemui kematian
syahid menurut mereka sebagaimana harapan mereka.
2.6.3 Al-Najdat
Penamaan sekte ini dinisbatkan kepada pemimpinnya yang
bernama Najdah bin Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah dan Bahrain.
Lahirnya sekte ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi (pemimpin al-Azariqah)
yang dianggap terlalu ekstrim. Pendapat Nafi yang ditolak adalah tentang :
- Kemusyrikan pengikut al-Azariqah yang tidak mau hijrah ke wilayah al-Azariqah.
- Kebolehan membunuh anak-anak atau istri orang yang dianggap musyrik.
Golongan ini merupakan golongan yang
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam
neraka hanyalah orang islam yang tidak sepaham dengan golongan ini. Adapun
pengikutnya apabila mengerjakan dosa besar maka akan mendapat siksa bukan dalam
neraka dan kemudian akan masuk surga. Golongan ini berpendapat bahwa dosa kecil
akan menjadi dosa besar apabila dikerjakan terus – menerus dan yang
mengerjakannya menjadi musyrik.
Selanjutnya mereka berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap – tiap muslim
ialah mengetahui Allah dan rasul – rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang
islam dan percaya pada seluruh yang diwahyukan Allah pada rasul-Nya. Yang
dimaksud dengan orang – orang islam adalah pengikut – pengikut Najdat selain orang – orang islam
tersebut di atas orang islam tidak diwajibkan mengetahuinya. Pengikut al-Najdat memandang Nafi
dan orang-orang yang mengakuinya sebagai khalifah telah menjadi kafir. Paham
theologi al-Najdat yang terpenting adalah :
- Orang Islam yang tidak sepaham dengan alirannya dianggap kafir dan akan masuk neraka yang kekal di dalamnya.
- Pengikut al-Najdat tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar.
- Dosa kecil dapat meningkat posisinya menjadi dosa besar apabila dikerjakan terus menerus.
- Adanya faham taqiyah yaitu orang Islam dapat menyembunyikan identitas keimanannya demi keselamatan dirinya. Dalam hal ini diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan keyakinannya.
Dalam perkembangan selanjutnya sekte ini mengalami
perpecahan. Dari tokoh penting sekte ini seperti Abu Fudaik dan Rasyid
al-Tawil membentuk kelompok oposisi terhadap al-Najdat yang berakhir dengan
terbunuhnya al-najdat pada tahun 69 H. (688 M.).
2.6.4 Al-Ajaridah
Pemimpin sekte ini adalah Abdul Karim bin Ajarrad. Pemikiran
sekte ini lebih moderat dari pada pemikiran al-Azariqah. Kaum
Al-‘Ajaridah bersifat lebih lunak karena paham golongan ini bahwa berhijrah
merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ Ibn Al-azroq dan Najdah,
tetapi hanya merupakan kebajikan. Disamping itu harta yang boleh dijadika
rampasan perang hanya harta orang yang telah mati terbunuh. Sedangkan menurut
al-azariqoh seluruh harta musuh boleh dijadikan rampasan perang. Dan mereka
juga berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah, tidak musyrik menurut orang
tuanya. Sekte ini berpendapat :
- Tidak ada kewajiban hijrah ke wilayah daerah al-Ajaridah.
- Surat Yusuf bukan bagian dari al-Qur’an, karena al-Qur’an sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita percintaan seperti yang terkandung dalam surat yusuf.
Golongan al-ajaridah terpecah belah
menjadi golongan-golongan kecil diantaranya yaitu golongan al-maimunah yang
mengaut paham qodariah yang menurut mereka semua perbuatan manusia baik dan
buruk, timbul dari kemauan dan kekuasaa manusia sendiri. Sedangkan
al-syu’aibiah dan al-hazimiah menganut paham sebaliknya bahwa bagi mereka
Tuhanlah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan manusia dan manusia tidak dapat
menentang kehandak Allah.
2.6.5 Al-Sufriyah
Sekte ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah
akan tetapi lebih lunak. Nama al-Sufriyah berasal dari nama pemimpin mereka
yang bernama Zaid bin Asfar. Pendapat dari sekte al-Sufriyah yang spesifik adalah :
- Umat Islam non khawarij adalah musyrik, tetapi boleh tinggal bersama mereka dalam perjanjian damai (genjatan senjata) asalkan tidak mengganggu dan menyerang.
- Kufur atau kafir mengandung dua arti yaitu kufr al-nikmat (mengingkari nikmat Tuhan) dan kufr bi Allah (mengingkari Allah). Kufr al-nikmat tidak berarti keluar dari Islam.
- Taqiyah hanya dibenarkan dalam bentuk perkataan, tidak dibenarkan dalam bentuk tindakan (perbuatan).
- Perempuan Islam diperbolehkan menikah dengan laki-laki kafir apabila terancam keamanan dirinya.
- Orang sufriah yag tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
- Tidak semua golongan ini berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Dosa besar dibagi dalam dua golongan, yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia seperti membunuh dan berzina dan dosa yang tidak ada sanksinya di dunia seperti meninggalkan puasa dan solat. Orang yang berbuat dosa golongan yang pertama tidak dipandang kafir akan tetapi orang yang melakukan dosa golongan kedua akan menjadi kafir.
2.6.6 Al-Ibadiyah
Sekte ini dilahirkan oleh Abdullah bin Ibad al-Murri
al-Tamimi tahun 686 M. Doktrin sekte ini yang terpenting adalah :
- Orang Islam yang berbuat dosa besar tidak dapat dikatakan mukmin, akan tetapi muwahhid. Dengan kata lain, mengerjakan dosa besar tidak menjadikan orang keluar dari Islam.
- Dar al-kufr adalah markas pemerintahan yang harus diperangi, sedangkan diluar itu disebut dar al-tauhid dan tidak boleh diperangi.
- Yang boleh menjadi harta rampasan perang adalah kuda dan peralatan perang. Emas dan perak harus dikembalikan kepada yang punya.
- Orang Islam yang tak sepaham dengan golongan ini bukanlah mikmin dan bikanlah musyrik teatapi kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan, syahadat dapat diterima akan tetapi membunuh golongan ini adalah haram.
Adapun golongan Khawarij ekstrim dan radikal, sungguhpun
mereka sebagai golongan telah hilang dalam sejarah, ajaran-ajaran mereka masih
mempunyai pengaruh walaupun tidak banyak dalam masyarakat Islam sekarang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
diambil suatu intisari bahwa aliran khawarij muncul karena persoalan politik
antara Ali bin Abi Thalib dan Muawhyah bin Abi Sufyan, dikatakan khawarij
karena keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib sebagai protes terhadap Ali yang menyetujui
perdamaian dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Dalam perkembangan selanjutnya khawarij lebih
banyak bercorak theologis, sehingga merupakan aliran kalam pertama dalam Islam
yang lahir pada abad 1 H.
Corak pemikiran aliran khawarij dalam memahami
nash al-Qur’an dan Hadis cenderung tekstual dan parsial, sehingga melahirkan
pemahaman yang kaku dan sektarian serta bersikap tendensius mudah memvonis
salah dan menghukumi kafir atau musyrik kepada yang tidak sependapat dengan
alirannya.
Disamping itu pemikiran politik dan teologi serta sikap
ekstrem Khawarij lahir terutama disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural
mereka sebagai orang-orang Arab Badawi yang punya watak keras, kasar dan berani
sehingga mereka tidak gentar mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu.
Sebutan Qurra’ bagi mereka sebelum dikenal dengan nama Khawarij tidaklah
menunjukkan arti para penghafal Al-Quran, tapi menunjukkan arti mereka sebagai
orang-orang desa yang kuat.
Pengikut aliran khawarij
didominasi oleh suku Badwi dan suku-suku lain dari Arab Selatan
yang menolak hegemoni Arab Utara, kondisi ini menyebabkan tidak memiliki daya
pijakan yang kuat (oportunis), fanatisme yang berlebihan, wawasan keilmuan yang
tidak memadai dan cenderung statis, sehingga memudahkan terpecah dan membentuk
kelompok sektarian.
Mengenai jumlah sekete
dari aliran khawarij terdapat perberbedaan pendapat diantara para
theolog, yang terkenal ada 6 sekte yaitu al-muhakkimah, al-ajariqah, al-najdat,
al-ajaridah, al-sufriyah dan al-ibadiyah.
Umat Islam akan mudah terpecah dan membentuk
kelompok sektarian manakala tidak memiliki landasan aqidah yang kokoh dan
wawasan keilmuan yang mumpuni.
Dari sejarah Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran
bahwa persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa
mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang
yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan
sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan
ekstremitas tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Syalabi.
1988. Sejarah Kebudayaan Islam 2. Jakarta : Pustaka al-Husna.
Abu Zahrah, M, 1991,
Sejarah
Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA.
Amir al-Najjar,
1993 Aliran Khawarij, Mengungkap Akar Perselisihan Ummat, terjemahan
Bandung.
Abu al-A’la
al-Maududi, 1996 Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis atas Sejarah
Pemerintahan Islam ,Bandung.
Al-Syahristani. 1968. Al-Milal wa al-Nihal. Cairo : t.p
FazlurRahman,
1984, Islam, terjemah Indonesia Pustaka, Bandung.
Harun, Nasution. 1986. Teologi Islam : Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.
J.
Suyuthi Pulungan. 1995. Fiqh
Siyasah : Ajaran, Sejarah, Analisa dan Pemikiran, Raja Grafindo Persada.
Muhammad,
abduh. 1996.
Risalah tauhid, Alih bahasa.KH. Firdaus AN. Jakarta: Bulan-Bintang.
Nouruzzaman
Siddik, 1985, Syi’ah dan Khawarij,
Yogyakarta.
Zurkani Yahya,
1996, Teologi Al-Ghazali, Pendekatan Metodologis, Pustaka Pelajar,Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar